Untitled Book

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 1

Intaian Merpati

Melintasi rel kereta ini tiba-tiba ada rasa

ngungun yang menyergap. Tidak seperti biasa. Aku

selalu bergairah jika sudah melintas rel kereta ini.

Meruap perasaan bahwa aku sudah dekat dengan

rumah. Bila melakukan perjalanan keluar kota, ada

saatnya kita akan merasa lega ketika memasuki wilayah

tertentu, bukan karena terlepas dari situasi genting

atau ketidaknyamanan, hanya kelegaan karena telah

memasuki daerah yang kita sebut rumah. Bagiku saat

melintasi rel inilah kelegaan itu muncul, kepenatan

selama beberapa jam berkendara langsung berganti

gairah untuk segera sampai tujuan. Walaupun

sesungguhnya masih harus kutempuh beberapa

kilometer lagi.

Sudah tiga kali perasaan ngungun ini menyergap.

Aku jadi merasa asing dengan rel ini, padahal entah

berapa puluh kali kulintasi daerah ini dan rel kereta ini.

Kupikir mungkin karena senja yang merekah merah itu.

Seolah lukisan agung yang menyiratkan banyak angan

yang tercecer di pelupuk mata. Mengingatkan pada

usia yang makin merambat tinggi, pada impian-impian

yang belum terjamah, pada lelah yang mengharap

kelembutan kasih, pada rumah yang bersih, nyaman,

dan asri, juga pada ranjang yang selalu harum dan

hangat.

2 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Kutengok bentangan rel kereta, menuju lurus

pada senja di ufuk sana, seolah tonggak yang ingin

menahan surya agar malam tidak lekas jatuh. Walaupun

kenyataannya rel itu lebih tepat seperti batang korek

api yang coba menyangga langit. Bagaimanapun senja

segera lelap. Senja tetap akan turun, dan mungkin hal

itu yang membuatku ngungun. Ditambah lagi belasan

merpati itu, yang dengan enaknya berjajar di sepanjang

kabel kawat sepanjang rel kereta.

Mereka berbaris dengan santai, beberapa di

antaranya tampak asyik menggoda pasangannya. Saat

aku melewati, kurasakan belasan pasang mata merpati

itu turut mengawasiku. Sebelumnya tidak pernah

sebanyak ini, hanya beberapa pasang. Bagaimana bisa

menjadi sebanyak ini? Dari kaca spion, ketika sudah

kulewati rel, kulihat merpati-merpati itu terbang susul

menyusul lalu bergerombol ke arah senja; pergi karena

yang ditunggunya sudah datang. Rasa ngungunku

berubah jadi berdebar-debar.

Rel yang membentang masif ini mengingatkanku

pada percakapanku beberapa hari lalu. Kau begitu

bersemangat mencurahkan isi hati, dan berbeda

dengan curahan hati pada umumnya, kupikir lucu

mendengarnya dari seorang wanita.

“Aku ingin semuanya kulakukan?”

“Semua? Semua apa?” kernyitku.

“Ya semua. Menyiapkan sarapan, mencuci

semua piring dan pakaian, mengantar dan menjemput

anak-anak ke sekolah, berbelanja keperluan sehari-

hari, merapikan mainan anak-anak, merapikan tempat

tidur, mengepel lantai, berkebun, mengurus anggrek,

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 3

bonsai, membayar tagihan telepon, juga tagihan listrik

ke kantor pos.”

“Melakukan semua kekacauan itu?” sahutku.

“Ya, pasti menyenangkan,” ucapmu dengan

senyum. Aku hampir-hampir tersedak oleh liurku

sendiri. Kau hanya melongo.

“Apa istrimu melakukannya?”

“Ehuekkgg,” aku benar-benar tersedak oleh

liurku sendiri mendengar pertanyaan itu. Kupikir,

pertanyaan apa ini? Mana ada jenis pertanyaan ini,

terutama dilemparkan pada situasi seperti ini. Kulihat

kau kembali melongo.

Kutarik napas panjang, “Ya, tapi ia tidak sesenang

yang kamu bayangkan.”

Kudengar kau ngomong lagi, terus ngomong

sesuatu, tapi aku tidak mendengarnya. Selama beberapa

menit karena suara derap ribut kereta lewat di belakang

rumah. Aku jadi terpekur, mungkin karena pondokanmu

yang di pinggir rel kereta ini yang membuatku jadi aneh

tiap melintasi rel kereta. Kulihat dirimu lagi, dengan

mimik kesal karena tidak kuperhatikan.

“Apa kau bilang barusan?” tanyaku.

“Apa aku punya kesempatan itu?”

Pertanyaan sulit lagi. Aku tidak menjawab, Aku

tidak mau menjawabnya. Arah pembicaraan yang coba

kuhindari untuk berlanjut. Mungkin bisa dibilang cari

aman. Tapi selama ini aku hanya melakukan sesuatu

sesuai situasi yang sedang terjadi. Aku tidak ingin

meramalkan atau beropini aneh-aneh. Aku takut pada

perkataanku, atau sebenarnya, aku takut pada merpati-

4 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

merpati itu? Belasan merpati di atas kabel kawat yang

menari-nari di kepalaku, pasti merpati-merpati di dalam

rumahku. Ya Mungkin saja. Rumahku penuh sesak oleh

merpati.

Merpati-merpati milik istriku. Beberapa minggu

belakangan ini ia memang keranjingan dengan merpati,

senang sekali dengan merpati, dan ia mencoba

berekspresi dengan merpati. Jadilah rumah penuh

sesak dengan kanvas-hanvas dengan lukisan merpati.

Indah sekali. Tapi sekarang menakutkan.

Merpati-merpati itu, yang dengan santai berjajar

berbaris di sepanjang kabel kawat rel kereta, mungkin

jelmaan merpati-merpati dalam kanvas yang berjejal di

gudang dan ruang pameran kecil di depan rumahku.

Merpati yang sengaja dikirim oleh istriku. Seperti

merpati-merpati pos tempo dulu yang membawa

gulungan kertas kecil di kakinya, sebuah pesan dari

seberang. “Ah, tapi siapa yang menjadi juru tulisnya di

seberang?” Isteriku pastilah bisa berkomunikasi dengan

merpati dari kabel kawat di atas rel kereta.

Istriku hobi melukis. Aku tidak mau menyebutnya

pelukis, walaupun faktanya lukisaan istriku laku juga

dijual, bahkan melebihi gajiku jika beberapa lukisannya

langsung laku terjual saat pameran. Dunianya adalah

lukisan; kanvas, cat, kuas, dan palet. Mungkin itu alasan

mengapa ia tidak mau kuajak hidup di kota, yang

notabene dekat dengan tempat kerjaku. “Terlalu bising,”

katanya. Aku pun mengalah, aku pulang seminggu

sekali ke rumah kami di luar kota. Rumah yang seolah

sangkar baginya. Tapi itu menurutku, syukurlah, karena

ia justru menganggap rumah ini adalah istananya.

Ia menyukainya seperti merpati menyukai rumah

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 5

panggung mungilnya. Tanpaku di rumah ia akan segera

menenggelamkan diri dalam goresan kanvasnya.

Seperti saat aku pulang sekarang, aku lansung

menuju halaman belakang tempatnya biasa melukis.

Sepanjang ruang tamu hingga dapur, beberapa lukisan

merpati dengan mata seolah mengikuti langkahku

mengusik hati, “Apa aku mengenali merpati-merpati

dalam lukisan ini?”

Kupeluk istriku dari belakang, menciumnya di

tengkuk, “Selamat petang. Sudah selesai?”

“Sebentar lagi ya, kamu mandi dulu.”

Kucium lagi istriku, lalu aku melangkah ke dapur.

Mengambil cangkir, lalu menyeduh kopi. Aromanya

membuatku kepayang beberapa saat. Kubawa cangkir-

ku menyusuri ruangan menuju kamar. Kuseruput kopi

pelan sambil membuka pintu. Kutaruh kopiku di meja

kecil dalam kamar, berdiri di depan cermin. Sedikit

kaget aku melihat merpati-merpati menyerbu kamarku.

Kubalikkan badan; sebuah lukisan besar terpampang di

sana, di dalam kamarku, belasan merpati yang anggun

dalam corak aneka ada di sana, mengawasi.

Aku jadi geram, tapi hanya kupendam. Kulepas

pakaian, menghambil handuk, masuk kamar mandi,

dan mandi selama mungkin, meraup kesegaran

sebanyak mungkin. Mungkin benar karena senja aku

jadi ngungun, bukan karena belasan merpati yang

mengingatkan pada istriku. Istriku jinak-jinak merpati.

Dulu, sulit mendapatkan hatinya, sulit meraih cinta

darinya. Aku harus jatuh bangun menangkapnya agar

tidak terbang. Namun aku mendapatkannya. Semuanya

tampak indah sekali. Tapi lama-kelamaan menjadi

6 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

kian sepi. Selama tujuh tahun pernikahan, kami belum

memiliki anak seorang pun.

Aku ingat betul tangismu suatu malam, “Aku

ingin merasakan bagaimana repotnya menyiapkan

sarapan buat anak-anak, mencuci semua piring bekas

mereka makan dan pakaian kotor mereka sehabis

bermain, bukan hanya pakaian kerjamu yang bau

keringat.”

Aku sedih, tapi aku juga mau tertawa

mendengarnya. Aku hanya membelai rambutmu.

Aku ingat rintihmu lagi, “Aku ingin mengantar dan

menjemput anak-anak ke sekolah, berbelanja keperluan

mereka, merapikan mainan mereka, merapikan tempat

tidur mereka, dan mendongeng banyak kisah yang

ibuku dulu pernah ceritakan tiap aku tidak bisa tidur.”

Yah, aku ingat ucapanmu, aku juga sangat

menginginkannya. Hingga akhirnya kau mulai tenggelam

terlalu dalam pada lukisan-lukisan. Menyerahkah? Yang

jelas aku selalu berusaha menjadi suami yang baik.

Aku menjadi asing bagimu. Tapi aku tak ingin terjebak

dalam percintaan lain. Seperti rumah yang tak jauh dari

lintasan kereta, yang mengingatkanku pada pertanyaan

wanita lain selain dirimu. Wanita yang mempertanyakan

kesempatannya memiliki apa yang kamu impikan.

Senja ini memang yang membuatku ngungun,

bukan karena lintaan kereta api atau merpati yang selalu

mengawasi. Hanya karena senja yang membentang

seperti lukisan agung. Lukisan yang menyiratkan

keinginan serupa mimpi yang ragu untuk kujamah.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 7

Pengarung Bahu

Tanyakanlah padanya bagian mana dari tubuh

wanita yang membuat hasratnya memuncak dan

gairahnya memanas seperti cubitan semut pudak.

Laki-laki itu, Bram, dengan sungguh-sungguh akan

menjawabnya, “Bahu yang sewarna, dengan panjang

dan tinggi yang simetris, tidak kecil, dan juga tidak

lebar, seimbang dengan proporsi leher dan kepala, plus

sebuah tanda lahir kecil di salah satu bidangnya.”

Semua laki-laki disekitarnya pun saling

pandang, namun saat kembali melihat wajah Bram yang

tetap dengan air muka serius, meledaklah tawa mereka

bersamaan, keras.

Sebelum pertanyaan tersebut jatuh pada giliran

Bram, semua berdebat seputar payudara, kaki panjang

mulus, dan wajah cantik. “Apapaun bentuk tubuhnya,

jika wajahnya tidak menarik apalah artinya, bagaimana

kita bisa on kalau melihat wajahnya saja eneg!” celoteh

Rizal, karyawan bagian Adminisrasi di lantai dua.

“Paling menarik adalah wanita dengan wajah

berbau Asia timur, putih, berdagu kecil, hidung sedang,

senyum menawan, namun tidak sipit matanya. Aku pasti

rela mencumbu wajahnya seharian.”

“Bener, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Tapi

coba kalian jawab, siapa dari kalian yang sadar bahwa

8 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

ketika kita berhubungan, wajah adalah persentase

terkecil yang kita sentuh saat bercinta. Ada sasaran lain

yang lebih luas, tubuh misalnya, termasuk payudara

yang merekah dan putingnya yang memerah.” Lanjut

Hartono.

“Yah secara teori memang begitu. Tapi yang

paling esensi tetap bagian bawah, termasuk paha yang

putih bersih. Setiap kali aku bercinta, aku sama sekali

tak peduli pada yang lain. Mungkin pada awalnya aku

mencium bibir, meraba payudara Tapi mungkin hanya

tiga kali. Selanjutnya yah aku ke bawah. Aku berkeliaran

di paha.” Timpal Rendi sambil ketawa.

“Tapi pendapat Bram yah boleh dan sah-sah

saja. Tiap orang kan punya kecenderungan berbeda

mengenai apa yang membuatnya bergairah. Kadang

aku juga suka tertarik melihat belahan dada bagian atas

perempuan saat berpapasan, apalagi jika kemudian aku

mencium harum tubuhnya. Ah, aku langsung berdebar-

debar.” Seloroh Si Ruslan yang selalu mengukur segala

sesuatu dari bau. Menurutnya, juga ditunjang dari

hasil penelitian yang dikutipnya dari majalah, aroma

tubuhlah yang merangsang lawan jenis untuk bercinta.

“Tapi aku susah sekali menggambarkan tipe

bahu seperti Bram katakan, bagiku perlu sesuatu yang

konkret bila mengenai tubuh wanita. Yah siapa kira-kira

wanita dengan tulang belikat yang sewarna, dengan

panjang dan tinggi yang simetris, tidak kecil, dan juga

tidak lebar, seimbang dengan proporsi leher. Sepertinya

kayak Dewi, bagian dapur, ya nggak?” Roni bagian

gudang menyindir. Tawa kelompok itu pun meledak,

semua tahu Bram pernah tergila-gila pada Dewi, cewek

pantry.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 9

Bram hanya tersenyum, “Ah, persetan dengan

kalian, keindahan toh relatif. Bagiku keindahan wanita

bukan pada wajah cantiknya yang berisi senyum manis,

mata yang bening indah, alis tipis, bulu mata dengan

kerling manja, rambut lurus panjang atau keriting,

seksi, di padu bibir menawan, hidung dan dagu lancip,

tubuh bagai biola, payudara membusung indah namun

tidak pongah, tak seberapa besar, juga tidak kecil rata,

pinggul dan pantat yang kencang, tungkai kaki yang

panjang, paha mulus. Selera kalian kan standar sekali.”

Semua pria-pria yang getol ngobrol tentang

wanita itu bertambah ngakak mendapat jawaban Bram.

Mereka lalu memberi ledekan, “Yah kami memang

berselera standar, jadi kami tahu diri, kami toh tidak

terkejut ketika kamu memutuskan jalan dengan si Neni

yang spesial, yang kau kencani kemarin,” menggelegarlah

tawa dari pria-pria lainnya, karena semua tahu Dewi dan

Neni, dua perempuan kampung berpipi tirus, payudara

rata, sama sekali biasa.

Tapi Bram tetap menjawab, “Menurutku dia

mempunyai bahu yang indah, lihatlah begitu serasi

dengan leher, warnanya tidak bergerak, cerah dari leher

hingga dada.”

Tawa kelompok itu bergema keras dan Bram

hanya ngeloyor pergi. “Hoy Bram, mau ke mana? Ayolah,

bukankah kita harus ba-hu mem-bahu memecahkan

masalah ini?”

Tawa kelompok itu pun bergema makin keras.

***

10 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Liukan tubuh itu indah, semampai ideal, pria

mana yang tak ngiler. Semua yang hadir tak berkedip,

menatap antusias. Tapi ada yang membedakan

pandangam laki-laki di sana dengan pandangan Bram.

Laki-laki di sana lebih memperhatikan gerak payudara

yang erotis, yang mau muntah dari penyangganya,

sebuah bra model tali minim. Lalu bergerak ke pinggul

sintal yang yang bergerak banal, juga paha mulus yang

minta dielus. Bram hanya memandang gerak sebuah

bahu di atas mini bar tersebut.

Dari ketiga stripper, Bram sama sekali tak peduli

pada payudara, pinggang dan pantat yang seksi, atau

paha mulus. Saat pria-pria lain bersiut-siut shahwat,

Bram mencoba menelusuri sebuah bahu di sana,

mencoba menelisik gurat garis dan pori-pori tubuh di

sana, di bahu yang meliuk-liuk. Sebesar apa beban yang

ada di sebuah bahu itu?

Kadang saat menjelajah dan menyelami bahu

Neni, ia menemukan riak gelombang air laut di sana.

Sebuah kampung nelayan, kapal penangkap ikan, angin

santer, laki-laki yang bermain kartu sehabis melaut,

dan ibu yang diam-diam memendam rindu pada laki-

laki lain saat malam bapak berlayar. Di bahu itu Bram

juga mencecap riak gerak pasangan anak muda di bibir

pantai. Percintaannya saat bulan mati, mendesah dalam

selimut pasir dan lambaian nyiur.

Dari bahu Siska ia tenggelam dalam nuansa

sendu di balik megah istana bertema rumah. Seorang

ibu yang mati-matian mengajarkan kesetiaan pada putri

ciliknya dan Bapak yang mengajarkan bahwa tangan

yang terbuka bukan hanya untuk keluarga, tapi juga

wanita lain di luar rumah. Tangan yang terbuka bukan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 11

hanya untuk uluran jabat tangan, tapi juga tamparan

keras yang memerahkan pipi.

Bram tidak pernah menyadari sejak kapan ia

jadi begitu perhatian dengan bahu seseorang. Ia coba

menelusuri gejolak hati yang selalu membawanya ke

dalam sebuah anatomi yang disebut bahu. Apakah ia

terpesona kelembutan bahu seperti milik ibunya? Bahu

putih lembut yang mampu meninabobokannya sesaat

setelah ia kekenyangan minum susu dan bersendawa.

Mungkin juga ia terpesona akan kekuatan sebuah bahu

yang pernah dimiliki oleh bapaknya. Bahu bidang yang

kuat dan berotot. Bahu seorang kuli panggul di pasar

desa yang mengangkut lusinan karung beras ke atas

truk seharian tiap hari. Entahlah. Bram merasa bukan

itu penyebabnya. Ketertarikannya yang besar pada

bahu perempuan. yang indah begitu menggelora. Bahu

perempuan yang membuat dadanya tiba-tiba sesak,

dan jemari-jemari tangannya gemetaran.

“Hai, nglamun?”

“Oh hai, gimana sudah selesai kerjanya?”

“Ya, jadi kita cabut dari sini, tapi mampir makan

malam dulu ya?”

“Oke, tentu saja,”

Jika sekali lagi kau tanya, bagian mana dari

tubuh wanita yang membuat hasratnya memuncak,

dan gairahnya memanas seperti cubitan semut pudak.

Seperti milik Vivi untuk malam ini, seorang penari. Bram

sama sekali tidak memperhatikan wajah manisnya, gerak

payudaranya yang mau muntah dari penyangganya,

pinggulnya yang sintal dan bergerak banal, atau juga

paha mulusnya yang minta dielus. Sama sekali tidak.

12 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Saat Rendi mengacungkan jempol saat

berpapasan, seolah berkata,”Itu baru perempuan cantik

Bram!” Dalam hati Bram tetap menjawab, “Lihatlah

bahunya yang sewarna, dengan panjang dan tinggi

yang simetris, tidak kecil, dan juga tidak lebar, seimbang

dengan proporsi leher dan kepala, plus sebuah tanda

lahir kecil yang eksotik.” Tapi persetanlah dengan

mereka.

Saat melirik ke bahu Vivi yang terbuka, juga

pada sebuah tanda lahir kecil yang hanya serupa noktah

di bagian kanan bidang bahunya, dada Bram keburu

berdebar-debar. Ada sesak yang mencuat dan membuat

tangannya gemetar. Bram tidak peduli akan terdampar

di mana lagi oleh ruam pori-pori bahu tersebut. Bram

tidak tahu di arus mana lagi ia akan terseret oleh garis-

garis sejarah sebuah bahu yang seakan menjelma anak

sungai deras yang bermuara di sebuah danau berwujud

tanda lahir kecil mungil.

Ia merasa membentur cermin yang lalu pecah

berderai memperlihatkan potongan-potongan kisah

yang sebelumnya terlupakan. Ia masuk dalam cermin

gelap yang kemudian samar mengukir kisah tentang

tanda lahir mungil pada sebuah bahu. Bahu yang ia lihat

saat tubuh mungilnya terjebak di lemari baju.

Ia sulit mengingat bagaimana ia bisa berada di

sana. Tertidurkah ia di sana ketika main petak umpet?

Hingga didengarnya suara berbisik-bisik. Lalu desahan

desahan. Dari balik pintu yang terbuka setengah senti ia

melihat jelas bapaknya yang sedang merengkuh bahu

tersebut. Mendesah pelan seperti kehabisan nafas.

Bapak seolah sedang tenggelam ketika mengarungi

bahu tersebut. Pelan namun pasti bapaknya menjelajah

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 13

hingga berhenti di atas sebuah noktah kecil, sebuah

tanda lahir yang berwarna kontras dengan kulit yang

putih.

Dilihatnya Bapaknya mencucup noktah tersebut

hingga terlihat memerah sisi-sisinya. Lalu pintu itu

tertutup, mungkin tersenggol oleh gerak bapaknya.

Hingga ia hanya mendengar desah suara bapak dan

perempuan dengan bahu dengan tanda lahir mungil

indah. Namun yang pasti bahu indah tersebut bukan

bahu milik ibunya.

14 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 15

Mengemas Flu

Pagi ini tidak seperti pagi-pagi sebelumnya.

Entah kenapa hidung Raema berair dan bersin-bersin.

Padahal malam sebelumnya ia tidak melakukan aktivitas

berlebihan. Ia tidur tepat waktu dan bangun pada jam

seperti biasa. Tapi pagi ini, sejak membuka mata dan

bangun dari ranjang, ia jelas sekali sakit. Tiba-tiba ia

ingusan dan bersin-bersin.

Bersin-bersin dan ingusan saat u memang

sudah sewajarnya. Apalagi cuaca memang sedang

buruk. Wajar pula saat menderita u, fungsi hidung akan

menjadi kurang maksimal. Tiba-tiba tersumbat dan atau

tidak bisa membaui sesuatu. Tapi itulah anehnya, u ini

malah membuat Raema mencium bau yang tidak biasa

ada di apartemennya.

Bau ini langsung menyeruak dan menarik

perhatian Raema saat terbangun dan pertama kali

bersin-bersin. Ia mengendus-endus bau itu, matanya

menelusuri seantero kamar. Ia menyingkap gorden

dan jendela, menggeser dan melongok di bawah

ranjang, kursi, sofa, dan meja. Ia bolak-balik lemari dan

mengobrak abrik isinya, tapi ia tidak menemukan asal

bau itu.

Richard yang tadi masih pulas di sisinya

rupanya terbangun juga oleh suara berisik. Raema lalu

berjalan dengan langkah limbung ke dapur ditengahi

16 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

suara Richard di belakangnya.

”Apa kau baik-baik saja sayang?”

Raema sedikit kebingungan menjawabnya.

Walau ia mencoba mengingkari, sebenarnya Raema

tidak perlu menduga bau apakah ini. Raema hafal

betul bau ini adalah bau yang akrab di masa lalu; bau

pedesaan, bau embun pagi yang menyentuh pucuk-

pucuk daun, bau kotoran ternak yang tersapu semilir

angin, ditambah bau pembakaran kayu dari tungku

masak yang disusun dari tumpukan bata.

”Tapi ini pusat kota Melbourne, Australia, dan

kamar apartemen yang meringkuk di lantai 5 tentu tak

berbau seperti ini! Ada apa dengan hidungku?” pikirnya.

Raema mengambil kotak tisue dari dalam laci

dapur, sementara Richard memijit-mijit tengkuknya.

”Aku baik-baik saja, hanya u.” Ucap Raema

untuk menenangkan Richard.

Raema menarik beberapa lembar tisu di atas

meja makan. Sambil mengusir ingus, ia menjerang

air untuk kopi dan mengambil telur dari dalam kulkas

untuk sarapan.

Richard telah duduk menghadap meja makan.

Di tengah semua aktivitas itu Raema menyempatkan

matanya menyisir sekeliling ruangan. Tak ada yang

berubah, tak ada yang ganjil, tidak ada yang aneh. Yang

ada hanya bau yang tidak biasa, bau yang ganjil dan

aneh.

Pandangan Raema beralih ke Richard, dengan

mimik tidak percaya ia bertanya, ”Apakah kau mencium

bau ini juga sayang?”

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 17

”Bau?” Richard mengendus udara, ”Bau kopi?

Telur?”

”Bukan, tapi bau..., ah u yang aneh sekali.”

”Atau bau tubuhku?” sambung Richard sambil

mengendus ketiaknya lalu menggeleng-gelengkan

kepala.

Richard berdiri, tampak mengambil sesuatu dari

laci dan mengulurkan sesuatu pada Raema; segelas air

dan pil obat u. Raema memandang wajah Richard dan

pil obat u yang disodorkan bergantian. Wajah Richard

seolah berkata, ”Ayolah, terima saja dan lekas minum!”

Untuk kali pertama—dengan keanehan di

hidungnya saat ini Raema menyerah—ia menerima pil

obat u tersebut dan langsung menelannya. Richard

tersenyum senang melihatnya. Senang karena ia

berhasil memaksa Raema menelan pil obat u kali ini.

Raema tak pernah mau menelan obat apapun untuk u.

Raema selalu membiarka u-nya reda sendiri, walaupun

itu akan banyak memboroskan beberapa kotak kertas

tisu untuk membuang ingus.

”Aku periksa emailmu, ada satu pesan?” kata

Richard serta merta.

”Dari siapa?” tanya Raema sambil menyambar

tisue dan mendekatkan ke hidung. Ia mendorong kuat

ingus untuk keluar lengkap dengan suaranya.

”Dari adikmu, dan ia bilang, ia melampirkan

surat dari Ibu untukmu.”

Raema terdiam. Email dari adiknya sudah sering

ia terima, tapi lampiran surat dari Ibu? Ganjil sekali

baginya, mengusik sekali. Richard melihat kegugupan

18 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

itu, ia lalu mencium kening Raema. ”Aku belum buka

apa yang terlampir. Sepertinya Ibu kangen padamu?”

ucap Richard lirih.

Raema tambah terdiam. Ia hanya mengawasi

Richard yang berjalan ke kamar mandi. Matanya

mengikuti langkah-langkah Richard yang sedang

berjalan, tapi jelas hatinya tidak sedang mengikuti

Richard, entah kemana kembaranya. Saat Richard

berbalik arah dan memandangnya di pintu kamar

mandi, lalu pelan menutup pintu kamar mandi, barulah

Raema tergeragap dari kembaranya.

”Kangen?” desah Raema. Sudah lama Raema tak

mendengar kata itu. Pernah ia mengatakan pada Richard

saat awal-awal ia mulai memelajari bahasa Indonesia.

Ia bilang, ”Aku rindu,” kepada Raema, dan Raema

membalas bilang ”aku juga kangen padamu,”. ”Apa itu

kangen?” katanya. Lucu juga. Dua kata tersebut secara

harah bersinonim, sepadan. Arti yang dimuati dua kata

itu kurang lebih sama. Tapi menurut Raema rindu dan

kangen tidaklah sama. Menurutnya muatan kata ”rindu”

tidak sepadan dengan muatan kata ”kangen”.

Richard. Laki-laki yang telah membuatnya

memilih jalan hidup yang tak terbayangkan akan

dilaluinya. Menikah dengan laki-laki tidak sesuku saja

cukup membuat persoalan, apalagi menikah dengan

laki-laki tidak sebangsa? Tapi Raema sudah memilih.

Pilihan yang membuatnya membangun tembok tinggi

antara dirinya dan keluarganya. Pilihan yang membuat

Ibu membentangkan jurang dan palung lautan melalui

satu kalimat utuh yang selalu terngiang di telinga Raema:

”Seumpama daun, Ibu sudah enggan memetikmu,

seumpama air ibu sudah enggan menggayungmu.”

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 19

Ungkapan itu telah terpatri di benak Raema.

Ia tidak bisa meyakinkan Ibunya, kalau ia terlalu

mencintai Richard. Ia ingin menikah tanpa sedikitpun

buntut yang ditempelkan oleh ibunya. Apalagi sebuah

pemutusan tali keluarga. Raema yakin Richard orang

yang bertanggung jawab. Toh ia sudah mengenalnya

empat tahun. Tapi ibu tetap bergeming hingga akhirnya

Raema menikah tanpa restu dan angkat kaki dari tanah

kelahirannya.

Entah apa yang diinginkan oleh ibu hingga

terucap kalimat tuah penyangkalan itu. Seakan begitu

yakin bahwa pilihan Raema adalah salah. Yakin bahwa

pernikahan tanpa restu darinya hanya akan berakhir

seperti glundhung semprong. Menggelinding seperti

semprong, tabung kaca tipis lampu templek minyak

tanah. Rawan pecah, rawan padam, rawan terbakar.

”Sudah nglamunnya,” tiba-tiba saja Richard

telah di samping Raema.

”Secepat itu mandinya?” elak Raema,

seolah takut Richard mengetahui apa yang sedang

dipikirkannya.

”Haha, apa harus berlama-lama? Bisa telat

berangkat. Lagipula bukan aku yang cepat mandi, tapi

melamunmu yang terlalu lama.”

”Menurutmu apa isi emailnya?” gumam Raema.

Richard hanya menggerakkan bahunya tanda

tak ingin ikut campur. Ia melangkah masuk ke dalam

kamar. ”Adikmu cukup gigih juga ya?” Teriaknya dari

dalam kamar, ”Setelah hampir satu dasawarsa, ia tak

berhenti walau sekedar menyuruhmu pulang kampung.”

20 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

”Ia pasti menginginkanku pulang saat ulang

tahun Ibu nanti,” tukas Raema.

”Ulang tahun?”

”Ya begitulah, 60 tahun,”

Sebentar kemudian Richard keluar lagi sudah

dengan berkemeja. Ia mengecup kening Raema dan

mengalungkan scarf ke leher Raema.

”Biar tidak banyak kena angin,” katanya

”Rela jika scarf ini jadi tempat ingusku?” jawab

Raema.

”Well, no problem. I give you else.”

Richard duduk di kursi, menyeruput kopi, lalu

menyantap cepat sarapannya. Setelah tandas buru-

buru ia bangkit. Raema hanya memandanginya.

”Jangan lupa baca emailmu, apapun isinya nanti

kita bicarakan sepulang kerja,” ucap Richard sebelum

berangkat.

Setelah Richard berangkat, segera Raema

menuju kamar mandi, rasanya ia ingin berendam di air

hangat. Mungkin dengan begitu hidungnya bisa lebih

plong dan segera beres seperti sedia kala. Sengaja ia

berlama-lama berendam, menuang lebih banyak sabun,

memijit-mijit kulit tubuh, tangan, kaki, jari-jari, tengkuk,

dan cuping telinga. Bergantian.

Bau harum segera semerbak memenuhi kamar

mandi, dan disadarinya, ”Hey, hidungku bekerja lagi.”

gumam Raema. Bau harum sabun dan uap air hangat

rupanya cukup manjur mengusir bau aneh yang melekat

di hidungnya.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 21

Ia pun bersenandung. Memercik-percik air ke

muka berharap agar kesegaran segera tertular ke dalam

bilik pikiran di kepalanya. Tapi sekejap, ketika matanya

terpejam saat memercikkan air ke muka, bayangan ibu

menyeruak timbul seperti slide foto. Tua, hitam putih.

Raema tertegun beberapa saat. Bayangan ibu membuat

gairah mandinya langsung punah. Ia mendesah keluar

dari bak mandi dan berdiri di muka kaca. ”Ibu?” bibirnya

mendesis.

Ia raih handuk, mengelap bagian tubuhnya

yang basah. Dan ketika tiba mengelap bagian muka ia

memejam sesaat, wajah ibu menyergap lagi sautara.

***

Ditemani secangkir kopi panas, Raema

menghidupkan laptop di atas meja. Gugup juga ia ketika

hendak mengklik koneksi internet. Slide raut wajah Ibu

melintas cepat. Tak seperti biasa adiknya melampirkan

surat dari Ibu di kiriman emailnya.

Ya, selama ini dari adiknyalah Raema merasa

tidak putus hubungan dengan kampung halaman.

Banyak hal yang bisa diceritakan oleh adiknya.

Beberapa waktu lalu adiknya menceritakan tetangga

seberang desa yang tertangkap karena mencuri kelapa.

Walau hanya tertulis, Raema bisa membayangkan wajah

adiknya yang berkoar-koar mengatakan, ”Indonesia

adalah penggalan surga, tak ada jengkal tanah yang

suburnya melebihi Indonesia. Benarlah jika para Wali

mendendangkan tembang ’lir-ilir tandure wus sumilir,

tak ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar,’ Bahkan

juga oleh kelompok Koes Plus yang berdendang

22 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

’Bukan lautan, hanya kolam susu. Kail dan jala cukup

menghidupimu,’ yah di bumi ini tongkat dan batu jadi

tanaman.”

”Bayangkan Mbak, bagaimana malunya

menerima sebutan sebagai pencuri kelapa.

Mendengarnya, serasa berhadapan dengan laki-laki

bertato seram yang sering muncul di sinetron-sinetron

sebagai pencoleng. Mereka kan hanya buruh tani yang

kelelahan dan diserang dahaga. Mereka bukan pemalas,

sehingga tidak bisa mencukupi kehidupan. Mereka

sudah bekerja dari pagi hingga petang. Hanya saja saat

itu rantang dan cerek kiriman mereka tidak kunjung

datang. Mereka kehausan. Mereka hanya tidak melihat

cara lain selain mencuri kelapa-kelapa.”

Raema tersenyum-senyum sendiri

membayangkan muka adiknya. Adiknya memang

sekelumit manusia yang punya kepedulian lebih

terhadap lingkungan dan persoalan sosial. Adiknya

juga tukang cerita yang mumpuni. Rasanya tak ada

yang luput ia ceritakan kepada Raema. Jika ada teman

sebaya Raema yang menikah, adiknya selalu berkabar.

Bukan sekedar tanggal dan bulan pernikahan yang

adiknya kirim. Adiknya selalu melengkapi dengan

banyak hal, mulai dari lampiran undangan hingga detil

latar belakang siapa pasangan mempelai.

Terakhir kali adiknya berkabar, adalah

pernikahannya sendiri. Adiknya ternyata sudah dewasa

dan Raema luput mengamati adik satu-satunya itu

menjadi laki-laki. Raema bahkan tidak dapat hadir di

upacara pernikahan, hanya sebuah kartu ucapan dan

kotak kado yang terbang ke Indonesia.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 23

Raema mengangkat cangkir kopinya, ia

menyeruput, menikmati pahit-manis kopinya.

pandangannya tertuju di layar laptop. Sesaat jarinya

beku, terhenti ketika kursor laptopnya sudah berada di

atas kotak masuk email.

”Apa yang tertulis di surat adiknya kali ini, apa

yang ditulis ibu?” pikir Raema.

Tapi sejurus kemudian Raema sudah mengklik

kotak masuk bertuliskan Dani Himawan:

Apa kabar Mbak, maaf adikmu ini sejak menikah

sudah lama tidak berkirim email. Jangan salah, adikmu

ini sekarang sudah sibuk mengurus istri. Ternyata jadi

suami itu nggak mudah lho Mbak. Harus banyak

mengalah, tapi tidak boleh pasrah dan menyerah. Aneh

betul kedengarannya.

Istriku sekarang kuboyong ke rumah Ibu. Maklum

Istriku sudah tidak punya orang tua. Jadi bersyukur

aku, karena dia bisa mencurahkan kasih sayangnya

pada orang tua kepada Ibu dan Bapak kita. Apalagi

aku sekarang sering dapat job keluar kota. Yah menang

tender konstruksi kecil-kecilan. Aku sering blusukan ke

kampung-kampung di luar pulau. Asyik dan melelahkan.

Tapi cerita perjalananku yang asyik-asyik itu nanti saja

ya Mbak. Sekarang aku mau menyampaikan surat dari

Ibu buat Mbak.

Sebenarnya mau kutulis saja langsung, tapi

nanti Mbak sangka aku yang mengarangnya. Jadi ini

kulampirkan surat asli tulisan tangan dari Ibu. Dibaca

ya Mbak.

24 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Ya wis, cukup sekian dulu ceritanya. Salam buat

Mas Richard.

Sejurus kemudian Raema sudah mengklik

tautan bertuliskan “Surat Ibu”. Yah memang di layar

terpampang tulisan tangan Ibu yang ia kenal betul.

Sesaat kemudian sesak dadanya oleh haru:

Apa kabar nduk? Semoga kamu sehat selalu di

sana, tak kurang suatu apapun. Alhamdulillah Ibu di

desa baik-baik saja.

Ibu senang, Adikmu sudah jadi laki-laki sekarang.

Sudah menikah. Istrinya cantik, sopan, dan pandai

memasak. Tak terkira bahagianya Ibu ketika mereka

berdua memutuskan tinggal di rumah Ibu. Ibu sudah tua,

rasanya rumah sepi jika hanya ditinggali Ibumu ini dan

bapakmu.

Sebenarnya Ibu khawatir adikmu itu juga akan

tetap memilih tinggal di kota. Apalagi pekerjaan adikmu

itu membuatnya sering ke luar kota. Untunglah adikmu

itu punya pikiran untuk tinggal di rumah, supaya jika ia

bekerja ke luar kota maka ada yang menemani istrinya.

Lucu juga, siapa sebenarnya yang ingin menemani dan

siapa yang ingin ditemani.

Sayang kamu tidak bisa hadir saat pernikahan

adikmu itu. Sebelum adikmu itu nikah, Ibu wejangi ia, Ibu

ceritakan tentang pohon wringin tua yang tumbuh lebat

di muka desa. Tidak seorang pun tahu kapan ditanam

dan siapa menanam. Begitu tua pohon itu, sehingga

orang-orang desa menganggapnya bertuah.

Orang yang akan mantu, seperti Ibu juga,

memakai rantingnya sebagai hiasan dengan harapan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 25

mempelai akan panjang umur, subur, makmur. Juga

sepasang daun yang jatuh menghadap ke atas dan ke

bawah, atau disebut daun lumah kurep, dengan harapan

mempelai akan rukun dan segera punya anak.

Ibu ceritakan bahwa ringin artinya ’mari

kepengin’ atau selesai rasa inginnya, sebab orang yang

sudah kawin harus berhenti menginginkan pasangan.

Sebenarnya hal itu juga ingin dulu ibu wejangkan dan

lakukan padamu dan calon suamimu. Tapi apa suamimu

tahu? Tapi sudahlah, Ibu bukan ingin mengungkit hal itu.

Ibu hanya ingin....

Ah Raema, ibu sudah terlalu tua untuk berkeras

kepala. Ibu juga sudah terlalu tua untuk memaksa. Ibu

tidak mau lagi menilai siapa sebenarnya yang salah dan

siapa yang sebenarnya mengalah. Saat ini, keinginan Ibu

cuma satu. Ibu hanya ingin, ibu hanya berharap, angin

mengirimkan bau harum pedesaan kita ke tempatmu

agar engkau mau pulang menjenguk ibumu.■

26 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 27

Tikungan Redelia

Melihatmu sekarang di sisi ranjangku

adalah kegairahan hidupku. Matamu yang pejam

tak menghalangi terbit senyum di sana. Wajah yang

mengisahkan gairah semalam. Wajah yang menarik

rasa di hatiku. Tapi ada yang lebih dari itu. Kecerdasan

gaya bicaramu yang tidak terlalu menggebu, penuh

perhitungan. Gurauanmu yang tidak kampungan

sangat mendidik. Sindiranmu yang selalu halus dan cara

menasehatimu yang tidak seperti menebang pohon.

Satu hal lagi, gestur membacamu yang menurutku

menggairahkan, dilihat dari sisi manapun.

Apa benar dirimu adalah wanita yang sama,

wanita pertama di tikungan itu? Yang secara sebentar

pernah mendesirkan jantungku. Aku jadi sangat

menyesal mengapa tidak mendongakkan muka barang

sedetik waktu itu, hanya sekedar memastikan. Bukan

memastikan yang kulihat itu adalah dirimu, sebaliknya

untuk memastikan itu bukanlah potongan wajahmu.

Ya, aku berharap, jika aku mendongakkan kepala pada

saat itu, aku berharap sekali bukan, sekali lagi bukan

wajahmu yang kulihat.

***

Seorang bocah lima tahun berlari-lari kecil. Di

sudut bagian barat ia melihat pohon yang tidak ia ketahui

28 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

namanya. Ia teliti pohon di depannya, mendongak,

memandang ke dahan-dahan, menggaruk-garuk kepala

yang tidak gatal. Bocah itu mengisyarat upaya berpikir

keras untuk memecahkan masalah. Tentu saja dengan

mimik yang lugu dan lucu.

Saat melihat ke bawah, ia tersenyum, mendapati

petunjuk penting yang mengubah kesulitannya. Ia

mendapati sebutir buah mangga di atas rerumputan.

Bocah itu memungut buah yang tersembunyi di cuat

sisi akar pohon. Ia dengan yakin dan percaya diri

mengatakan “ini pohon mangga”.

Banyak hal kadang sangat kabur batasannya,

seperti antara benci atau cinta, benar atau salah, juga

persoalan bodoh atau pintar. Tetapi aku tahu bahwa

yang dimaksud “pohon mangga” oleh bocah itu

sebenarnya pohon sawo yang belum musim berbuah.

Pagi-pagi sebelumnya, tas belanjaan seorang ibu

robek hingga mangga-mangga di dalamnya tumpah

berhamburan. Satu mangga tercecer di balik pohon,

luput dari perhatian mata si ibu.

Bodohkan si bocah? Sekarang aku dua puluh

tahun lebih tua dari bocah itu, dan aku juga kurang

mengerti apakah hal ini menjadikanku lebih bodoh

darinya, karena meyakini bahwa di tikungan Redelia

ini, sebuah ingatan yang begitu cerah, wanita dengan

tas hitam bercorak polka, berjeans biru, dan semerbak

parfum Light Blue adalah dirimu.

Waktu itu aku lagi suntuk, aku benamkan pantat

pagiku di sebuah bangku di tikungan Redelia. Aku

tidak sendiri, berteman angin semilir dan Pertengkaran

dan Kisah-Kisah Lain. Yang disebut belakangan ini,

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 29

maksudku adalah buku tipis, hanya setebal seratus enam

puluh halaman Nikolai Gogol. Kutaksir tiap halaman

buku yang kugenggam ini dapat kubaca selama lima

puluh detik, jadi akan rampung kulahap dalam 106

menit atau satu jam empat puluh enam menit. Cukup

untuk melelahkan mata dan pinggang. Terpenting juga,

sangat pas dengan jadwal buka kantin. Seteguk kopi,

setangkup roti, dan 24 halaman berita koran pagi.

Saat asyik memulai bacaan itulah kudengar

langkah-langkah apakah langkahmu? datang mendekat.

Dasi sisi kiri buku, pandanganku menangkap tas hitam

dan sepatu melintas. Tas manis di pinggang geulis.

Sepatu cantik di kaki berbetis mulus eksotik. Bau harum

menelisik, parfum Light Blue menggelitik. Hidung

segera menuntun mataku meneliti dari sisi kanan buku.

Tas manis di pinggang geulis itu bermotif polka

bertulis sage, rosemary, `thyme, pearcly berlatar rok

hitam. Sepatu cantik di kaki eksotik itu bermotif lancip

berhak lima senti warna gelap dengan kombinasi simpul

menarik.

Tapi aku cepat kembali ke arah Gogol,

menengok perseteruan Ivanovich dan Nikiforovich,

tanpa mendongak pada wanita yang baru lewat dan

kini duduk di bangku lain di sampingku. “Ini adalah

tujuanku semula, baiklah, duduk tenang dan mulai lagi

berkonsentrasi pada bacaan,” kata hatiku.

Tapi tiba-tiba ada sedikit perseteruan dalam

hati. Mataku memang tetap setia memandangi buku,

tapi pendengaranku mulai bergerak ke samping

kanan. Menguntit tiap derit dari desah angin. Aku jadi

terheran-heran dan kagum pada kemampuan indraku,

30 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

bagaimana aku menangkap keriut kursi berangka besi

dengan dudukan kayu yang menopang berat tubuhmu.

Aku juga mendengar helaan nafasmu dan jerit kecil

ritsliting tasmu.

Saat semua kembali hening, aku jadi sedikit

salah tingkah. Entah mengapa aku merasa sedang

diperhatikan, merasa dipandangi, merasa dinilai.

Apakah dirimu tahu bahwa ada yang sedang mencuri

keriut kursi kayu, helaan nafas, dan jerit kecil ritsliting

tasmu? Atau apakah ada yang tidak wajar dari dudukku

dan cara membacaku?

Sebenarnya aku ingin mendongakkan muka dan

melumat wajahmu yang menyergap pagi dengan nada-

nada ketuk sepatu dan ayunan ritim tas hitam motif

polka. Pasti sangat cantik. Sesuatu yang membuat desir

lembut di dadaku pastilah cantik. Tapi, “Hei, lihatlah.

Aku mulai tidak konsentrasi lagi pada bacaanku, dan

celakanya aku sudah tak memikirkan lagi gairahku pada

lanskap di depan pandanganku. Warung itu menjadi

segelas kopi basi, setangkup roti tawar tanpa isi, dan

berita sampah yang tetap saja masalah ini, dan ini, dan

ini… Kurang ajar!” pikirku.

Pikiranku berkembang, bukankah seseorang

wanita akan lebih tertarik pada seorang pria tak acuh

yang asyik dengan dunianya sendiri. Menjadikan

lingkungannya hampa. Hmm, seorang wanita melihat

seorang pria yang sedang asyik membaca buku

pada pandangan pertama. Pasti sangat anggun dan

memesona gadis. Pria dengan kaki disilangkan ke atas

kaki lainnya, punggung membentuk sudut 25 derajad

dari sandaran kursi, sebuah buku di tangan kanan dan

pandangan lurus ke buku itu. Jika angin berhembus

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 31

ringan maka pasti akan menghasilkan efek moment of

life time.

Aku hampir saja mematenkan teoriku karena

kemudian kudengar suara keriut itu lagi. Kau berdiri,

langkah-langkahmu mendekat. Pasti kau mau duduk di

sampingku dan mengucapkan “Maaf, bisa saya duduk di

sini?” Atau alih-alih, “Jam berapa ya?” lalu berkomentar,

“Wah kamu suka baca ya.” Lalu menawarkan jabatan

tangannya, mengenalkan nama, ngobrol ke sana-

kemari, tukar nomor telepon, dan… Ah, langkah-langkah

itu semakin dekat, entah kenapa persiapanku jadi

kacau ketika aku belum mengetahui garis besar cerita

bacaanku, bagaimana bila ia menanyakannya, “Aduh,

bodoh sekali aku ini. Baiklah-baiklah, tenang, banyak

jawaban diplomatis yang bisa diberikan, yah seperti,

‘Oh, buku ini, sepuluh halaman pertama sangat menarik,

saya kira ceritanya akan berkembang begitu hebat, tapi

tentu saja saya harus menuntaskan membacanya.’ Well,

jawaban yang diplomatis.”

Bau parfum menyergap kembali. Kali ini menjadi

sangat familiar. Aku sesak menahan nafas, hingga suara

ketukan sepatu berhak lima sentimu melintas. Melintas

begitu saja. Ketukan langkah menghilang di tikungan

bersama surut dentum-dentum kecil perlahan di dada.

Potongan kisah ini melintas begitu saja, tapi

mengapa aku jadi berusaha keras mengingatnya.

* * *

Tak ada yang istimewa dari tikungan Redelia,

waktu itu hingga tujuh bulan kemudian. Aku bertemu

dengan seseorang lagi. Kali ini bukan hanya mengikuti

32 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

gerak langkahnya dan bau harumnya. Aku melihatnya.

Aku baru saja selesai mengikuti matakuliah pertama di

hari Selasa, berjalan mendekati tikungan Redelia untuk

sekedar duduk dan membaca. Namun pandanganku

tiba-tiba tertumbuk pada sosok gadis yang dengan

anggunnya membaca. Ketika angin bertiup semilir ke

arahnya, juntai beberapa rambutnya terangkat dan kau

harus tahu, rasanya semua berjalan dalam seperti slow

motion T V.

Sesosok wajah oval sempurna dengan

kacamata. Pandangannya tekun bersahaja. Sesekali

ia tampak tersenyum, bahkan tertawa kecil, dan itu

menimbulkan desir yang aneh di dada. Aku sangat

tergila-gila mengamati seorang wanita yang asyik

membaca. Menurutku sangat menggairahkan.

Aku berjalan melintasinya, tapi mataku terus

tak berhenti mengamati. Hatiku berbisik kecil, “Hei,

makhluk manis, bukankah pada jam seperti ini tempat

ini adalah singgasanaku?”

Aku duduk di bangku lain di sebelahnya.

Membuka resluiting tas dan mengeluarkan bukuku. Tapi

urung juga kubaca. Kupikir akan tampak tidak wajar bila

ada dua orang yang sedang membaca berseberangan

dengan sikap yang tak acuh dan asyik sendiri.

Aku menghitung ketukan jariku sendiri. Mencoba

mengambil keputusan yang baru terpikir dalam

kepalaku, bagaimana jika aku mendekati perempuan

di sana, duduk di sampingnya, dan mengucapkan

beberapa basa-basi.

Tak ada salahnya dicoba. Paling buruk cuma

tidak ditanggapi dan ditinggal pergi dengan sengutan.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 33

Dan akhirnya aku memutuskan mendekatinya, bertanya

jam berapa dan duduk di sampingnya. Tanpa sadar

semuanya kemudian menjadi akrab dan aku tambah

terpesona saja dengan cara bicaranya. Tidak terlalu

cepat dan menggebu, tapi juga tidak pelan dengan

kesan malas. Gaya bicara sedang, penekanan anggun,

serta artikulasi yang cerdas. Jadilah 15 menit itu

sungguh-sungguh menakjubkan.

Pada jam yang sama keesokan pagi, juga

keesokan pagi lagi, juga keesokan pagi dari esok

pagi aku selalu berjalan ke arah tikungan Redelia.

Dari jarak tertentu aku segera tahu ketika tidak

mendapati sosoknya. Aku segera menjadi lusuh dan

lesu, menghempaskan sekenanya pantatku dan duduk.

Mungkin ia hanya datang tiap minggu. Tapi aku tidak

mau kecolongan. Tiap pagi, tiap sehabis matakuliah

tertentu selesai, aku berjalan di tikungan Redelia,

mengamati dan mencari sosoknya.

Aku menjadi berdebar ketika mendapatinya

masih dengan keasyikan sama. Membaca buku.

Mulailah segalanya seperti gerak lambat TV, bahkan

kini lengkap dengan suara musik pengiring di kepalaku.

Ketika aku mulai mendekatinya, menyapanya dan

saling menukar senyum. Jadilah segalanya cepat sekali

menjadi akrab kembali. Dan benar-benar 15 menit yang

lebih manakjubkan.

* * *

Aku menjadi akrab dengan sosok perempuan

itu. Menjadi akrab dengan debaran hatiku. Tapi aku

masih menahan diri, masih ragu dengan debaran di dada

yang menuntut diluapkan, untuk diutarakan. Tapi suatu

34 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

saat pasti tersampaikan, pikirku. Hingga suatu saat di

perpustakaan kota aku menemukan kembali langkah-

langkah—apakah langkahmu?—datang mendekat.

Aku sedang jongkok mencari dan membolak

balik buku-buku di bagian bawah, entah mengapa

telingaku menangkap irama langkah itu, langkah

yang sama dengan langkah yang kudengar dahulu.

Langkah itu datang dari depan rak yang berhadapan.

Pandanganku kemudian menangkap sepatu motif

lancip berhak lima senti. Bau harum segera menelisik,

Light Blue yang menggelitik hidung yang segera

menuntun mataku meneliti, dari celah-celah rak dan

deretan buku. Instingku mengatakan bahwa ini adalah

perempuan pertama yang kutemui di tikungan Redelia

hampir delapan bulan yang lalu.

Kali ini tidak ada Pertengkaran dan Kisah-Kisah

Lain dari Gogol, jadi apa yang menghalangiku untuk

tidak mendongak? Ketika aku perlahan berdiri, kulihat

tas hitam motif polka bertulis sage, rosemary, `thyme,

pearcly yang sama. Tapi aku jadi terkejut dan terpaku

ketika mendapati sebentuk wajah di sana. Wajah yang

segera saja tersenyum ke arahku, menyapa dengan

gaya bicara yang cerdas, tidak cepat dan menggebu,

tapi penuh antusias dan anggun.

Entah apa yang ada dalam hatiku, walaupun

aku masih bertanya-tanya, apakah kau kekasihku, orang

yang sama dulu, waktu aku enggan mendongakkan

kepalaku ketika membaca buku? Segalanya jadi lindap

dan aku di penuhi kebingungan.

Kebingungan yang mengakar selepas

langkahmu hilang. Setelah surut dentum pasang di

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 35

dada, seorang sahabat datang, menyodorkan keresahan

di balik peristiwa kecil itu. Sahabat yang tiba-tiba

menghenyakkan pantat yang menopang delapan puluh

kilogram beratnya hingga menimbulkan keriut keras.

Aku cepat berpaling, meninggalkan Nikolai Gogol,

mencampakkan sebentar perseteruan Ivanovich dan

Nikiforovich, Aku ingat gerak bibirnya, kata-kata yang

membuatku bertanya-tanya hingga sekarang, “Kalau

aku, atau kamu lagi kesepian dan ada duit banyak, pasti

akan kuhubungi gadis yang baru lewat tadi, biar aku

juga merasakan selera teman tidur para pejabat,”

* * *

Banyak hal antara yang bertentangan kadang

sangat kabur batasannya, seperti antara benci dan cinta,

benar atau salah, juga persoalan bodoh atau pintar. Aku

yakin akan bisa mengingat setiap wajah yang pernah

kupandang. Wanita di tikungan Redelia, dengan tas

hitam motif polka, dan berparfum Light Blue. Tetapi

aku tahu bahwa yang dimaksud pohon mangga oleh

bocah itu sebenarnya pohon sawo yang belum musim

berbuah. Pagi-pagi sebelumnya, tas belanjaan seorang

ibu robek hingga mangga-mangga di dalamnya

tumpah berhamburan. Satu buah mangga tercecer di

balik pohon, luput dari perhatian mata si Ibu.

Bodohkan si bocah? Sekarang aku dua puluh

tahun lebih tua dari bocah itu, dan aku juga kurang

mengerti apakah hal ini menjadikanku lebih bodoh

darinya jika saat ini aku yakin bahwa kau kekasihku

adalah wanita yang sama di tikungan Redelia dan

aku tetap akan menyodorkan cincin pernikahan di

genggamanku.

36 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 37

Obituari Kota

/1/

Mengamati kota tua yang bergerak lamban,

mengarungi usia dalam derap perlahan. Meski aku

generasi entah ke berapa, aku tahu dari pendahuluku,

bahwa kota ini adalah kota tempat seorang pencuri

yang dibabtis menjadi pahlawan. Dan pahlawan di kota

ini tidak akan pernah surut untuk tampil ke permukaan.

Ya, hanya di kota ini.

Aku sudah ratusan kali singgah di kota

ini, rutinitas menyegarkan dan cukup menghibur.

Persinggahan yang menyenangkan. Kota ini adalah kota

favoritku. Sudah kujelajahi seluruh daerah dan kota di

Bumi. Senang sekali akhirnya rute perjalananku singgah

di kota ini. Kota yang selalu dalam keadaan madya.

Selalu gamang, dan sama sekali rapuh.

Aku ingat ketika pertama kali manusia rakit

masuk melalui muara dengan segala resiko yang tak

terbayangkan. Masuk ke kegelapan yang tak terperi

ujungnya, menerobos udara dingin tanpa tahu arah.

Tapi mereka harus melakukannya, toh taruhannya tetap

sama. Mati tanpa matahari. Matahari yang tertutup

kabut tebal yang tiba-tiba saja mengurung selama

hampir empat hari. Dan segalanya menjadi kian sulit

ketika api juga padam dan suhu dingin segera menusuk

tajam ke bilik terdalam sel-sel tubuh. Manusia rakit yang

mencari matahari. Semua ada dalam ingatanku.

38 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

/2/

Napas Kang Pardi ngos-ngosan mengayuh becak

melintas di jalan depan stasiun. Ia menoleh sebentar

ke kanan, ke arah bentangan gedung pertokoan yang

baru diresmikan. Sebuah mal berdiri megah. Begitu

mentereng. Ia jadi ingat cuaca gerimis kecil pagi,

ketika remang puluhan cahaya petromaks mengukir

lindap bayang kesibukan di genangan-genangan aspal

berbecek: Pedagang-pedagang yang luber hingga

badan jalan, serakan pembeli yang bersinggungan

damai dengan armada bus pagi yang menuju terminal,

angkutan-angkutan kota berbagai jurusan, mobil

pribadi dan mobil kantor yang klimis, serta motor-

motor yang merayap di sisi-sisi badan jalan, mencari

celah. Keruwetan dan kesemrawutan harian yang sangat

mengesankan untuk dirindukan.

Di sudut-sudut matanya yang jauh merayap

di bilik-bilik ingatan, pada jam seperti ini Kang Pardi

biasa dengan sigap membantu isterinya mengangkat

dagangan yang tidak laku, meja kayu, dan terpal, ke

atas becak. Mereka sudah pulang sebelum petugas

kebersihan dan pamong praja menertibkan. Pulang

dengan Iring-iringan bau segar umbi-umbian, buah-

buahan, juga sayur-sayuran. Semuanya berbaur dengan

serakan bau limbah tahu, amis ikan, dan juntai jerohan

ayam potong.

Kang Pardi mulai kehilangan aroma yang

selalu menjadi menu utama saat melintas waktu itu. Ia

menoleh galau ke kanan, ke arah bentangan gedung

pertokoan yang baru diresmikan. Sebuah mal yang

begitu mentereng. Mal yang berdiri di atas reruntuhan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 39

pasar lama yang terbakar hebat beberapa waktu lalu.

Sejak kebakaran, semuanya hilang. Istrinya tak lagi

berjualan di pasar, berganti usaha warung nasi di depan

rumah sewa mereka.

Sesampainya di rumah, Kang Pardi memarkir

becak di depan rumah lalu masuk ke dalam. Ia

hempaskan pantat di kursi. “Anak-anak sudah bangun

Bu?” tanyanya sambil melepas desah capek. Tak ada

jawaban, di ruangan itu memang tidak ada siapa-

siapa. Tapi Kang Pardi tahu benar isterinya paling

sedang membereskan sesuatu di kamar sebelah atau

menyiapkan masakan di dapur.

“Seperti permainan saja,” ocehnya. “Bagaimana

mungkin seseorang tega membakar pasar tempat

orang kecil mencari nafkah dan kehidupan murah demi

gedung besar yang ringkas, harum, bersih, megah,

dan tidak semrawut. Yah, asal ingat saja, pasar hasil

mengelabui orang pasti tak akan bisa tahan lama.”

Tetap tak ada jawaban dari dalam, Kang Pardi

sedikit gusar, ia berujar kembali, “Jam segini ya mbok

dibangunkan.” Ibu keluar dari kamar tidur, berjalan tanpa

menoleh, melangkah masuk ke dapur, mengambil air

minum, meletakkanya di meja depan Kang Pardi tanpa

sepatah kata, lalu bergegas kembali ke dalam. Beberapa

detik kemudian suara Ibu di kamar baru terdengar. “Ayo

bangun, nanti terlambat ke sekolah, Le, jangan malas-

malas!”

Thole menggeliat, “Jam berapa sih, Buk.”

“Ayo bangun!” ulang Ibu tidak sabar sambil

mencubit paha Thole yang kurus kering. Thole meringis,

mengerjap-kerjapkan mata dan segera bangun, ia

40 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

sambar handuk lalu pergi ke kamar mandi. Bersiul-

siul, Thole melepas baju dan menggantungkannya

di paku. Paha yang dicubit ibunya masih menyisakan

panas, bukan karena cubitan ibunya keras, tapi karena

sambal pecel. Ibunya tak pernah cuci tangan sehabis

meracik bumbu pecel. Thole mengambil gayung dan

menyiramkan air di sekujur tubuhnya. Segar segera

merayap. Ia raih sabun, menggosok tubuhnya rata.

Tubuh yang kurus kering. Tubuh yang jarang mandi

matahari pagi

Ia mendongak ke dinding kaca jendela kamar

mandi, ia mengamati ke luar, tersenyum kecut, “Percuma

ada jendela, sinar matahari toh tak tembus kemari,

tertahan gedung di seberang. Dasar gedung jelek, apa

kamu ndak tahu telah menghalangi matahari masuk ke

kamar mandiku.”

/3/

Kabut rapat menyelimuti muara. Tak seorang

pun mampu menatap tembus ke depan lebih dari

setengah meter. Bahkan tangan juga jari kakimu yang

tak bergerak ke mana-mana pun tidak terlihat, hilang

dari pandangan. Aji Saka menghirup udara dingin

perlahan, ia tak dapat mengamati awaknya dalam kapal.

Para manusia rakit. Terdiri dari delapan orang. Beberapa

sudah sangat lemah. Api terakhir telah padam sejak tiga

hari lalu. Ia ragu akan memasuki muara. Daerah yang

lindap dan gelap. Ia butuh waktu untuk menguatkan

tekad menyisir kabut, memunculkan kembali matahari

yang menghilang.

“Bagaimana, awakku, apakah kita terus

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 41

memasuki muara?” tanyanya.

“Sebaiknya kita mengirim terlebih dahulu utusan

memasuki muara, memastikan petunjuk yang kita cari

benar-benar ada, sekaligus untuk melihat keadaan

medan sungai,” usul seseorang di belakangnya.

“Siapakah dari kita yang bersedia berangkat

menjadi utusanku?”

Seseorang yang baru memberi usulan bangkit

dan mendekat ke arah Aji Saka, memegang pundaknya,

seraya mengucapkan, ”Aku bersedia.”

“Pergilah, utusanku. Carilah petunjuk untuk

menemukan sumber cahaya, carilah penyebab matahari

terlambat muncul empat hari ini,” ucap Aji Saka lantang.

Perlahan utusan itu pergi dengan kano kecil

menyisir muara. Hilang di balik kabut pekat. Aji Saka

menghela nafas, membalikkan badan ke arah para awak

rakitnya. “Kini kita hanya bisa menanti dan menunggu,”

ucapnya sembari menekuk lutut dan bersimpuh,

menunggu utusannya datang kembali.

Sehari terlewati, dingin makin menghunjam,

persediaan makanan menipis. Seseorang di belakangnya

bangkit menepuk pahunya, “Sudah terlalu lama utusan

pergi, kemampuan bertahan kita semakin sempit. Biar

aku menyusul memasuki muara.”

Aji Saka hanya memandang kabut di pelupuk

matanya, “Pergilah, utusan keduaku. Carilah sumber

cahaya, carilah penyebab matahari tidak terbit lima

hari ini.” Utusan itu pergi dengan kano menyisir muara,

hilang di balik kabut.

Sehari terlewati lagi, utusan pertama tidak

42 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

kembali, begitupun utusan kedua. Karena tidak sabar Aji

saka memutuskan dia sendiri yang berangkat menyusuri

muara. Perlahan Aji saka mengayuh kano meninggalkan

para manusia rakit yang menanti keberhasilannya

mendapatkan cahaya api dan memunculkan matahari.

Seharian dia mengayuh kano, kelelahan

merapati tubunya, ia lintasi sungai secara perlahan

hingga masuk ke dalam muara. Di suatu kelokan

sungai pandangannya tertuju ke suatu cahaya kemilau

yang bertengger di atas dahan: Seekor burung yang

berkilauan cahaya. Bertengger dengan anggun. Burung

kecil langsing dengan bulu-bulu kemilau panjang.

Burung itu memperhatikan ke arahnya, lalu berkata,

”Apa yang sedang kau cari?”

Aji Saka terbelalak tak percaya pada

pendengarannya, “Aku diutus menyelamatkan kotaku

untuk mengenyahkan kabut dan kembali memunculkan

matahari. Apa kau tahu wahai burung nan elok,

bagaimana caraku melakukannya?”

Burung itu tampak sedih, “Ini semua karena

kesalahanku, aku burung muda yang tidak mengerti

kesetiaan, telah kupikat seekor burung langit istimewa

dengan kesederhanaan budi pekertiku. Aku tahu dia

hanya akan tertarik dengan muslihat itu. Aku memintanya

menjadi belahan jiwaku. Aku melakukannya demi

mendapat keabadian hidup dengan bercinta dengan

burung langit. Ia memakan jeratku, kesederhanaanku.

Burung langit cantik adalah burung pengemban tugas,

terbang ke berbagai penjuru kota di seluruh dunia, ia

hanya dapat singgah di satu tempat setahun sekali.

‘Apakah cintamu mampu kau peram dan luapkan

setahun sekali ketika aku tiba kembali di kota ini?’

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 43

katanya padaku, ragu pada kesungguhanku.

“Aku burung muda yang sedang jatuh cinta,

tak akan ada yang mampu membuatku memadamkan

cinta ini, percayalah akan kutunggu gerimis purnama

kedatanganmu, hingga akhir hayatku, bercintalah

denganku,” kata burung muda. Burung langit kemudian

menghadiahkan untaian bulu-bulu berkilauan pada

burung muda yang membuatnya abadi.

“Tapi aku mengkhianati janjiku, pada gerimis

purnama yang telah dijanjikan. Wahai manusia pilihan,

tolong sampaikan untaian bulu-bulu kemilau ini pada

ceruk gunung di ujung hulu, gunakan sinarnya untuk

menerangimu di kegelapan.”

/4/

Ibu memperhatikan tingkah aneh anaknya yang

melamun dan bicara sendiri. Pada suatu saat, sambil

berjalan pelan Ibu masuk ke dapur dan menggamit

Kang Pardi, “Lihat Pak … Thole,“ katanya sambil memberi

isyarat telunjuk di bibir tidak berisik. “Dia main-main

dan bicara-bicara sendiri. Apa dia sehat-sehat?”

Kang Pardi hanya tertawa, “Ibu ini, saya kira apa,

anak kecil ya biasa ngomong dan main sendiri. Lumrah.”

Ibu mengibaskan tangan kembali ke dapur,

“Tapi lihat dulu.”

“Bapak sama Ibuk kok ngumpul di situ, ngomong

apa?” kata Thole memergoki tingkah bapak-ibunya.

“Bapak tahu ndak, mengapa laron jika keluar dari dalam

tanah selalu ingin mendekati cahaya? Bahkan rela

sampai terbakar oleh api?” tanya Thole.

44 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Kang Pardi melangkah mendekat sambil

menjawab, “Oh, binatang yang sering muter-muter di

lampu itu kan, Le. Ya memang dia suka begitu kan?

Yah sudah kodratnya, dia akan mendekati benda di

sekitarnya yang mengeluarkan panas atau, seperti

lampu atau api. Itu namanya siklus hidup.”

“Kata Bu Guru juga begitu, tapi Thole kasihan

sama Laron, lihat saja. Laron kan binatang yang keluar

dari sarang di gundukan tanah, lalu terbang seperti

ratusan pesawat tempur, sekarang di sini ndak ada

tanah, semua sudah ditutup sama aspal, paving, bata,

semen, porselen. Terus laron lewat mana? Mana bisa

nembus?“

“Yah ndak apa-apa, Le. Kan cuma Laron,” timpal

ibunya.

“Ya kasihan. Terus siklus hidupnya bagaimana?

Besok Thole ndak mau bangun rumah yang lantainya

diporselen atau disemen.”

“Lha terus pakai apa Le, rumahnya?”

“Ya ndak pakai porselen sama semen. Biar

Laron bisa keluar dari dalam tanah, biar matahari bisa

masuk ke kamar mandi, ndak kayak kamar mandi Thole

sekarang,” jawab Thole sambil berlari pergi.

/5/

Namaku Tundra, burung hujan. Kusiram

kedamaian di seluruh kota di seluruh penjuru dunia.

Tubuhku langsing kecil dengan bulu-bulu berkilauan.

Aku menjelajah kota-kota. Suatu ketika aku jatuh

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 45

cinta pada burung muda yang memesonaku dengan

kesederhanaan cintanya. Kuserahkan seluruh hati ini

padanya. Aku bahkan memberikannya kehidupan abadi,

tapi dia mengkhianatiku, hanya memanfaatkanku. Aku

kecewa.

Hingga pori-poriku mengundang ribuan

gembala-gembala awan mendung. Aku malu telah

mempercayai buaiannya. Kekecewanku menjadikan

awan berarak-arak memenuhi angkasa, menjadi awan

gelap yang menutup cahaya matahari. Kesedihanku

menjadikan cuaca menjadi dingin dan beku. Aku

mengurung diriku di ceruk gunung di ujung sebuah

muara. Kabutku menguasai daratan. Aku tidak bisa

mengendalikannya lagi, aku tak memiliki bulu-bulu

kemilauku. Hingga aku melihat ada manusia dengan

kemurnian jiwanya mencoba sampai ke tempatku.

Ia membawakanku untaian selembar buluku yang

berkilauan dan menuturkan kisah pengalamannya. Ia

ingin kabut lenyap dan matahari kembali bertahta.

Pemuda itu menularkan semangat padaku

bahwa kesedihan dan kekecewaan tidaklah berarti

apapun. Ia menyadarkanku bahwa keindahan cinta,

adalah ketika kita mencintai, dan akan tetap selalu

mencintai. Kedamaian membuat sayap-sayapku mulai

tumbuh lagi. Kemarahanku yang berkubang di sumur

dasar gunung yang telah menelurkan kabut tebal ke

saentero kota dan memperangkap jalan sinar matahari

menjadi sirna.

Kini aku singgah lagi di kota ini, kota di mana

seorang pencuri yang diabadikan namanya sebagai

pahlawan. Kota yang semrawut indah. Kota yang

penuh panas matahari, panas yang cukup membuat

46 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

air menguap menjadi buih hujan. Bahkan sampai bulan

Juni. Aku tahu segalanya. Karena aku yang mengatur

hujan di kota ini dan seluruh kota lainnya. Menaburkan

segenap kesegaran dari kegerahan. Menaburkan hujan

di tubuh kurus si Thole yang berjoget riang karena

gedung mal di seberang rumahnya terbakar.■

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 47

Seburut Perempuan

Riak air kran berhenti, pintu kamar mandi

terbuka. Wajah perempuan dengan semu pucat muncul,

berjalan ke muka cermin. Sejenak mematut-matut diri di

sana, dari depan, dari samping, lalu duduk. Tangannya

menopang dagu, menatap wajahnya di cermin.

“Apa aku terlihat gemuk?” katanya, “Aku pasti

gemuk, bukan?”

Ia memutar posisi duduk menghadap ke

ranjang, ke arahku. Wajahnya murung lucu. Aku

tidak menanggapi, hanya tersenyum. Tapi itu malah

membuatnya sewot. Ia berdiri dan mengambil tempat

di bibir ranjang, di sampingku.

“Aku kegemukan, aku gemuk.”

Aku masih diam, bangun dari tengah ranjang

dan duduk di sebelahnya.

“Aku kegemukan, aku terlihat gemuk,”

rengeknya.

Aku belai rambutnya. “Aku mencintaimu,”

bisikku sambil mengecup keningnya.

Itulah yang bisa kukatakan. Sejak beberapa

minggu, tiap pagi ia muntah-muntah di kamar

mandi dan mengeluh kegemukan. Mungkin ini yang

dinamakan keanehan-keanehan yang bakal dialami

perempuan hamil muda.dan berimbas pada laki-laki.

48 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Aku bakal punya anak. Jadi ayah.

* * *

“Sebagai istri saya paling tahu tentang Mas Bram,

tentang apa kebutuhannya, tentang apa keinginannya.

Apa yang mengganggu pikirannya, saya tahu benar.

Tentang kondisi kesehatannya yang ia sendiri jarang

perhatikan, saya tahu benar,” kata perempuan yang

selalu tampak awet muda dan bugar dalam suatu

diskusi.

“Saya sangat peduli terhadap gaya hidup sehat.

Jadi segala sesuatu secara rutin terjadwal dalam agenda

sehingga tiap waktu dapat saya isi dengan aktivitas

yang menyehatkan badan,” tambahnya.

“Lalu apa rahasianya Jeng dapat tetap bugar,

tetap terlihat segar. Yah, bagi-bagi tipsnya dong, Jeng?”

tanya seseorang.

“Sederhana kok ibu-ibu, yang penting kita harus

komitmen terhadap apa yang kita sudah konsep untuk

diri kita. Jangan kompromi. Lima kali dalam seminggu

saya rutin ke gym. Olahraga kardiovaskuler. Ibu-ibu

bisa treadmill agar jantung dan pembuluh darah tetap

prima,” jawabnya. Perempuan itu menebar senyum dan

sikap anggun. Tubuhnya yang segar dengan tinggi 160

senti dan berat 50 kilogram tampak masih kencang dan

sintal di usia empat puluhan.

“Selalu ada waktu untuk sehat. Lagi pula

daripada terus di rumah atau pergi tanpa sesuatu yang

jelas manfaatnya, mending ibu-ibu menjadwalkan

waktu rutin untuk melakukan aktivitas yang sehat.

Lagipula aktivitas itu dapat juga mengusir kebosanan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 49

lho ibu-ibu,”

Ibu-ibu terkagum-kagum melihat sosok di

depan mereka. Mereka biasa menyapanya Jeng Bram.

Jeng Bram yang enerjik, cantik, dan menggairahkan,

walaupun telah berusia baya. Dan mereka dengan tekun

mendengar perkataannya.

Di wajah Jeng Bram belum ada kerutan-kerutan

tanda kejenuhan yang biasa dialami wanita seusianya.

Kulitnya masih segar, sesegar remaja yang baru

mengenal matahari pagi.

“Untuk menjaga berat, jangan lupa

mengkonsumsi asupan yang cukup. Saya tiap pagi

minum jus murni tanpa gula. Menu harian selain dari

biasa saya tambahkan beras merah. Pelengkap makanan

jangan dilupakan juga lima butir putih telur, dada ayam,

sayur, dan buah. Itu kebutuhan dasar tubuh.”

Begitulah, waktu luang seusai acara seminar

itu jadi ajang wawancara dadakan dengan Jeng Bram,

saling tukar pengalaman. Sudah puluhan kali hal ini

menjadi semacam rutinitas. Aku hanya bisa menengok

jam tangan. Sudah semakin sore. Akhir pekan yang

sama di tiap pekan.

Kadang jadi nyinyir juga mendengar puluhan

kata yang merangkai satu tema tetap cantik, tetap awet

muda, dan tetap mesra dengan keluarga. Kadang aku

bisa menebak apa yang akan dikatakannya. ”Jika perlu

minum suplemen dan satu sendok madu sehari supaya

stamina tetap terjaga,” gumamku, menebak apa yang

akan dikatakannya, tapi agaknya tidak. Atau belum,

mungkin. Tapi pasti nanti juga keluar kata-kata tersebut.

50 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

“Hidup jangan dibebani dengan hal-hal yang

kurang berarti, harus ikhlas. Sebagai ibu rumah tangga,

juga wanita karir, kita harus mampu menikmati peran

yang kita jalankan. Tidak mudah, tapi tetap suatu tugas

mulia.”

Begitulah, dan ramah tamah berakhir, syukurlah.

Tetap dengan senyum kami berdua pulang. Di dalam

mobil senyumku kehabisan energi. Hahh, napas panjang

terlepas, suntuk mulai menjerang. Tapi istriku tetap saja

tersenyum. Well, begitulah perempuan superku, seperti

tak kenal lelah, tak kenal menyerah.

Di tengah perjalanan pulang, isteriku masih

sempat mampir ke swalayan depan perumahan, membeli

ini itu untuk menu nanti malam. Semua tampak wajar,

atau memang wajar. Setelah belanja kami pulang. Ia

langsung membuka belanjaan dan memasukkannya ke

pendingin tanpa memanggil si Imah, pembantu kami.

“Papa ingin menu apa untuk malam nanti?”

“Apa aja deh, Ma,” jawabku malas.

Aku langsung masuk kamar tidur, menggantung

jas dan kemeja. Gerah. Masuk ke kamar mandi. Kucuran

air di kepala membuat segala hal tampak dengan cerah

muncul. Pria paruh baya dengan istri yang cantik,

segar, dan menggairahkan. Seluruh mitra kerja memuji-

muji istriku. “Wah beruntung sekali Mas Bram, punya

istri yang tetap prima, seperti punya istri yang tetap

remaja terus. Pantas Mas Bram tetap panas!” itu selalu

kata mereka. Mereka lalu menghubung-hubungkan

dengan ungkapan yang populer, yang saat ini juga

memerangkap di lidahku: Hidup dimulai di usia 40. Yah,

menilik pencapaian kesuksesan, mungkin itu benar. Tapi

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 51

yang utama sebenarnya di usia 40 pemikiran seorang

pria mencapai puncaknya. Rasionalitas di titik tertinggi.

Kusambar handuk, mengelap wajah dan tubuh di

depan cermin. Sambil mengeringkan rambut, kusentuh

wajahku, mulai tampak alur kerut di sana. Aku segera

tinggalkan cermin. Keluar dari kamar mandi, berganti

pakaian dan keluar kamar. Istriku masih sibuk membaca

majalah. Aku tidak heran, semuanya sudah terjadwal

bagi istriku. Membaca adalah sarananya agar otak

tetap stabil bekerja, tetap gaul. Sore seperti ini istriku

membaca majalah, malam sebelum tidur ia membaca

novel. Aktivitas membaca sore hanya akan absen tiap

malam Minggu dan hari Minggu. Ia menjadwalkan

yoga, pilates dan spa di hari tersebut.

Aku mendekatinya. Dari belakang kupegang

bahunya. Ketika menoleh kucium keningnya.

“Papa mau ke mana?”

“Ada urusan sebentar, nanti sebelum makan

malam Papa sudah pulang,” jawabku.

“Besok sore jangan lupa antar Mama ke toko

buku cari novel?”

“Oke, Papa pergi dulu,” kucium lagi kening

istriku lagi.

Aku melaju di atas mobil menuju pusat

kota, ponselku beberapa kali berdering. Aku tidak

mengangkatnya. Sudah lama aku tidak merasakan

perasaan ini. Berdebar-debar. Aku punya dua anak yang

sudah besar. Keduanya duduk di bangku kuliah dan

aku sudah jarang ketemu. Ponselku berdering lagi, kali

ini kuangkat, ”Sebentar, Mas masih dalam perjalanan.”

52 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Kudengar rengekan kecil di sana. Aku tersenyum

mendengar ancamannya dari seberang telepon.

Kubayangkan riak air kran yang deras dan debur

kecipak air dari dalam kamar mandi. Dan agak lama

setelah pintu kamar mandi terbuka. Wajahnya yang

manis dan menggairahkan dengan semu pucat muncul,

berjalan ke muka cermin.

Bisa dipastikan untuk beberapa saat selalu

saja mematut-matut diri di sana, dari depan, dari

samping, lalu duduk. Berdiri lagi seakan-akan ingin

meyakinkan lagi. Mematut-matut bayangannya. Tak

sungkan menggusur handuk yang menutupi tubuh ke

lantai. Cemberut wajahnya menatap cermin lagi, dan

aku dapat menerka apa yang akan kau katakan dalam

bayanganku ini, selalu saja, “Apa aku terlihat gemuk?

Aku pasti gemuk bukan?”

Aku yang masih diam. Biasanya ini membuatnya

tambah sewot, dan hanya mengulang lagi, “Aku

kegemukan, aku terlihat gemuk.”

“Aku mencintaimu,” bisikku sambil mengecup

keningnya.

Dan bayangan itulah yang selalu hangat

kurindukan. Sejak beberapa minggu tiap pagi kau

muntah-muntah di kamar mandi dan mengeluh

kegemukan. Sudah lama sekali aku tidak merasakan

perasaan seperti ini, dibutuhkan sebagai laki-laki,

sebagai suami. Istriku cantik, tetap menarik dan

menggairahkan di usia seusiaku. Tapi bersamanya,

perempuan lain yang bakal memberiku posisi sebagai

ayah lagi sungguh menjadi energi tambahan yang kuat.

Sekarang aku coba mengeja apa-apa persiapan menjadi

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 53

ayah: Mengantarnya ke dokter, senam kesehatan ibu

hamil, atau belanja keperluan bayi.

Aku belokkan mobil ke arah deretan rumah

sederhana yang apik. Berhenti di rumah nomor 33.

Saat aku turun dari mobil, pintu pagar sudah terbuka

dan perempuan itu, yang baru kubayangkan, dengan

senyum yang sedikit kesal menyambutku. Perempuan

yang mengingatkanku kembali sebagai laki-laki.

Dan untuk malam ini, lagi, seperti beberapa malam

sebelumnya, aku tidak dapat pulang tepat sebelum

makan malam.

54 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 55

Lukisan Kencana

Sebuah jendela selalu mengingatkanku pada

bingkai lukisan, dan apa yang terpampang di luar jendela

adalah kilasan-kilasan panorama yang merambah

pikiran. Seperti saat ini, kubuka jendela kamar masa

remajaku, dan mencoba berbaring di ranjang. Jendela

yang terbuka separuh memperlihatkan tembok kamar

mandi tanpa plester semen di sisi kanan dan sisi

kiri bawah jendelaku hanya ada genting berwarna

kehitaman tetangga yang beberapa bagiannya melorot.

Juntaian dahan hijau daun pisang tampak di atas

genting, berayun-ayun tertiup angin. Di belakangnya

lagi seluruhnya hanya ada langit.

Jika lebih dipikirkan, engkau pasti juga

memahami apa yang kupikirkan sekarang. Betapa

rendah rumah dengan juntai dahan hijau daun pisang

yang berayun-ayun tertiup angin di atasnya itu. Rumah

dengan genting yang beberapa bagiannya melorot dan

berwarna kehitaman. Sekarang aku melihatnya dari

jendela.

Posisiku sekarang tidur di ranjang, jadi sudut

pandang mataku tidak terlalu tinggi, paling cuma 45

derajat. Jendelaku juga tidak terlalu tinggi. Tapi dari

tempatku terlentang memang aku cuma dapat melihat

genting kehitaman tersebut. Dinding di bawahnya

sama sekali tidak terlihat dari posisiku. Tapi aku ingat,

56 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

di rumah yang tidak terlalu tinggi tersebut, aku pernah

dengan gugup-gembira menanggalkan pakaianku.

Bukan hanya pakaian luar, namun juga pakaian dalam.

Aku duduk di sofa kayu rotan kuno yang sangat kokoh,

tidak bergoyang dan berderit sedikit pun. Dan mata

pria itu segera menelisik tubuhku dengan seksama.

Menjelajah lekuk-lekuk tubuhku yang baru saja ranum.

* * *

Pak Randu berwajah apik, berdagu tegas,

beralis lebat. Tiap mengajar selalu berpakaian hitam.

Badannya kecil kurus dengan tinggi sedang, tapi

memiliki suara bagus. Suaranya tidak lemah tersuruk-

suruk namun lantang dan berisi. Suaranya tegas seperti

deru motornya.

Pak Randu sudah beristri, tapi istrinya tidak di

kota ini. Di kota sebelah. Pak Randu sendiri pulang ke

istrinya tiap hari Sernin dan Selasa. Rabu pagi ia sudah

muncul di sekolah, mengajar Kesenian. Sabtu dan

Minggu ia melatih anak-anak melukis dan teater. Pak

Randu seorang pelukis handal. Karya-karyanya sudah

banyak menghiasi lobi-lobi kantor atau pameran-

pameran lukisan.

Waktu itu aku hanya anak sekolah, baru

saja menginjak kelas satu sekolah lanjutan atas.

Gadis seusiaku biasanya sedang senang-senangnya

mengoleksi baju-baju bagus, berdandan, dan menggila-

gilai cowok tampan, manis atau macho. Beberapa

teman-temanku bahkan sudah punya pacar kakak kelas,

teman satu kelas, maupun sekelas. Aku belum. Tapi

bukan karena tidak ada yang tertarik padaku.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 57

Menurut teman-temanku, wajah dan tubuhku

mirip penyanyi dangdut Dewi Persik. Aku hanya tertawa

ketika mereka mengatakannya di depanku. Entahlah,

hal itu sama sekali tidak berpengaruh kepadaku. Saat

itu yang kupikirkan di luar kelas maupun di dalam kelas

adalah bel pulang. Aku ingin cepat pulang. Bel pulang

adalah hal terbaik saat sekolah.

“Bagaimana pelajaran hari ini, Ratih?”

“Baik, Pak,” jawabku

“Kamu tidak kelamaan nunggu kan?”

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan

itu. Segera saja aku duduk di belakang jok motornya

sambil tersipu. Sejak seminggu ini aku selalu pulang

bersama motor Pak Randu. Rumah kami bersebelahan.

Ketika bel pulang berbunyi aku segera berjalan ke

halaman parkir guru dan bertemu Pak Kadang aku

sering terpeleset menyebutnya Pak Rindu. Konyol sekali.

Tapi itulah apa ungkapan yang tepat ketika masa terbaik

sekolah muncul.

“Datanglah ke rumah, nanti akan kulukis kamu

buat kenang-kenangan,” katanya sehabis aku turun

dari jok motor. Rumahnya ada di belakang rumahku,

bahkan gentingnya nampak dari jendela kamarku,

bahkan dari pintu belakang aku hanya perlu melangkah

10 meter melewati jalan tikus. Tapi aku belum pernah

melakukannya. Malu. Tapi aku senang sekali dengan

kata-katanya itu. Hatiku berbunga-bunga. Pias panas

matahari tak melunturkan senyumku. “Lain kali ya, Pak,”

jawabku. Dan suara motornya yang setegar suaranya

kulumat habis dalam pandangan, hingga akhirnya

hilang di tikungan.

58 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

* * *

Waktu malam hunjam, dan langit bertabur

bintang. Sayap kelam merambat halus. Bulan hanya

menggantung tak bersuara. Aku melihat situasi. Kulihat

ayah dan ibu sudah tertidur. Bersijingkat aku diam-diam

mengendap ke dapur, ke pintu belakang. Mengambil

kunci di atas lemari es. Kutengok kembali ke dalam

masih sepi. Segera kubuka pintu, dan dari luar kukunci

kembali. Aku mencoba menyesuaikan dengan gelap.

Aku menyusuri jalan setapak di gang sempit, hanya 10

meter hingga sampai di belakang rumah kontrak Pak

Randu. Kuketuk pintu pelan. Pak Randu menengok

dari jendela lalu membuka pintu. Wajahnya tampak

terheran-heran. Aku senang sekali bisa masuk ke dalam

rumah Pak Randu.

Beberapa hari sebelumnya, setelah ia

memintaku untuk dilukis, Pak Randu menghadiahkanku

sebuah lukisan paras wajahku sendiri. Lukisan yang

sangat menawan. “Wajahku tidak secantik ini,” protesku.

Pak Randu malah cepat memprotes balik, “Lukisan itu

tidak ada seberapanya dibanding kecantikan kamu

sebenarnya lho. Pak Randu cuma mengingat-ingat

wajahmu.”

Aku jadi tersanjung, lalu ia menawariku jadi

model lukisannya. Aku senang sekali. Sudah lima

lukisanku yang dibuat oleh Pak Randu. Semuanya

sangat artistik, berkesan anggun dan cantik. Pak Randu

mulai mengenalkanku pada karya-karya lukisan dunia.

Ia tunjukkan beberapa hasil karya pelukis mancanegara.

Beberapa hasil lukisan yang ia tunjukkan berobyek

perempuan yang tanpa busana tapi masih dengan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 59

kesan anggun dan memesona. “Kamu mau dilukis

seperti itu?” tanya Pak Randu. aku tentu saja tidak mau,

malu. Tapi aku tidak menjawab waktu itu. Hingga tiba-

tiba saja aku berani muncul di rumah kontraknya itu

dan mengiyakan.

Pak randu mulanya kaget, karena hari sudah

malam. Takut nanti ada yang memergoki dan salah

persepsi. Tapi daripada terus berdebat dan malah

diketahui orang, Pak Randu akhirnya menyiapkan

peralatannya. Pak Randu mempersilakanku bersiap di

sofa rotan yang ada di sudut kamar. Ia mulai menata

kanvas sembari memberi isyarat agar aku melepas

pakaianku. Sebenarnya aku gugup dan malu, tapi

tanganku tetap saja bergerak melepas pakaian tidurku,

juga celana tidurku. Pak Randu mendekatiku, aku

tambah gugup. Tapi ia hanya membantuku melepas tali

penutup dadaku hingga aku benar-benar tanpa busana.

Aku manut saja ketika aku dibaringkan dengan posisi

yang diinginkannya dan berdiam untuk sementara

waktu.

Aku gugup tapi tersenyum gembira di sana.

Aku duduk di sofa rotan kuno yang sangat kokoh,

tidak bergoyang sedikit pun. Mata Pak Randu menelisik

tubuhku dengan seksama, menjelajah lekuk-lekuk

tubuhku. Tangannya gesit memainkan kuas di atas

kanvas.

* * *

Pak Randu pindah mengajar beberapa minggu

setelah kejadian tersebut. Ia kembali ke kotanya Aku

tidak mengetahui alasannya. Hanya saja aku merasa

kehilangan. Aku meneruskan sekolah hingga lulus dan

60 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

melanjutan kuliah di kota. Sejak itu aku menyukai lukisan.

Bila ada pameran lukisan aku selalu menyempatkan

diri melihat-lihat. sosok dalam lukisan yang membawa

sentuhan mendebarkan dalam hatiku.

Kemudian aku bertemu dengan seorang

pelukis muda. Senior di jurusanku yang baru saja lulus.

Sepertinya ia tertarik padaku. Ia sering apel ke tempat

kos, berbincang-bincang masalah seni, khususnya seni

lukis. Namanya Mas Pandu. Aku bingung, namanya mirip

dengan Pak Randu. Kadang aku terpeleset menyebut

namanya Randu. Padahal fonem bilabial dan getar

sangat jauh bedanya. Agar tidak sering salah tingkah

aku menceritakan saja perihal Pak Randu. Sekedar prol

guru Kesenian yang punya karya lukisan jempolan.

Ia manggut-manggut. Lama-lama kami akrab sekali.

Sering ke pameran lukisan bersama.

Pandu mulai membuka galerinya sendiri.

Kuakui ia sangat cakap juga melukis. Sudah dua kali

mengadakan pameran tunggal. Aku mulai menaruh

rasa padanya. Tapi kubiarkan saja perasaanku hingga

Mas Pandu sendiri yang mengutarakan. Mulanya ia

menawariku jadi model lukisan. Aku diam, bukan

karena mau atau tidak, tapi langsung teringat dengan

Pak Randu. Akhirnya walaupun mau aku bilang, “Tidak

ah, malu,” kataku.

“Kenapa malu?” tanggapannya. “Emh, begini

saja. Bagaimana kalau jadi pacarku, sekalian jadi

calon istriku?” tanyanya tanpa basa-basi. Kontan aku

memasang wajah yang terlihat tak percaya dan salah

dengar. “Serius,” tambahnya lagi.

Selang seminggu aku menerimanya jadi pacar.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 61

Tapi ia begitu serius untuk segera meminangku,

padahal kuliahku baru menginjak separo jalan. Akhirnya

setelah setahun pacaran kami menikah. Ah, senang

sekali menikah di usia muda. Apalagi dengan seorang

pelukis. Tiap hari aku berkecimpung di dalam galeri,

mengamatinya melukis dan membantunya mengadakan

workshop melukis kecil-kecilan. Sanggar kami jadi ramai

oleh anak-anak kecil, juga ibu-ibu rumah tangga yang

belajar melukis.

Mas Pandu sering memintaku jadi model

lukisan, tapi tidak pernah melepas pakaian. “Kalau kamu

melepas pakaian bagaimana aku bisa melukis, aku pasti

berubah jadi singa yang akan menerkammu,” katanya,

dan memang sehabis melukisku, atau di tengah-tengah

melukisku, Mas Pandu sering tiba-tiba mendekat dan

langsung menciumku. Aku jadi heran bagaimana Pak

Randu dulu bisa melukis tubuhku dengan tenang,

dengan pancaran mata yang tetap sayu biru.

* * *

Hari ini dari jendela yang terbuka separuh

yang kulihat hanyalah tembok kamar mandi di sisi

kanan tanpa plester semen. Di sisi kiri bawah jendelaku

pemandangan genting berwarna kehitaman tetangga

terlihat, beberapa genting di antaranya melorot.

Genting rumah kontrak Pak Randu dulu.

Yah hari ini aku pulang ke rumah Ibu. Mas Pandu

menghadiri undangan ke Jakarta, “Paling seminggu

atau paling lama 10 hari,” katanya. Mas Pandu terpilih

menjadi satu di antara 12 pelukis lainnya yang akan

berpartisipasi dalam pameran lukisan nasional. Lima

belas karyanya telah dikirim lebih dahulu ke Jakarta.

62 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Mas Pandu akhirnya mendapat pengakuan sebagai

pelukis yang berbakat, aku senang.

Dari kamarku dulu aku masih melihat juntaian

beberapa dahan hijau daun pisang, dan langit yang

seluruhnya biru. Masih sama. Rumah kontrak tersebut

memang cukup rendah, ketika aku masuk dulu, atapnya

tidak berplafon, hanya lembar papan triplek besar

tersusun menutupi bagian bawah genting yang sudah

dilapisi plastik. Di dalamnya terdiri dari tiga kamar;

kamar tidur, dapur, dan kamar kerja. Di kamar kerjanya

tertata tumpukan puluhan lukisan, juga kanvas-kanvas,

sebuah sofa rotan, sepasang meja-kursi, dan rak penuh

kuas, cat, serta peralatan melukis lainnya.

Sebenarnya mumpung aku di rumah orang

tuaku, aku ingin melalui pintu belakang dan mengunjungi

rumah itu, melihat-lihat ng-barkeadaannya. Tapi aku

urungkan, di sana sudah ada penghuni baru. Aku

kembali ke rumahku, masuk ke dalam kamar dan

membenahi barang-barang bawaanku. Saat itulah rasa

senangku cepat berubah jadi kalut.

Aku menemukan dalam tas Mas Pandu poster

dan katalog lukisan dari penyelenggara pameran yang

mengundangnya. Di jajaran nama yang ada di sana, selain

nama Mas Pandu, aku juga mengeja nama yang kukenal,

Randu Dwi Pradangga, guru kesenianku. Kutelusuri lagi

hingga kutemukan kalimat yang menyesakkan, karena

di antara kelima belas karyanya terdapat satu judul

lukisan “Gadis Kencana”, lukisan diriku waktu malam

hunjam, dan langit bertabur bintang. Kakiku menggigil,

persis seperti waktu bersijingkatku malam itu yang

mengendap-endap keluar keluar dari dapur rumah

menuai ingin.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 63

Pengepak Mendung

Hanya awan tipis yang menari-nari di cakrawala,

tapi entah mengapa Ayahku terkesiap dari aktivitasnya

memperbaiki jalinan jala yang akan dipersiapkannya

pergi melaut. Ayahku mencium aroma itu.

“Akan ada badai malam ini!”

Suaranya tegas, keras, tapi mengapung seperti

kayu. Lebih tepat seperti perahu. Itulah Ayahku, laut

adalah rumah kedua baginya. Aku menengadah, tak

kulihat tanda-tanda sesuatu yang kutangkap dalam

pikiran kanak-kanakku sebagai penjelmaan datangnya

badai. Harusnya jika sesuai dengan perkataan Ayahku,

angin akan perlahan bertiup keras menerjang, ombak

pun akan tinggi di atas karang, yang pasti langit tidak

akan secerah ini jika badai datang.

Ayahku tersenyum menatapku, “Lekas berlarilah

pulang Hanif, beritahu Ibumu.”

***

Mataku sayu diburu waktu, telinga pekak lelah

terteriak, mulutpun hening kering. Lakon hidup seperti

hujan yang tidak memilih di mana ia akan jatuh, di

pucuk-pucuk dedaunan, di atas genting, di atas aspal

jalan, di atas rumput ilalang, di comberan, lesap ke

64 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

tanah, hingga menganak sungai menuju lautan. Ustadz

Hussain di surau mengatakan, laut merupakan tujuan,

tapi yang harus diperhatikan adalah proses menuju

lautan tersebut, seberapa besar ia membawa keberkahan

bagi kehidupan disekitarnya. Jika mengingatnya, aku

serasa menjadi anak paling tidak berguna.

Aku menjauh dari perkampungan, hari ini

Minggu, bukannya aku ingin menyegarkan diri bila aku

ingin keluar dari perkampungan. Aku hanya menghindari

cacian ibu-ibu yang sedang asyik menjemur pakaian

keluarganya yang dicuci pagi-pagi sekali, atau mereka

yang sedang menjemur simpanan ikan-ikan mereka

untuk dikeringkan.

“Pergilah kau hingga senja datang, jangan

kembali, lagipula kau tidak ada pekerjaan? Bawalah

mendungmu itu menjauh.”

Begitulah yang selalu mereka katakan. Bahkan

ibuku pun akhirnya selalu membebaskan tugas-tugasku

di rumah. Ia juga tidak enak hati selalu menerima

keluhan para tetangga. Padahal tidak ada lagi yang

bisa membantunya di rumah selain aku. Aku heran

apa maksud mereka dengan “Bawalah mendungmu

menjauh?” Mendungku? Hebat benar aku, bisa memiliki

mendung.

Memang ada kalanya ketika aku terdiam teringat

ayahku, aku mengamati langit, dan selalu saja entah dari

mana tiba-tiba sekumpulan awan mendung itu muncul

berarak-arak di atasku, makin lama jumlahnya makin

banyak dan rata menyelimuti langit, suasana menjadi

redup, matahari diam tanpa perlawanan. Apakah

awan mendung itu yang mereka maksudkan? Aku

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 65

bingung menyimpulkan apakah hal ini sebagai suatu

karunia, karena beberapa warga kampung dengan jelas

menginginkanku jauh dari kampung, khususnya di hari

Minggu, di mana aku tidak ke sekolah.

Karena mendung tersebut kawanku jadi

sedikit. Kawan-kawanku hanya segerombolan anak-

anak penggembala di kampung sebelah tempat aku

meluangkan waktu keluar dari kampung. Mungkin

mereka menganggapku berkah bagi mereka, seperti

teman-teman sekolahku yang menganggapku berkah

di hari Senin, karena tiap hari Senin diadakan upacara

bendera, dan aku selalu hadir membawa mendung

pengusir panas terik pagi untuk mereka. Kadang jika

ada pertandingan sepakbola antarsekolah mereka

baru mengajakku turut serta menonton pertandingan.

Selebihnya entah mengapa mereka tidak pernah

mengakrabiku.

Kawan-kawan sebayaku di kampung jarang

bisa bermain, beberapa yang sudah cukup umur

meluangkan waktu membantu ayah mereka melaut.

Dulu waktu aku masih sangat kecil ayahku pun sering

mengajakku melaut. Tapi sekarang tidak lagi. Ayahku

telah meninggal. Orang kampung mengatakan ayahku

mati tergulung ombak besar saat melaut.

Kadang aku rindu melaut. Tapi entah mengapa

orang kampung tidak ada yang mau mengajakku. “Kau

tidak berjodoh dengan laut, tiap kali kau dekat dengan

laut, laut akan marah, dan mengirimkan badai.”

Aku hanya bisa menghela nafas mendengarnya.

Sedemikian mudah mereka menentukan ketentuan-

ketentuan di luar kendalinya sebagai manusia. Padahal

66 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

biasanya mereka senang-senang saja jika ada yang

membantu menemani pergi melaut. Seperti ayahku

yang mengajakku dan beberapa temanku pergi

melaut. “Mengenalkan kecintaan pada laut, sekaligus

mengenalkan etos kerja pada anak-anak itu penting,”

kata ayahku.

Penggembala-penggembala menyukaikau

karena mereka tidak perlu kepanasan menggiring ternak-

ternaknya. Mereka bisa meluangkan waktu dengan

bermain dan bercanda. Kadang mereka berkelompok

dan berhadapan untuk bermain sepakbola. Mereka

semua mengakrabiku selayaknya teman baru.

Setelah lelah, pada akhirnya aku hanya berbaring

di rerumputan, memandangi langit di mana awan-awan

mendung beriringan datang di sekitar cakrawalaku,

suasana redup, dan angin semilir membelai pucuk-

pucuk rambutku. Kupejamkan mata, namun aku tidak

dapat aku melakukannya lebih lama, karena tiap mataku

terpejam, sayup-sayup kudengar bisikan-bisikan, “Ada

badai, ada badai, ada badai!”

Aku segera membuka mata, tapi di langit hanya

ada awan mendung.

***

Kulihat Ayah begitu bersemangat berbicara

kepada kepala kampung. Kepala kampungku masih

muda, sebaya dengan Ayahku. Raut mukanya tampak

antusias dan mendukung ucapan Ayahku. Kabarnya

Ayahku baru saja mendengar berita tentang berdirinya

koperasi hasil laut di kampung seberang yang membantu

warga memberikan pinjaman untuk mengadakan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 67

perahu untuk nelayan dan peralatan melaut.

Ayahku merasa prihatin dengan nasib nelayan

kampung yang kehidupannya susah. Mereka rata-rata

menjalankan perahu sewaan para tuan perahu dan

hasil tangkapan ikan mereka pun selalu menjadi bulan-

bulanan permainan tengkulak. Kadang keadaan ini

memicu para nelayan menghalalkan segala cara untuk

menaikkan hasil tangkapan. Mereka menggunakan

bahan-bahan peledak, menggunakan pukat harimau,

dan cara-cara instan yang mengancam kelestarian

tempat tumbuhnya ikan-ikan cuma demi dalih mengejar

uang sewa perahu dan menangguk untung dari hasil

tangkapan.

Ayahku berharap kepala kampung mau

mengusahakan agar di kampung ini bisa berdiri

koperasi seperti di kampung seberang. Minimal

mulai sekarang kepala kampung mulai mengajukan

berbagai berkas untuk kelengkapan untuk diajukan di

kota kecamatan. Paling tidak kepala kampung dapat

mengorganisasi warga kampung untuk bergabung

dengan koperasi nelayan di kampung seberang. Ayahku

juga menawarkan bantuan untuk mensosialisasikan hal

tersebut pada warga agar warga tidak terbelenggu oleh

para tuan perahu dan tengkulak yang rakus.

“Harga ikan di kampung seberang jauh lebih baik

daripada harga yang ditawarkan para tengkulak. Warga

hanya takut jika mereka tidak menjual ke tengkulak

mereka tidak akan diijinkan memakai perahu para tuan

perahu karena keduanya sudah lekat berkomplot. Jika

mereka bergabung di koperasi nelayan mereka bisa

mendapatkan pinjaman pembelian perahu milik mereka

68 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

sendiri yang dibayar dengan cicilan hasil tangkapan

mereka.”

Begitulah kata ayahku pada kepala kampung.

Ayahku tidak bisa leluasa mewujudkan gagasannya.

Ayahku bukan warga asli kampung nelayan ini. Ia pindah

setelah mengawini Ibu. Tidak seperti di kampungnya,

tengkulak merajai kampung ini. Para tuan perahu dan

tengkulak adalah penguasa kampung ini. Ia memerlukan

dukungan kepala kampung. Ayahku nelayan merdeka,

mencium dan mengindera lautan dengan cara yang

sudah tersemat diurat-urat nadi dan darah.

“Laut seluas mata memandang, bagaimana

mungkin punya mereka, laut bukan milik mereka.

Mereka hanya orang-orang keji yang tidak mengenal

belas kasih, memainkan riba seolah tidak mengenal

dosa. Milik Allah-lah segala isi langit dan bumi. Jadi

Hanif, tak usah kau takut pada kekuatan dzalim. Mereka

hanya mampu menakut-nakuti warga kampung dengan

jebakan dan acungan parang!”

***

Aku jadi teringat kembali saat-saat terakhir

aku kehilangan Ayahku. Aku berlari pulang menuruti

perintah Ayah untuk memberitahu Ibu akan ada badai

datang. Namun sebelum aku jauh dari pantai, aku

berpapasan dengan kepala kampung yang tersenyum

padaku, ia tidak sendiri, di belakangnya ada empat

orang mengekor. Tampang mereka tanpa ekspresi

dengan sebilah golok yang menggantung di pinggang

masing-masing. Tiba-tiba bulu kudukku meroma dan

menjalarkan dingin di tubuh. Aku terdiam di tempatku

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 69

berdiri. Terpaku di tanah. Aku tak berlari pulang ke Ibu

seperti perintah Ayah, aku juga tidak kembali ke pantai

ke tempat Ayah dan perahunya.

Langit tiba-tiba langit dipenuhi awan-awan

mendung, suasana jadi redup, angin kencang perlahan

menorehkan buih garam di bibirku. Cakrawala gelap,

ombak mulai membentur-bentur pantai dengan keras.

Badai datang seperti kata Ayahku. Barulah aku tersentak

untuk bergerak. Aku memilih menerjang angin badai

kembali ke pantai. Baru kali ini aku tidak mematuhi

perintah Ayahku.

Aku teringat, beberapa hari sebelumnya aku

mendengar bincang-bincang Ayah dan Ibu mengenai

perkembangan usaha Ayah yang mulai mendapat

tanggapan baik warga kampung nelayan. Beberapa

warga setuju dan meminta Ayah mengurus berbagai

keperluan untuk mereka. Tapi para tengkulak tidak

senang mendengar perkembangan itu dan mulai

mengancam warga kampung, Ayahpun tak luput dari

ancaman-ancaman para tengkulak. Bahkan kata Ayah,

kepala kampung dengan tegas telah menyuruh Ayah

untuk menghentikan usahanya.

Kepala kampung adalah pengecut yang

ternyata juga menenggak hasil setoran tengkulak-

tengkulak. Ia bermuka dua. Ketika Ayah mulai bergerak

mengumpulkan warga kampung, tengkulak dan tuan

perahu menjadi geram dan memaksa kepala kampung

menghentikan aktivitas Ayah. Tapi tentu saja ia tidak

bisa membujuk Ayah. Karena keselamatannya terancam,

ia hanya bisa berlaku keji, menyetujui rencana para

tengkulak untuk memberi pelajaran pada Ayahku.

70 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Ia memang punya pendidikan dari kota, tapi

cuma kesia-siaan saja rupanya. Satu-satunya yang

tersisa dari sana adalah ketamakan dan kegilaan pada

harta. Padahal warga kampung memilihnya karena

berharap kecakapannya bisa membantu membangun

roda ekonomi para nelayan miskin. Tapi rupanya

dialah dalang yang menentang rencana ayahku untuk

mendirikan koperasi nelayan di kampung ini. Padahal

koperasi ini nantinya bisa memberikan pinjaman.

Bukannya pada tengkulak dan tuan perahu yang

bersekutu menghisap keuntungan hasil tangkapan

nelayan.

Menjelang senja kemarin kepala kampung

kulihat bertandang di beranda rumah kami dan

berbicara dengan Ibuku ketika Ayah sedang melaut.

Wajah kepala kampung diliputi senyum licik, tapi tidak

demikian dengan wajah Ibu yang nampak cemas dan

takut. Aku baru tahu kemudian bahwa kepala kampung

telah habis kesabarannya dan memberikan ancaman

pada Ibu.

***

Ada kalanya aku bertanya mulai kapan

mendung-mendung itu menjadi akrab denganku.

Tentu saja aku bukan orang suci yang selalu dinaungi

mendung dalam melangkahkan kaki. Aku hanya bocah

kecil biasa yang beranjak dewasa tanpa seorang Ayah.

Ayahku pelaut, tentu, kulitnya legam terbakar matahari,

dadanya tegap dengan lengan kokoh untuk menarik

jala. Sayang ia mati muda. Orang mengira ia tergulung

ombak saat badai besar dan jasadnya hingga kini belum

ditemukan, entah terdampar di mana. Aku yakin mereka

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 71

keliru.

Waktu aku kembali ke pantai saat badai datang,

Aku tidak menemukan Ayahku di tempatnya biasa

menambatkan perahu. Bahkan perahu Ayahku juga

tidak ada di tempatnya. Angin yang menderu-deru dan

ombak yang menerjang-nerjang karang bergemuruh.

Ayahku menghilang entah ke mana. Apakah ia pergi

melaut di tengah ombak badai? Saat aku menunduk,

di antara jari-jari kakiku, pasir berwarna gelap, air

laut mulai menyentuhnya dan menyapu resap warna

merah darah itu ke laut. Kurasakan sudut mataku mulai

mendung, ada badai di kelopak mataku.

Saat kupejamkan mata, angin pun berbisik

perlahan, bila aku memejamkan mata dalam waktu

lama, bisikan itu makin keras dan makin cepat, “ada

badai, ada badai, ada badai, ada badai, ada badai, ada

badai.”

Aku selalu mengacuhkan hal tersebut, karena

aku tahu badai itu memang ada di dalam hatiku. Badai

yang terperam sejak di mana hari Ayahku tidak kembali

pulang ke rumah. Aku sama sekali tak percaya Ayahku

mati tersapu badai di tengah laut. Ibuku juga tidak

mempercayainya. Bahkan aku yakin diantara warga

kampung nelayan juga tahu bukan hal itu penyebab

kematian Ayah. Namun yang pasti semuanya yakin

Ayah sudah tiada. Ibu yang mengatakannya.

Ibu pula yang mengajarkan bagaimana

memeramnya dalam-dalam agar tidak menggelegak

keluar menjadi dendam. Ibu adalah contoh keihklasan

dan kesabaran menghadapi keadaan. Karena

sebagaimana ibu menyadarinya, aku selalu yakin

72 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

bahwa Ayahku tidak akan tenggelam di tengah ombak

badai. Ayahku adalah sebatang kayu yang kokoh, dan

sebagaimana sebatang pohon kayu, Aku yakin ia roboh

tertebang parang.■

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 73

Penyu Ratih

Hangat itulah yang membuatku bergerak.

Mencoba menggeliat dalam kekakuan ruang yang

sempit. Hingga secara tiba-tiba ruang yang membatasiku

pecah. Napasku menjadi sesak. Aku tidak menemukan

udara terbuka dan sumber kehangatan yang selama

beberapa waktu dalam ingatan telah memberiku

kekuatan untuk bergerak. Setelah ruang sempit yang

membatasiku dapat pecah kukoyak, timbunan pasir

segera menyeruak. Aku gerakkan tubuhku lebih

kuat, dengan cepat, menerobos ke sela-sela lembut,

menyeruak ke atas, ke permukaan.

Seberkas sinar menyambut, silau. Angin besar

menampar kebingunganku. Aku tidak sendiri. Pasir-

pasir di sekitarku juga tersembul tak beraturan. Ratusan

sembulan lubang. Dari sana berhamburan dengan cepat

punggung-punggung gelap kecoklatan melata dengan

kepala yang lucu beringsut berlari di pasir. Jumlah

yang tak terbayangkan. Bahkan dari lubang yang sama

denganku juga berhamburan, menyembul ratusan

punggung-punggung keras yang segera memacu juntai

kaki mereka menuju arah yang sama. Tanpa berpaling

lagi aku segera mengikuti langkah-langkah cepat

mereka. Karena aku bagian dari mereka, dan mereka

adalah saudara-saudaraku. Kupacu langkahku lurus ke

satu arah. Tanpa berbelok ke kiri atau ke kanan. Menuju

74 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

terjangan ombak di depan.

* * *

“Berhenti! Kurang ajar, jangan lari!”

Aku sama sekali tak mengindahkan teriakan

itu. Aku terus berlari. Mereka tak boleh menangkapku.

Mereka tak boleh menyentuh tubuhku. Apa hak

mereka? Bahkan lampu-lampu tengah kota tak

pernah menyentuh langsung tubuhku. Aku tak

menginginkannya. Kupacu kakiku lebih cepat, secepat

yang aku mampu, berlari menjauhi benderangnya jalan

protokol kota yang memang sudah beranjak lengang.

Nafas yang memburu dan lidah yang semakin kering

mencekik mengiring derap kakiku yang berkecipak

menembus gang-gang gelap sempit yang telah kuhapal

seluk beluknya.

Hak sepatu, yang menghambat lajuku, sudah

patah beberapa ratus meter lalu. Tanpa pikir panjang

kutanggalkan sepatuku. Saat aku mulai merasa aman

dari kejaran dan teriakan orang-orang berseragam itu,

tiba-tiba saja di depanku menghadang salah satu dari

mereka.

“Kena kau, Bangsat!”

“Pak, saya mohon jangan dibawa, Pak. Saya

mohon.”

“Ah, sudah jangan banyak bacot. Seperti tak

pernah kena razia saja!”

Di kejauhan teman-teman berseragamnya dari

petugas pamong praja yang bergerombol di sekitar truk

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 75

menghampiri. Menggerundel dan mengumpat-umpat.

Kulihat perlahan lampu-lampu protokol tengah kota itu

juga datang menghampiri. Semakin terang menyentuh

kulitku dengan paksa, walau tak menginginannya.

Begitu silau.

* * *

Mesin ketik mengetuk-ketuk kertas di depannya,

membariskan kalimat. Di sampingnya bertumpuk

kertas-kertas delik perkara. Beberapa reporter hilir

mudik sambil mengambil gambar wajah-wajah yang

segera du tutupi dengan gerai rambut.

“Nama?”

“Ra… Ratih,” sedikit tergagap aku menjawabnya.

Ratih. Nama yang sudah cukup lama tak kusebut.

Namaku. Mungkin bukan. Aku tak pernah tahu siapa

namaku, nama yang diberikan oleh orangtuaku. Nama

yang kusandang adalah nama pemberian petugas panti.

Aku bahkan tak mengenal orangtuaku.

Aku ingat petugas panti itu dengan ramah

berkata, “Ratih. Kamu tahu, Nduk, apa maksud nama

itu?”

Aku hanya menggeleng. Tentu saja aku tidak

tahu. Aku hanya gelandangan delapan tahun yang

digaruk petugas di perempatan lampu merah. Masuk

panti rehab untuk yang kedua kalinya.

“Ratih itu seorang dewi kahyangan yang cantik

tiada dua. Istri dari Betara Kamajaya, pangeran penguasa

langit.”

76 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Mulut petugas panti itu terus berbicara, cerita

seru petualangan tokoh-tokoh antah berantah di

kahyangan. Matahari sudah lumayan tinggi. Waktu itu

aku ijin tak ikut kegiatan pagi karena tak enak badan.

Petugas itu datang, lalu mengisahkan kisah kasih dan

ungkapan kama Betara Kamajaya dan Dewi Ratih di

istana Junggring Saloka. Cerita yang menghipnotisku,

sehingga aku tak bereaksi ketika tangannya mulai

membelai rambutku dan menciumnya. Tangan satunya

mulai menyentuh lututku, naik ke paha, mengusap dan

meremas-remasnya. Tangan itu lalu cepat melucuti

pakaianku. Meremas lagi wilayah tubuhku yang terbuka,

menciuminya hingga napas kencangnya merambah

kulit, selayaknya adegan ceritanya. Kama Dewi Ratih

dan Betara Kamajaya.

* * *

Begitu waspada, Pantai pasir yang kasar.

Patahan-patahan karang yang bertebaran di pantai

menggores kecil perutnya yang baru saja lepas dari

kecipak ombak laut. Ia merayap perlahan. Matanya

tajam menyusuri gelap. Pesisir pantai di malam hari. Tak

ada cahaya sepantik pun, tak ada gerakan sekelebat pun.

Ia terus merayap tersendat, membekaskan goresan alur

pasir. Kasiur angin menerpa punggungnya yang keras.

Ia berhenti di pasir yang dirasanya tepat. Mengawasi

sekeliling. Matanya sangat peka terhadap cahaya. Jika

ada setitik cahaya saja yang tertangkap, ia pasti dengan

cepat mengurungkan niatnya dan berbalik ke laut.

Tapi malam itu, di sebelah utara pulau kecil yang

luasnya tak lebih dari enam ribu meter persegi, begitu

tenang. Ia menggali lubang perlahan. Induk penyu

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 77

yang waspada. Menggali lubang untuk ratusan telur-

telur dalam perutnya. Setelah selesai dengan hati-hati

ditimbunnya lagi lubang tersebut dengan pasir. Perlahan

induk penyu kembali ke pantai. Pergi. Tugasnya selesai.

* * *

Ratih. Gadis yang telah berlari dari sengatan

udara panas dan goresan pasir pantai. Tak mengenal

orang tua yang memberinya kekuatan untuk berlari.

Berlari dengan gerak irama yang sama. berlari untuk

bertahan hidup. Berlari lurus ke terjangan ombak.

Ombak yang sama sekali belum pernah disentuh atau

dirasakannya. Ombak yang bahkan belum pernah

terbetik dalam pikirannya dapat membuatnya karam di

dasar laut.

Laut? Ia bahkan tak tahu apa itu laut. Apa itu

lautan? Ratih. Gadis yang hanya ingin berlari. Lurus

ke arah terjangan ombak. Ia bahkan tidak tahu bahwa

laut itu harus direnangi. Lucu. Ratih bahkan tidak

tahu bagaimana cara berenang. Apa itu berenang? Ia

samasekali tidak tahu. Ia hanya tahu berlari. Berlari dari

tangan-tangan yang selalu ingin menjamahnya. Tangan-

tangan petugas panti yang menghipnotisnya dengan

cerita-cerita percintaan antah berantah. Tangan-tangan

itu telah membuatnya berlari.

Ia merasa beruntung ketika ada tangan terulur

padanya. Sedikit berbeda. Lebih halus dan lembut.

Tangan-tangan orang tua asuh yang tentunya lebih

bermoral, tangan yang mendidik dan merawat. Tangan

yang mengisyaratkan masa depan. Tapi itu kata mereka.

Memberikan perlindungan pada orang hanya

78 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

ungkapan sok moral. Hanya label. Tangan itu ternyata

begitu belingsatan melihat pertumbuhan siknya yang

cepat ranum dan bermekaran. Tangan itu mulai bereaksi

sebagai tangan-tangan yang dulu ia kenal sebelumnya.

Tangan yang semula welas asih menjadi penuh nafsu.

Tangan yang sekali lagi membuatnya berlari.

Tapi ada saja tangan-tangan lain yang serupa.

Tangan-tangan orang mabuk dan mencegahnya di

perempatan. Tangan-tangan binatang yang telah mati

hati nuraninya. Tangan-tangan yang membuatnya

terlempar di keremangan. Berpindah-pindah ke tangan

para mucikari yang kemudian melemparkannya pada

tangan-tangan yang berhasrat menjamahnya di

keremangan sudut-sudut malam. Sudut-sudut yang

membuatnya berlari. Berlari ke arah ombak lautan

lepas yang tidak dikenalnya. Dan ketika menyentuh

ombak ia kepakkan dengan sekuat tenaga kaki-kaki

pipihnya. Terjun ke laut, terombang-ambing. Tak

pernah berpikir karam, ia hanya terus berusaha sekuat

tenaga, mengepakkan kaki pipihnya dan menyelam ke

kedalaman.

* * *

“Hei, diam! Jangan ribut. Jangan membuat

gaduh sel tahanan,” bentak sipir. Ia nyalakan koridor sel

tahanan. Berjalam ke arah sumber suara.

“Lilin, berikan saya lilin, cepat berikan saya lilin.

Korek api juga bisa. Cepat. Cepat, Pak!”

“Bisa diam tidak?! Sekarang sudah lewat tengah

malam,” bentak sipir itu lagi. Tongkatnya memukul-

mukul sel tahanan, berdentang-dentang memekakkan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 79

telinga, “Bisa diam tidak, Perempuan Sundal! Diam!!”

“Cepat, Pak. Mana lilinnya? Cepat berikan, dia

sudah mau mendarat. Jangan sampai ia menyentuh

pantai, nantinya akan merepotkan Bapak juga. Cahaya

akan membuatnya takut. Cahaya akan membuatnya

kembali ke laut. Cepat, cepat, Pak, nyalakan lilinnya,

nyalakan koreknya. Nyalakan api unggun. Usir dia

dari pantai. Jangan sampai ia menyarangkan ratusan

telurnya ke dalam pasir. Lalu pergi tanpa beban. Jangan

sampai terjadi. Kasihan telur-telur itu. Ayo cepat, Pak!”

“Diam, kataku!” sipir itu mulai kehabisan

kesabaran.

“Nyalakan apiya, nyalakan lampunya, lilin atau

korek. Cepat, Pak!” perempuan itu terus mengoceh

tanpa henti, intonasinya semakin naik.

Sipir itu semakin pekak telinganya, ”Diaaam!”

teriaknya. Tapi Ratih, perempuan itu terus saja berteriak-

teriak meminta cahaya, meminta lilin, meminta korek api.

Sipir itu menyerah. Ia meninggalkan ruang koridor sel-

sel. Pergi keluar. Gelap. Telinganya berdenyut-denyut.

Suara lengkingan panjang perempuan itu meningkahi

langkah sepatu larsnya.

80 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 81

Sisi Ardhanari

Pada saat matahari senja, rendah, terbang

dalam bulat merah, satu pertemuan datang, pada

hati yang mengeja tetesan embun, pada detak yang

begitu rimbun. Pemuda itu duduk dengan anggun di

bangku panjang lusuh di atas bukit yang selalu menjadi

teman dalam pertemuan-pertemuan kecil menyambut

purnama. Pemuda yang begitu tenang dalam dekap

petang, tak beranjak sama sekali dalam pasungan

lindap yang merayap di antara lebatnya pepohonan.

Pemuda itu tak terusik oleh kikisan angin yang

bertiup langsung dari lazuardi lembah di depannya.

Angin yang meroma kulit dan membelai-belai ikal

rambutnya. Pemuda dengan wajah gading dan senyum

kupu-kupu. Matanya cerlang menatap sosok yang tak

pernah lekang ia telusuri. Sosok yang mengundang dua

lengkung tanyanya.

“Ardhanari, berabad-abad berlalu, tapi tetes

darah itu tak juga kunjung beku. Bagaimana kabar

sarang rindu itu? Mengapa masih terbungkus rapi,

haruskah aku menyibakkannya?”

* * *

Redup. Ribuan desing kilat bergemuruh di

antara mega gelap yang menyentak kahyangan. Syiwa

82 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

yang kroda mencabut pusaka, menebas putus satu di

antara lima kepala Brahma.

“Akuilah, Brahma. Ini peringatan bagimu. Satu

kepalamu memang pantas terpenggal. Bukan aku yang

memenggalnya, kaulah yang memenggal kepalamu

sendiri, kerinduanmu sendiri!”

Brahma diam, empat kepalanya bungkam. Darah

membuncah pecah dari satu kepalanya yang terpenggal.

Darah pijar itu menggelegak merah seperti lava letusan

gunung yang mengalir deras menuju Bumi. Wisnu sama

sekali tak punya wewenang campur tangan, ia tak bisa

berkata apapun. Perselisihan ini tak bisa ia tengahi.

Wisnu hanya bisa dengan sigap membendung aliran

darah yang mengalir deras dari satu kepala Brahma

yang terpenggal agar tidak membanjiri Bumi. Dengan

segala upaya ia membendung aliran darah tersebut,

tapi tak urung sebagian darah itu jatuh membasahi

bumi. Darah kerinduan.

***

Hening, tak ada kata. Malam mulai menebar

keping-keping pekat. Detik demi detik raut muram

menyisir penjuru. Pemuda itu menarik napas

panjang, mendongak. Bulan di angkasa kelam seperti

memberikan isyarat yang tak dipahaminya.

Di kejauhan, tampak lembah yang telah gelap

itu dihiasi titik-titik api yang menjalar seperti ular, meliuk

dalam satu barisan. Bergerak mendekat, mendaki bukit.

Barisan titik api tersebut menggemuruh lamat-lamat

dengan segala bunyi-bunyian dan teriakan-teriakan.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 83

Pemuda itu merapatkan duduknya dan

merengkuh bahu wanita di sampingnya. Semerbak

harum rambut wanita itu terhirup pelan di tarikan

nafasnya. Matanya nanar melihat di bawah bukit.

”Pernahkah adinda mendengar sebuah kisah

kerinduan. Kerinduan yang menghunjam kuat bak

ribuan anak panah yang menancap di punggung, hingga

punggung terlihat seperti landak. Kerinduan pada satu

sosok keindahan. Kerinduan yang membuat satu kepala

terpenggal. Kerinduan pada satu masif penciptaan yang

luput dari indera yang dimilikinya.”

***

Di pusat formasi astadikpala Brahma gelisah,

dadanya bergejolak bergetar-getar tak karuan hingga

membuat singgasananya goyah. Gejolak itu ikut

dirasakan oleh dewa-dewa astabrata penjaga delapan

penjuru mata angin. Mereka kebingungan, apa yang

hendak mereka perbuat. “Apakah gerangan yang

membuat Brahma begitu gelisah, adakah yang bisa

kami bantu?” Indra memberanikan diri mengundang

tanya.

Brahma memandangi mereka, hatinya berdetak-

detak menjalarkan kerinduan yang menggumpal,

menoreh cadas-cadas hati dengan sesosok cahaya,

“Adakah di antara kalian yang mampu menembus istana

Syiwa dan membawakanku satu sosok yang mengakar

di dadaku ini.”

Dewa-dewa astabrata menunduk, arah

pembicaraan Brahma sudah dapat mereka tangkap.

Mereka sadar akan titah yang tak patut dari Brahma.

84 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Lagipun mereka tidak akan sanggup menembus istana

Syiwa.

“Kembalilah kalian, jangan ganggu aku,

kembailah ke delapan penjuru!”

“Duh Ardhanari, mengapa telah dipersatukan,

mengapa ada pertemuan?”

***

“Pertemuan, semuanya bermula dari

pertemuan,” pemuda itu mengatur tarikan napasnya. Di

angkasa kelam bulan masih memberikan isyarat yang

tak ingin dipahaminya.

“Saat itu, irama orkestra kahyangan begitu

meronta-ronta indah. Seluruh undangan, para dewa-

dewa, hadir dengan pakaian kebesaran mereka. Istana

Syiwa yang terkenal pekat dengan nuansa lindap

tampak cerah dan bersahabat. Para dewa-dewa begitu

terkejut. Pesta yang sangat marak; penuh warna, penuh

keharuman, penuh hidangan. Semuanya sempurna, dan

itu hadir di istana Syiwa. Brahma sang pencipa yang

hadir diiringi dewa-dewa penjaga penjuru mata angin,

serta Wisnu pemelihara semesta tak luput terkejut.

Namun ada yang lebih membuat Brahma terkejut.”

“Terkejut? Apakah gerangan yang membuat

seorang dewa terkejut?”

“Sangat sederhana. Dari semesta yang

lunak, angin membawa lembut keharuman permata

Mahadewa, menyongsong puja saloka. Di tataran

tribun megah yang melayang di atas danau teratai

muncul seorang pesona yang menawan mata Brahma.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 85

Orkestra kahyangan melembut, lampu-lampu permata

menyergap penjuru. Brahma bertanya-tanya pada

delapan dewa penjaga mata angin siapakah gerangan

purnama permata tersebut? Tapi sama sekali dewa-

dewa astabrata tak mengenal sosok itu. Brahma hendak

mendekat, menyapa. Namun gelegar Syiwa segera

menerjang niatnya mundur. Di hadapan seluruh dewa-

dewa kahyangan Syiwa dengan senyum mengembang

mendaulat pesta di istananya. Pesta Ardhanari, pesta

penyatuan antara Syiwa dan Parwati, dewi yang

sepersekian detik menjarah hati Brahma.”

“Brahma Sang Pencipta terjarah hatinya pada

sosok keindahan penciptaan?” wanita itu terheran-

heran. Sang Pemuda tersenyum, “Bukan sekedar

keindahan penciptaan. Brahma benar-benar gelap,

lindap, terang dalam pesona hingga berabad-abad

setelah pertemuan itu.?”

* * *

Kicau burung kahyangan membentak Brahma

di pertapaannya. Benturan-benturan gelap terang

menderap penjuru pandangan. Senyumnya pecah

ketika ia harus berpikir untuk datang mengetuk pintu

istana Syiwa dan bertamu. Lucu, Brahma bertamu di

istana Syiwa? Brahma bertamu di kediaman Syiwa untuk

melihat seberapa mempesonanya Parwati yang telah

dipersatukan di hadapan seluruh dewa kahyangan.

Kristal-kristal dan manikam dari pelosok galaksi

buncah dalam percik hatinya yang gundah. Brahma

segera mengumpulkan kekuatan semesta, menasbih

permohonan sederhana, menyanding pesona yang

86 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

telah menjalar di denyut-denyut nadinya selama

berabad-abad. Brahma akhirnya mendapat anugerah.

Brahma dengan lima kepala.

Lima kepala Brahma yang dapat menembus

istana Syiwa dan mengamati tingkah gerak cahaya

hatinya dari lima penjuru sorotan pandangan mata

secara diam-diam. Hasrat besar di dadanya untuk

menembus istana Syiwa akhirnya terwakili. Secara diam-

diam pesona Parwati dari lima penjuru pandangannya

memuaskan kerinduan yang mengakar rimbun nadinya,

di rekat jantungnya, Brahma memuaskan hasrat.

* * *

Malam menjelang dalam ruang. Bulan menjala

pandangan. Masih dengan mimik yang mengisyaratkan

sesuatu. Pemuda itu tahu benar isyarat tesebut, tapi

ia mencoba menampik perasaan yang tidak menentu

tersebut. Wanita di sampingnya semakin tenggelam

dalam pelukan. Desah nafasnya menyatu dengan desah

nafas pemuda tersebut.

Di balik gerai malam titik-titik api yang menjalar

di sepanjang lembah telah nyata dalam pandangan. Titik

api yang timbul tenggelam dalam lebat pepohonan.

Suara riuh dan teriakan-teriakan menggema di seantero

lembah. Alam dan penghuninya terjaga, burung-burung

segera mencicit bergemeresak terbang berhamburan

beradu dengan kelelawar-kelelawar yang mencium

darah. Binatang-binatang melata menjalar menjauh.

Lalu tiba-tiba menjadi hening. Senyap. Titik api tersebut

merupakan cahaya ratusan obor yang meliuk berkibaran

diterpa angin.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 87

Ratusan cahaya obor tersebut mengepung

penjuru. Bergerak perlahan tanpa suara. Mereka adalah

penduduk kampung lembah. Bunyi-bunyian tersebut

mereka gunakan untuk menakut-nakuti makhluk jadi-

jadian yang sering membawa kabur gadis desa dengan

menyamar sebagai pemuda tampan. Namun di antara

penduduk tersebut, sesosok kelam menatap nanar

dalam kilau merah di matanya. Gemerisik menderap

perlahan, Pemuda itu semakin erat mendekap wanita

di sampingnya. Bergeming dari tempat duduknya.

Mendesah perlahan dalam irama yang stabil. Ia telah

tahu isyarat yang akan dihadapinya.

Bayangan kelam itu semakin dekat. Dari balik

jubah pekatnya tersembul kilat logam yang begitu pedih.

Pemuda itu menangkap kelebat sinar pantulannya dari

bisikan bulan dan ketika kepalanya menoleh, logam itu

telah melesat begitu dekat ke arah lehernya. “Tak akan

kubiarkan ada pertautan yang abadi antara kalian!” seru

bayangan kelam menggelegar.

Membuncahlah merah darah membasahi

bangku panjang lusuh yang selalu setia menemani

pertemuan-pertemuan kecil di kala purnama. Penduduk

desa terkejut, mereka sama sekali tak mengira pemuda

yang mereka kira siluman jadi-jadian mengeluarkan

darah. Mereka telah terhasut. Tapi darah telah

mengalir, percikannya menetes ke bawah, jatuh di atas

rumput, merembes ke dalam tanah, meresap bersama

senandung pedih wanita yang tetap memeluk erat

tubuh pemuda yang terpenggal kepalanya, darah yang

sama, darah kerinduan.

“Ardhanari, begitu begitu cepat penguasa

88 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

malam menemukan kita.”

Catatan

Ardhanari : Sebuah relief batu di museum Trowulan

yang menggambarkan brahma dengan lima

kepala dan Syiwa yang memenggal satu di

antaranya karena berebut dewi Parwati.

Kroda : Marah, murka.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 89

Piring Kus

Seperti saat ini, kadang Kus terpekur di bibir

ranjang, membayangkan memiliki sebuah senapan

dan sebuah pelontar sasaran tembak. Kus akan

gunakan piring-piring itu sebagai sasaran tembak.

Membidik dari ujung larasnya ke udara mengikuti

gerak piring yang terlontar ke angkasa. ”Dor!”, ”Pyar!”

Ah, pasti menyenangkan. Impas dengan kekesalan

yang dipikulnya karena tiap hari menenteng piring-

piring tersebut pulang ke rumah kontrakannya. Bahkan

dengan begitu Kus juga bisa membuka jasa permainan

di depan rumah.

Orang-orang kampung pasti ngantre untuk

permainan tembak piring di udara. Jadi Kus tak perlu

bingung mencari tempat persembunyian untuk piring-

piring sialan yang telah memenuhi kolong ranjangnya.

Kus tersenyum-senyum membayangkan Pak Ramlan,

pensiunan polisi itu, pasti mengantre di barisan paling

depan sambil berkoar, ”Ide brilian Kus, anak-anak muda

di kampung ini harus mencoba, ini permainan yang baik

untuk melatih konsentrasi. Mengasah jiwa untuk cepat

tepat mengambil tindakan.”

Kus hanya akan manggut-manggut, ia cukup

duduk di dekat mesin pelontar dan meneriakkan aba-

aba, ” Yak, siaaap, satuuu, duaaa, tiiigaaa...!” Beriring

suara ”Dor!” dan ”Pyar!” Kus membayangkan istrinya

90 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

yang pasti senyum-senyum menghitung rupiah yang

terjejal di kocek. Kus memejamkan mata, menghirup

udara, lalu tersenyum, ”Ahh...,” begitu asyiknya.

Memang, seperti hari-hari sebelumnya, hari ini

lagi-lagi Kus harus menenteng pulang dua buah kardus

piring. Kus tidak perlu lagi celingak-celinguk mencari

kelengahan sang istri untuk menyorongkan kardus

yang dibawanya ke kolong ranjang. Sudah seminggu

ini istrinya purik, tidak menyapa dan tidak memasak,

karena mengetahui ihwal puluhan kardus-kardus piring

di kolong ranjang.

Jika Kus bayangkan kembali, hari nahas itu tidak

seperti hari-hari biasanya. Rumah kontrakan sepi, Kus

pikir tentu istrinya sedang keluar. ”Aman,” batinnya.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dengan menahan

nafas Kus segera menyorongkan dua kardus piring ke

kolong ranjang. Tapi baru saja ia akan membuang nafas

panjang dan terpekur lega di bibir ranjang, jenggirat

ia melihat istrinya sudah berkacak pinggang di depan

pintu.

”Kusbianto bin Ngasiran!” Mata istrinya

mendelik menuntut penjelasan.

Lucu sekali Kus mendengar namanya

dipanggil lengkap seperti itu. Seperti petugas KUA

yang memanggil mempelai nikah. Tapi, jika istrinya

sudah memanggil seperti itu, maka tahulah Kus, akan

ada buntut yang panjang. Pasti ada ledakan amarah

nantinya. Keringatnya yang baru pulang kerja saat itu ia

rasa makin deras saja.

”Apa ini semua Kus? Kamu ngutil? Ganti profesi?”

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 91

”Hidup sudah susah Kus jangan cari masalah!”

”Untuk apa Kus, untuk apa!”

”Oalah Kus...,”

Kontan ribuan mitraliur kalimat melesak di

telinganya. Kus hanya diam dan membatin, ”Ah, bakal

tak ada teh hangat dan makan malam, entah sampai

kapan. Ah....”

Begitulah, akhirnya ihwal piring ini diketahui

istrinya. Ya, Akhirnya ketahuan juga apa yang

disembunyikannya selama ini di bawah kolong

ranjangnya. Setelah peristiwa itu, ia jadi sering terpekur.

Awalnya Kus berpikir kolong itu adalah tempat

yang tepat. Tak ada lagi tempat sesempurna itu di

kontrakan sesempit ini. Kolong ranjang adalah satu-

satunya tempat yang jarang dijangkau mata. Kolong

ranjang adalah tempat paling mudah untuk menyorong

masuk sesuatu yang kita ingin sembunyikan. Tentu

saja sesuatu yang kecil, bukan sesuatu yang besar,

seperti kemalasan-kemalasan merapikan sesuatu yang

kemudian terjebak oleh sempitnya waktu.

Kus yakin, kolong ranjangnya bisa jadi adalah

tempat sempurna menyembunyikan rahasia-rahasia

kecil hidupnya, Jadi sejak sebulan yang lalu, tanpa

sepengetahuan istrinya, ia selalu rutin menyorongkan

kardus kecil di bawah kolong ranjangnya. Semua itu

tentu bukan keinginannya, sama sekali bukan. Ia tidak

sedang merencanakan sesuatu, keadaanlah yang

memaksanya untuk berlaku seperti itu.

Kus hanyalah buruh sebuah pabrik piring.

Karena iklim perekonomian yang terus merosot, pabrik

92 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

piring tempat ia kerja tidak kuasa lagi menanggung

beban kerugian. Pabrik piring menunggak pembayaran

upah dan tak sanggup menggaji ribuan buruhnya.

Akhirnya seluruh buruh terkena kebijakan baru pabrik;

mengganti tunggakan gaji buruh dengan tumpukan

piring.

Memang piring-piring yang diproduksi

bukanlah piring biasa yang sering digunakannya.

Berbeda, mewah betul piring-piringnya; tebal, lebar, dan

bercorak menarik. Tapi tetap saja ketika terpergok soal

piring itu, istrinya di rumah purik tidak keruan, “Bukan

kuda lumping Kus, bukan kuda lumping...,” katanya,

”Butuh makan nasi, nasi..., bukan piring.”

Kus sudah berusaha menjual piring-piring

eksotiknya seminggu terakhir ini. Ia sudah tawarkan ke

ibu-ibu arisan di kampung-kampung, ia tawarkan ke

pengurus RT/RW, ia tawarkan ke bos-bos yang punya

usaha persewaan peralatan hajatan, tapi nihil. Ia juga

telah datangi setiap ada perhelatan bazar dan pasar

malam, ia jajakan piring-piringnya di pasar-pasar, ia juga

berinovasi dengan membuat permainan keterampilan

untuk anak-anak, seperti lempar tumpukkan kaleng

berhadiah piring, panahan berhadiah piring, atau

lempar karet ke botol berhadiah piring. Memang yang

merubung sangat ramai, tapi hanya sejumlah kecil saja

yang laku.

Kalau sudah begitu, seperti saat ini, di bibir

ranjang, Kus menghayal memiliki senapan dan sebuah

pelontar sasaran tembak. Ia hanya akan duduk di dekat

mesin pelontar dan meneriakkan aba-aba, ”Yak, siaaap,

satuuu, duaaa, tiiigaaa...!” Beriring suara ”Dor!” dan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 93

”Pyar!” Kus memejamkan mata, menghirup udara, lalu

tersenyum, ”Ahh...,” begitu asyiknya.

Tapi buru-buru Kus mengoreksi lamunannya.

”Piring-piring kaca? Suara Dor?, Pyar?” Kus jadi

membayangkan Bu Weti Cerewet bakal menggendong

anaknya, Si Irwan Burik, dan menuding-nuding balutan

perban di kaki anaknya. ”Guoblok, lihat sana, pecahan

kaca piringmu memenuhi jalan raya.” Lalu di belakang

Bu Weti Cerewet berduyun-duyun orang-orang; pemilik

sepeda, motor, serta mobil yang mengalami kempis ban

terkena pecahan piring. ”Bencana!” Belum lagi pemilik

rumah yang genting dan kacanya rusak, atau bahkan

orang-orang yang kepalanya bocor tertimpa hujan

pecahan kaca. ”Ngeri!” Ditambah para pemilik burung

dimana kenari, cucak rowo, dan atau perkututnya tewas

kena peluru nyasar.

”Ganti rugi!”

”Ah, jadi runyam!”

Capek mengkhayal, Kus melangkah meraih

handuknya di jemuran. Mandi. Baru akan menggayung

dilihatnya air di bak kosong. Sial betul, terpaksa Kus

menimba tiga puluh lima kali tarikan dengan ngos-

ngosan. Setelah penuh ia jongkok, beristirahat sebentar

mengeringkan peluh. Tapi tiba-tiba istrinya dengan

langkah buru-buru muncul, menarik handuk yang

diselempangkannya di leher, dan seenaknya masuk

ke kamar mandi. Kus melongo, tanpa komentar ia

mendengarkan betapa segarnya suara gejebar-gejebur

94 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

di dalam.

Surut sudah hasrat mandinya. Kus bergeming.

Memang selama ini ia cuma diam pada kondisi yang

mengharuskannya kesal dan marah. Ia sendiri heran.

Ketika pabrik piring memutuskan mengganti tunggakkan

gaji dengan piring-piring semua buruh mengamuk dan

menuntut. Mereka melempari pabrik dengan piring

gaji mereka. Walau sama kesal dan marah, Kus cuma

diam. Ia membawa pulang piring-piringnya dan tetap

bekerja keesokan harinya. Ia justru bertanya dalam hati,

”Kok diam saja, harusnya marah kan?” Ia sama sekali tak

ingin punya pembelaan diri.

Kus melangkah gontai dan melepaskan

pantatnya di bangku depan rumah kontrakan. Tak

mandi sehari tak bakal mati, lagi pula ia tak perlu

wangi karena sedang dimusuhi istri. Baru saja ia

layangkan pandangan, dilihatnya Pak RW tergopoh-

gopoh menghampiri. Ia buru-buru berdiri dan hendak

ngeloyor pergi, menghindar. Tapi Pak RW lebih dulu

meneriakinya.

”Maaf Pak RW belum ada uang,”

”Bukan nagih kontrakan Kus, ada hajatan

kampung , butuh piring!”

”Lalu?”

”Ah pakai nanya, kamu kan punya piring ratusan,

cepat sekarang bawa ke balai RW!”

”Tapi?”

”Udah bawa aja!”

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 95

Kus mengangguk, masuk ke kamar. ”Hajatan?”

Dalam pikirannya terbayang nasi, lauk, dan kuah

hangat mengepul di atas piring-piringnya. ”Ah, nikmat

benar,” batinnya. Sejak pagi ia memang belum makan.

Tak ada uang, pun tak ada yang masak. Tapi ia buru-

buru mengenyahkan lamunannya, piringnya sedang

dibutuhkan, maka dengan senang hati ia mengeluarkan

piring-piringnya dari dalam kolong ranjang. Istrinya

diam saja melihat kesibukan Kus.

Dengan gerobak, Kus mengantar sendiri piring-

piringnya menuju Balai RW. Memang ada hajatan di

sana. Ada dentam sound yang memekakkan, tenda besar,

panggung acara, dan ratusan kursi tamu. Rupanya ada

pejabat yang berkunjung. Dilihatnya Pak RW melambai,

”Langsung ke bagian konsumsi Kus!” teriaknya.

Kus membelokkan gerobaknya ke halaman

rumah sebelah balai RW. Banyak ibu-ibu di sana. Bau

sedap masakan menyergap hidungnya. Salah seorang

ibu melihatnya, ”Nah piringnya sudah diantar,” teriak

ibu tersebut, di susul ibu-ibu lain yang segera keluar

mengangkat kardus-kardus piringnya ke dalam rumah.

Kus memarkir gerobaknya., terpekur. Sesaat

kemudian berbaris ibu-ibu membawa bernampan-

nampan piring keluar. Dilihatnya nasi, lauk, dan kuah

hangat mengepul di atas piring-piringnya, sesuai

benar dengan apa yang dibayangkannya. Ia menunggu

beberapa lama mengamati ibu-ibu pembawa nampan

itu lalu-lalang dengan langkah cepat, seolah takut

hidangannya dingin ketika sampai di meja para tamu.

Dari kejajuhan ia melihat para tamu yang lahap

menikmati hidangan. Perutnya tambah keroncongan.

96 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Ibu-ibu pembawa nampan itu sama sekali tidak

meliriknya, mereka melenggang begitu saja. Capek

menunggu, ia pulang. Pikirnya, nanti saat piring-

piringnya dikembalikan pasti ada satu piring lengkap

dengan hidangan untuknya.

Kus menunggu di rumah sambil tiduran,

sebenarnya ia ingin tidur sungguhan, tapi perut yang

lapar tidak bisa melenakan matanya. Hingga akhirnya ia

dengar suara gerobak di parkir di depan rumah di susul

ketukan pintu.

”Kus! Kus!”

”Ya, sebentar,” dibukanya pintu. Satpam

kampung rupanya.

”Ngantar piring, ada dua pesan. Pertama,

ucapkan terima kasih dari Pak RW. Kedua, ibu-ibu minta

maaf, karena sudah larut dan kecapekkan..., jadi tahu

sendirilah Kus!”

Satpam itu melambaikan tangan, tanpa beruluk

salam ia pergi begitu saja.

Kus mendekati gerobaknya. Lihatlah, piring

cuma kembali piring. Bahkan belum dicuci, sisa

nodanya berbau bacin tidak karuan. Kini bertambah lagi

pekerjaan rumahnya.

”Apa masih laku dijual ya piring-piring bekas?

Ia cuma garuk-garuk kepala. Tidak gatal, sama

sekali tidak. Walau kesal dan marah, ia cuma diam.

Seharusnya kondisi ini membuatnya kesal dan marah.

Begitulah, ia sama sekali tak ingin punya pembelaan

diri. Hanya saja, kali ini dalam pikirannya berloncatan

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 97

hasrat, bahkan tekad untuk membeli sebuah senapan.

Ya senapan. Entah mengapa, kini ia membayangkan

senapan itu bukan untuk membidik piring-piringnya

dalam permainan lontar piring. Di bidikkan pelupuk

matanya berloncatan wajah para pejabat, Pak RW, ibu-

ibu, satpam, dan orang-orang kampung yang beberapa

waktu lalu dilihatnya lahap menyantap makanan yang

dihidangkan di atas piring-piringnya.

98 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 99

Suito Puthung

Orang Jawa biasa memberi nama seseorang

dari tampilan siknya. Terlebih jika ada dua atau lebih

orang dalam satu desa yang mempunyai nama sama.

Salah satu dari mereka kemungkinan akan mendapat

tambahan nama di belakang nama panggilannya. Jadi

banyak ragam panggilan yang kadang bila dipikirkan

lebih lanjut cukup kasar dan memerahkan telinga. Sebut

saja Tanu Semper, Mbok Randu Bongkok, Mas Paijan

Ndlolo, atau Lik No Budheg. Sama halnya juga dengan

yang dialami Suito. Jika sekarang ada yang menanyakan

rumah Suito, maka penduduk akan bertanya kembali,

“Suito yang mana? Suito Lik Jo atau Suito Puthung?”

Suito adalah tukang foto satu-satunya di Desa

Tamburan. Bisa dibilang bagi anak-anak yang dalam

urusan sekolah memerlukan jasa tukang foto, Suito

Puthung adalah satu-satunya tenaga ahli di sana. Juga

bila ada acara hajatan seperti resepsi pernikahan. Julukan

puthung bisa ditebak karena Suito hanya berlengan satu.

Lengan kanannya puthung atau buntung. Jadi segala

aktivitas ia lakukan dengan tangan kiri. Suito Puthung

bisa mengendarai motor kesayangannya hanya dengan

satu tangan kirinya, tentu setelah ia memindah tarikan

gasnya di kiri juga. Ia pun memotret langganannya di

studio sederhana dekat Pasar Legi dengan satu tangan.

* * *

100 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Suito Puthung hidup bersama istri dan anaknya.

Mereka baru saja pindah dari rumah orangtua Suito

beberapa bulan lalu. Istrinya bernama Wiwit Wulandari,

istri yang cantik, siapa saja setuju. Anaknya laki-laki

bernama Rendi Setia Suito. Begitulah hidup Suito

tampak adem ayem bersama keluarganya. Mereka

bahkan sedang menanti momongan baru. Namun jika

kau tanya mengapa tangannya sampai buntung, ada

cerita panjang yang sudah menjadi rahasia umum bagi

penduduk desa. Bahkan cerita berkembang lebih besar

karena disangkut-paut dengan hal-hal yang sebenarnya

tidak berhubungan langsung.

Suito lahir dari pasangan Mardiono dan Suparti.

Mardiono bisa dibilang ayah yang kurang bertanggung

jawab. Awalnya ia dikenal rajin bekerja dan tidak

neko-neko. Sering ke masjid dan mengaji tiap malam

Jumat di rumah Haji Takin. Hingga suatu ketika marak

perjudian di desa. Mardiono terseret arus jadi penjudi.

Mulanya hanya iseng, namun jadi ketagihan. Menang-

kalah baginya menjadi biasa. “Sudah resiko,” begitu

selalu ujarnya. Tapi yang tidak biasa adalah ketika ia

mulai banyak hutang di meja judi. Mulailah ia menjual

barang-barang rumah. Suparti, istrinya, sudah berulang

kali menasehati, bahkan sampai menangis-nangis. Tapi

kegilaan Mardiono pada judi tak kunjung sembuh,

malah makin parah. Haji Takin yang turun tangan pun

tak bisa mengobati kegilaan Mardiono berjudi. Hutang

Mardiono makin menggunung dan tersebar ke mana-

mana. Jadilah ia buron orang-orang yang mau menagih

hutang, dan Mardiono akhirnya jadi pelarian karena tak

sanggup membayar hutang.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 101

Suparti tak bisa berbuat banyak ketika banyak

orang menagih hutang ke rumah. Mau bagaimana lagi,

lha wong memang di rumah sudah tidak ada barang

yang berharga. Suparti hanya bisa mengelus dada ketika

para penagih yang datang mengumpatinya. Untung

saja si Suito yang baru berumur belasan tahun dititipkan

ke neneknya, supaya bisa tenang dan tidak terganggu

sekolahnya. Suparti sejak ditinggal suami bekerja

sebagai buruh sawah. Menghidupi diri dan anaknya,

termasuk urusan sekolah Suito. Bagaimanapun Suparti

sadar orang yang bodoh lebih mudah terpengaruh hal-

hal yang tidak benar, contohnya ya suaminya sendiri.

Jika suaminya pintar tak mungkin mau berjudi.

Suatu hari datang Parjo, masih kerabat sendiri

yang tinggal di desa sebelah bertamu ke rumah Suparti.

Parjo datang mengantar surat dari suaminya Mardiono.

Waktu itu Mardiono sudah setahun lebih pergi dan

tak diketahui rimbanya. Parjo memberitahukan bahwa

Mardiono ikut jadi TKI ke Malaysia dan bekerja di kebun

kelapa sawit. Suparti membaca surat dari suaminya.

Suparti sempat menangis karena suaminya meminta

maaf lewat surat dan berjanji tidak akan berjudi lagi.

Suaminya mencoba mencari jalan melunasi hutang-

hutang. Biar nanti bisa balik ke desa tanpa beban.

Parjo mengeluarkan amplop lain dan

menyerahkan pada Suparti. “Ini uang dari Mardiono,

Yu. Katanya suruh mbayar utang sama Kang Damin

dan Kang Lijo, sisanya buat Yu Parti sendiri, juga buat

Suito yang mau ujian akhir,” jelas Parjo. “Tiga bulan

lagi Kang Mardi juga mau ngirim ke rekening saya, yah

ditunggu saja. Yu Parti doakan saja,” Begitulah, keadaan

terlihat membaik. Suparti, diantar Parjo, melunasi

102 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

hutang-hutang suaminya dengan mendatangi rumah

orang-orang yang ada dalam daftar surat yang dikirim

Mardiono.

Suito tinggal bersama nenekmya, kadang ia juga

pulang ke rumah ibunya bila ada waktu senggang di akhir

pekan. Suito remaja lumayan nakal. Suka trek-trekan di

jalan raya dan nongkrong di warung remang-remang.

Kebiasaan ini mulai berkembang ketika SMA di kota

kabupaten. Kadang hal ini membuat khawatir Suparti,

terlebih neneknya sudah angkat tangan jika nantinya

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Suparti semakin

khawatir Suito jadi ikut-ikut pergaulan yang tidak jelas.

Ketakutan yang beralasan, karena Suito kemudian

dikenal suka mabuk-mabukan dan tawuran demi nama

perguruan silatnya. Entah mujur atau memang hebat,

Suito jarang sekali mengalami luka serius dalam tiap

duel yang melibatkan massa perguruan tertentu.

Masalah Suito bertunas ketika jatuh cinta dengan

seorang gadis sebayanya. Namanya Wiwit Wulandari.

Gadis cantik yang benar-benar membuat Suito keblinger.

Maka ia pun bertekad mendapatkan gadis tersebut.

Tapi perjuangannya tidak semulus dugaannya. Wiwit

menolak gaya hidup Suito. Suito pusing dan stres. Patah

hati. Ia jadi sering pulang ke rumah ibunya. Bahkan

ketika belum lagi akhir pekan sekedar menenangkan

diri dan instropeksi. Tapi inilah mulanya. Ketika pulang

di hari yang tidak biasa, sore mulai merah, debu-debu

berterbangan tersapu angin, rumah ibunya sepi dan

pintu tertutup rapat. Suito berjalan ke pintu belakang. Di

dapur pintu tidak terkunci, ia masuk dan melihat motor

yang sudah dikenalnya. Ditaruhnya tas dan masuk ke

tengah. Kamar ibunya sedikit terbuka, ia pun masuk.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 103

Tapi ia langsung terkejut ketika dari dalam ibunya dan

Parjo berada di dalam dan tergopoh-gopoh merapikan

baju. Parjo bahkan terburu-buru menyambar celana dan

memakainya. Suito langsung tanpa basa-basi mencekal

lengan Parjo dan menghajarnya tanpa ampun.

* * *

Suito tak pernah lagi kembali ke rumah. Tak juga

kembali ke rumah neneknya. Jadi lebih pendiam dan

tak punya gairah lagi kumpul bareng teman-teman. Ia

tak lagi ikut-ikut tawuran, malas nongkrong di warung

remang, dan malas ikut ngetrek. Lebih banyak diam di

kamar kos sekedar membaca buku atau tidur-tiduran

sambil melukis di pikirannya wajah Wiwit Wulandari.

Ia menaruh harapan besar cintanya masih bakal

kesampaian.

Suito mulai mengikuti kegiatan-kegiatan

yang di dalamnya ada Wiwit. Mulailah ia rajin ke

masjid tempat Wiwit biasa salat, ia ikut menjadi

sukarelawan perpustakaan di mana Wiwit juga ikut,

juga ekstra basket dimana Wiwit getol ikut. Setelah

beberapa bulan akhirnya Suito menemukan titik cerah.

Wiwit tanpa disangka datang mendekatinya untuk

sekedar mengobrol. Padahal sebelumnya Wiwit selalu

menghindar jika Suito mendekatinya. Suito bahkan

sudah apatis dan tidak pernah mau mendekat lagi,

ditambah malu dengan kehidupannya dan keluarganya

yang berantakan. Suito cukup puas hanya memandang

wajah Wiwit dan menyimpannya untuk dinikmati malam

harinya sebagai mimpi indah. Akhirnya mereka akrab

dan sering terlibat pembicaraan. Mereka juga sering ke

sana-kemari berdua.

104 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Suito seakan menemukan kehidupannya yang

damai hingga lulus sekolah. Ia tak lagi memikirkan

ayahnya yang penjudi berat, yang namanya sering dicaci-

maki orang ketika ia lewat di depan mereka. Seakan

dirinya mengingatkan mereka akan Mardiono yang

kabur membawa uang mereka. Juga perselingkuhan

ibunya dengan Parjo, lik-nya sendiri.

* * *

Lulus sekolah, Suito mulai merancang angan-

angan memperistri Wiwit. Suito segera berinisiatif

pergi ke luar kota untuk bekerja, mencari peruntungan.

Selama dua tahun Suito mengadu nasib bekerja.

Penghasilan tak kunjung membaik, hidup di kota

butuh biaya yang sejajar dengan gajinya. Hingga suatu

ketika ibunya memberi kabar untuk pulang ke rumah.

Ayahnya, Mardiono, mau pulang kembali ke rumah.

Hutang ayahnya memang sudah lunas beberapa waktu

lalu bahkan uang kirimannya oleh ibu sudah dibelikan

beberapa petak sawah untuk digarap sendiri. Mardiono,

ayahnya, ingin pulang kembali ke desa dan memulai

hidup baru. Ibu bilang Bapak pulang karena sudah

malas dikejar-kejar polisi Malaysia yang galak terhadap

pekerja-pekerja ilegal.

Suito baru tahu kalau bapaknya kerja di Malaysia

secara ilegal, bahkan sempat tertangkap dua kali, tapi

berhasil kabur dari tahanan. Kabarnya ada peraturan

yang mengatakan pekerja asing yang tertangkap tiga

kali tanpa surat kerja di Malaysia akan dihukum gantung.

Mardiono bersyukur dapat lolos dari pengejaran yang

dilakukan baru-baru ini, jika tertangkap lagi, maka ia

sudah tertangkap tiga kali. Tapi entahlah apa kabar itu

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 105

benar atau tidak, tapi Mardiono sangat beruntung bisa

lolos dan memutuskan pulang kampung.

Suito akhirnya juga memutuskan pulang.

Mardiono, ayahnya, menjanjikan uang modal untuk

dikembangkan di desa. Suito belum pulang samasekali

sejak peristiwa memergoki ibunya dengan Lik Parjo

berselingkuh. Tapi sekembalinya di rumah, Suito tidak

mengungkit-ungkit masalah itu. Biarlah, pikirnya,

mungkin keadaan akan menjadi lebih baik. Suito

menerima uang modal dari ayahnya dan membangun

sebuah tempat usaha di dekat Pasar Legi.

Tapi keadaan tidak semakin baik. Ada saja

masalah yang timbul, dan jelas bagi Suito bukan

masalah ringan. Wiwit Wulandari, idaman hatinya,

dikabarkan telah dipersunting orang lain. Berangkatlah

Suito ke rumah Wiwit dengan gerah untuk mendengar

kebenarannya. Keluarganya pada awalnya merasa kikuk

dengan kedatangan Suito, mereka tahu Suito sudah

dekat dengan Wiwit sejak dahulu, tapi kepergian Suito

selama hampir dua tahun tanpa kabar membuat mereka

berpikir bahwa tidak ada apa-apa antara anaknya,

Wiwit, dan Suito. Mereka pun setuju saja ketika ada

pemuda tetangga desa yang datang melamar Wiwit

dan menikahinya seminggu yang lalu.

Suito minta bertemu dengan Wiwit dan mau

mendengar dari kekasihnya itu sendiri. Tapi keinginan

Suito itu mustahil dikabulkan. Suito gelap mata. Ia pun

menyelidik laki-laki yang menikahi Wiwit yang ternyata

punya pekerjaan di luar kota dan pulang hanya tiap hari

Jumat hingga Minggu. Pada suatu kesempatan ketika

Wiwit sedang berjalan sendirian, Suito menemuinya.

106 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Wiwit cuma bisa menangis dan manut ketika Suito

mengajaknya, ia juga ingin minta maaf dan memberi

penjelasan Tapi tanpa disangka Suito dan Wiwit tak

pulang hingga dua hari. Kontan keluarganya bingung.

Hal ini kemudian tercium oleh pihak keluarga suami

Wiwit, mereka ngeluruk ke rumah orangtua Wiwit sambil

meminta penjelasan. Tapi tidak demikian suami Wiwit.

Keesokan sore, ketika Suito sedang mengamati

pembangunan tempat usahanya, beberapa orang

bermotor datang dan tanpa babibu menghajarnya.

Bahkan seorang di antaranya menyabetkan gobang

ke arah lehernya. Suito segera menangkis dengan

tangannya. Tapi gobang itu begitu tajamnya hingga

mengoyak tulang Suito. Suito yang dulunya jarang

terluka waktu ikut tawuran tergeletak bermandi darah.

Lengannya putus.

* * *

Begitulah peristiwa yang menyebabkan Suito

kehilangan lengan kanannya. Suito jadi puthung. Dan

sejak itu ia kondang dipanggil Suito Puthung. Suito

Puthung akhirnya menikahi Wiwit Wulandari yang

dicerai suaminya. Walaupun mesti menunggu setahun

lebih, karena menunggu Wiwit melahirkan dulu

anaknya. Menurut versi orang-orang, anak itu anak

suaminya yang dulu, maka harus ditunggu sampai lahir,

baru Wiwit boleh cerai dan kawin dengan Suito. Tapi

entah juga bila itu anak Suito, karena punya hidung dan

praen mirip Suito. Anak itu tetap diasuh Suito dan diberi

nama Rendi Setia Suito. Anak laki-laki yang menjadi

lambang kesetiaan Suito, tak peduli apapun kata orang.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 107

Kini Wiwit Wulandari sedang ngidam, kerjaannya

tiap pagi muntah-muntah di kamar mandi. Suito

Puthung harusnya gembira, tapi ia cuma bisa mengelus-

elus dada. Ia tampak tertekan sambil mendesah pasrah.

Ia ingin berteriak. Mengapa demikian? Yah itulah nasib

Suito Puthung. Ia tiap hari tekun bekerja di studio fotonya

yang merangkap toko macam-macam peralatan. Suito

baru pulang maghrib. Isterinya menemaninya di toko

dari pagi sampai siang. Siang, Wiwit pulang untuk

menidurkan Rendi, tugasnya digantikan ibu Suito, yang

dulu selalu bekerja menghidupinya ketika ayahnya

minggat, dari siang sampai magrib.

Tapi naas. Suatu ketika di siang yang panas,

sepanas dada Mardiono, ayah Suito yang memendam

kecewa karena mengetahui istrinya berselingkuh

dengan saudaranya. Rumah yang sepi dan setan

yang telah menetap sebagai penghuni di rumah itu

membisiki syahwatnya. Melihat paha mulus Wiwit yang

sedang menidurkan Rendi, mertua itupun nyungsep

meniduri menantunya yang terkaget-kaget dan hanya

bisa beriring tangis.

Suito Puthung hanya bisa memandangi istrinya.

Matanya berhenti di perut istrinya Benih ayahnyakah di

rahim Wiwit Wulandari?

108 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Catatan

Semper : Pincang.

Bongkok : Bungkuk.

Ndlolo : Bola mata mencuat ke luar.

Budheg : Tuli, pekak.

Praen : Raut muka.

Ngluruk : Mendatangi.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 109

Gadis Pras

Aku tengah bertamu di kamar kos kawan,

Pras. Hari sudah cukup larut. Sebenarnya aku ingin

mengajaknya minum kopi di warung, tapi dia menolak.

Dia masih memiliki persedian kopi, jadi dia mulai

menyalakan teko heater. Rupanya ada yang ingin dia

ceritakan padaku, dan kurasa tidak akan bisa seintim

jika diceritakan di warung.

Sambil tiduran di ranjang aku sabar menunggu.

Setelah menyeduh kopi untukku, kulihat dia meruyah

rambutnya sambil meringis menatapku. Semacam

gerak pembuka bagi satu kisah yang sulit di awali. Tapi

kisah Pras, sejauh yang bisa kuceritakan padamu kira-

kira seperti ini.

Hari itu Pras telah berdiri di depan pintu rumah

gadis yang dicintainya. Masih sekitar lebaran. Rupanya

gadis itu terkaget juga mendapati Pras telah ada di

depan pintu rumahnya. Suasana kaku. Bapak dan Ibu si

Gadis tidak ada di rumah, jadi buruh. Pras dipersilahkan

duduk di bilah bangku di teras rumah.

Pras selalu berujar padaku bahwa gadis yang

ia cintai ini salah nama. Gadis yang Pras cintai ini

punya nama belakang yang menurut Pras sangat

mengenaskan. Bayangkan bagaimana bisa seorang ibu

atau bapaknya memberikan nama belakang seperti

110 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

itu. Nama belakangnya adalah Prihatin. Yah memang

semasa hidup dan mengandung anak ini si Ibu dan

bapaknya boleh saja mendulang fakta kehidupan yang

prihatin, atau kehidupan sengsara, tapi apakah dengan

memberikan nama Prihatin pada anaknya adalah

sebuah tindakan bijak?

Gadis yang Pras cintai ini sangat lebih dari biasa.

Maksud Pras bukan luar biasa, tapi sebaliknya, gadis

ini sangat-sangat biasa. Pras kurang begitu menyadari

alasan sesungguhnya mencintai gadis ini. Jauh berbeda

dengan seorang gadis di Jalan Jambu yang lebih awal

menghuni hati Pras. Ketika mengatakan hal itu, mungkin

ukuran Pras adalah ukuran sik. Yah tentu saja, gadis

di Jalan Jambu adalah tipe wanita idaman Pras, dan

mungkin idaman pria-pria lain sepertiku juga. Cerdas,

cantik, ukuran tubuh yang ideal dan proporsional,

enak sekali diajak ngobrol dan berdiskusi. Gadis di

Jalan Jambu adalah gadis spesial, karena itu Pras harus

berbesar hati melepas karena dijodohkan. Sementara

Pras yang belum lulus-lulu kuliah tidak punya nyali

meneruskan ke jenjang pernikahan.

Gadis yang Pras cintai saat ini? Pras malu

mengatakannya cantik, tapi cukuplah. Tubuhnya

mungil, kulitnya putih, dan jika musim, wajahnya yang

putih semu-semu merah akan penuh jerawat. Namun

lambat laun kini jerawat itu jadi tak kenal musim. Ya

ampun, tak ada habis-habisnya. Bentuknya kecil-kecil

dan akan tumbuh setiap si Gadis menyantap makanan

berprotein seperti kacang-kacangan dan telur. Pras

kadang melarangnya untuk menyantap makanan-

makanan penimbul jerawat itu, tapi tak tega ia rasanya,

karena hal itu berarti memintanya untuk membeli, atau

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 111

memakan seadanya dari menu yang sebenarnya sudah

seadanya.

Begitulah Pras, bersungut-sungut. Untung saja

malam sudah larut jadi bicaranya yang agak keras tidak

mengundang perhatian. Di kos-kosan ini dinding batu

ibarat tripleks, tipis dan tidak kedap suara. Apakah

hak si Ibu dan bapaknya memberikan nama anaknya

sebagai tonggak ingatan bagi kehidupannya sendiri,

sebagai tugu atau bahkan cermin bagi dirinya sendiri

dan bukannya sebuah tugu bagi anaknya. Ibunya tidak

sedang main-main ketika memberi nama, rasa sungguh-

sungguh itu diwujudkan dengan nama depan gadis itu,

Estu, yang berarti benar-benar atau sungguh-sungguh.

Akibatnya sungguh celaka, nama itu seolah menjadi

tonggak bagi detik-detik bayi itu yang kemudian

menjadi seorang gadis yang benar-benar prihatin.

Gadis yang Pras cintai ini adalah gadis

perantauan yang saat ini bekerja sebagai pendamping

balita di sebuah rumah toko. Lantai satu dan lantai dua

adalah toko alat-alat elektronik dan gudang. Lantai tiga

adalah tempat majikan, jadi gadis yang Pras cintai ini

nangkring di tingkat empat, tempat si balita berada.

Jika Pras melewati ruko itu, dan tiap hari ia pasti lewat

karena ia memberikan les privat di sekitar daerah itu, ia

akan berhenti di pinggir jalan seberang ruko menelepon

gadis ini.

Ya, si gadis akan membuka jendelanya di lantai

empat, jendela setinggi 12 meter dari tanah, mereka akan

saling senyum, melambai, dan tertawa sendiri. Cuma

itu, jangan berharap si Gadis akan turun menyongsong

Pras atau melemparkan semacam rambut ala Rapunsel

112 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

untuknya naik dan turun. Majikannya di bawah pasti

akan menggonggong. Pras tertawa mengingat gaya

ketemuan mereka.

Pras berani bertaruh gadis ini sama sekali

tidak pernah bahagia dalam hidupnya yang belum

genap 19 tahun. Apakah dia memiliki kenangan masa

kanak-kanan yang bahagia. Pras meragukan apakah

dia pernah bermain boneka, bermain petak umpet,

bermain gobaksodor, lompat tali karet, dsb. Karena

Pras yakin masa kecilnya dihabiskan di petak sawah dan

ladang membantu ibu dan bapaknya yang buruh tani.

Waktu luangnya di rumah? Pastilah habis untuk beres-

beres rumah, mulai dari menyapu, menimba air untuk

mengisi bak mandi, mencuci pakaian adik-adiknya,

meemetik sayur, ke pasar, menyiapkan sarapan, dan

seabreg kegiatan lain.

Pras juga yakin, dia sama sekali tidak menyadari

bahwa diam-diam tubuhnya telah tumbuh dari balita

ke masa remaja. Ia melewatkan semua itu begitu saja,

tak ada kenangan, tak ada penanda kebahagian yang

ditorehkan pada apapun, bahkan sepucuk tulisan

diary, foto-foto, atau barang-barang hadiah atau yang

dibeli sendiri. Apakah dia menikmati saat-saat bahagia

saat merayakan lebaran dengan baju baru, uang saku,

dan jajanan-jajanan? Dia hanya tertawa ketika Pras

menanyakan hal itu. Si Gadis tak menjawab pertanyaan

itu.

Mungkin pikirnya Pras sudah tahu sendiri,

lihat saja, teman pembicaraan mereka di teras rumah

si Gadis hanya segelas air putih. Ini masih suasana

lebaran, bukan hari biasa. Pras juga bukan tamu

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 113

biasa. Pras bukan tetangga sebelah rumahnya, bukan

tetangga sebelah kampungnya. Pras menempuh jarak

500 km dari rumah, jarak itu jarak separuh Pulau Jawa.

Pras juga harus mandi di terminal untuk menghilangkan

bau keringat dan berganti baju sebelum meneruskan

perjalanan sampai rumah si Gadis. Ya ampun, lihatlah

hanya segelas air putih di meja yang dihidangkan pada

Pras. Pras menyorongkan kopi ke mukaku, mimiknya

bertanya, kurasa ia ingin mengatakan apa terlalu

mewah kopi rupanya? Lebih merana lagi karena tak ada

kue lebaran di sana. Tak ada permen, tak ada krupuk,

apalagi beragam panganan seperti aneka kacang dan

roti.

Pras ingin menangis saat itu, si Gadis juga,

tapi tidak sampai hati Pras meneteskan air mata,

hanya sekedar mendung di mata. Saat di bagian ini,

panas mata Pras langsung kutelan habis di dada

sehingga tenggorokanku tersekat, masygul sekali.

Mungkin seumur hidup begitulah lebaran di rumah si

Gadis di kampung. Pras juga dari kampung, aku juga.

Meski nenek dan kakekku di kampung hanya orang

biasa, nenekku selalu menyediakan berbagai macam

panganan di meja saat lebaran.

Jika kubayangkan rumah nenekku kurasa sama

juga dengan rumah orang tua si Gadis, berdinding

gedeg bambu dan berlantai tanah. Terdiri dari dua

ruangan besar bersebelahaan. Ruang pertama sebagai

ruang tamu dengan beberapa sekat kamar yang pas

untuk ranjang saja, dan ruang kedua sebagai pawon,

atau dapur. Malam lebaran, di pawon nenekku akan

menyiapkan panganan-panganan untuk lebaran. Ia

menguliti dan menggoreng kacang, krupuk-krupuk

114 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

buatan sendiri yang telah disiapkan sebelumnya

saat hari-hari puasa, membuat adonan untuk ketan,

menyembelih itik dan membuat kare untuk sarapan,

terutama untuk anak-anaknya, mantu-mantunya, dan

cucu-cucunya yang akan membanjiri ruang tamunya

setelah sholat Ied.

Nenekku akan mengupah seseorang untuk

menyewakan beberapa bangku panjang sebuah

sekolah dasar negeri tak jauh dari rumah yang tentunya

juga sedang libur panjang. Dan memang beberapa

warga banyak yang memanfaatkan bangku-bangku

panjang sekolahan itu untuk menambah meja di

rumah saat lebaran. Asal menjaganya dengan baik,

mengembalikan sesuai waktu yang dijanjikan, dan

sedikit uang kompensasi yang diberikan ke penjaga

sekolah, semua beres, tidak ada yang tidak bisa dengan

jiwa kekeluargaan. Jadi Pras berpikir apakah yang

berbeda dengan keluarga si Gadis dan keluargaku? Aku

lalu menambahkan juga bahwa Kakek dan Nenekku

juga buruh tani, nenekku sesekali di waktu luangnya

menjajakan kain batik ke berbagai tempat, bahkan

sampai ke kota. Apakah yang berbeda? Apakah upah

buruh tani di sana dan dikampungku berbeda? Tentu

saja ini sebuah pertanyaan bodoh.

Pras kembali mempersoalkan nama si Gadis.

Rasanya Pras ingin menonjok Ibu dan bapak yang

telah memberi nama tidak pantas kepada gadis yang

Pras cintai. Betapa tega seorang Ibu memberi nama

demikian. Sama saja Ibu tersebut mengutuk anaknya

sendiri. Tanpa disadari si ibu tak ubahnya seperti Ibu

Malin Kundang yang menengadahkan tangan ke

langit dan menyumpahi anaknya agar menjadi batu.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 115

Apakah Ibunya ingin anaknya akan sesuai nama

yang disandangnya. Kenapa Ibunya tak memberikan

nama semisal Sri Dewi, atau Dewi Artha, sebagai satu

ungkapan masa depan si gadis agar sejahtera dan

berlimpah harta. Malin Kundang lebih beruntung, di

perantauan dia hidup makmur, sedang gadis itu sama

sekali merana di perantauan. Akibatnya, Pras setengah

mati ikut-ikutan prihatin juga.

Ah Pras. Kubayangkan suasana kaku. Bapak dan

Ibu si Gadis tidak kunjung pulang karena memang tidak

ada yang memanggilnya kembali pulang, akan sayang,

gaji buruh yang setengah hari bisa hilang. Kulihat dia

meruyah rambutnya lagi sambil meringis menatapku.

Semacam gerak penutup bagi satu kisah yang sulit

di akhiri malam itu. Tapi menurutku, sejauh yang

dapat kuceritakan padamu, gaya meringisnya kurasa

permohonan maaf akan luapan emosi yang membuat

ludahnya berulang-ulang terciprat ke mukaku.■

116 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 117

Profil Pengarang

Mochammad Asrori, lahir di Surabaya, 24 Juni

1981. Menulis cerpen, puisi, esai, dan naskah drama.

Beberapa media cetak seperti; Buletin Sesasi, Tabloid

Gema, Majalah Widyawara, Glocalmagz, Jurnal Sarbi,

Lembah Biru, Harian Jawa Pos, Kompas, Surya, Radar

Surabaya, Radar Mojokerto, Denpasar Pos, Indonesian

Literary Collective Zine, dan Rakyat Sumbar pernah

memuat karya-karyanya.

Pernah mendapat Juara I Lomba Menulis

Cerpen Unesa (2004), Juara III Tangkai Penulisan Cerpen

Peksiminal Jatim (2004), Juara I Lomba Menulis Esei dan

Juara II Lomba Menulis Puisi Surabaya Reading (2005),

Juara Harapan 1 Lomba Menulis Naskah Teater Remaja

Taman Budaya Jatim (2008), Juara 1 Lomba Menulis

Puisi Menebar Asa di Enam Musim (2014), dan Juara 2

Lomba Menulis Cerpen Obsesi Diva Press (2015).

Beberapa karyanya juga terhimpun dalam

berbagai antologi, yaitu; Persuasi Tanah (JBSI, 2003),

Antologi cerpen dan puisi Festival Bulan Purnama

Majapahit (DKKM, 2010), Kumpulan Puisi Gugat (IKA

Unesa, 2011), Tentang Kami Para Penghuni Sorter (KKL

Publishing, 2011), Berdoa Bersama (Tadarus Puisi DKKM,

2014), Memo untuk Presiden (Forum Sastra Surakarta,

2014), Menebar Asa di Enam Musim (Pena House, 2014),

Sang Peneroka (Gambang, 2014), Tasbih Hijau Bumi

(Lesbumi NU Jatim, 2014), Bunga Rampai Terminal Sastra

2014 (KKL, 2015), Merangkai Damai (Nitramaya, 2015),

118 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain

Luka-Luka Bangsa (PMU, 2015), PMK 4: Ensiklopegila

Koruptor (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies

Pada Musim (Satu Kata, 2015), Kalimantan, Rinduku

yang Abadi (Pustaka Senja, 2015), Pukul 6, Antologi

Pemenang Lomba Menulis Cerpen Bersama Uda Agus #5

(WR, 2015), Memo Anti Terorisme (FSS, 2016), dan Lelaki

Pemanggul Literasi dan Pengayom Seni (MNC, 2016).

Buku pribadi yang telah terbit Kumpulan

Cerpen Pengarung Bahu (Lulu, 2010), Kumpulan Puisi

Tiga Postur Kota (Sarbi, 2015), dan Kumpulan Cerpen

Jam Beker di Kepala Laki-Laki (MNC, 2015).

Dalam perjalanan hidupnya pernah bekerja

sebagai buruh fumigasi kapal, jurnalis majalah bisnis,

penulis lepas majalah dan portal internet, tentor

lembaga bimbingan belajar, serta guru sekolah sekolah

dasar dan sekolah menengah. Pendiri dan Penggiat

Lingkar Literasi Putih (Liliput), Sanggar Interlude (Saint),

dan Serikat Buku. Alamat: Jl. Palem Kartika I-03, Graha

Japan Asri, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto.

Email: [email protected]. Hp: 085231586507.

Weblog: kedaipuisi.wordpress.com.

Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain | 119

Riwayat Penerbitan

• Sisi Ardhanari, pernah terbit di Majalah

Widyawara No. Tahun 2004 dengan judul

Ardhanari Brahma

• Penyu Ratih, pernah terbit di Tabloid Gema No.

156 Tahun XXI/April 2005 dengan judul Penyu

Kecil Ratih

• Seburut Perempuan pernah terbit di Harian

Surya, 11 Juni 2006 dengan judul Istri

• Obituari Kota, pernah terpilih dalam 20 cerpen

terbaik Lomba Menulis Cerpen Balai Bahasa

2008 dengan judul Tundra

• Intaian Merpati, pernah terbit di Harian Radar

Surabaya, 8 Februari 2009 dengan judul

Merpati

• Mengemas Flu, pernah terbit dalam buku Pukul

6, Antologi Pemenang Lomba Menulis Cerpen

Bersama Uda Agus #5 dengan judul Antara Flu,

Rindu, dan Bau

120 | Seburut Perempuan dan Kisah-Kisah Lain