ISBN 978-623-7011-21-7
Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi
Ali bin Abi Thalib: Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
(Al-Murtadhâ Sîrah Amîrul Mu’minîn Sayyidinâ Abil-Hasan ‘Aliyyibni Abî
Thâlib Radhiya-llâhu ‘Anhu Wa Karrama Wajhahu)
Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi
Penerjemah: Eka Nurdiana, Lc.
Editor: M. Roichan Firdaus
Desain Sampul dan Isi: Candea Analinta
Penata Letak Isi: Tri Mulyani Ch.
Cetakan Pertama: November 2018
Tinta Medina, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Jln. Dr. Supomo, No. 23, Solo 57141
Tel. (0271) 714344, Faks. (0271) 713607
http://www.tigaserangkai.com
e-mail: [email protected]
Penerbit Tiga Serangkai Tiga_Serangkai
Anggota IKAPI
an-Nadwi, Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani
Ali bin Abi Thalib: Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya/
Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi
Cetakan 1–Solo
Tinta Medina, November 2018
xxii, 282 hlm.; 21 cm
ISBN: 978-623-7011-21-7 (PDF)
1. Religi I. Sejarah
©Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
All rights reserved
Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
PENGANTAR PENERBIT
Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji hanya milik Allah. Kita selalu memuji-Nya,
memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kita memohon
perlindungan dari keburukan diri dan perbuatan. Barang
siapa yang mendapat petunjuk, tidak ada seorang pun yang
mampu menyesatkannya. Barang siapa yang disesatkan,
tidak ada seorang pun yang mampu memberinya petunjuk.
Shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah saw. yang
telah menyelamatkan umat manusia dari lembah kegelapan
menuju lembah terang benderang yang penuh hidayah.
Tidak lupa pula kepada keluarganya, para sahabatnya, dan
para pengikutnya sampai hari kiamat kelak.
Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi melalui buku
ini mengajak kita untuk mengenal sosok Ali bin Abi Thalib.
Buku ini menceritakan tentang sirah (perjalanan hidup) Ali
bin Abi Thalib, Khalifah keempat umat Islam dari Khulafaur
Rasyidin al-Mahdiyyin dan juga Ahli Baitnya dengan netral
tanpa memandang kelompok serta kepentingan politik.
vi
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Rasulullah
saw. yang merupakan Khulafaur Rasyidin yang keempat. Dia
adalah putra dari Abi Thalib, paman Rasulullah saw. Dia juga
menjadi menantu Rasulullah saw. semenjak menikahi putri
Rasul, Fatimah az-Zahra.
Setelah Rasulullah saw., tidak ada seorang pun (dari
khalaf maupun salaf) yang diketahui memiliki kefasihan
melebihi Ali. Dia adalah seorang bijak yang menyinarkan
hikmah-hikmah, seorang orator yang seni sastranya menderu
dari lisannya, dan seorang penasihat yang memberikan
petuah yang masuk ke telinga, lalu ke hati. Selain itu, dia
adalah seorang yang suka menulis surat dan kata-katanya
dalam serta mengena, juga seorang pembicara yang bisa
menempatkan diri di mana saja. Sungguh, semua sepakat
bahwa dia seorang orator paling ulung di antara kaum muslim
dan seorang organisator. (Târîkh al-Adab al-‘Arabiyyi)
Semoga, hadirnya buku ini dapat menambah wawasan,
pengetahuan, inspirasi, motivasi sekaligus referensi bagi
pembaca tentang Islam sehingga menambah keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT.
Tinta Medina
PTA
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurah kepada penghulu dan
penutup para nabi, Nabi Muhammad saw., beserta keluarga,
pengikutnya, dan orang yang menyeru dengan dakwahnya
hingga hari kiamat.
Ammâ Ba‘du. Disebabkan banyaknya dari mereka
yang merupakan para pemuka, pemimpin bagi tiap gene-
rasi, pembuat sejarah, dan penyebar sastra, ilmu, serta
keutamaan maka banyak generasi yang menyanjung dan
memuja kemuliaan, kepahlawanan, dan kecerdasan mereka.
Ada sebagian orang yang berlebihan dalam mencintai dan
memuliakan mereka. Itulah kisah dari beberapa era dan
lapisan masyarakat yang membawa panji perbaikan, penyeru
pada jalan kebenaran, penyelamat umat, dan pemerdeka
negara-negara terjajah. Mereka juga pembaru dalam
beragam cabang ilmu, sastra, dan hikmah.
Mereka menghujani bumi dalam awan sejarah. Nama
mereka tersembunyi di antara nama-nama tokoh yang
gemilang karena sebab tertentu. Mereka dikelilingi dengan
viii
cerita yang dilebih-lebihkan yang tidak bersumber dari
kepribadian mereka yang memang sudah unggul. Kedudukan
mereka juga tidak disebutkan dalam sejarah.
Antara mereka dan pemahaman mereka yang benar
dihalangi oleh perbedaan mazhab, peristiwa sejarah,
kepentingan politik, dan warisan antargenerasi sehingga
mereka tertutup dari pandangan atau malah menjadikan
mereka sebagai pemimpin sebuah kaum atau kelompok
tertentu. Jika seseorang keluar dari tembok tinggi tersebut,
mengakui kelebihannya, maka akan terbuka bahwa mereka
seperti harta karun yang tersebar untuk manusia, mukjizat
Allah yang diberikan oleh para Rasul, bukti kebenaran Islam,
kemampuan menelurkan pemuka-pemuka, menepis dari
taklid, dan penyelewengan mazhab yang dilakukan oleh
penganut agama yang terlalu bersemangat.
Dari beberapa pribadi yang terzalimi ini atau yang dirampas
haknya adalah Ali bin Abi Thalib. Terdapat penutup tebal
yang menyelimutinya selama berabad-abad, dari generasi
ke generasi, karena latar belakang mazhab, kesukuan, dan
pribadi. Dia tidak diberi hak yang benar. Para peneliti bahkan
mereka yang mencintainya tidak menggambarkannya se-
bagaimana pribadinya yang sebenarnya, penjabaran yang
luas dan mencakup, dan mengungkapkannya dengan jujur
lagi detail dan netral tentang pertumbuhannya, peristiwa yang
dihadapinya, masyarakat, orang-orang, dan panglima yang
semasa dengannya dan yang membantunya serta kesusahan
yang dihadapinya, kemuliaan yang dipegang teguh oleh-
nya, strategi politik, dan administrasi yang didahulukannya.
ix
Mereka tidak mencari sebab dan hasil dari proses tersebut,
tidak membandingkannya dengan lawannya dan hasilnya.
Banyak orang yang masih mengikuti sejarah-sejarah dan
biogra yang ditulis oleh para ahli sejarah, penulis dalam
bidang sirah, biogra dan keutamaan para tokoh, serta
penulis dalam bidang sejarah kelompok dan golongan, studi
perbandingan. Pada umumnya, mereka masih bersandar
pada buku-buku lama yang ditulis oleh orang-orang ter-
dahulu dan dibahas tidak secara bebas dan lugas. Buku
tersebut sudah tidak bisa dijadikan referensi murni. Bahkan
sumber-sumber yang tepercaya mengenai pembahasan ini
tidak juga bisa kita jadikan referensi satu-satunya. Karena
adanya penambahan terhadap apa yang dinukil dari sumber
yang dijadikan sejarah pada masa lalu.
Sebagaimana yang diketahui oleh para peneliti, sejarah
itu seperti reruntuhan bangunan yang kokoh berhamburan di
atas bumi dan kemudian disusun lagi satu per satu sehingga
menjadi seperti semula. Maka dalam reruntuhan tersebut
terdapat sesuatu yang kecil dan besar, bebatuan dan debu.
Ada juga yang menjadi harta karun besar terpendam, batu
yang cocok untuk bagian pojok, dan juga cocok untuk
bagian atas. Para penulis berusaha untuk menyusun kembali
reruntuhan tersebut berdasarkan gambaran tentang istana
yang runtuh tersebut dari tiangnya, fondasinya, hingga
perhiasannya. Akan tetapi, usaha mereka tersebut banyak
yang tidak dituangkan dalam tulisan, sehingga para pembaca
tidak dapat melihat secara keseluruhan istana tersebut
dengan sempurna.
Setiap peneliti merupakan pelopor dari lingkungan, pen-
didikan, dan kejiwaan pada zamannya. Dia terus melanjutkan
x
perjalanannya dalam sejarah, menjelajah perpustakaan
yang luas dan banyak koleksi, dan siap untuk mengarahkan
serangannya. Fitrah manusia sangat menyukai kemudahan,
menghindari capek dan menempuh jalan susah. Maka
mereka merasa cukup dengan karya orang-orang terdahulu.
Mereka bersandar kepada apa yang telah dipaparkan
oleh pendahulunya. Akan tetapi, sebagaimana orang ter-
dahulu berkata, ”Berapa banyak generasi sebelumnya
meninggalkan untuk generasi setelahnya.” Sejarah, per-
jalanan hidup, dan biogra tokoh masih terus menunggu
para musar yang keras, kuat, memiliki pandangan yang jauh
untuk menjelajahinya, sehingga ada suara gaib dari penyair
yang menderu di telinganya, ”Akan tampak olehmu hari-hari
yang kamu tidak ketahui dan akan datang kepadamu kabar-
kabar yang belum kamu dengar. Kabar-kabar yang belum
pernah kamu ikuti dan tidak kamu ketahui waktunya akan
mendatangimu.”
Pada suatu ketika (pada tahun 50-an) kakakku, Dr. Sayyid
Abdul Ali al-Hasani (seorang yang berperan besar dalam
mengajarkanku dan mendidikku, pada saat itu ayahku
1
telah
meninggal dan aku berumur 9 tahun), berkata kepadaku
dengan suara pelan, ”Wahai Ali, kamu harus menulis sebuah
1 Sayyid Abdulhayyi Al-Hasani, sejarawan besar India. Memiliki beberapa karya
dalam bidang sejarah dan kebudayaan India. Seperti Nuzhah Al-Khawathir wa
Bahjah As-Sami’ wa An-Nawazhir yang berjumlah sampai 8 jilid besar, kemudian
kitab Ats-Tsaqafah Al-Islamiah  Al-Hind, buku tersebut merupakan bukti untuk
warga India dalam ilmu dan sastra arab. Ada juga kitab Al-Hind  Al-Ahdi Al-
Islami. Masih banyak lagi karya beliau baik dalam bahasa Arab maupun bahasa
Urdu. Meninggal pada 16 Jumadal Akhir 1341 H bertepatan dengan 3 Februari
1923 M.
xi
buku tentang perjalanan hidup Ali bin Abi Thalib. Kaulah
yang tepat untuk menuliskannya dan pasti mampu.”
Aku telah menuliskan banyak buku tentang beberapa
tokoh besar, para penyeru kepada Allah, mushlihin, dan
mujahidin. Jika dikumpulkan jumlahnya maka itu lebih dari
seribu halaman. Pada saat itu aku sudah piawai dalam menulis,
tetapi saat aku mengingat itu, aku takut untuk menuliskannya
tidak seperti judul-judul lainnya. Sebab, pada pembahasan
tentang Ali bin Abi Thalib lebih tipis daripada selembar
rambut. Jarang ada penulis yang benar dalam tulisannya,
kecuali dengan hati yang luas, kesabaran yang kuat, dan
pemikirannya seimbang. Terlebih lagi jika dia mendapatkan
tauk dari Allah, sehingga dia akan lebih selamat.
Dia tidak menuliskan kepadaku supaya aku memenuhi
keinginannya tersebut, sehingga aku bisa memberikannya
kebahagiaan. Akan tetapi, aku mulai menulisnya setelah aku
merasa sangat longgar dan bersemangat untuk menyelami
perpustakaan Islam yang khusus membahas tentang sirah Ali
bin Abi Thalib. Sirah Ali bin Abi Thalib adalah sebuah sirah
yang luas dan berlandaskan pembahasan sejarah baru yang
luas.
Penulis memberanikan diri untuk melewati batas yang
tidak ingin dilangkahi oleh para penulis lain yang membahas
tentangnya. Dia tidak menuliskan sesuatu yang serumpun
dengan yang telah mereka tuliskan, tidak juga dari sumber-
sumber tertentu yang biasa digunakan oleh para penulis
pada umumnya.
Keinginannya membara untuk belajar lebih luas dan
beranekaragam, mulai memahami orang-orang yang begitu
banyak, yang sering dijadikan perselisihan dan banyak dilebih-
xii
lebihkan atau dikurangkan. Dia juga melihat setiap kelompok
dari segi tertentu. Sebagian besar dari pengertian mengikuti
pandangan para penulis dan nafsu mereka, sehingga tidak
jarang orang yang memiliki pengaruh disamakan dengan
orang khayalan. Banyak juga sebagian rahasia besar dan
kecerdasannya yang ditutup-tutupi.
Perjalanan penulis yang sangat berat (karena usia lanjut,
kesehatan yang terganggu, banyak kesibukan, dan per-
jalanan) dimulai dengan bertawakal kepada Allah dengan
penuh harap. Pemikiran ini melekat dengan penulis dan
sudah men jalar ke seluruh anggota badan dan perasaannya,
hingga dia tidak meluangkan waktu untuk memikirkan tema
yang lain.
Kemudian penulis mempelajari sumber-sumber sejarah
dan menukil beberapa yang dirasa penting. Setelah itu
barulah menggoreskan penanya pertama kali untuk menulis
buku ini, yaitu pada 11 Rajab 1408 H/ 1 Maret 1988 M, di
Indore, bagian tengah India. Dibantu oleh kawannya yang
bernama Syekh Muhammad Mu’in an-Nadwi, wakil direktur
Nadwah Ulama. Keadaan pada saat itu mudah, cuaca tenang,
dan cocok untuk menuliskannya. Saat itu berada di rumah
Syah Nawaz Malik dan Syekh Abu Barakat an-Nadwi.
Setelah itu pulang ke rumahnya di Lucknow dan
Raebareli, dia masih tetap sibuk menuliskan bukunya selama
3 bulan (karena ada bulan Ramadhan) dan diselingi be-
berapa kunjungan. Dengan demikian, tulisan tersebut selesai
dengan tauk dari Allah di rumah kawan lamanya, H. Ghulam
xiii
Muhammad di Bombay. Dia selalu memberikan ketenangan
sehingga membantu dalam penulisan buku ini sampai awal
Syawal 1408 H. Kemudian, selesailah buku ini pada 14 Syawal
1408 H/ 31 Mei 1988 M.
Dengan tauk dari Allah penulis menyelesaikan karyanya
tentang sirah Ali bin Abi Thalib karramallaâhu wajhah. Penulis
menyampaikan keadaan pada masanya, hubungannya
dengan khalifah sebelumnya, tingkat keikhlasannya kepada
mereka, dan membantu mereka. Kemudian, penulis mem-
bahas peranannya dalam kekhalifahan, rintangan yang
dihadapi-nya, perencanaannya dalam kekhalifahan dan
administrasi, prinsipnya yang sangat dipegang teguh, ke-
muliaan yang senantiasa menjadi tujuannya, perjalanan
hidupnya yang zuhud dan langka, serta Allah juga memulia-
kan nya dengan beberapa keutamaan. Setelah itu, penulis
menyambungnya dengan menyampaikan tentang kedua
putranya yang mulia, cucu Rasul yang sangat disayangi,
peranan keduanya dalam memimpin kaum muslim, meng-
hadapi urusannya pada waktu itu, dan mengambil hak
dengan semangat, keikhlasan, serta keinginan kuat.
Penulis berpindah kepada para keturunan Ali, dia men-
ceritakan contoh-contoh mulia yang layak disebut sebagai
keluarga Nabi. Mereka masih menjadi teladan untuk akhlak
Islami dan gaya hidup yang ideal.
xiv
Selanjutnya penulis menyebutkan usaha mereka dalam
menegakkan hukum yang baik, mengubah keadaan,
menggiring pergerakan jihad, memerdekakan negara terjajah
dari masa ke masa, dan menyebutkan apa yang menjadi
keutamaannya dalam sejarah Islam berupa akhlak, pedoman,
dan perbaikan–meskipun belum mampu mencapai target
karena sebab politik. Keturunan kenabian tersebut lalu
menjadi pendidik umat, menyucikan jiwa, menyeru kepada
Allah, mengikat hati dengan Allah dengan ikatan kuat, dan
menyingkirkan tujuan keduniaan. Mereka juga memiliki
kemuliaan dalam sejarah dakwah Islam, penyebaran Islam
di wilayah yang jauh. Dengan demikian, setiap lubang
keislaman masih terus diisi madu dan dahan keturunan nabi
masih terus bersemi dan berbuah. Sedikit sekali penulis
yang menyampaikan mereka dalam sirah Ali, karena jumlah
mereka yang sedikit.
Pada bagian terakhir buku ini disampaikan kritikan untuk
beberapa akidah dan pemahaman yang memanfaatkan Ahli
Bait dan keluarga Ali untuk kepentingan mereka. Akidah
tersebut adalah pemasukan dengan nama yang terambil
dari lsafat asing, golongan, dan daerah. Selain itu, adanya
pengaruh dari meresapnya kebudayaan dan aturan agama
kuno. Adapun Islam terbebas dari semua itu.
Oleh karenanya, buku ini hadir untuk menampakkan
sejarah panjang dan cakupannya luas. Selain itu, buku ini
memberikan sedikit andil dalam menyuguhkan perjalanan
hidup seorang mulia dari umat manusia, jebolan dari
madrasah kenabian.
xv
Tidak mengapa penulis tunjukkan bahwa penulisan buku
ini senantiasa menggunakan dua prinsip. Pertama, buku ini
bersandar pada buku-buku terdahulu yang tepercaya dan
bisa diterima. Kedua, penulis mencoba menuliskan nama
kitab. Hal ini berlawanan dengan para penulis modern yang
tidak memperhatikan kitab yang dinukilnya.
Tidak hentinya penulis mengucapkan terima kasih kepada
Syekh Muhammad Atiq al-Bustawai, profesor di Darul Ulum,
Nadwah al-Ulama. Karena dia telah membantu mencari
referensi dari kitab lama dan menunjukkan beberapa tempat
untuk dinukil. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Ustadz Natsar al-Haq an-Nadwi atas bantuannya
dalam menyalin, kemudian kepada Syekh Harun an-Nadwi
atas pinjaman alat tulisnya, kepada mereka semua penulis
mengucapkan terima kasih.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas tauk-Nya
penulis bisa menelurkan karya ini dan menyelesaikannya.
Penulis memohon kepada-Nya supaya buku ini dapat ber-
manfaat bagi penulisnya dan pembacanya. Sungguh Allah
Mahakuasa atas segalanya.
Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi
Mumbai, India, 21 Syawal 1408 H/7 Juni 1988 M.
PENGANTAR PENERBIT –– v
PRAKATA –– vii
DAFTAR ISI –– xvii
ALI BIN ABI THALIB: KELUARGA, KELAHIRAN, DAN HIJRAHNYA –– 1
Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Keturunan serta
Pandangan Islam dalam Hal Tersebut –– 2
Kelahiran Ali bin Abi Thalib –– 17
Hijrah –– 24
ALI BIN ABI THALIB DI MADINAH: DARI HIJRAH HINGGA RASULULLAH SAW.
WAFAT –– 27
Pemersaudaraan –– 28
Pernikahan Ali dengan Fatimah –– 28
Kehidupan Ali dan Fatimah –– 29
Mencoba untuk Menghibur Rasulullah saw. –– 31
Julukan Kasih Sayang –– 32
Perang Badar Kubra dan Peranan Ali –– 32
Perang Uhud –– 34
Perang Khandaq (Ahzab) dan Kecerdasan Ali –– 36
Perjanjian Hudaibiah, Akhlak Ali dan Kecintaannya
DAFTAR ISI
xviii
kepada Rasulullah saw. –– 38
Perang Khaibar dan Keberanian Ali –– 39
Antara Ali dan Marhab (Prajurit Yahudi) –– 40
Mengimani dan Memercayai Kabar yang Disampaikan
Rasulullah saw. –– 41
Rasulullah saw. Menggembirakan Ali dengan Meng-
angkatnya sebagai Pengganti Beliau di Madinah –– 43
Ali Diutus ke Yaman dan Mengislamkan Penduduk
Hamdan –– 43
Mewakili Rasulullah saw. dan Tawaduk –– 44
Haji Wada’ dan Khotbah Ghadir Khum –– 45
Wafatnya Rasulullah saw. –– 46
ALI BIN ABI THALIB: PADA MASA KEKHALIFAHAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ –– 49
Detik-Detik Penentu –– 50
Perjalanan Agama-Agama Terdahulu –– 50
Syarat Penerus Pembawa Ajaran Nabi –– 52
Abu Bakar Memenuhi Syarat-Syarat Tersebut –– 53
Musyawarah dalam Islam dan Kepemimpinan Abu
Bakar –– 63
Baiat Abu Bakar –– 69
Hikmah Diakhirkannya Ali sebagai Khalifah –– 74
Tugas Pertama Abu Bakar –– 75
Fatimah Az-Zahra’ –– 79
Baiat Ali –– 83
Keteguhan Ali dalam Menghadapi Ujian –– 84
Kerelaan Ali dan Dukungannya terhadap Abu Bakar –– 85
Hubungan Abu Bakar dengan Para Ahli Bait –– 87
Kehidupan Abu Bakar sebagai Khalifah –– 88
Pengumpulan Al-Qur`an –– 89
Pujian Ali kepada Abu Bakar, setelah Kematiannya –– 89
xix
ALI BIN ABI THALIB: PADA MASA KEKHALIFAHAN UMAR BIN KHATHTHAB –– 91
Penunjukan Abu Bakar kepada Umar sebagai Khalifah.
Pengaruh dan Manfaatnya untuk Umat Islam dalam
Masa Transisi –– 92
Umar Menjaga Kezuhudan Bangsa Arab yang
Ditaklukkannya –– 94
Ekspansi Daulah Islam pada Masa Umar –– 98
Umar dan Ali Saling Mendukung –– 98
Bukti Nyata Keikhlasan Ali dalam Mendukung Umar
dan Kemaslahatan Islam serta Kaum Muslim –– 100
Perjalanan Umar ke Baitul Muqaddas –– 105
Sikap Umar kepada Ahli Bait Rasulullah saw. –– 107
Awal Penanggalan Hijriah dalam Islam –– 110
Syahidnya Umar –– 111
Kesedihan Ali dan Pujiannya kepada Umar –– 114
ALI BIN ABI THALIB: PADA MASA KEKHALIFAHAN UTSMAN BIN AFFAN –– 115
Pembaiatan Utsman bin Affan –– 116
Kedudukan Utsman dalam Agama dan Masyarakat –– 119
Ekspansi Negara Islam pada Masa Kekhalifahan
Utsman –– 122
Peninggalan Abadi Utsman –– 124
Ujian Utsman saat Menjadi Khalifah –– 126
Puncak Fitnah –– 130
Pengepungan Utsman, Syahidnya, dan Peranan Ali
dalam Melindunginya –– 134
Pengaruh Akidah pada Utsman dan Kedudukannya yang
Mulia dalam Islam –– 137
xx
ALI BIN ABI THALIB: PADA MASA KEKHALIFAHANNYA –– 141
Pembaiatan Ali –– 142
Khotbah Pertama Ali setelah Menjadi Khalifah –– 142
Masa Kekhalifahan Ali dan Tantangannya –– 144
Awal Perselisihan Pendapat dan Perang Jamal –– 147
Penghormatan Ali kepada Aisyah –– 149
Antara Ali dan Muawiah –– 151
Perang Shifn –– 153
Tahkim –– 156
Keluarnya Khawarij dari Barisan Ali –– 157
Ali Menerima Usulan Tahkim dan Khawarij Keluar dari
Keputusan –– 160
Khawarij dan Saba’iyah –– 161
ALI BIN ABI THALIB: KHAWARIJ DAN AHLI SYAM MENGHARAPKAN KEMATIAN
ALI –– 167
Antara Khawarij dan Ahli Syam –– 168
Menuju ke Syam dan Ahli Irak Beralasan dalam
Berperang –– 171
Syahidnya Ali –– 174
Sepeninggal Ali –– 177
Hikmah dan Kefasihannya –– 178
Syairnya –– 181
Etika Mengkritik yang Unik –– 182
ALI BIN ABI THALIB: SANG KHULAFAUR RASYIDIN YANG KEEMPAT –– 187
Perjalanan Hidup Ali pada Masa Kekhalifahannya
secara Global –– 188
Zuhud dan Wara‘nya Ali –– 190
Ali Bersama Para Pimpinan Wilayah, Pekerja, dan Kaum
Muslim –– 194
xxi
Imam Murabbi dan Pembaharu –– 195
Strategi Politiknya dan Perkataan Adil padanya –– 197
Politik Ali yang Sesuai dengannya dan Tidak Ada
Duanya –– 200
Menilik Masyarakat Islam –– 206
DUA PEMUKA PARA PEMUDA AHLI SURGA: HASAN DAN HUSAIN –– 209
Hasan bin Ali bin Abi Thalib –– 210
Pentingnya Nabi Mengabarkan tentang Hasan serta
Pengaruh Kejiwaannya –– 213
Kekhalifahan Hasan dan Perdamaiannya dengan
Muawiah –– 215
Syahidnya Hasan –– 219
Ketepatan Sikap Hasan –– 220
Husain bin Ali bin Abi Thalib –– 221
Kepemimpinan Yazid bin Muawiah –– 222
Riwayat Hidup Yazid dan Akhlaknya –– 223
Bencana Karbala’ –– 225
Ajakan Ahli Irak kepada Husain dan Husain Mengutus
Muslim bin Aqil kepada Mereka –– 226
Ahli Kufah Menelantarkan Muslim bin Aqil –– 226
Surat Muslim kepada Husain dan Saran Orang-Orang
kepadanya –– 228
Husain bin Ali bin Abi Thalib di Kufah –– 230
Di Karbala` –– 230
Dihadapkan ke Yazid –– 233
Peperangan Harrah dan Kematian Yazid –– 234
Pendapat Ulama Ahli Sunnah dan Komentar Mereka
tentang Syahidnya Husain di Karbala` –– 235
Usaha untuk Menegakkan Hukum yang Baik dan
Mengubah Kehinaan –– 238
xxii
PEMUKA AHLI BAIT DAN ANAK KETURUNAN ALI –– 243
Kehidupan Keturunan Ali setelah Peristiwa Karbala` –– 244
Bersemangat pada Nasab Nabi –– 248
Berlebihan dalam Memuji dan Mencintai Adalah
Dibenci –– 250
Mengakui Ketiga Khalifah dan Membela Mereka –– 251
Orang-Orang yang Bertekad Kuat dan Berjihad –– 253
Peranan Mereka dalam Dakwah Islam dan Penyucian
Jiwa serta Beberapa Contoh –– 254
DAFTAR PUSTAKA –– 277
TENTANG PENULIS –– 281
ALI BIN ABI THALIB:
KELUARGA, KELAHIRAN, DAN
HIJRAHNYA
2
Ali bin Abi Thalib
Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Keturunan serta
Pandangan Islam dalam Hal Tersebut
Dalam disiplin ilmu anatomi, psikologi, etika, dan sosiologi
menunjukkan bahwa seorang anak dapat mewarisi tingkah
laku, kemampuan, dan bakat dari gen leluhurnya dengan
persentase tertentu. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan
tiga hal:
1. Etika dan norma yang dipegang teguh oleh leluhur.
Mereka senantiasa menjaga etika dan norma tersebut,
mereka juga merasa terhormat dengan adanya etika dan
norma tersebut. Anggota keluarga yang menyimpang
dari etika dan norma yang berlaku dianggap sebagai
pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan
termasuk durhaka terhadap orang tua. Orang yang
bertindak demikian, menurut adat yang telah berlaku
secara turun temurun, tidak dapat dimaafkan.
2. Kisah leluhur dan pembesar keluarga dalam kepah-
lawanan, kedermawanan, keberanian, kemurahan hati,
kegagahan, dan mengayomi orang-orang lemah, yang
terus dikisahkan dari generasi ke generasi akan membuat
rasa bangga. Hal tersebut akan berpengaruh dalam
membentuk pola pikir dan perasaan. Dengan demikian
akan dijadikan rolemodel dalam kemuliaan, keberanian,
ketaatan kepada orang tua, dan untuk membanggakan
keluarga.
3. Gen yang diwariskan dari leluhur kepada seluruh
keluarganya, adalah sumber kemurnian dari ciri khas
sebuah keluarga. Hal ini telah dibuktikan dalam ilmu
genetik.
3
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Penyair Arab, Rabi’ah bin Maqrum, seorang penyair
dari Suku Mudhar dan yang hidup di dua masa (jahiliyah
dan Islam) berkata tentang hal ini, ”Seorang yang mulia
seperti emas murni yang tidak ada cela padanya, senantiasa
berkilau dan dikehendaki oleh semua orang.” Huthaiah
berkata, ”Kemuliaan dan kegemilangan mereka dibangun
oleh leluhur-leluhur mereka.”
Sifat warisan ini terjadi dengan persentase tertentu dan
terkadang juga mendominasi. Tidak benar jika sama persis
dengan leluhurnya dan tidak benar juga jika menjadi suatu
kepastian mutlak yang tidak dapat menerima pengecualian.
Hanya Allah-lah yang dapat menetapkan sebuah kepastian
mutlak, ”… Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan
bagi Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan
bagi ketentuan Allah itu.” (QS Fâthir [35]: 43)
Hal tersebut juga sebagaimana yang diucapkan lisan
kenabian dalam hikmahnya dan kefasihannya, dengan sangat
detail, benar, lagi tersusun seimbang. Itulah keunggulan dari
perkataan kenabian, kesaksian para nabi yang benar, dan
penjelasan mereka tentang beberapa hakikat. Abu Hurairah
meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda,
”Manusia laksana barang tambang, seperti barang tambang
emas dan perak. Orang-orang pilihan mereka pada masa
Jahilian adalah orang-orang pilihan mereka pada masa Islam,
jika mereka pandai.” (HR Ahmad)
4
Ali bin Abi Thalib
Dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda,
”Barang siapa yang lambat amalnya maka tidak dipercepat
kenaikan derajatnya.” (HR Muslim)
Oleh karenanya peranan gen yang diwariskan tidak
selalu diunggulkan, tidak juga menjadi sebab kepemimpinan
agama atau keilmuan dari suatu keluarga tertentu. Karena
hal inilah dunia sebelum Islam mengalami kehancuran seba-
gaimana yang dicatat oleh sejarah yaitu kerajaan Romawi
dan Sasaniah serta masyarakat Yunani Kuno dan India.
Dalam membahas Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
alangkah baiknya kita membahas gen dan keturunannya,
sebagai bentuk amanah keilmuan dan sejarah. Bagaimana
gen dan keturunan ini memiliki keunggulan pada adat di
masyarakat? Bagaimana masyarakat Arab memandang
gen dan keturunan serta mendudukkan keduanya pada ke-
muliaan?
Kita mulai dengan Kabilah Quraisy kemudian Bani Hasyim.
Kabilah Quraisy
Bangsa Arab seluruhnya mengakui kemuliaan keturunan
Quraisy, kepemimpinan, kefasihan dan kemurnian bahasa,
kemuliaan akhlak, keberanian, dan kedermawanan mereka.
Hal ini sudah tidak bisa dibantah dan tidak perlu diperde-
batkan lagi.
Banyak dari mereka yang berpegang teguh dengan
syariat Ibrahimiah. Berbeda dengan kaum Badui yang tidak
mengakui agama dan tidak menjunjung etika. Kaum Quraisy
5
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mencintai anak-anak mereka, berhaji di Baitullah, menegakkan
manasik, mengafani mayat mereka, mandi junub, dan tidak
menyembah api. Mereka tidak menikahi anak perempuan dan
cucu perempuan mereka, tidak menikahi saudari dan anak
saudari mereka, dan mereka jauh dari majusiah. Al-Qur`an
turun sebagai penegasan bagusnya tindakan mereka dan
baiknya pilihan mereka. Mereka menikah dengan memberi
mahar dan ada saksi serta mereka melakukan hukum talak
dengan talak tiga.
Hal yang menambah kemuliaan mereka adalah mereka
bebas menikah dengan kabilah mana pun, yang mereka
kehendaki dan tidak ada satu syarat pun bagi mereka.
Mereka tidak menikahkan seseorang dari kabilah lain kecuali
dengan syarat bahwa orang tersebut akan berpegang teguh
dengan agama mereka. Kaum Quraisy melihat bahwa kaum
lain tidak layak bagi mereka hingga mengikuti mereka dan
berpegang teguh kepada agama mereka.
Bani Hasyim
Kedudukan Bani Hasyim dalam kabilah Quraisy adalah se-
bagai pemegang kendali. Dalam kitab sejarah kita mendapati
keterangan bahwa mereka istimewa, adil dalam segala hal,
cerdas, kuat iman, memiliki kedudukan untuk mengurus
rumah Allah, tidak berbuat zalim dan melampaui batas.
Selain itu, mereka juga memiliki tekad yang tinggi, mengasihi
orang lemah dan yang tertindas, dermawan, berani, dan
mereka ”pandai berkuda” dalam arti yang luas menurut
bangsa Arab. Inilah sikap mulia dari leluhur Rasulullah saw.
serta akhlak terpuji mereka. Akan tetapi, mereka hidup pada
zaman sebelum diutusnya Nabi, sehingga anak-anak Bani
Hasyim mengikuti kepercayaan jahiliah dan ibadah mereka.
6
Ali bin Abi Thalib
Abdul Muthalib bin Hasyim, Kakek Rasulullah dan Ali
bin Abi Thalib
Abdul Muthalib menduduki jabatan Siqayah wa Rifadah
(bagian yang menyiapkan konsumsi bagi jamaah haji) yang
sebelumnya dipegang oleh pamannya Muthalib. Dia men-
jalankan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, sehingga dia
mendapatkan kemuliaan dan kecintaan dari kaum nya, yang
belum pernah dicapai oleh leluhurnya.
Abdul Muthalib bukanlah orang paling kaya dan bukan
juga satu-satunya pemuka Makkah yang ditaati, sebagaimana
Qushai. Akan tetapi, dia menjadi pemuka kaumnya karena
menjabat Siqayah wa Rifadah dan memegang kuasa atas
sumur zamzam. Inilah jabatan yang memiliki hubungan dengan
rumah Allah. Bisa jadi hal inilah yang membuatnya berani
menemui Abrahah untuk membicarakan urusan Makkah dan
Baitullah.
Keimanan Abdul Muthalib terlihat saat dia meyakini
bahwa Baitullah tersebut merupakan tempat yang dimuliakan
Allah dan Dia akan melindunginya. Kepribadiannya sebagai
pemuka Quraisy yang kuat dan berwibawa muncul saat dia
berbincang dengan Abrahah, Raja Habasyah. Abrahah hendak
menghancurkan Baitullah sehingga Baitullah tidak dimuliakan
lagi. Pada saat tentara Abrahah datang, 200 ekor unta milik
Abdul Muthalib mati karena mereka. Kemudian Abrahah
turun menemui Abdul Muthalib karena urusan unta tersebut.
Mereka berdua duduk dan Abrahah bertanya kepada Abdul
Muthalib tentang hajatnya. Abdul Muthalib pun berkata, ”Aku
hanya ingin 200 ekor unta milikku itu kembali.”
Mendengar perkataan dari Abdul Muthalib tersebut,
Abrahah meremehkannya dan memalingkan pandangannya
7
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
darinya. Dia berkata, ”Apakah kamu hanya berbicara tentang
200 ekor unta dan tidak sedikit pun menyinggung tentang
Baitullah. Padahal, kamu mengetahui bahwa aku ke sini untuk
menghancurkan Baitullah. Tidakkah kamu membicarakannya
kepadaku?” Abdul Muthalib menjawab, ”Aku adalah pemilik
unta dan Baitullah tersebut ada Dzat yang memiliki dan yang
menjaganya.” Abrahah berkata, ”Tidak ada satu pun yang
akan menghalangiku.” Abdul Muthalib menjawab-Nya, ”Dia
akan mencegahmu dan seluruh pasukanmu.”
Konon Abdul Muthalib menyerukan kepada anak-anak-
nya untuk meninggalkan perbuatan zalim, memerintahkan
mereka untuk berakhlak mulia dan mencegah mereka agar
tidak melakukan tindakan hina.
Abdul Muthalib meninggal pada usianya yang ke-
80 dan pada saat itu umur Rasulullah saw. 8 tahun. Berarti
Abdul Muthalib meninggal sekitar tahun 578 M. Dikatakan
bahwa Rasulullah saw. tidak ke pasar selama beberapa hari
sepeninggal kakeknya tersebut.
Abi Thalib, Ayahnya Ali
Jarak usia antara Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim
bin Abdul Manaf dan Nabi saw. adalah 35 tahun. Namanya
sebenarnya yang dikenal di Makkah adalah Abdul Manaf.
Ada juga yang mengatakan namanya adalah Imran dan
Syaibah. Dia adalah hakim dan pemuka Quraisy, dia adalah
tempat mengadukan segala musibah yang dialami Quraisy.
Ketika Abdul Muthalib meninggal, dialah yang mengasuh
Nabi saw. Pada saat masih muda dia dan ayah Rasulullah
saw. pergi ke Syam. Dia dan ayah Rasulullah saw. merupakan
saudara kandung, nama ibunya adalah Fatimah binti Amru
bin Aid bin Abd bin Imran bin Makhzum.
8
Ali bin Abi Thalib
Awalnya Abi Thalib tidak memiliki harta sedikit pun dan
dia sangat menyayangi Muhammad melebihi kasih sayangnya
kepada anak-anaknya. Ketika dia tidur, pasti Muhammad
ada di sampingnya. Ketika dia pergi, pasti Muhammad
bersamanya. Dia juga memberikan hidangan khusus kepada
Muhammad. Ibnu Ishaq berkata, ”Abi Thalib adalah orang
yang mengasuh Rasulullah saw. setelah Kakeknya. Dia se-
nan tiasa bersama Rasulullah saw. ke mana pun dan kapan
pun.”
Suatu ketika Abi Thalib hendak pergi berdagang ke
Syam. Ketika mempersiapkan barang bawaannya, Rasulullah
saw. tidak ingin kehilangannya dan dia pun merasa kasihan
kepadanya. Dia pun berkata, ”Demi Allah, aku akan pergi
bersamanya dan aku tidak akan berpisah dengannya.”
Dengan demikian, dia pun membawanya pergi.
Rasulullah saw. pernah berkata mengenai Fatimah binti
Asad, Istri Abi Thalib, ”Dia (Fatimah binti Asad) adalah ibuku
setelah ibu kandungku. Abi Thalib bekerja keras sehingga dia
memiliki makanan. Kami dikumpulkan untuk makan hidangan
dari kerja kerasnya. Perempuan ini memberiku hidangan
lebih dari yang lain maka aku mengembalikannya.”
Abu Umar berkata tentang Fatimah binti Asad, ”Dialah
perempuan pertama dari keturunan Hasyim yang melahirkan
dari keturunan Hasyim. Dia memeluk Islam dan berhijrah ke
Madinah. Ketika dia meninggal, Rasulullah saw. menutupinya
dengan bajunya dan beliau berbaring di kuburnya, sebagai
bentuk memuliakannya dan mengakui kemuliaannya.”
9
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Pada saat Rasulullah saw. berdakwah secara terang-terangan
sebagaimana yang diperintahkan Allah, mereka (kaum
Quraisy) menentangnya dan memusuhinya. Akan tetapi, Abi
Thalib mengasihinya dan membelanya. Melihat tindakan Abi
Thalib tersebut, kaum Quraisy menemuinya dan berkata,
”Wahai Abi Thalib, kaulah sesepuh kami dan memiliki kemu-
liaan serta kedudukan tinggi. Kami telah memohon kepadamu
supaya menahan tindakan keponakanmu (Muhammad), akan
tetapi kamu tidak melakukannya. Sung guh kami tidak dapat
bersabar lagi karena dia mencela leluhur kami, mengolok-
olok tuhan kami. Ada dua pilihan, kamu menahannya untuk
kami atau kami sendiri yang akan menyerangnya dan termasuk
kamu hingga ada yang terbunuh.”
Abi Thalib menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah
saw. dan dia memintanya untuk menahan diri. Kemudian
Rasulullah saw. berkata, ”Wahai paman, demi Allah, jika
mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
rembulan di tangan kiriku supaya aku berhenti dari urusan
ini hingga Allah memunculkannya atau membinasakannya,
maka aku tidak akan berhenti.” Abi Thalib berkata, ”Pergilah,
wahai anak saudaraku dan katakanlah sesukamu, demi Allah
aku tidak akan menyerahkanmu dengan sesuatu apa pun!”
Ketika Islam sudah menyebar di antara kabilah-kabilah
Arab, kaum Quraisy berkumpul dan bersepakat untuk
membuat suatu perjanjian terhadap Bani Hasyim dan Bani
Muthalib. Perjanjian tersebut berisikan, agar tidak menikahi
dan menikahkan dengan Bani Hasyim dan Bani Muthalib
serta agar tidak membeli dan menjual suatu apa pun kepada
mereka. Isi perjanjian tersebut dituliskan dalam selembar
kertas dan ditempelkan di dalam Ka’bah serta mereka
bersepakat terhadap hal tersebut. Seluruh Bani Hasyim dan
10
Ali bin Abi Thalib
Bani Muthalib bergabung dengan Abi Thalib, tepatnya pada
bulan Muharam tahun ke-7 kenabian. Bani Hasyim mengalami
pemboikotan selama 3 tahun, mereka mendapatkan ke-
butuhan mereka secara sembunyi-sembunyi. Kemudian
Nabi saw. mengabarkan yang terjadi kepada Abi Thalib dan
dia menyobek kertas perjanjian tersebut serta membatalkan
isi perjanjiannya.
Abi Thalib meninggal pada bulan Syawal tahun 10
kenabian, dan umurnya delapan puluh sekian tahun, dia
belum sempat masuk Islam. Selain itu, pada tahun tersebut
juga istri tercinta Rasulullah saw., Khadijah, meninggal dunia.
Musibah demi musibah menghampirinya silih berganti pada
tahun itu, sehingga dinamakan dengan Amm Al-Khazan
(Tahun Kesedihan).
Saudara-Saudara Ali bin Abi Thalib
Abi Thalib memiliki empat orang anak laki-laki. Mereka
adalah, Thalib, yaitu yang menjadi kunniyahnya Abi Thalib.
Kemudian, Aqil, Ja‘far dan Ali. Dia juga memiliki dua anak
perempuan. Mereka adalah Ummu Hani` dan Jumanah.
Kesemua anak tersebut dari Fatimah binti Asad. Jarak setiap
anak tersebut sepuluh tahun. Thalib lebih tua 10 tahun
daripada Aqil, Aqil lebih tua 10 tahun daripada Ja‘far, dan
begitu pula Ja‘far dan Ali.
Thalib bin Abi Thalib
Thalib meninggal dalam keadaan masih musyrik setelah
Perang Badar. Dikatakan bahwa dia pergi tanpa kembali dan
tidak diketahui kabar beritanya lagi. Dia adalah orang yang
sangat menyayangi Rasulullah saw. Dia ikut Perang Badar
melawan Rasulullah saw. karena terpaksa. Kaum Quraisy
11
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
berkata kepadanya, ”Wahai Bani Hasyim, meskipun kalian
ikut perang bersama kami, tetapi kami mengetahui hati
kalian masih menyayangi Muhammad, Rasulullah saw.” Maka,
Thalib kembali ke Makkah bersama beberapa orang, ke-
mudian dia melantunkan syair pujian kepada Rasulullah saw.
sehingga membuat orang-orang yang kembali bersamanya
menangis.
Aqil bin Abi Thalib
Aqil bin Abi Thalib, dipanggil dengan kunniyah Abu Yazid.
Dia masuk Islam pada saat Fathu Makkah dan dikatakan
bahwa dia masuk Islam setelah Perang Hudaibiah. Pada
Perang Badar dia termasuk tawanan, kemudian ditebus oleh
pamannya, Abbas. Dia syahid pada Perang Mu`tah.
Tidak dikisahkan pada saat Fathu Makkah dan Hunain.
Sepertinya dia sedang sakit. Hal ini disampaikan oleh Ibnu
Sa’ad. Akan tetapi, Zubair bin Bakar meriwayatkan dengan
sanadnya yang bersambung hingga Hasan bin Ali, bahwa
Aqil adalah orang yang masih berdiri pada Perang Hunain.
Abi Thalib sangat menyayangi Aqil daripada saudara-
saudaranya yang lain. Oleh karenanya, pada saat dia sedang
sakit datanglah Abbas dan Rasulullah saw. untuk mengasuh
anak-anaknya, dia berkata, ”Jika kalian meninggalkan Aqil
bersamaku, terserah kalian berdua mau berbuat apa saja.”
Maka, Rasulullah saw. mengasuh Ali dan Abbas mengasuh
Ja‘far. Kemudian Abi Thalib memeluk Aqil.
Aqil adalah orang yang ahli dalam bidang nasab Quraisy,
termasuk keunggulan dan kekurangannya. Orang-orang
12
Ali bin Abi Thalib
belajar darinya di Masjid Madinah. Dia adalah orang yang
cepat menjawab dan memuaskan. Hisyam bin Kalbi meriwayat-
kan dari Ibnu Abbas, ”Ada 4 orang dari suku Quraisy yang
dipercaya orang untuk memutuskan permasalahan. Mereka
adalah Aqil, Makhramah, Huwaithib, dan Abu Jaham.”
Ibnu Sa‘id berkata, ”Mereka mengatakan bahwa Aqil
meninggal pada masa kekhalifahan Muawiah. Dalam Tarikh
al-Bukhari ash-Shaghir disebutkan dengan sanad sahih
bahwa dia meninggal pada awal kekhalifahan Yazid, pada
saat itu usianya adalah 66 tahun.”
Aqil memiliki rumah yang luas dan banyak anggota
keluarganya. Dia meninggal setelah kedua matanya buta.
Anak laki-lakinya ada 12 orang, sembilan di antara mereka
pergi bersama Husain dan terbunuh bersamanya. Salah
satu dari mereka adalah Muslim bin Aqil—Dia adalah orang
paling pemberani di antara mereka. Dialah juga yang diutus
Husain ke Kufah hingga dibunuh oleh Ad-Da’i bin Ziyad.
Ja‘far bin Abi Thalib
Ja‘far termasuk orang yang masuk Islam pada awal Islam.
Mereka berkata, ”Nabi mempersaudarakan antara Ja‘far
dan Mu‘adz bin Jabal.” Abu Hurairah berkata, ”Dialah orang
yang paling utama setelah Nabi.” Dalam Shahih Bukhari dari
Abu Hurairah disebutkan, ”Ja’far adalah sebaik-baik orang
untuk orang miskin.”
Khalid al-hadzdza` meriwayatkan dari Ikrimah bahwa dia
mendengar Abu Hurairah berkata, ”Tidak ada seorang pun
13
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
yang beralaskan kaki, mengendarai hewan tunggangan, dan
berbaring di atas tanah, yang lebih baik daripada Ja‘far bin
Ali sepeninggal Rasulullah saw.” (HR Tirmidzi dan An-Nasa`i)
dengan sanad shahih.
Al-Baghawi meriwayatkan dari jalur Maqburi dari Abu
Hurairah, dia berkata, ”Ja‘far adalah orang yang mengasihi
orang miskin, dia duduk bersama mereka. Dia menolong
mereka dan mereka pun menolongnya. Dia berbicara kepada
mereka dan mereka juga berbicara kepadanya. Rasulullah
saw. memberinya kunniyah Abul Masakin.” Dalam Riwayat
Bukhari dan Muslim dari jalur Barra` disebutkan, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ”Tubuh dan akhlakmu sangat
menyerupaiku.”
Ja‘far berhijrah ke Habasyah dan dia mengislamkan an-
Najasyi beserta pengikutnya. Pada saat Perang Khaibar
Ja‘far datang bersama rombongannya kemudian Rasulullah
saw. menyambutnya dan mengecup di keningnya, beliau
berkata, ”Aku tidak tahu manakah yang lebih membuatku
gembira, dengan kedatangan Ja’far atau dengan keme-
nangan Perang Khaibar?” Dari Abdullah bin Ja‘far dia
berkata, ”Aku meminta kepada Ali dan dia tidak memberiku,
kemudian aku berkata kepadanya, ‘Dengan hak Ja‘far’ maka
dia memberiku.”
Ja‘far syahid di Mu’tah wilayah Syam dalam keadaan
berperang dan tidak kabur. Dia berjihad melawan Romawi
14
Ali bin Abi Thalib
pada tahun 8 H bulan Jumadil Awal. Dia menerjang pasukan
musuh dan terus maju berperang hingga dia terbunuh. Ibnu
Umar berkata, ”Pada saat perang itu aku bersamanya. Kami
mencari Ja‘far hingga menemukannya dan di tubuhnya
terdapat sembilan puluhan luka bekas tombak dan panah.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, ’Aku melihat Ja‘far
terbang di surga bersama malaikat’.” (HR Thabrani)
Dalam hadits tersebut juga disebutkan bahwa Nabi saw.
memperlihatkan kepada Ja‘far malaikat yang memiliki dua
sayap yang berlumuran darah karena dia berperang hingga
terpotong kedua tangannya.
Ketika pasukan Mu’tah mendekati Madinah, Rasulullah
saw. dan kaum Muslim menghadang mereka. Ketika itu
Rasulullah saw. bertemu dengan anak-anak yang hendak turut
berperang dan beliau sedang menunggangi tunggangannya,
beliau bersabda, ”Ambillah anak-anak itu dan bawalah
mereka, lalu berikan kepadaku Ibnu Ja‘far.” Kemudian
mereka memberikan Ibnu Ja‘far kepada Rasulullah saw.
dan beliau mengambilnya serta membawanya di depannya.
(Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal)
Dari Aisyah, dia berkata, ”Ketika kabar kematian
Ja‘far datang, kami melihat kesedihan di wajah Rasulullah
saw. Kemudian beliau berkata kepada keluarga Ja‘far,
’Datangkanlah anak-anak saudaraku ini.’ Kemudian mereka
didatangkan dan seakan mereka anak-anak burung. Beliau
berkata, ’Panggillah untukku seorang tukang cukur.’
Kemudian dia datang dan mencukur rambut mereka. Beliau
berkata kepada ibu mereka, ’Keluargaku (istri Ja‘far) apakah
kamu takut akan nasib mereka? Aku adalah wali mereka di
dunia dan di akhirat’.”
15
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dalam sebuah riwayat disebutkan, Rasulullah saw. berkata
kepada istri Ja‘far, ”Datangkanlah anak-anak Ja‘far.” Ketika
mereka semua datang, Rasulullah saw. menciumi mereka
dan berlinang air matanya, kemudian beliau mengatakan
bahwa Ja‘far telah syahid. Ketika berita syahidnya Ja‘far
telah tersebar, beliau berkata kepada keluarganya, ”Buatlah
makanan untuk keluarga Ja‘far, karena mereka tertimpa
urusan yang berat.” Sungguh terlihat kesedihan pada wajah
Rasulullah saw.
Abdullah bin Ja‘far adalah anak Islam pertama yang lahir
di tanah Habasyah dan dia termasuk orang Arab unggulan.
Saudaranya adalah Muhammad bin Ja‘far dan Aun bin Ja‘far.
Ketika di Habasyah, pada saat an-Najasyi berkata kepada
kaum muslim yang berhijrah ke Habasyah, ”Agama apakah
ini yang membuat kalian berpisah dengan kaum kalian dan
kalian tidak masuk ke dalam agama mereka?” Maka Ja‘far
bergegas menjawab dengan jawaban yang menggambarkan
kehidupan nyata jahiliah dan perubahan yang terjadi kepada
orang-orang yang telah beriman. Dia tidak memaparkan
urusan yang diperdebatkan mengenai agama yang dianut
orang jahiliah, karena dia berbicara dengan seorang raja
yang menguasai sebuah negeri dan memegang teguh
ajaran Nasrani. Pemaparan Ja‘far hanya seputar gambaran
kehidupan nyata. Perkataan tersebut sangat bijak yang
sesuai dengan waktu dan tempatnya. Hal ini menunjukkan
tingginya kecerdasan orang yang menyampaikannya dan
menunjukkan bagusnya insting Bani Hasyim dan Quraisy
pada umumnya.
16
Ali bin Abi Thalib
Ummu Hani` binti Abi Thalib
Dikatakan bahwa namanya adalah Fakhitah, Fatimah atau
Hindun, dan Fakhitah adalah yang lebih terkenal. Dia adalah
istri Hubairah bin Amru bin Aidz al-Makhzumi. Rasulullah
saw. pernah berkata tentangnya, ”Sebaik-baik wanita yang
menunggangi unta adalah wanita dari Quraisy dan mereka
lebih penyayang terhadap anak-anak ....” (Al-Hadits)
Abu Umar berkata, ”Ketika Fathu Makkah Hubairah lari
ke Najran. Dia bersyair menjelaskan alasan kaburnya. Ketika
sampai kabar kepadanya bahwa Ummu Hani` telah masuk
Islam dia pun bersyair. Dia memiliki anak dari pernikahannya
dengan Ummu Hani` yang bernama Amru, dan dia ber-
kunniyah dengan nama tersebut.
Pada saat Fathu Makkah Ummu Hani` melindungi dua
laki-laki dari Bani Makhzum yaitu dua pamannya. Pada saat itu
Ali telah mengancam untuk membunuh mereka. Kemudian
Rasulullah saw. datang dan bersabda, ”Selamat datang
Ummu Hani`, apa yang membawamu ke sini?” Kemudian dia
menceritakan tentang kedua orang laki-laki yang dimaksud.
Beliau berkata, ”Kami telah melindungi orang yang kamu
lindungi dan kami mengamankan orang yang kamu amankan.
Dengan demikian, kami tidak akan membunuhnya.”
Dalam riwayat dia menyebutkan bahwa Nabi pernah
mandi di rumahnya kemudian shalat delapan rakaat. Ummu
Hani` juga meriwayatkan beberapa hadits yang disampaikan
para perawi dalam 6 kitab hadits dan yang lainnya. At-
Tirmidzi dan yang lainnya mengatakan, ”Ummu Hani` masih
hidup setelah wafatnya Ali.”
17
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Jumanah binti Abi Thalib
Abu Ahmad al-Askari berkata, ”Dia adalah Ummu Abdullah
bin Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthalib.” Dalam kitab
Al-Ikhwah Daruquthni juga menyatakan, ”Abu Sufyan bin
Harits menikahinya dan dia melahirkan Abdullah.” Namun,
perkataan ini tidak bersanad. Adapun Zubair bin Bakar
berkata, ”Dia adalah saudari Ummu Hani`.” Ibnu Ishaq juga
menyebutkan bahwa Jumanah termasuk orang yang diberi
bagian 30 wasak oleh Nabi saw.
Al-Fakihi dalam kitab Makkah meriwayatkan dari jalur
Abdullah bin Utsman bin Jasym, dia berkata, ”Atha’, Mujahid,
Ibnu Katsir, dan orang-orang mengetahui, jika pada tanggal
27 Ramadhan mereka keluar dari Tan‘im maka mereka Umrah
melewati tenda Jumanah binti Abi Thalib.” Adapun Ibnu
Sa‘ad berkata bahwa ibunya adalah Fatimah binti Asad dan
dia menyebutkannya secara khusus di bawah bab Banatu
Ammi an-Nabi, dia berkata, ”Dari Abu Sufyan bin Harits dia
mendapatkan putra yang bernama Ja‘far bin Abu Sufyan dan
Rasulullah saw. memberikan kepadanya 30 wasak dari harta
rampasan Perang Khaibar.”
Kelahiran Ali bin Abi Thalib
Menurut riwayat yang dipercaya, Ali lahir sepuluh tahun
sebelum Rasulullah saw. diutus. Ibnu Sa‘ad berkata, ”Ali
dilahirkan pada 12 Rajab, 30 tahun setelah tahun Gajah, pada
Abad ke-6 Masehi.”
Al-Hakim berkata dalam kitab Tarjamah Hakîm bin
Hazâm, ”Riwayat yang dipercaya adalah Fatimah binti Asad
melahirkan Ali di dalam Ka’bah. Hakim bin Hazam juga
dilahirkan di Ka‘bah.” Adapun dalam kitab Syarhi Nahj al-
18
Ali bin Abi Thalib
Balâghah Ibnu Abi Hadid berkata, ”Banyak pertentangan
mengenai tempat kelahiran Ali, di mana sebenarnya dia
dilahirkan? Golongan Syiah mengatakan bahwa dia dilahirkan
di dalam Ka’bah. Para ahli hadits tidak mengakui hal tersebut
dan mereka mengatakan bahwa anak yang dilahirkan di
Ka’bah adalah Hakim bin Hazam bin Khuwailid bin Asad bin
Abdul Uza bin Qushai.”
Di Bawah Asuhan Rasulullah saw.
Dalam kitab Tarikhnya, ath-Thabari meriwayatkan dengan
sanadnya dari Mujahid, dia berkata, ”Salah satu nikmat
Allah yang dilimpahkan kepada Ali adalah, pada waktu
itu suku Quraisy mengalami krisis dan Abi Thalib memiliki
keluarga yang banyak. Rasulullah saw. berkata kepada Abbas,
pamannya (dia termasuk orang yang diberi kemudahan harta
oleh Allah), ’Wahai paman Abbas, sungguh saudaramu Abi
Thalib memiliki banyak keluarga dan kamu juga sudah melihat
krisis yang melanda orang-orang ini. Pergilah bersamaku untuk
meringankan beban keluarganya. Aku akan mengasuh satu
anaknya dan kamu juga mengambil satu anaknya. Cukuplah
dua untuk meringankannya.’ Kemudian Abbas berkata, ’Ya’.”
Setelah itu, keduanya pergi menemui Abi Thalib
dan berkata kepadanya, ”Kami ingin mengurangi beban
keluargamu.” Abi Thalib berkata kepada mereka berdua,
”Jika kalian meninggalkan Aqil bersamaku, silakan kalian
berbuat apa saja.” Rasulullah saw. kemudian mengambil
Ali dan memeluknya. Adapun Abbas mengambil Ja‘far dan
memeluknya. Ali masih tetap tinggal bersama Rasulullah
saw. sampai beliau diutus sebagai Nabi dan Ali mengikutinya
serta beriman kepadanya. Ja‘far pun bersama Abbas hingga
dia bisa mandiri.
19
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Keislaman Ali bin Abi Thalib
Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa di saat Ali datang ke
rumah, Nabi dan Khadijah sedang shalat. Ali pun berkata,
”Wahai Muhammad, Rasulullah saw., apa yang engkau
lakukan?” Beliau menjawab, ”Ini adalah agama Allah yang
dipilihnya dan dibawa oleh Rasulnya. Aku menyerumu untuk
mengakui Allah Yang Esa Yang tidak ada sekutu baginya,
beribadah kepada-Nya, dan juga agar kamu meninggalkan
Lata dan Uza.” Ali berkata, ”Urusan ini belum pernah aku
dengar sebelumnya. Aku tidak dapat memutuskan hingga
aku menceritakannya kepada Abi Thalib.” Rasul tidak ingin
urusan tersebut menyebar sebelum waktunya. Maka dari itu
Rasulullah saw. berkata kepada Ali, ”Wahai Ali, jika kamu
tidak menerima hal ini maka rahasiakanlah.”
Ali berpikir semalam kemudian Allah SWT memercikkan
setetes keimanan di hatinya. Pagi harinya dia pergi kepada
Rasulullah saw. dan berkata, ”Apa yang engkau sampaikan
kepadaku wahai Muhammad, Rasulullah saw.?” Rasulullah
saw. lalu bersabda, ”kamu bersaksi bahwa tiada tuhan
selain Allah, Yang Esa, Yang tidak ada sekutu baginya,
kamu meninggalkan Lata, Uza, dan seluruh sekutu Allah.”
Kemudian Ali melakukannya dan memeluk Islam. Dengan
perasaan takut, dia datang ke rumah bapaknya, Abi Thalib,
dan menyembunyikan keislamannya.
Dari Zaid bin Arqam berkata, ”Orang pertama yang
memeluk Islam adalah Ali.” Dari Ibnu Abbas berkata, ”Orang
pertama yang memeluk Islam setelah Khadijah adalah Ali.”
Dari Muhammad bin Abdurrahman bin Zurarah berkata,
”Ali masuk Islam pada saat berusia sembilan tahun.” Dari
Mujahid berkata, ”Orang pertama yang shalat adalah Ali
20
Ali bin Abi Thalib
dan pada saat itu usianya 10 tahun.” Hasan bin Zaid berkata,
”Semenjak kecil, sekali pun Ali tidak pernah menyembah
berhala.”
Menurut para perawi yang kuat dan
dipercaya, dia, Ali bin Abi Thalib, adalah
orang pertama yang memeluk Islam
setelah Khadijah dan orang pertama
yang shalat.
Hal ini menunjukkan peranan lingkungan terhadap
pembentukan pribadi seseorang. Ali bin Abi Thalib tumbuh
di bawah asuhan Rasulullah saw., dalam lingkungan nabawi
dan Islami yang merupakan sumber dakwah Islam dan akan
disampaikan kepada seluruh manusia. Mengikuti lingkungan
hidup merupakan hal yang wajar dilakukan manusia, kecuali
ada beberapa faktor penghalang.
Para peneliti telah mengumpulkan riwayat bahwa pe-
rempuan pertama yang masuk Islam adalah Khadijah. Laki-
laki dewasa yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar
ash-Shiddiq. Kemudian orang yang pertama kali masuk Islam
dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib.
Antara Ali dan Abi Thalib
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa beberapa ahli ilmu
menyebutkan bahwa ketika datang waktu shalat Rasulullah
saw. keluar menuju jalan bukit di Makkah. Ali juga keluar
bersama beliau dengan sembunyi-sembunyi dari Abi Thalib,
21
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
seluruh pamannya, dan juga kaumnya. Keduanya shalat di
sana dan ketika sore hari mereka pulang. Terkadang mereka
berdua tinggal di sana beberapa waktu. Pada suatu hari Abi
Thalib mendapati keduanya shalat, kemudian dia berkata
kepada Rasulullah, ”Wahai anak saudaraku, agama apa yang
engkau peluk ini?” Beliau berkata, ”Wahai paman, ini adalah
agama Allah SWT, agama malaikat, dan agama bapak kita,
Ibrahim.” Atau beliau mengatakan, ”Allah SWT mengutusku
sebagai Rasul untuk para hamba dan engkau, wahai paman,
adalah orang yang lebih berhak aku ajak kepada petunjuk
Allah SWT dan orang yang lebih berhak untuk menjawab
seruanku tersebut.”
Abi Thalib berkata, ”Wahai anak saudaraku, aku tidak
dapat meninggalkan agama leluhurku dan adat mereka.
Akan tetapi, aku bersumpah atas nama Allah selama aku
hidup, engkau tidak akan mendapat celaka dari kaumku.”
Disebutkan juga, bahwa dia berkata kepada Ali, ”Wahai
anakku, agama apa yang kamu peluk ini?” Dia berkata,
”Wahai bapakku, aku beriman kepada Allah SWT dan Rasul-
Nya. Aku mempercayai apa yang dibawa oleh Rasulullah
saw. Aku shalat bersamanya dan aku mengikutinya.” Mereka
meriwayatkan bahwa Abi Thalib menjawab, ”Jika yang kamu
ikuti itu membawamu kepada kebaikan maka lakukanlah.”
Bantuan kepada Para Utusan yang Dikirim ke Makkah
dalam Mencari Islam
Ali senantiasa membantu para utusan yang dikirim ke
Makkah dalam mencari kebenaran atau menghendaki Islam.
Dia memberitahukan mereka kepada Rasulullah saw. Dia
juga memiliki karunia rasat dan kecerdasan, yang menjadi
keunggulan Bani Hasyim.
22
Ali bin Abi Thalib
Bukhari meriwayatkan mengenai Islam-nya Abu Dzar al-
Ghifari, dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abbas,
dia berkata: Ketika berita diutusnya Rasul sampai kepada
Abu Dzar, dia berkata kepada saudaranya, ”Pergilah ke
lembah tersebut (Makkah) dan beri tahukan aku tentang
seseorang yang mendakwakan dirinya sebagai nabi dan
mendapatkan kabar dari langit. Dengarkanlah perkataannya
kemudian beri tahukan kepadaku.” Saudaranya lalu pergi
ke Makkah untuk bertemu dan mendengarkan perkataan
Rasulullah saw. Kemudian dia kembali kepada Abu Dzar
dan berkata, ”Aku melihat bahwa beliau menyeru kepada
akhlak mulia dan beliau berkata dengan perkataan yang
bukan sejenis syair.” Abu Dzar berkata, ”Aku tidak puas
dengan penjelasanmu tersebut.” Maka dari itu Abu
Dzar pun membawa bekal untuk pergi ke Makkah. Dia
mendatangi masjidil haram dan mencari Rasulullah saw.
Dia tidak mengenalnya dan dia juga tidak mau bertanya
tentang beliau.
Pada suatu malam dia berbaring dan Ali melihatnya
dengan aneh. Ketika Abu Dzar juga melihat Ali dia
mengikutinya dan keduanya tidak bertanya hingga subuh
menjelang. Kemudian dia kembali ke masjid dengan
membawa bekal dan tempat minumnya, sampai sore hari
dia tidak melihat Rasulullah saw. Kemudian Ali lewat di
hadapannya mengisyaratkannya untuk berdiri dan pergi
bersamanya, tetapi keduanya tetap tidak bertanya tentang
sesuatu.
Hari ketiga seperti itu maka Ali pun akhirnya bertanya
kepadanya, ”Ceritakanlah apa yang membawamu ke
sini?” Dia berkata, ”Jika kamu berjanji kepadaku untuk
23
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
menunjukkan orang yang aku cari maka akan aku ceritakan
kepadamu.” Kemudian Abu Dzar menceritakan maksud
dan tujuannya datang ke Makkah, Ali pun menjawab, ”Dia
adalah benar dan dia adalah Rasulullah saw. Pagi hari
nanti ikutilah aku. Jika aku melihatmu dalam bahaya aku
akan berdiri seakan aku menuangkan air. Jika aku terus
berjalan dan tidak ada bahaya ikutilah aku dan masuklah
ke rumah yang aku masuki.” Dia pun melakukannya
dan mengikutinya hingga menemui Rasulullah saw. dan
mendengarkan perkataannya. Pada saat itu dia menyatakan
keislamannya.
Karomah yang Mulia
Ali berkata: Aku dan Nabi saw. keluar rumah ke Ka’bah.
Rasulullah saw. berkata kepadaku, ”Jongkoklah” Kemudian
beliau naik kepundakku. Aku pun hendak berdiri mengangkat-
nya dan beliau melihatku dalam keadaan lemah. Kemudian
beliau turun dan jongkok, beliau berkata, ”Naiklah ke
pundakku.” Aku pun naik ke pundaknya. Beliau mengangkat
tubuhnya hingga aku berkhayal jika aku mau pasti aku bisa
menggapai langit. Kemudian aku naik ke atas Ka’bah dan
di situ terdapat berhala dari kuningan. Aku lalu langsung
melepaskannya dari kanan, kiri, depan dan belakang, sampai
aku bisa melepaskannya. Rasulullah berkata, ”Lemparkanlah
berhala itu.” Aku pun melemparkannya hingga pecah seperti
kaca, kemudian aku turun. Aku dan Rasulullah saw. saling
mendahului pergi dari tempat itu, supaya tidak ada seorang
pun yang mengetahui kami. (HR Ahmad)
Sangat jelas, bahwa kisah tersebut terjadi sebelum
hijrah, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Mustadrak,
milik Hakim.
24
Ali bin Abi Thalib
Hijrah
Dakwah Islam terus berlangsung kepada kaum Quraisy dan
kabilah lainnya. Bersamaan dengan itu, kaum Quraisy me-
meranginya dengan kekerasan, hingga mereka mengisolasi
dan memboikot Bani Hasyim dan Bani Abi Thalib pada
khususnya. Rasulullah saw. mengarahkan kaum muslim untuk
berhijrah ke Thaif, karena penderitaan yang menimpanya
dan untuk berdakwah kepada penduduk Thaif. Setelah itu,
Hamzah bin Abi Thalib dan Umar bin Khaththab masuk
Islam, orang-orang Makkah yang dilapangkan dadanya juga
masuk Islam. Kemudian Allah SWT menakdirkan kematian
Abi Thalib yang senantiasa membantu Islam. Khadijah, istri
setia beliau, juga meninggal. Selanjutnya permusuhan kaum
Quraisy kepada Rasulullah saw. dan pengikutnya bertambah
kasar.
Selanjutnya, beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj
(kedua suku ini termasuk suku terbesar di Yatsrib/Madinah)
juga masuk Islam. Begitu juga orang-orang yang berbaiat
Aqobah pertama dan kedua. Islam menyebar di Madinah
dan kaum muslim berhijrah ke Madinah, kecuali orang-orang
yang terkurung dan mendapat bencana. Keluarnya Rasulullah
saw. ke Madinah membuat kaum Quraisy merasa takut. Untuk
menjelaskan secara khusus peranan Ali dalam peristiwa ini
sangatlah susah, seakan lautan yang tiada bertepi.
Akhirnya, kaum Quraisy berkumpul di Dar An-Nadwah
(Tempat mereka biasa bermusyawarah). Sungguh pada
akhirnya mereka bersepakat untuk mengambil dari tiap-
tiap kabilah, seorang pemuda yang kuat dan dari keturunan
terhormat, sehingga mereka akan menyerang Rasulullah saw.
dan setiap orang juga akan memukulnya. Dengan demikian,
25
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
semua kabilah memiliki andil dalam pembunuhan tersebut.
Oleh karena itu, Bani Abdu Manaf tidak akan mampu untuk
menyerang semua kaum tersebut (Membalas dendam
atas kematian Muhammad). Mereka berpisah dengan
kesepakatan tersebut.
Allah mengabarkan rencana mereka kepada Rasulullah
maka beliau memerintahkan Ali untuk tidur di tempat
tidurnya dan memakai selimutnya. Beliau berkata, ”Tidak
akan ada bencana yang menimpamu.” Perintah Rasulullah
saw. tersebut bukanlah mudah dan sepele. Seakan dia tidak
bisa melaksanakannya, tidak bisa memejamkan matanya,
dan tidak nyaman tidur. Akan tetapi, dengan kekuatan iman
kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasulullah saw., dia
mempersiapkan dirinya menjadi pembela beliau.
Ali mengetahui seberapa marahnya kaum Quraisy
kepada Rasulullah saw. dan Islam. Dia juga mengetahui jika
dia mengabaikan tugas yang diembannya maka mereka akan
menghabisi Rasulullah saw. Akhirnya, dia pun berbaring di
tempat tidur Rasulullah saw. dan tidur dengan nyenyak.
Beberapa kaum Quraisy telah berkumpul di depan
rumah Rasulullah saw. dan mereka bersiap-siap untuk
menyerangnya. Pada saat itu Rasulullah saw. keluar rumah
dan mengambil segenggam pasir kemudian menebarkannya
di atas kepala mereka sambil membaca Surah Yasin dari ayat
1 hingga ayat 9. Atas kuasa Allah SWT, kaum Quraisy tersebut
tidak dapat melihatnya.
Kemudian ada seseorang yang mendatangi mereka
dan dia berkata, ”Apa yang kalian tunggu di sini?” Mereka
berkata, ”Muhammad.” Dia berkata, ”Semoga Allah SWT
mencelakakan kalian. Beliau telah pergi.” Mereka lalu meng-
26
Ali bin Abi Thalib
intip dan melihat sosok yang mereka sangka Muhammad
masih tidur di dalam. Mereka tidak ragu bahwa yang tidur di
dalam rumah itu adalah Muhammad. Ketika pagi menyapa Ali
bangun tidur dan mereka pun kaget dan merasa kecewa.
Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dari Ali, dia berkata, ”Ketika
Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah, beliau memerintah-
kanku untuk tinggal di Makkah hingga aku menyampaikan
seluruh harta yang dititipkan orang-orang. Karena itulah dia
mendapat gelar Al-Amin. Aku tinggal selama tiga hari, sehari
bagiku sungguh terasa. Kemudian aku pergi mengikuti jalan
yang ditapaki Rasulullah saw. hingga aku sampai di Bani
Amru bin Auf dan Rasul masih berada di sana. Aku tinggal di
rumah Kultsum bin Huda dan di sana Rasulullah tinggal.”
Ali berjalan pada malam hari dan bersembunyi di siang
hari hingga datang ke Madinah, dan kakinya bengkak.
Nabi saw. bersabda, ”Panggillah Ali.” Dikatakan bahwa
Ali tidak sanggup lagi berjalan. Kemudian Rasulullah saw.
mendatanginya, memeluknya, dan menangis, sebagai
bentuk kasih sayangnya terhadap sakit kakinya. Rasulullah
saw. meludahkan di telapak tangannya dan membalurkannya
di kedua kaki Ali, mulai saat itu hingga meninggal dia tidak
pernah mengeluhkan sakit kaki. Ali datang pada pertengahan
bulan Rabiul Awal dan Rasulullah sedikit pun tidak bengkak
kakinya.
ALI BIN ABI THALIB DI MADINAH:
DARI HIJRAH HINGGA
RASULULLAH SAW. WAFAT
28
Ali bin Abi Thalib
Pemersaudaraan
Dalam Thabaqat Al-Kubra Ibnu Sa‘id mengatakan bahwa
Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Ali dan Sahal bin
Hunaif.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Rasulullah memper-
saudarakan antara Ali dan Sahal bin Hunaif. Ibnu Ishaq dan
para ahli sejarah lainnya menyebutkan bahwa Rasulullah
mempersaudarakan Ali dengan dirinya, dan pendapat ini
tidak benar karena hadits yang mendukung pendapat ini
sanadnya lemah dan matannya juga lemah.
Pernikahan Ali dengan Fatimah
Pada tahun ke-2 H, Rasulullah saw. menikahkan putrinya,
Fatimah, dengan Ali Karramallahu Wajhah. Rasulullah saw.
berkata kepada Fatimah, ”Aku menikahkanmu dengan
keluargaku yang paling aku cintai.” Kemudian beliau men-
doakannya dan menyiramkan air kepadanya.
Abu Umar meriwayatkan dari Ubaidillah bin Muhammad
bin Sammak bin Ja‘far al-Hasyimi, dia berkata, ”Rasulullah
saw. menikahkan Fatimah dengan Ali setelah Perang Uhud.
Usia Fatimah pada saat itu 15 tahun 5,5 bulan, sedangkan Ali
berusia 21 tahun 5 bulan.
Dalam Musnad Imam Ahmad diriwayatkan secara rinci
tentang lamaran Ali kepada Rasulullah saw. untuk Fatimah,
Ali berkata, ”Aku hendak melamar Fatimah kepada Rasulullah
saw., aku berkata, ’Aku tidak memiliki apa-apa, bagaimana?’
Kemudian aku menyebutkan keinginanku tersebut, maka
Rasulullah saw. berkata, ’Apakah kamu memiliki sesuatu?’
Aku berkata, ’Tidak.’ Kemudian beliau berkata, ’Mana baju
29
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
zirahmu yang aku berikan kepadamu pada saat itu?’ Aku
berkata, ’Masih ada padaku.’ Beliau berkata, ’Berikanlah itu.’
Kemudian aku memberikannya.”
Dari Atha’ bin Saib dari bapaknya dari Ali dia berkata,
”Rasulullah saw. menyiapkan makanan yang enak, minuman,
dan alas duduk dari kulit yang diisi dengan serat pohon
idzkhir.”
Kehidupan Ali dan Fatimah
Ali dan Fatimah adalah dua orang yang sangat dicintai
Rasulullah saw. Mereka berdua hidup dengan zuhud,
sederhana, penuh kesabaran, dan bekerja keras.
Hannad meriwayatkan dari Atha` bahwa dia berkata: Aku
diberi kabar bahwa Ali berkata, ”Beberapa hari kami tidak
memiliki apa-apa (makanan), dan Nabi saw. pun demikian.
Aku keluar rumah dan menemukan satu dinar yang terjatuh
di jalan. Aku berhenti sejenak antara aku ambil atau tidak.
Akhirnya, aku mengambilnya karena keadaan kami sangat
susah. Kemudian dinar tersebut aku belikan tepung. Setelah
itu, aku membawanya kepada Fatimah dan berkata, ”Bikinlah
roti dari tepung tersebut.” Kemudian dia mengadon dan
membuatnya menjadi roti. Aku mendatangi Nabi saw. dan
menceritakan hal tersebut, beliau lalu berkata, ”Makanlah,
karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah SWT.” (HR Abu
Dawud)
Hannad ad-Dinuri juga meriwayatkan dari Sya’bi bahwa
dia berkata, Ali berkata, ”Aku menikahi Fatimah, putri
Rasulullah saw. dan pada saat itu aku ataupun dia tidak
memiliki kasur, akan tetapi alas tidur kami hanyalah kulit
domba. Kami tidur di atas kulit domba tersebut setiap malam
30
Ali bin Abi Thalib
dan di siang harinya kami siram. Kami juga tidak memiliki
pembantu.” (Kanzul Ummal)
Thabrani dengan sanad hasan meriwayatkan dari
Fatimah bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. datang
kepadanya dan berkata, ”Mana kedua anakku (cucu beliau,
Hasan dan Husain)?” Fatimah berkata, ”Pagi ini kami tidak
memiliki makanan sedikit pun dan Ali telah berkata, ’Aku akan
pergi bersama keduanya karena aku takut keduanya akan
merengek kepadamu sedang kita tidak memiliki makanan
sedikit pun.’ Maka dia pergi kepada seorang Yahudi.”
Kemudian Nabi saw. mencarinya dan mendapati keduanya
sedang bermain di kolam air (di bawah pohon kurma) dan
di depan mereka ada kurma. Kemudian Nabi saw. berkata,
”Wahai Ali, tidakkah kamu membawa pulang kedua anakku
(cucu beliau), hari sudah semakin panas?” Ali berkata, ”Pagi
tadi kami tidak memiliki makanan. Duduklah wahai Rasul,
aku akan mengumpulkan kurma untuk Fatimah.” Kemudian,
Rasulullah saw. duduk hingga kurma untuk Fatimah
terkumpulkan oleh Ali, lalu memasukkannya ke dalam
kainnya. Selanjutnya beliau pulang dan menggendong satu
cucunya. Ali pun membawa satunya lagi hingga keduanya
sampai di rumah.” (At-Targhîb wa at-Tarhîb)
Bukhari meriwayatkan dari Ali bahwa Fatimah mengeluh
karena rasa sakit yang ditimbulkan dari menumbuk gandum.
Pada saat itu dia mendengar Rasulullah saw. mendapatkan
tawanan, dia pun datang meminta seorang pembantu
kepada beliau. Akan tetapi, dia tidak menjumpai beliau,
lalu dia mengatakan keinginannya tersebut kepada Aisyah.
Ketika Rasulullah saw. datang, Aisyah mengatakannya
kepada Rasul. Rasulullah saw. pun mendatangi kami dan
masuk ke kamar tidur kami, saat itu kami hendak tidur. Beliau
31
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
berkata, ”Bangunlah kalian berdua!” Hingga aku dapati rasa
dingin dari kedua kakinya ke dadaku, beliau lalu berkata,
”Maukah kalian berdua aku tunjuki sesuatu yang lebih baik
daripada yang telah kalian minta kepadaku? Yaitu, ketika
kalian hendak tidur bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali
dan bertasbihlah 33 kali. Itulah yang lebih baik bagi kalian
daripada yang kalian berdua minta kepadaku.” (HR Bukhari)
Dalam sebuah riwayat yang menceritakan kisah ini
disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Demi Allah,
aku tidak akan memberi kalian berdua, sementara aku
membiarkan ahli suffah dengan perut mereka kelaparan
karena aku tidak mendapatkan sesuatu untuk memberi
nafkah mereka. Akan tetapi, aku akan menjual mereka
(tawanan) lalu hasilnya untuk menafkahi mereka (ahli suffah).”
(HR Ahmad)
Mencoba untuk Menghibur Rasulullah saw.
Meskipun demikian keadaannya, Ali selalu berusaha untuk
menghibur Rasulullah saw. dan melayaninya untuk berdakwah
serta berjihad di jalan Allah SWT. Ibnu Asakir meriwayatkan
dari Ibnu Abbas, dia berkata, ”Saat itu Rasulullah saw. sedang
tertimpa kesusahan ekonomi. Ketika kabar tersebut sampai
kepada Ali, dia mencari pekerjaan yang hasilnya dia gunakan
untuk membantu beliau. Dia sampai ke kebun milik seorang
Yahudi dan dia menyirami (pohon kurma) sebanyak 17 ember.
Upah yang diterimanya untuk setiap ember adalah satu butir
kurma. Yahudi tersebut memilihkan kurma untuknya dan dia
mengambil 17 kurma ajwa. Ali membawa kurma tersebut
kepada beliau, maka beliau bertanya, ”Darimanakah kurma
ini, wahai Abu Hasan, Ali?” Ali berkata, ”Aku mendengar
32
Ali bin Abi Thalib
engkau sedang kesusahan ekonomi, maka aku pun mencari
pekerjaan untuk memberimu makanan.” Nabi saw. bersabda,
”Apakah ini engkau lakukan lantaran cinta kepada Allah
SWT dan Rasul-Nya?” Ali menjawab, ”Ya, wahai Nabi Allah.”
Nabi saw. berkata, ”Setiap hamba yang cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya, maka kefakiran akan lebih cepat menujunya
daripada aliran air yang menuju wajahnya. Dan barang siapa
yang mencintai Allah dan Rasul-Nya maka persiapkan alat
perang untuk menghadapi bala.” (Kanzul Ummal)
Julukan Kasih Sayang
Rasulullah saw. menjuluki Ali dengan julukan Abu Turab.
Itulah julukan kasih sayang dari beliau. Dari Ibnu Abbas
diriwayatkan, ”Ali datang menemui Fatimah, lalu keluar lagi,
dan kemudian tidur di masjid. Kemudian Nabi saw. bertanya,
”Ke mana putra pamanmu? Fatimah menjawab, ”Di masjid”.
Beliau lalu pergi menemui Ali dan mendapatkan selendang
Ali terjatuh dari punggungnya sehingga debu mengenai
punggungnya. Kemudian beliau membersihkan debu dari
punggung Ali seraya berkata, ”Duduklah, wahai Abu Turab.”
Beliau mengatakannya dua kali.”
Perang Badar Kubra dan Peranan Ali
Pada bulan Ramadhan tahun 2 H, terjadi Perang Badar
Kubra. Perang tersebut adalah pertempuran sengit yang
menentukan perjalanan umat Islam dan dakwah Islam serta
mengubah sejarah manusia.
Pada pertempuran ini, saat Rasulullah saw. menemui
orang-orang untuk memotivasi mereka, keluarlah Utbah bin
Rabi‘ah, Syaibah (saudara Utbah), dan al-Walid (anak Utbah).
33
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ketika ketiganya berada di tengah-tengah dua pasukan,
mereka menginginkan berduel sehingga ada tiga pemuda
Anshar yang menanggapi keinginan mereka. Kelompok
Utbah bertanya, ”Siapa kalian?” Pemuda Anshar menjawab,
”Kami adalah orang-orang Anshar.” Berkatalah mereka,
”Kehormatan kalian setara dengan kami, tetapi suruhlah
keluar mereka (yang terpandang) dari keluarga kami.”
Rasulullah saw. adalah orang yang paling tahu akan
kedudukan dan posisi mereka dalam peperangan. Mereka
dahulunya adalah pahlawan dalam pertempuran sengit.
Banyak orang Quraisy yang pemberani dan pasukan berkuda.
Akan tetapi, Rasulullah saw. berkata, ”Berdirilah wahai
Hamzah, Ali, dan Ubaidah bin Al-Harits.” Mereka bertiga
adalah keluarga Rasulullah saw. yang paling dekat dan paling
beliau cintai. Meskipun demikian, beliau mempertaruhkan
nyawa mereka untuk berduel. Mereka berkata, ”Kehormatan
kalian setara dengan kami”
Dalam ”Thabaqat Al-Kubra”, Ibnu Sa‘id
meriwayatkan dari Qatadah bahwa Ali
adalah pembawa panji Rasulullah saw.
pada Perang Badar. Al-Hafizh Ibu Asakir
mengatakan, ”Rasulullah saw. mengambil
pedangnya (Dzul Faqar) pada Perang
Badar, lalu beliau memberikannya
kepada Ali.”
34
Ali bin Abi Thalib
Pada saat itu, Ubaidah (paling tua di kaumnya) berduel
dengan Utbah, Hamzah berduel dengan Syaibah, dan Ali
berduel dengan Walid bin Utbah. Hamzah dan Ali cepat
membunuh musuhnya. Adapun Ubaidah dan Utbah, masing-
masing keduanya sudah terkena dua sayatan pedang. Ali
dan Hamzah membantu Ubaidah dengan pedang mereka
hingga mengalahkan Utbah. Ubaidah mengalami luka parah
dan dia syahid saat itu.
Perang Uhud
Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 H. Pada
perang tersebut Allah SWT menurunkan bantuan-Nya
kepada kaum muslim dan Allah SWT menepati janji-Nya,
sehingga kaum musyrik bercerai berai, sampai-sampai
kaum perempuan (musuh) yang memungut panji mereka
dan melarikan diri dari peperangan. Rasulullah saw. telah
mengangkat Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pa-
sukan pemanah yang berjumlah 50 orang. Beliau berkata,
”Panahlah untuk pertahanan kami pasukan unta musuh,
sehingga mereka tidak datang dari arah belakang.” Beliau
memerintahkan mereka untuk terus berada di tempat mereka
meskipun kawanan burung turut menyerang mereka.
Namun, ketika kaum musyrik sudah kalah dan kabur,
pasukan pemanah tersebut kembali bergabung bersama
pasukan lainnya, karena mereka yakin akan kemenangan.
Mereka berkata, ”Wahai saudara-saudara, harta rampasan
perang … harta rampasan perang ….” Pimpinan mereka,
Abdullah bin Jubair, memperingatkan mereka, tetapi pasukan
pemanah tersebut tidak mendengarkannya. Mereka me-
nyangka bahwa kaum musyrik tidak akan kembali lagi. Mereka
35
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mengumbar keinginan mereka dan membiarkan pertahanan
dari belakang. Tiba-tiba kaum musyrik datang dari arah
belakang dan seorang berteriak,”Muhammad saw. telah
terbunuh.” Kaum muslim hendak kembali ke posisinya dan
kaum musyrik memanfaatkan kesempatan tersebut hingga
mengepung kaum muslim.
Musuh menyerang Rasulullah saw. dan beliau terkena
lemparan batu hingga beliau susah, gigi beliau juga terkena,
begitu pun kepala beliau, mulut beliau luka dan kaum muslim
tidak mengetahui posisi beliau. Dengan demikian, datanglah
Ali menggandeng tangan beliau, Thalhah bin Ubaidillah
membantunya berdiri hingga beliau kembali tegak berdiri,
dan Malik bin Sinan menghisab darah dari wajah Rasulullah
saw.
Bukhari meriwayatkan dari Sahal bin Sa‘ad, pada saat
itu dia ditanya tentang luka Rasulullah saw., maka berkatalah
dia, ”Demi Allah, aku tidak tahu siapa yang mencuci luka
Rasulullah saw., siapa yang menuangkan airnya, dan dengan
apa beliau diobati. Berkata, ”Fatimah binti Rasulullah, dialah
yang mencuci (luka) beliau dan Ali yang menuangkan air.
Ketika Fatimah melihat darah yang keluar bertambah banyak,
dia mengambil potongan tikar dan dia membakarnya, lalu
menempelkannya pada luka Rasulullah saw. Dengan begitu,
darah beliau berhenti mengucur.”
Ibnu Katsir berkata, ”Ali mengikuti Perang Uhud, posisi
dia berada di sayap kanan pasukan. Dia memegang panji
setelah Mush’ab bin Umair. Dia bertempur dengan sangat
hebat pada Perang Uhud dan dia membunuh banyak kaum
musyrik. Dialah orang yang mencuci luka di wajah Rasulullah
saw.”
36
Ali bin Abi Thalib
Perang Khandaq (Ahzab) dan Kecerdasan Ali
Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H.
Peperangan tersebut merupakan kejadian yang memiliki
pengaruh besar dalam sejarah Islam dan dalam perkem-
bangan Islam. Peperangan tersebut adalah peperangan
terhebat dan tersulit yang pernah dialami oleh kaum muslim.
Tidak ada satu pun yang bisa menggambarkan kejadian
tersebut secara rinci, kecuali rman Allah SWT,
”(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari
bawahmu, dan ketika penglihatan(mu) terpana dan hatimu
menyesak sampai ke tenggorokan) dan kamu berprasangka
yang bukan-bukan terhadap Allah. Di situlah diuji orang-orang
mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan
yang dahsyat.” (QS al-Ahzâb [33]: 10-11)
Pada pertempuran ini terlihat kecerdasan Ali yang
sangat mengagumkan untuk pertama kalinya. Kaum muslim
menggali khandaq atau parit atas usulan dari Salman al-Farisi
di lembah yang berada di sebelah Barat Laut dari Madinah,
di sisi yang terbuka dan ditakutkan menjadi tempat musuh
menyerang. Khandaq tersebut, menjadi penghalang antara
kaum muslim dan kaum Quraisy beserta Ghathafan yang
jumlahnya mencapai 10.000 pasukan. Pasukan berkuda
Quraisy bersegera memacu kuda mereka ke arah kaum
muslim hingga sampai di khandaq (parit) mereka berhenti.
37
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ketika melihatnya, mereka berkata, ”Demi Allah, ini bukanlah
siasat yang digunakan Bangsa Arab.” Kemudian mereka
mencari parit yang sempit dan memacu kuda mereka untuk
melewatinya. Akhirnya, mereka berhasil melewati parit
tersebut dan sampai ke tempat pertempuran di mana kaum
muslim berada.
Dalam pasukan musuh ada seorang prajurit berkuda
yang sangat terkenal yang bernama Amru bin Abdul Wudi
yang membawahi 1.000 pasukan. Dia berhenti dan berkata,
”Siapa yang akan berduel?” Dengan begitu Ali maju berduel
dan berkata, ”Wahai Amru, kamu telah berjanji jika ada
seorang Quraisy yang memberimu dia pilihan, kamu akan
mengambilnya” Dia berkata, ”Benar.” Ali berkata, ”Aku
menyerumu kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kepada
Islam.” Dia berkata, ”Aku tidak membutuhkan itu.” Ali ber-
kata, ”Maka, aku menyerumu untuk berduel.”
Amru berkata, ”Kenapa wahai anak saudaraku? Demi
Allah aku tidak akan membunuhmu.” Ali berkata, ”Akan
tetapi, demi Allah aku akan membunuhmu.”Seketika itu
Amru emosi, dia turun dari kudanya dan memukul wajah Ali.
Kemudian Ali menyerang balik. Keduanya saling berduel
hingga Ali membunuhnya. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Amru memanggil
orang untuk berduel dengannya dan dia mencela, ”Manakah
surga yang kalian gembor-gemborkan bahwa yang terbunuh
akan memasukinya. Adakah satu orang di antara kalian
yang akan berduel denganku?” Ali berdiri (hingga dua kali),
dia berkata, ”Izinkanlah aku, wahai Rasulullah?” Kemudian
Rasul berkata, ”Duduklah.” Amru menyeru ketiga kalinya
dan Ali kembali berdiri, ”Aku mohon izinkanlah aku, wahai
38
Ali bin Abi Thalib
Rasulullah?” Kemudian Rasul berkata, ”Dia itu Amru.”
Kemudian Ali berkata, ”Meskipun Amru (Aku berani berduel
dengannya).” Kemudian Rasulullah saw. mengizinkannya
dan Ali mendatangi Amru. Ketika Ali menyebutkan namanya
yang akan berduel, Amru berkata, ”Wahai anak saudaraku,
siapa yang lebih tua darimu, aku tidak tega menumpahkan
darahmu.” Ali menjawabnya, ”Akan tetapi, aku siap me-
numpahkan darahmu.” Mereka berduel dan Ali berhasil
membunuh Amru. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Peperangan terhenti setelah terjadi perselisihan
antara Quraisy dan Bani Quraizhah dan setelah Allah SWT
mengirimkan angin kencang yang sangat dingin di musim
dingin kepada musuh Islam. Akhirnya mereka menyerah dan
setelah kejadian itu kaum Quraisy tidak pernah memerangi
kaum muslim. Rasulullah saw. bersabda, ”Setelah ini kaum
Quraisy tidak akan menyerang kalian, akan tetapi kalian yang
akan menyerang mereka.”
Perjanjian Hudaibiah, Akhlak Ali dan Kecintaannya
kepada Rasulullah saw.
Perjanjian Hudaibiah terjadi pada bulan Dzul Qa‘dah tahun 6
H. Kaum Quraisy tidak mengizinkan kaum muslim memasuki
Kota Makkah dan melakukan umrah. Kaum Quraisy
mengirim orang yang bernama Suhail bin Amru, kemudian
Rasulullah saw. berkata, ”Kaum Quraisy mengirimkan se-
seorang dan bermaksud mengadakan perjanjian.” Nabi
saw. lalu memanggil Ali dan berkata kepadanya ”Tulislah
Bismillâhirrahmânirrahîm.” Suhail berkata, ”Aku tidak
tahu apa itu Bismillâhirrahmânirrahîm, akan tetapi tulislah
sebagaimana yang kami ketahui yaitu, ‘Bismikallâhumma’.”
39
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Kaum muslim berkata, ”Kami tidak akan menulis kecuali
‘Bismillâhirrahmânirrahîm’.” Nabi saw. berkata, ”Tulislah
‘Bismikallâhumma’.” Kemudian beliau bersabda, ”Tulislah
dari Muhammad Rasulullah.” Suhail berkata, ”Sekiranya
kami mengetahui bahwa engkau adalah Rasulullah, sungguh
kami tidak akan mencegahmu masuk Makkah dan tidak
akan menyerangmu, akan tetapi tulislah namamu dan nama
ayahmu.” Lantas Nabi saw. bersabda, ”Aku adalah Rasulullah
(utusan Allah), meskipun kalian mengingkariku, tulislah dari
Muhammad bin Abdullah.” Kemudian Ali disuruh untuk
menghapusnya ”Rasulullah” Kemudian Ali berkata, ”Demi
Allah, aku tidak akan menghapuskannya.” Kemudian Rasul
berkata kepada Ali, ”Tunjukkan kepadaku tulisan ‘Rasulullah’.”
Ali menunjukkannya, lalu Rasulullah saw. menghapusnya.”
(Sahih Muslim, dinukil dari kitab al-Jihâd as-Sair)
Perang Khaibar dan Keberanian Ali
Perang Khaibar terjadi pada bulan Muharram tahun 7 H.
Dalam perang ini terlihat keberanian Asadullah Al-Ghalib
(Ali bin Abi Thalib) serta kedudukannya di sisi Allah SWT dan
Rasul-
Nya. Kemenangan yang ditakdirkan Allah SWT untuk
kaum muslim, juga menunjukkan kehebatan strategi perang
Asadullah yang sangat jelas.
Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang terdapat
benteng dan lapangan tempur milik Yahudi. Dan, Khaibar
adalah benteng terakhir yang dimiliki Yahudi di Jazirah
Arab. Mereka mengintai kaum muslim di segala penjuru
dan bekerjasama dengan Yahudi Madinah untuk menyerang
Madinah. Rasulullah saw. bersiap di arah Timur Laut dari arah
Madinah dan berjarak 70 Mil.
40
Ali bin Abi Thalib
Rasulullah saw. dengan pasukannya yang berjumlah 1.400
prajurit menuju Khaibar, dan mereka menaklukkan Benteng
Khaibar pintu demi pintu. Ada satu pintu benteng yang susah
dibuka oleh kaum muslim, yaitu Pintu Qumush. Pada saat itu
Ali sedang sakit mata dan Rasulullah saw. bersabda, ”Besok
ada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya yang
akan memegang panji dan dia akan menaklukkannya.”
Para sahabat sangat mengharapkan menjadi orang yang
disebutkan oleh Rasulullah saw. tersebut. Kemudian
Rasulullah saw. memanggil Ali dan dia mengeluhkan sakit
matanya. Kemudian Ali mendatangi Rasulullah saw., lalu
beliau meludahi matanya serta mendoakannya. Sungguh,
sembuhlah penyakit matanya tersebut dan seakan dia
tidak merasakan penyakitnya tersebut. Rasulullah saw.
pun memberikannya panji dan berkatalah Ali, ”Aku akan
memerangi mereka dengan sekuat tenaga.” Rasulullah
saw. bersabda, ”Bersabarlah hingga kamu datang kepada
mereka, lalu serulah mereka kepada Islam dan jelaskanlah
yang menjadi kewajiban mereka terhadap hak Allah SWT.
Demi Allah, jika ada seorang yang mendapatkan petunjuk
Allah karenamu, itu lebih baik daripada kamu memiliki unta
merah. (HR Bukhari)
Antara Ali dan Marhab (Prajurit Yahudi)
Ketika Ali datang ke benteng Qumush, keluarlah Marhab,
seorang prajurit Yahudi yang terkenal. Keduanya berduel
dan Ali memukulnya hingga kepala terluka dan terbunuh,
itulah kemenangan bagi kaum muslim.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dengan sanad-
nya dia meriwayatkan dari Laits, ”Aku mengunjungi Abu
41
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ja‘far dan dia menyebutkan dosa dan yang dia takutkan.
Hingga dia menangis, lalu dia berkata, ’Jabir telah
mengatakan kepadaku bahwa pada saat Perang Khaibar Ali
membawa pintu (Gerbang benteng) hingga kaum muslim
dapat menaikinya dan memenangkan pertempuran, dia
merobohkannya. Pintu gerbang tersebut tidak bisa dibawa
oleh 40 orang.’”
Muhammad bin Ishaq menyebutkan dari Abdullah bin
Hasan dari beberapa keluarganya dari Abu Ra’ bahwa
Yahudi memukul Ali hingga perisainya terjatuh. Ali lalu
mengambil gerbang benteng dan menggunakannya sebagai
perisai. Pintu tersebut masih tetap dia gunakan hingga Allah
SWT memberikan kemenangan kepadanya. Setelah itu dia
melemparkannya. Abu Ra’ mengatakan, ”Pada Perang
Khaibar aku dan ketujuh temanku tidak mampu membalikkan
pintu tersebut.” Adapun Laits meriwayatkan dari Abu Ja‘far
dari jabir, menyebutkan 40 orang pun tidak mampu untuk
mengangkatnya.
Mengimani dan Memercayai Kabar yang Disampaikan
Rasulullah saw.
Pada bulan Ramadhan tahun 8 H, Rasulullah saw. bersiap
untuk menaklukkan Kota Makkah. Beliau meminta kaum
muslim turut bersiap dan menyembunyikan kabar tersebut,
beliau bersabda, ”Kalian jangan menyampaikan kabar ini
kepada Quraisy hingga kita menaklukkan kota mereka.”
Hathib bin Abi Balta‘ah adalah seorang Muhajirin
yang mengikuti Perang Badar, yang sangat dekat dengan
Quraisy. Dia memiliki keluarga dan anak di Makkah serta
42
Ali bin Abi Thalib
tidak ada seorang pun yang melindungi mereka. Dia hendak
mengabarkan perihal tersebut dengan tujuan ada yang
melindungi keluarga dan anaknya tersebut. Dia menulis
surat mengabarkan perjalanan Rasulullah saw. kepada
mereka. Surat itu diserahkan kepada seorang perempuan
dan perempuan itu bersegera menyampaikan kepada
kaum Quraisy. Dalam hal ini Rasulullah saw. berkata dengan
perkataan baik, ”Semoga Allah SWT mengetahui semua ahli
badar dan Dia berkata, ’Lakukanlah sesukamu, karena Aku
telah mengampuni kalian semua’.”
Perempuan ini menyimpan surat di kepalanya. Saat
itu Rasul mendapatkan kabar dari langit tentang tindakan
Hathib, maka beliau mengutus Ali dan Zubair. Beliau
berkata, ”Pergilah ke Raudhah Khah (Daerah antara Makkah
dan Madinah), di sana ada perempuan yang bepergian
yang membawa surat untuk Quraisy.” Keduanya pergi
hingga mendapatkan perempuan yang dimaksud di tempat
tersebut. Mereka berdua bertanya kepada perempuan itu,
”Apakah kamu membawa surat?” Dia berkata, ”Aku tidak
membawa surat.” Mereka berdua menggeledah barang
bawaannya dan tidak mendapatkan surat tersebut. Ali
berkata kepadanya, ”Aku berani bersumpah atas nama
Allah, Rasulullah saw. tidak akan berbohong dan tidak akan
membohongi kami. Demi Allah, serahkanlah surat tersebut
atau kami menelanjangimu?” Ketika melihat kesungguhan
Ali, perempuan itu berkata, ”Berpalinglah?” Kemudian
Ali berpaling dan dia melepaskan penutup kepalanya dan
mengeluarkan surat tersebut, serta menyerahkannya kepada
Ali dan Zubair. Hingga keduanya membawa surat itu kepada
Nabi saw. (Zadul Ma’ad)
43
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Rasulullah saw. Menggembirakan Ali dengan
Mengangkatnya sebagai Pengganti Beliau di
Madinah
Pada bulan Rajab tahun 7 H, terjadi peperangan Tabuk.
Pertempuran ini memiliki urgensi besar dalam perjalanan
hidup kenabian dan juga mewujudkan cita-cita kaum muslim
yang seakan susah dicapai.
Rasulullah saw. mempekerjakan Muhammad bin Mu-
sallamah al-Anshari dan menunjuk Ali sebagai pengganti
beliau untuk Madinah selama beliau berperang. Ketika Ali
mengadukan serangan dari kaum munak, Nabi saw. berkata,
”Tidakkah kamu rela menjadi bagian dariku sebagaimana
kedudukan Harun dari Musa. Akan tetapi, sepeninggalku
tidak akan ada nabi (yang diutus).” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lainnya, bahwasanya Rasulullah saw.
menunjuk Ali sebagai penggantinya untuk memimpin
Madinah. Kemudian Ali berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah
engkau meninggalkanku dengan kaum perempuan dan
anak-anak?” .... (hingga akhir riwayat).
Ali Diutus ke Yaman dan Mengislamkan Penduduk
Hamdan
Tahun 7 H, sebagai dampak dari penaklukan Makkah dan
kemenangan Tabuk, banyak utusan dari berbagai daerah yang
berdatangan ke Madinah. Banyak juga yang berbondong-
bondong masuk Islam, di antaranya adalah utusan kaum
Asy-‘Ari dan penduduk Yaman, mereka melantunkan syair,
”Besok kita akan menjumpai sang kekasih Muhammad dan
kelompoknya.”
44
Ali bin Abi Thalib
Rasulullah saw. bersabda,
”Penduduk Negeri Yaman telah datang kepada kalian.
Mereka adalah orang-orang yang paling lembut hatinya,
iman itu ada pada Yaman, qih ada pada Yaman, dan hikmah
ada pada Yaman.” (HR Bukhari)
Rasulullah saw. mengutus Khalid bin Walid bersama
beberapa kaum muslim ke Yaman untuk menyerukan Islam.
Mereka menetap berdakwah selama 6 bulan, tetapi tidak
ada yang menjawab seruan dakwah mereka. Kemudian
Rasulullah saw. mengutus Ali bin Abi Thalib. Dia membacakan
surat Rasulullah saw. kepada mereka maka seluruh penduduk
Hamdan memeluk Islam. Ali menulis surat mengabarkan
berita gembira tersebut dan ketika Rasulullah saw. membaca
suratnya, beliau sujud kemudian mengangkat wajahnya
seraya berkata, ”Keselamatan atas penduduk Hamdan,
keselamatan atas penduduk Hamdan.”
Mewakili Rasulullah saw. dan Tawaduk
Tahun ke 9 H, disyariatkan ibadah haji. Rasulullah saw.
mengutus Abu Bakar sebagai pemimpin haji di tahun
tersebut, dia membawa 300 jamaah laki-laki dari Madinah.
Akan tetapi, kaum musyrik menduduki tempat haji mereka.
Pada waktu itu turun Surah Bara`ah kepada Rasulullah saw.
Kemudian beliau memanggil Ali bin Abi Thalib dan berkata
kepadanya, ”Pergilah untuk menyampaikan Surah Bara`ah
ini. Umumkanlah pada hari kurban, jika mereka berkumpul
45
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
di Mina. Bahwasanya tidak akan masuk surga orang kar,
setelah tahun ini kaum musyrik tidak akan berhaji, dan tidak
akan tawaf dengan telanjang. Barang siapa yang memiliki
janji setia kepada Rasulullah saw., dia akan menepatinya
hingga mati.” Berangkatlah Ali dengan menunggangi unta
Rasulullah saw. sampai menemukan Abu Bakar. Abu Bakar
berkata, ”Datang untuk memerintah atau diperintah?” Ali
berkata, ”Karena diperintah.” Kemudian keduanya pergi.
Abu Bakar bersama jamaah haji, sampai pada saat hari
kurban Ali berdiri dan menyampaikan perintah Rasulullah
saw. (Ibnu Hisyam)
Haji Wada’ dan Khotbah Ghadir Khum
Pada haji wada’, Ali mendapati Rasulullah saw. Rasulullah
saw. menyembelih 63 domba dengan tangannya sendiri.
Jumlah tersebut adalah jumlah usia beliau. Setelah itu beliau
berhenti dan menyuruh Ali untuk meneruskan menyembelih
sisanya, dari seratus ekor domba. Ali lalu melakukannya
sampai selesai.
Setelah hari tasyriq, Rasulullah saw. pergi ke Makkah
dan beliau Tawaf wada’. Beliau memerintahkan orang-orang
untuk kembali ke Madinah.
Setelah sampai ke Ghadir Khum,
beliau berkhotbah. Dalam
khotbahnya beliau menyebutkan
keutamaan Ali dan berkata,
”Adapun orang yang aku sayangi
46
Ali bin Abi Thalib
Sebab beliau mengatakan hal tersebut adalah banyak
orang yang mengadukan Ali dan mencelanya. Sebagian
orang membicarakannya tentang kebijakannya saat berada
di Yaman, mereka menganggap adanya kebakhilan. Akan
tetapi, pada hakikatnya kebenaran berpihak kepada Ali
dalam hal tersebut.
Wafatnya Rasulullah saw.
Kematian dari Allah SWT akan menjemput semua orang ter-
masuk para nabi-Nya. Mahabenar Allah dalam rman-Nya,
”Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya telah
berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh
kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (QS Âli ‘Imrân [3]: 144)
Telah sempurna ajaran yang disampaikan beliau dan
Allah SWT membahagiakan beliau dengan berbondong-
bondong orang masuk Islam, serta mulainya agama Islam
menyebar ke seluruh dunia, beliau tenang akan janji Allah,
serta umatnya juga mendengarkannya dan mematuhinya
untuk menegakkan agama ini. Menjelang beliau wafat,
terlihat dalam tindakan beliau untuk mempersiapkan
adalah Ali. Ya Allah sayangilah orang
yang menyayanginya dan musuhilah
orang yang memusuhinya.”
47
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
pertemuannya dengan Allah SWT dan Allah SWT senang
bertemu dengannya. Beliau sering memberi nasihat
kepada kaum muslim dan berkhotbah di hadapan mereka,
beliau menyedekahkan sisa hartanya, sekitar 5-9 emas.
Beliau berkata, ”Apa yang ada di benak Muhammad jika
dia bertemu dengan Allah SWT sedang harta ini masih
tersimpan. Kemudian beliau berkata kepada Aisyah, ’Se-
dekahkanlah.’”
Ketika sakit beliau bertambah parah, Rasul mandi lalu
pergi untuk shalat bersama kaum muslim dan beliau pingsan.
Setelah sadar beliau berkata, ”Apakah orang-orang telah
shalat?” Mereka menjawab, ”Belum, mereka menunggumu,
wahai Rasulullah.” Orang-orang menunggu beliau untuk
shalat Isya. Rasulullah saw. lalu mengutus orang dan
menyampaikan supaya Abu Bakar mengimami kaum muslim.
Abu Bakar adalah orang yang lembut hatinya, dia berkata,
”Wahai Umar, kamu saja yang mengimami.” Umar berkata,
”Kamu lebih berhak daripadaku.” Dengan demikian, untuk
beberapa hari dia mengimami.
Suatu ketika, Rasulullah saw. merasa ringan dan beliau
keluar didampingi dua sahabat, Abbas dan Ali, untuk
menunaikan shalat Zhuhur. Ketika melihat Nabi saw., Abu
Bakar hendak ke belakang, akan tetapi Rasul mengisyaratkan
agar dia jangan ke belakang. Keduanya mendudukkan
Rasulullah saw. di samping Abu Bakar. Dengan demikian,
Abu Bakar shalat berdiri dan Rasulullah saw. shalat dengan
duduk. (HR Bukhari)
Ali berkata, ”Rasulullah saw. berwasiat untuk shalat, zakat,
dan berbuat baik kepada hamba sahaya.” Aisyah berkata,
”Ketika menengoknya, mata beliau melihat ke arah langit,
48
Ali bin Abi Thalib
dan berkata, ”Di sisi Allah, di sisi Allah.” Di depan beliau ada
bejana yang berisi air, lalu beliau memasukkan tangannya
ke dalam air dan mengusapkannya ke wajah serta berkata,
”Lâ ilâha illallâh, sungguh dalam kematian ada sekarat.”
Kemudian beliau meregangkan jari-jari tangan kanan beliau
seraya berkata, ”Di sisi Allah, di sisi Allah.” Hingga beliau
meninggal dan tangan beliau menyentuh air. (HR Bukhari)
Berita wafatnya Rasulullah saw. sampai kepada sahabat,
seakan petir yang menyambar karena kecintaan mereka
kepadanya, terlebih bagi keluarga beliau Bani Hasyim
(terutama Ali dan Fatimah). Akan tetapi, mereka mampu
menghadapinya dengan kekuatan iman dan ridha dengan
qadha` Allah.
Keluarga beliau menyiapkan pemandian dan pemakaman
beliau. Akan tetapi, dengan kecintaan yang sangat besar,
tidak ada satu orang pun yang meronta, karena Islam
melarang hal tersebut.
Pada akhir hayatnya, Rasulullah saw. bersabda,
”Laknat Allah atas Yahudi dan Nasrani, yang menjadikan
kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat sesembahan.” Beliau
memperingatkan dari perbuatan mereka. (HR Bukhari)
Hari wafatnya Rasul tersebut adalah hari Senin, 12
Rabiulawal tahun 11 H, siang hari. Usia beliau adalah 63 tahun,
hari itu adalah hari yang sangat suram bagi kaum muslim.
ALI BIN ABI THALIB:
PADA MASA KEKHALIFAHAN
ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
50
Ali bin Abi Thalib
Detik-Detik Penentu
Pada saat Rasulullah saw. wafat, Islam seperti sebuah pulau
kecil yang dikelilingi lautan jahiliah dengan kesyirikan,
akhlak hewani, tindakan buruk, masyarakat yang rusak,
dan pemerintahan zalim. Adapun, orang Arab yang baru
memeluk Islam sudah meninggalkan fanatik kesukuan dan
tunduk terhadap aturan. Inilah waktu-waktu penentu yang
dilalui sejarah Islam dalam melukiskan umat ini.
Agama-agama yang ada biasanya tunduk dan di-
pengaruhi berbagai faktor pada awal berdirinya. Sangat
rawan untuk diselewengkan dan penghancuran dari dalam
atau dari luar. Hal itu dapat terjadi jika penerus (dari yang
merintis agama tersebut) bersikap lemah, karena mereka
tidak memahami secara mendalam tujuan dari agama
tersebut. Selain itu, juga bisa terjadi jika sang penerus tidak
ikhlas, tidak menjaga kemurnian agamanya, tergoda dengan
dunia, atau berebut kekuasaan. Dengan demikian, agama
tersebut bisa saja seperti aliran lsafat yang aturannya
tunduk sesuai dengan keinginan raja atau pemerintahan.
Inilah yang terjadi dengan agama Brahma, Budha, Zoroaster,
Yahudi, dan Nasrani–Sejenak setelah Nabi Isa a.s. diangkat
ke langit.
Perjalanan Agama-Agama Terdahulu
Kita akan memulai dengan Yahudi dan Nasrani, karena kedua
agama ini adalah agama samawi dan Al-Qur`an menyebut
mereka dengan ”Ahlul Kitab”. Dalam ensiklopedi Yahudi
disebutkan seperti berikut, ”Sesungguhnya amarah para
Nabi-nabi terhadap para penyembah berhala menunjukkan
bahwa penyembahan berhala sudah mendarah daging di
51
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
dalam jiwa kaum Israel terdahulu. Kemudian akar penyakit
tersebut tidak dapat dibasmi hingga mereka kembali dari
Babilonia. Mereka telah menerima keyakinan yang diubah
dan keyakinan kesyirikan.” (Jewish Encyclopedia)
Nasrani telah mengalami perubahan yang sangat hebat,
penafsiran yang sesat, dan menjadi penyembah patung
seperti Roma, semenjak periode awal. Kesemuanya itu
disembunyikan di bawah ajaran Nasrani, sehingga cahaya
tauhid padam dan kemurnian ibadah menjadi keruh. Ajaran
tersebut disampaikan oleh Saint Paulus (10-65 M), dialah yang
memegang kendali agama Nasrani dan yang mengarahkan-
nya pada periode awal. Beberapa peneliti meyakini bahwa
agama Nasrani yang ada pada zaman sekarang ini adalah
ajaran Paulus yang dia selaraskan dari ajaran Budha, seperti
inkernasi, dan itu sangat jauh dari ajaran Nasrani murni. Itulah
yang dipelajari oleh ahli ilmu Nasrani, yaitu sebagai pokok
akidah Nasrani ortodoks selama 18 abad.
Brahma juga telah bergeser dari ajaran murninya semenjak
periode awalnya. Mereka menjadi penyembah berhala yang
jumlahnya mencapai 330 juta berhala. Begitu juga Budha,
telah berubah dari ajaran murninya. Ajaran Budha diserang
dengan berhala-berhala hingga kata ”Budha” sendiri sudah
menjadi sebuah kata untuk menyebut satu berhala.
Keadaan ajaran Zoroaster sama seperti itu, penulis buku
”Relilgion of The World” berkata, ”Reaksi dari kematian
Zoroaster adalah dikembalikannya tuhan-tuhan agama lama.
Bersama dengan itu, para pengikut Zoroaster yang hatinya
masih terkait dengan tuhan-tuhan itu bersemangat dengan
dikembalikannya tuhan-tuhan lama mereka. Para pembesar
Ajaran Zoroaster, dukun-dukun, memotori gerakan ini dan
52
Ali bin Abi Thalib
mereka menampakkan kegirangan mereka. Begitulah agama
yang mengajak kepada monotheisme berubah menjadi
tenggelam dibanjiri tuhan-tuhan yang banyak.
Syarat Penerus Pembawa Ajaran Nabi
Satu-satunya solusi untuk krisis yang dihadapi oleh umat
Islam yang baru saja terbentuk saat itu adalah memilih
seorang khalifah (Seorang yang meneruskan ajaran Nabi)
yang memiliki sifat menjaga kemurnian agama supaya tidak
mengalami perubahan dan juga menjaga supaya umat tidak
menyeleweng. Berikut syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang khalifah.
1. Dia adalah seorang yang dipercaya oleh Rasulullah saw.
dan mendapatkan pengakuan dari beliau. Kemudian dia
mampu melaksanakan pokok-pokok keagamaan dan
perkara penting dalam agama. Kemudian dia pernah
menemani Rasul dalam keadaan yang sangat penting,
karena hanya orang yang dipercayalah yang akan dipilih
untuk menemani dan bisa diandalkan.
2. Seorang yang kokoh dalam menghadapi bencana yang
hampir menghancurkan inti agamanya. Dalam keadaan
tersebut banyak orang-orang yang kuat imannya merasa
putus asa, akan tetapi orang ini bersikap kuat pendirian
dan menjadikan dirinya sebagai khalifah para Nabi yang
berkeyakinan tinggi, sehingga matanya tidak ditutupi
oleh kepalsuan dan inti dari keimanan yang benar tidak
tertutup oleh setitik noda.
3. Dia memahami Islam secara mendalam dan mengalami
sendiri keislaman di masa Nabi saw. dalam keadaan apa
53
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
pun, baik keadaan damai, perang, aman, takut, sendiri,
ramai, susah, atau lapang.
4. Senantiasa bersemangat dalam menjaga kemurnian
agama dan kelangsungannya pada masa kenabian.
Sikap semangatnya itu melebihi semangat seseorang
dalam mencari kemuliaan. Sikapnya tersebut tidak luntur
dengan rasa takut, ketamakan, atau tidak disetujui oleh
orang yang dicintainya.
5. Senantiasa berjuang untuk menjalankan keinginan Rasul
pada umatnya setelah beliau tidak ada dan tidak ada satu
rintangan pun yang dapat membendung perjuangannya
tersebut.
6. Bersikap zuhud dalam kenikmatan dunia. Kezuhudan
yang mendekati panutan utamanya, Rasulullah saw.
Dalam benaknya tidak ada pikiran untuk mendirikan
kerajaan, memperluas kekuasaan untuk keluarganya.
Abu Bakar Memenuhi Syarat-Syarat Tersebut
Kesemua syarat tersebut ada pada diri Abu Bakar, baik ketika
zaman Rasulullah saw., sebelum diangkat menjadi khalifah,
atau setelahnya hingga beliau wafat. Kesahihan akan hal ini
tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Berikutlah pembuktian
dari setiap poin di atas.
1. Rasulullah saw. sangatlah mempercayai Abu Bakar.
Rasul menunjuk Abu Bakar untuk menemaninya dalam
perjalanan yang sangat penting dan bahaya, yaitu
perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah, sedangkan
pada saat itu musuh mengintai mereka. Seorang yang
berakal hanya akan memilih teman yang dipercayainya
dan yang berani mengorbankan hidup untuknya.
54
Ali bin Abi Thalib
Allah SWT mengabadikan kejadian tersebut dalam
rman-Nya, ”... sedang dia salah seorang dari dua
orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia
berkata kepada sahabatnya, ”Jangan engkau bersedih,
sesungguhnya Allah bersama kita ....”(QS at-Taubah
[9]: 40) Dalam peristiwa itu, Abu Bakar-lah satu-satunya
orang yang bersama Rasulullah saw.
Abu Bakar pernah menggantikan Rasulullah saw.
untuk mengimami shalat dan dia ditunjuk Rasulullah saw.
menjadi pimpinan jamaah haji. Dalam sebuah hadits
dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, dia berkata:
Aku mengunjungi Aisyah dan berkata, ”Ceritakanlah
kepadaku tentang Rasulullah saw. ketika sakit.” Dia
berkata, ”Baiklah, pada saat itu keadaan Rasulullah
saw. buruk, beliau berkata, ’Apakah orang-orang telah
shalat?’ Kami menjawab, ’Belum, mereka menunggumu.’
Beliau berkata, ’Isilah untukku bejana ini dengan air.’
Kemudian beliau duduk dan mandi, selanjutnya beliau
pingsan. Setelah sadar beliau berkata, ’Apakah orang-
orang telah shalat?’ Kami menjawab, ’Belum, mereka
mengunggumu, Wahai Rasulullah.’ Orang-orang
menunggu beliau untuk shalat Isya. Rasulullah saw.
mengutus orang dan menyampaikan supaya Abu Bakar
mengimami kaum muslim. Abu Bakar adalah orang yang
lembut hatinya, dia berkata, ”Wahai Umar, kamu saja
yang mengimami.” Umar berkata, ”Kamu lebih berhak
daripadaku.” Dengan demikian, untuk beberapa hari dia
mengimami.”
Suatu ketika, Rasulullah saw. merasa ringan dan
beliau keluar didampingi dua sahabat, salah satunya
adalah Abbas, untuk menunaikan shalat Zhuhur. Ketika
55
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
melihat Nabi saw., Abu Bakar hendak ke belakang,
akan tetapi Rasul mengisyaratkan agar dia jangan ke
belakang. Keduanya mendudukkan Rasulullah saw. di
samping Abu Bakar. Dengan demikian, Abu Bakar shalat
berdiri dan Rasulullah saw. shalat dengan duduk.
Ubaidillah berkata: Aku mengunjungi Abdullah bin
Abbas dan aku berkata kepadanya, ”Maukah kamu aku
bacakan hadits yang aku dapat dari Aisyah tentang Nabi
saw. ketika sakit?” Dia menjawab, ”Berikanlah.” Aku lalu
membacakannya dan dia tidak mengingkarinya sedikit
pun. Dia hanya berkata, ”Apakah dia menyebutkan ke-
padamu seorang yang bersama Abbas?” Aku men jawab
tidak dan dia berkata, ”Dia adalah Ali.” (HR Bukhari)
Dari Abu Musa, dia berkata, ”Pada saat itu Rasulullah
saw. sakit, dan sakitnya bertambah parah, beliau bersabda,
’Perintahkanlah Abu Bakar agar mengimami orang-orang
untuk shalat.’ Aisyah berkata, ’Wahai Rasulullah, sungguh
Abu Bakar adalah orang yang lembut hatinya, ketika
menggantikan posisimu dia tidak akan bisa mengimami
orang-orang untuk shalat.’ Rasulullah saw. lalu berkata,
’Perintahkanlah Abu Bakar mengimami orang-orang untuk
shalat, sungguh kalian seperti perempuan-perempuan
sahabat Yusuf.’” (HR Muslim)
Kemudian Rasulullah saw. menunjuk Abu Bakar
sebagai pemimpin jamaah Haji. Kedudukan ini sangatlah
tinggi dan tanggung jawabnya juga besar. Haji diwajibkan
pada tahun 9 H, kemudian Rasulullah menunjuk Abu
Bakar untuk memimpin 300 orang dari Madinah untuk
menunaikan Haji, sebagaimana yang telah kami jelaskan
pada bab sebelumnya.
56
Ali bin Abi Thalib
2. Ketangguhan iman Abu Bakar sudah terlihat jelas dalam
cobaan terbesar yang menimpa umat Islam, peristiwa
itu adalah wafatnya Rasulullah saw. Berita wafatnya
Rasulullah saw. bagaikan petir yang menyambar bagi
sahabat beliau. Sebagian mereka ada yang tidak percaya
berita ini, Umar pun termasuk orang yang tidak percaya
kabar wafatnya Rasulullah saw., padahal dia terkenal
dengan kecerdasannya. Dia mengingkari siapa saja yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah wafat, bahkan
dia keluar ke masjid dan berkhotbah, ”Rasulullah saw.
tidak akan pernah wafat hingga Allah SWT memusnahkan
orang-orang munak.” (Sirah Ibnu Katsir)
Pada saat itu, Abu Bakar adalah orang yang sangat
dibutuhkan keimanannya sekokoh gunung yang
tertancap kuat. Ketika mendengar kabar wafatnya
Rasulullah saw., Abu Bakar pergi ke Masjid dan melihat
Umar sedang berkata kepada orang-orang. Abu Bakar
tidak memedulikannya dan dia masuk ke rumah Aisyah.
Dia mendapati Rasulullah saw. tertutup, kemudian dia
membuka wajahnya dan menciumnya, dia pun berkata,
”Demi bapakku, engkau, dan juga Ibuku. Adapun
kematian yang telah tertuliskan untukmu telah sampai
kepadamu. Maka setelah ini engkau tidak akan mati.”
Dia menutup kembali wajah beliau.
Abu Bakar keluar, sedang Umar masih berkata
kepada orang-orang. Abu Bakar berkata, ”Wahai Umar
tenanglah dan diam.” Umar mengabaikan Abu Bakar.
Abu Bakar lalu berkhotbah menghadap ke kerumunan
orang banyak dan ketika mereka menghampirinya, Abu
Bakar bertahmid kepada Allah seraya berkata, ”Wahai
sekalian manusia, barang siapa yang menyembah
57
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Muhammad, maka Muhammad telah wafat. Barang siapa
yang menyembah Allah, maka Allah Mahahidup dan
tidak akan mati.” Kemudian dia membaca rman Allah,
”Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya
telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang
siapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan
Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada
orang yang bersyukur.” (QS Âli Imrân [3]: 144)
Berkatalah orang yang melihat peristiwa tersebut,
”Pada saat itu seakan-akan kaum muslim tidak
mengetahui bahwa Allah SWT telah menurunkan ayat
ini, sehingga Abu Bakar membacanya pada hari itu.”
Umar pun berkata, ”Demi Allah, ketika Abu Bakar
membacakannya aku merasa terpukul hingga aku
tersungkur di atas tanah, kedua kakiku tidak kuat lagi
menopang tubuhku. Seketika itu aku tersadar bahwa
Rasulullah saw. telah tiada.”
3 dan 4. Mengenai pemahaman agamanya yang tinggi dan
semangatnya dalam menjaga kemurnian agama seperti
pada zaman Nabi saw., terdapat dalam sikapnya ketika
kabilah-kabilah Arab berhenti untuk membayar zakat ke
Baitul Mal dan mereka mengingkari kewajiban berzakat.
Pada saat itu dia berkata, ”Wahyu tidak akan turun dan
agama ini telah sempurna. Selama aku masih hidup
tidak akan aku biarkan agama yang telah sempurna ini
berkurang.”
Beberapa pembesar sahabat tidak dapat memutus-
kan untuk memerangi mereka, karena mereka sesama
muslim dan menjalankan sebagian besar syariat Islam
58
Ali bin Abi Thalib
(Kecuali zakat). Akan tetapi, tanpa ragu dalam seketika
Abu Bakar mengikrarkan untuk memerangi mereka.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa dia berkata,
”Demi Allah, jika mereka tidak membayarkan zakat
kambing, (disebutkan juga unta dalam riwayat lainnya)
yang telah mereka bayarkan pada masa Rasulullah saw.
maka aku akan memerangi mereka. Sesungguhnya zakat
adalah kewajiban terhadap harta. Demi Allah, aku akan
memerangi siapa saja yang membedakan antara shalat
dan zakat.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Penolakan zakat adalah sebuah keretakan dalam
Islam dan membuka pintu untuk penentangan terhadap
Islam. (Berandai-andai) jika pada saat itu Abu Bakar
memperkenankan tindakan tersebut, maka tidak ada
seorang pun setelahnya yang mampu mengembalikan
kewajiban zakat. Selain itu, juga akan membuka pintu-
pintu lain untuk mengabaikan kewajiban dalam Islam.
Misalnya dalam permasalahan shalat, akan ada yang
berkata, ”Tidak perlu shalat jum’at dan berjamaah,
kita cukup melakukannya di rumah masing-masing.”
Kemudian dalam puasa mereka akan berkata, ”Tidak
perlu menentukan waktunya pada Ramadhan, kapan
dimulai dan kapan berakhir.” Begitu pun dengan haji
dan ibadah lainnya. Oleh karena itu, jika keadaan itu
dibiarkan, Islam hanya tinggal nama, setelah ditinggalkan
Rasulullah saw.
Dengan demikian, posisi Abu Bakar pada saat
itu tidak mempermudah, tidak lemah, dan tidak tawar
menawar. Akan tetapi, dia mendapatkan ilham dari Allah
SWT untuk mementingkan kemuliaan dan keagungan
agama Islam sekaligus menjaga kemurniannya. Semua
59
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
telah mengakui dan sejarah juga mencatat, bahwa Abu
Bakar menghadapi orang-orang murtad yang zalim, yang
berusaha mengurangi bangunan Islam. Inilah pengganti
Rasulullah saw. dan kekhalifahan yang dijalankannya,
patut mendapatkan pujian dari kaum muslim.
5. Adapun perjuangannya dalam menjalankan keinginan
Rasulullah saw. setelah wafatnya sangat terlihat ketika
dia bersikeras mengutus pasukan Usamah yang sangat
diinginkan beliau. Pada saat Rasulullah saw. wafat,
pasukan Usamah sedang berada di suatu lembah
beberapa mil dari Madinah. Kemudian pada saat yang
susah tersebut, Abu Bakar memerintahkannya untuk
bersiap sebagaimana keinginan beliau. Beberapa sa-
habat berpendapat supaya mereka tetap berada di
Madinah, ditakutkan ada pasukan orang murtad dan
musuh yang akan menyerang Madinah.
Abu Hurairah menceritakan peristiwa tersebut
dengan sangat indah, dia berkata, ”Demi Allah yang
tidak ada tuhan selain Dia. Jika bukan Abu Bakar yang
menjadi Khalifah maka Allah SWT tidak akan disembah.”
Dia mengatakannya tiga kali, selanjutnya berkata tentang
pasukan Usamah, ”Abu Bakar mengarahkan pasukan
Usamah, dan berkata, ’Aku tidak akan mengembalikan
pasukan yang telah diarahkan oleh Rasulullah saw. dan
aku tidak akan melepas panji yang telah dipasang oleh
Rasulullah saw.” Usamah langsung berkata kepada
pasukan yang hendak mundur, ”Jika mereka memiliki
kekuatan maka dia tidak akan keluar (dari pasukan), tetapi
biarkanlah hingga bertarung dengan Rum.” Mereka lalu
bertempur dengan Rum dan pulang dengan keadaan
selamat. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
60
Ali bin Abi Thalib
Abu Bakar memerangi mereka yang murtad dan
kembali kepada kekaran. Mereka adalah orang-orang
yang mengingkari syariat, meninggalkan shalat, dan
kembali kepada kejahiliahan mereka. Al-Khathabi men-
jadikan mereka jenis pertama yang diperangi Abu
Bakar. Adapun, hal-hal yang membedakan antara shalat
dan zakat, mengingkari wajibnya zakat, Al-Khatabi
menjadikan mereka jenis kedua. Landasan Abu Bakar
memerangi mereka adalah kemurtadan mereka, karena
mengingkari sesuatu yang benar dan tidak dapat di-
debat dalam agama.
Ada juga kaum yang terpengaruh oleh pimpinan
mereka, terkait pengingkaran kewajiban zakat. Abu
Bakar juga memerangi mereka atas dasar mereka adalah
orang-orang zalim. Dalam Al-Qur`an disebutkan untuk
memerangi orang-orang yang zalim di antara kaum
muslim. Allah SWT berrman,
” ... Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim ter-
hadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan)
yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah ....” (QS al-Hujurât [49]: 9)
Abu Bakar telah menghancurkan semua tnah
tentang kemurtadan di kabilah-kabilah Arab, juga
tnah nabi palsu. Abu Bakar memerangi Musailamah al-
Kadzab.
61
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Abu Bakar memerangi kaum murtad, penolak zakat,
sebelas pemerintahan, menghancurkan tnah Sajah,
Bani Tamim, dan Fajaah. Penduduk Oman, Bahrain,
Mahrah, dan Yaman kembali kepada Islam. Pada masa
kekhalifahannya, dia juga memerangi orang kar, musyrik,
dan murtad di Irak, dan juga beberapa kawasan Arab,
yang jumlahnya mendekati 50.000. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Ibnu Katsir, ”Kembalilah kemuliaan
agama setelah hilang, kembalilah kebenaran pada
tempatnya, jazirah Arab kembali tenang, hingga seorang
budak seperti sahabat.”
Muhammad bin Ishaq berkata, ”Ketika Rasulullah
saw. wafat, kaum Arab murtad, sedangkan Yahudi dan
Nasrani memantau mereka. Kemunakan menjangkiti
kaum Muslim sehingga mereka seperti domba yang
kehujanan di musim dingin. Karena mereka kehilangan
Nabi mereka hingga Allah SWT mengumpulkan mereka
di bawah kepemimpinan Abu Bakar. (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid ke Irak,
maka takluklah sebagian besar wilayah Irak, seperti
Anbar dan Dumatul Jandal. Itulah peristiwa dan pe-
perangan yang dimenangkan oleh Islam. Dengan itulah
masyarakat Arab, yang merupakan harta berharga
bagi Islam, kembali tenang. Begitu juga jazirah Arab
yang merupakan sumber keislaman, menjadi tenang
kembali. Penaklukan Islam meluas ke Irak secara
menyeluruh dan Syam, kaum muslim sibuk untuk me-
luaskan kekuasaannya di kawasan yang berdekatan
dengannya.
62
Ali bin Abi Thalib
Ketika Abu Bakar meninggal, Islam mengalahkan
damaskus pada peperangan sengit di Yarmuk. Penaklukan
Islam terus berlangsung pada masa Umar, utsman hingga
daulah Umawiyah, kesemuanya itu dibangun di atas
pondasi kekhalifahan Abu Bakar. Pada akhirnya, Islam
menyebar ke seluruh penjuru.
6. Kezuhudan Abu Bakar pada kenikmatan dunia, dia hanya
memanfaatkan baitul mal untuk kepentingan kaum
muslim. Cukup dua contoh untuk ini.
Pertama, disebutkan bahwa istri Abu Bakar mengingin-
kan manisan dan Abu Bakar berkata, ”Kita tidak memiliki
sesuatu pun untuk membelinya.” Istrinya berkata, ”Aku
akan mengumpulkan dari sebagian uang belanja kita
dalam beberapa hari.” Abu Bakar berkata, ”Lakukanlah.”
Dia melakukannya dalam waktu yang lama, tetapi dia hanya
bisa mengumpulkan sedikit. Ketika dia memberitahukan
Abu Bakar bahwa itu untuk membeli manisan, dia (Abu
Bakar) mengambilnya dan mengembalikannya ke Baitul-
mal, dia (Abu Bakar) berkata, ”Itu adalah kelebihan dari
makanan kita.” Setiap hari Abu Bakar memotong uang
belanja sesuai uang yang ditabungkan istrinya, dia mem-
berikan ke Baitul Mal harta yang dimilikinya. (Al-Kâmil Fî
at-Târîkh)
Kedua, kisah yang diriwayatkan oleh Hasan bin Ali,
dia berkata, ”Ketika Abu Bakar mendekati ajalnya dia
berkata, ’Wahai Aisyah, lihatlah binatang yang kita ambil
susunya tiap hari, mangkuk yang kita gunakan untuk
mewarnai, dan beludru yang kita pakai. Kesemuanya itu
kita manfaatkan ketika memimpin kaum muslim. Kemu-
dian jika aku meninggal kembalikanlah kepada Umar.’
63
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ketika Abu Bakar meninggal, Aisyah mengirimkannya
kepada Umar. Dia berkata, ’Semoga Allah SWT merah-
mati Abu Bakar, kamu telah membuat penerusmu
berusaha lebih keras.’”
Musyawarah dalam Islam dan Kepemimpinan Abu Bakar
Pada masa dahulu tongkat kepemimpinan diwariskan secara
turun-temurun, hingga datang Islam menyelisihi tradisi
tersebut. Pada saat itu, ada dua jenis kedaulatan negara
yang diwariskan secara turun-temurun. Pertama, negara
sekuler yang terstruktur. Tongkat kepemimpinan diwariskan
dari bapak ke anak, atau kepada salah satu anggota keluarga
dengan wasiat, tanpa melihat kecakapan orang yang dipilih
dan tanpa melihat kemaslahatan untuk masyarakat dan
negara. Pemasukan yang dimiliki negara ini seluruhnya untuk
kesejahteraan pemimpinnya, mereka menimbun kekayaan
dan barang-barang berharga. Hidup dengan glamor dan
bermewah-mewahan, serta memamerkan kekayaan sampai
di luar batas kewajaran. Para raja tersebut meyakini bahwa
derajat mereka berada di atas seluruh manusia, masyarakat
pun juga beranggapan bahwa darah para dewa mengalir di
urat mereka. Di sisi lain, masyarakat hidup dengan penuh
kesusahaan, penderitaan, dan air mata. Mereka berusaha
keras hanya sekadar untuk mengganjal perut mereka dan
untuk menutupi tubuh mereka. Kaki-kaki mereka dibelenggu
dan hidup seperti binatang. (Mâdzâ Khasiral ‘Âlam Binhithâthil
Muslimîn)
Kedua, negara yang berdasarkan agama. Tonggak
kepemimpinan negara ini terpusat pada keluarga serta garis
keturunan tertentu yang sangat dihormati dan dikuduskan.
64
Ali bin Abi Thalib
Akan tetapi, mereka menggunakan kekuasaan tersebut
untuk kepentingan ekonomi guna memuaskan nafsu dan
syahwat mereka. Memposisikan diri mereka penengah antara
tuhan dan hamba, terkadang menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal, membuat syariat sesuka mereka.
Dalam Al-Qur`an Allah SWT menggambarkan mereka,
”Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak
dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar
memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka)
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah ....” (QS at-
Taubah [9]: 34)
Dalam Nasrani mereka disebut dengan Clergy atau
rahib, Petrus menjelaskan dalam pernyataannya, ”Clergy atau
rahib adalah nama yang digunakan untuk menyebut seorang
yang berkhidmad kepada agama Nasrani. Disebut demikian
karena mereka adalah sumpah dari tuhan atau warisan.
Seperti keturunan Yahudi tertentu yang disebutkan dalam
namus Musa untuk mewarisi. Seperti itu juga yang dimiliki
oleh Ibrani, Mesir Kuno, dan masyarakat kuno lainnya yang
memiliki satu keluarga khusus yang berhak untuk memimpin
peribadatan. Sejak berdirinya gereja, terdapat pemimpin
yang bermain politik di dalamnya. Jika gereja telah bangkit
dari kemiskinan, para rahib mengambil keuntungan darinya.
Mereka tidak hanya berperan sebagai rohaniawan yang
berkhidmat kepada agama. Karena mereka juga menjadi
sumber pengetahuan. Pada masa kekuasaan romawi, para
65
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
rahib diberi kebebasan yang sangat luas, mereka tidak
bekerja seperti masyarakat umumnya. Mereka mendapatkan
penghasilan dari kerajaan dan juga dari masyarakat.”
Hal tersebut juga terjadi di Persia, yaitu pemuka agama
berasal dari satu kabilah. Pada saat itu kabilah yang berkuasa
adalah Meyda. Kemudian pada saat kekuasaan Zoroaster
kabilah yang berkuasa adalah Megan.
Para pemuka agama bagi mereka adalah bayangan para
dewa yang diciptakan untuk berkhidmad kepada dewa-
dewa. Hakim pun juga harus berasal dari kabilah tersebut,
lalu mereka dijadikan seperti perwujudan para dewa. Kabilah
ini pun berkuasa atas tempat peribadatan.
Kasta Brahmana dari kaum Hindu juga demikian. Mereka
memonopoli agama dan kesuciannya. Hukum di Hindu
memberikan kepada kaum Brahmana sebuah kedudukan
yang tidak sama dengan orang lain. Brahmana adalah
kaum yang mendapatkan ampunan meskipun berbuat dosa
sepanjang tiga generasi. Pajak tidak wajib bagi mereka dan
tidak bisa mendapatkan hukuman mati. Karena, ibadah tidak
dianggap sah tanpa perantara mereka.
Islam menghancurkan dua kekuasaan tersebut yang diwaris-
kan secara turun-temurun, yang menjadi kerusakan bagi umat
66
Ali bin Abi Thalib
manusia sebagaimana yang telah terlihat di Roma, Persia,
dan India. Dalam pemilihan khalifah, sepenuhnya diberikan
kepada kaum muslim, bermusyawarah, dan cendekiawan yang
ikhlas. Oleh karenanya, Nabi saw. tidak langsung menunjuk
siapa pun menjadi khalifah yang akan menggantikan tugas
beliau. Jika penunjukkan itu merupakan kewajiban, niscaya
Rasul sudah melakukannya. Allah SWT berrman,
”Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu
kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan
itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan
Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia ....” (QS
al-Mâ’idah [5]: 67)
Allah SWT juga berrman,
”.... (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah
Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (yaitu) orang-
orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka
takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun
selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat
perhitungan.” (QS al-Ahzâb [33]: 38-39)
67
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dalam Sahih Bukhari disebutkan dari Ubaidillah bin
Abdullah bin Utbah dari Ibnu Abas, bahwa ketika Rasulullah
saw. dekat ajalnya, di rumahnya ada banyak kaum laki-laki,
Nabi saw. berkata, ”Marilah, aku akan menuliskan surat dan
kalian tidak akan tersesat selamanya.” Sebagian mereka
berkata, ”Penyakit beliau sudah tambah parah. Kalian memiliki
Al-Qur’an, cukuplah bagi kami kitabullah.” Para Ahli Bait
berselisih pendapat, ada yang mengatakan, ”Dekatilah, beliau
akan menuliskan surat yang tidak menjadikan kalian tersesat.”
Ada juga yang mengatakan hal lainnya. Ketika perselisihan
mereka semakin rumit, Rasulullah saw. berkata, ”Pergilah.”
Berselang tiga hari setelah meminta kertas, Rasulullah
saw. masih hidup beberapa hari dan selama itu beliau
tidak meminta kembali serta tidak juga menunjuk khalifah
setelahnya. Beliau menyampaikan beberapa wasiat, akan
tetapi tidak menyinggung permasalahan khalifah. Di antara
wasiat yang beliau berikan adalah shalat dan berbuat baik
kepada budak (hamba sahaya). Ali berkata, ”Rasulullah saw.
berwasiat untuk shalat, zakat, dan berbuat baik kepada
hamba sahaya.” (HR Baihaqi dan Ahmad)
Beliau juga berwasiat, ”Laknat Allah atas Yahudi dan
Nasrani, yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai
tempat sesembahan. Kedua agama itu tidak akan kekal di
tanah Arab.” (HR Malik)
Aisyah dan Ibnu Abbas juga berkata, ”Ketika Rasulullah
saw. mendekati ajalnya beliau menutupi mukanya dengan
khamishahnya (Kain yang berwarna hitam yang biasa dikena-
kan orang Arab). Kemudian ketika kesedihan melandanya,
beliau membuka kain tersebut dan beliau berkata, ’Laknat
Allah atas Yahudi dan Nasrani, yang menjadikan kubur nabi-
68
Ali bin Abi Thalib
nabi mereka sebagai tempat sesembahan.’ Beliau memberi
peringatan akan perbuatan mereka. (HR Bukhari)
Terhadap hadits yang menyebutkan bahwa Rasul akan
menuliskan sesuatu, Abbas Aqad menjelaskan, ”Adapun
perkataan yang mengatakan bahwa Umar menghalangi
Rasulullah saw. untuk berwasiat menunjuk Ali sebagai Khalifah
adalah perkataan yang tidak berbobot dan menambah
keruh permasalahan tersebut, khususnya bagi orang yang
berkepentingan. Nabi tidak akan menuliskan mengenai Ali
sebagai khalifah setelahnya atau siapa saja yang menjadi
khalifah. Karena wasiat penunjukan khalifah tidak lebih dari
satu baris kalimat atau cukup dengan isyarat yang dapat
dipahami oleh kaum muslim, seperti penunjukkan Abu Bakar
untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat.
Setelah meminta kertas untuk dituliskan sesuatu beliau
masih hidup beberapa hari, dan selama itu beliau tidak
meminta kembali. Tidak ada yang menghalangi antara
pertemuan Ali dan Rasulullah saw. Fatimah, istri Ali, berada
di sana sepanjang waktu, jika berkehendak beliau pasti akan
memanggilnya.
Dari tindakan diam Rasulullah saw. yang tidak dipaksa
siapa pun, kita mengembalikan aturan Nabi dalam memilih
pemimpin. Dengan demikian, kita mendapati bahwa beliau
menjauhi jika dari keluarganya menduduki kepemimpinan
dan meniadakan pewaris Nabi. Tindakan diam tersebut
bukan berarti Rasul menghendaki Ali untuk menjadi khalifah
sehingga beliau menyembunyikan keinginannya tersebut.”
(Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Abbas Aqad juga berkata tentang pewarisan khalifah
Nabi, ”Jikapun khalifah merupakan pewarisan maka dia
69
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
merupakan hukum yang menjadi ketetapan dari Allah SWT.
Jika demikian, maka akan sangat mengherankan ketika
Rasul wafat dan beliau tidak menunjuk seorang penerus. Al-
Qur`an pun sudah tidak turun lagi dan di dalamnya tidak ada
nas sharih yang menjelaskan kekhalifahan seseorang dari
keluarga Nabi. Jika hal itu merupakan hal primer dalam agama
dan pemerintahan maka akan diputuskan di dunia ini dan
kekhalifahan yang memusuhinya akan sirna. Sebagaimana
sirnanya hal-hal baru terhadap hukum alam. Tidak ada nas
sharih, tidak ada peristiwa yang menunjukkan pemilihan
khalifah dari Rasulullah saw. sebagaimana yang digembar-
gemborkan oleh kelompok garis keras yang mendukung
kekhalifahan terpilih dari garis kekerabatan atau terpusat
pada keluarga Hasyimiah. (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Baiat Abu Bakar
Seluruh kaum muslim dari berbagai penjuru dan berbagai
kelompok berada di Madinah, mereka berbeda pandangan.
Ada yang bersepakat untuk meneruskan perjuangan
perluasan Islam kepada umat manusia, yaitu dengan
membaiat satu orang yang mereka saksikan sebagai yang
unggul dan mulia. Diketahui dengan sikap Rasulullah saw.
terhadapnya dan bagaimana memuliakannya. Ada juga
yang berpendapat untuk berpecah belah dan membagi
kekuasaan. Maka hal ini akan mengancap masa depan Islam
dan menghambat kemajuannya. Jika hal ini terjadi (tetapi
Allah SWT tidak menghendaki) maka Islam seperti agama-
agama lainnya yang saling membunuh untuk merebut
kekhalifahan.
70
Ali bin Abi Thalib
Permasalahan ini pun bertambah rumit, karena di Madinah
terdapat dua kabilah Kahthan yang besar, yaitu Aus dan
Khazraj, terlebih mereka membantu Rasulullah saw. dan
kaum muslimin dengan sekuat tenaga. Mereka mencintai
kaum muslim lainnya, berjuang, mendahulukan kepentingan
orang lain, dan menyediakan rumah mereka untuk kaum
muhajirin.
Dengan kecerdasan dan keunggulan yang dimilikinya,
Umar menangkap gejala ini. Dia mengetahui bahwa urusan
pemilihan khalifah tidak boleh terlambat, meskipun satu
hari. Jika kesepakatan bulat tidak tercapai dengan segera,
kejayaan Islam tidak akan pernah kembali kepada mereka.
Dia mengetahui kaum Anshar berhasrat bahwa khalifah
adalah dari mereka dan dia juga mengetahui bahwa kaum
Arab hanya tunduk kepada kaum Quraisy, karena keunggulan
yang mereka miliki.
Kaum muslim akhirnya berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah,
sehingga tidak ada jalan bagi setan untuk menghancurkan
persatuan kaum muslim. Dengan demikian setelah wafatnya
Rasulullah saw. (meskipun beliau belum dimakamkan), kaum
muslim masih tetap bersatu dan mereka sudah memiliki
seorang pemimpin (Khalifah). Umar berdiri yang menyerukan
untuk membaiat Abu Bakar, dia berkata, ”Allah SWT telah
menjadikan urusan kalian berada pada orang yang paling
baik di antara kalian, dia adalah sahabat Rasulullah saw.
dan orang kedua yang berada di gua (Menemani Hijrah
Rasulullah saw.). Berdirilah dan baiatlah dia (Abu Bakar).”
Dengan demikian, orang-orang membaiat Abu Bakar.
Baiat umum dilaksanakan pada hari esoknya setelah
baiat Saqifah, yaitu di Masjid Nabawi. Pada saat itu Abu
71
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Bakar berkhotbah, setelah bertahmid dia memuji Allah, lalu
berkata, ”Wahai sekalian manusia, aku diangkat sebagai
pemimpin kalian, bukan berarti aku yang lebih baik di antara
kalian. Jika aku berada pada kebaikan, bantulah aku dan jika
aku melakukan kesalahan, luruskanlah aku. Kejujuran adalah
amanah dan kedustaan adalah khianat. Kaum yang lemah
bagiku adalah kuat, sehingga aku akan mengambilkan
haknya dengan kehendak Allah. Kaum yang kuat bagiku
adalah kaum yang lemah, sehingga aku mengambil haknya
dengan kehendak Allah. Tidaklah seseorang meninggalkan
jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menghinakannya.
Sungguh, tidaklah kalian menebarkan kekejian kecuali Allah
akan menurunkan bala-Nya. Bangunlah untuk menegakkan
shalat, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya.” (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
Pengangkatan Abu Bakar bukanlah sebuah kebetulan
yang tidak direncanakan, tetapi kesemuanya itu sudah
ditakdirkan oleh Allah SWT. Ini juga merupakan bagian dari
kelembutan Allah SWT untuk agama ini. Allah-lah yang akan
menampakkan agama ini ke seluruh dunia, menyatukan
kekuatan kaum muslim, dan Dialah yang menunjuk seorang
pemimpin.
Seorang penulis Islam yang terkenal di Inggris, Syed
Amir Ali, mengungkapkan dengan kata-kata indah me-
ngenai hakikat sejarah ini, dia berkata, ”Bangsa Arab tidak
mewariskan kepemimpinan kepada anak cucu mereka,
tetapi kepemimpinan ditentukan dengan cara kesepakatan
dari suara masyarakat. Mereka berpegang teguh terhadap
sistem pemilihan pemimpin ini dan mereka melakukannya.
Setiap orang dalam kabilah memiliki hak suara untuk memilih
72
Ali bin Abi Thalib
pemimpin kabilah. Hasil pemilihan ini disahkan oleh anggota
keluarga senior pemimpin sebelumnya. Kaum muslim
menggunakan sistem yang sudah lama ini untuk memilih
khalifah. Pemilihan khalifah pun tidak diundur, sebagaimana
yang terlihat Abu Bakar dipilih dalam waktu yang cepat
setelah Rasulullah saw. wafat. Hal ini merupakan adat yang
telah mereka bangun di Makkah dan diperhitungkan oleh
bangsa Arab.
Abu Bakar adalah orang yang diberi keunggulan berupa
kebijaksanaan dan sikap adil. Ali juga menyatakan bahwa
Abu Bakar adalah khalifah Rasulullah saw. Ahli bait juga
menyatakan demikian, mereka menyepakati dan mengakui
kepemimpinannya.” (A Short History of The Saracens)
Dengan demikian kaum muslim terlepas dari sistem
pewarisan kekuasaan dan pengagungan penerus pe mimpin
mereka. Jika pada pertama kalinya yang dipilih sebagai
khalifah adalah dari Bani Hasyim (dan mereka berhak
mendapatkan kepemimpinan itu) maka akan terjadi
pemerintahan yang diwariskan secara turun temurun,
sebagaimana yang terjadi pada pendeta dan rahib. (Jika
terjadi) Tentunya hal ini akan menimbulkan dampak buruk
untuk para pengikut agama dan di dalam masyarakat
Islam. Sebagaimana ditunjukkan oleh para ahli sejarah,
yang terjadi pada Nasrani, Majusi, dan Budha. Mereka
memonopoli kepemimpinan dan peraturan, mengengkang
hukum dan perekonomian.
Selama sejarah, generasi Islam tumbuh berada di
atas rata-rata umat manusia yang hidup dari harta orang
lain dan berupa hadiah serta sedekah. Oleh karena itu,
73
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Rasulullah saw. mengharamkan dirinya dan Bani Hasyim
untuk makan dari zakat. Dari Abu Hurairah dia berkata,
”Hasan bin Ali mengambil sebuah kurma dari kurma
sedekah (zakat) maka dia memasukkannnya kedalam
mulutnya. Kemudian Rasulullah saw. berkata, ‘’Kuh, kuh’
supaya dia memuntahkannya, beliau bersabda, ’Apa yang
kamu rasakan, kita tidak memakan dari hasil sedekah’.” (HR
Bukhari)
Dalam riwayat yang panjang dari Abdul Muthalib bin
Rabi‘ah bin Harits Rasulullah saw. bersabda,
”Sedekah (zakat) ini hakikatnya adalah harta kotornya
manusia. Sedekah ini tidak halal untuk Muhammad dan
keluarga Muhammad.” (HR Muslim)
Allah SWT melindungi keluarga Hasyimiah dan anak
keturunan Ahli Bait dari perbuatan yang digambarkan
Allah SWT dalam Surah at-Taubah Ayat 34, yang artinya,
”Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak
dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-
benar memakan harta orang dengan jalan yang batil ....”
Bani Hasyim bukanlah termasuk dari kedua golongan ke-
pemimpinan tersebut yang didapatkan dari pewarisan. Oleh
karenanya ada seorang dari quraisy yang berkata, ”Jika Bani
Hasyim berkuasa maka kepemimpinan tidak akan keluar
dari mereka selamanya, bahkan Quraisy pun tidak akan
mendapatkannya.” (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
74
Ali bin Abi Thalib
Hikmah Diakhirkannya Ali sebagai Khalifah
Pergerakan revolusi dan propaganda–menurut para peneliti
sejarah–merupakan pergerakan yang sangat kuat baik
di awal maupun di akhir. Diawali dengan propaganda
perbaikan dan melenyapkan keburukan serta kesesatan.
Kemudian, berakhir dengan mendirikan pemerintahan
atau menghimpun kekuatan militer untuk kepentingan
orang yang menggemborkan revolusi atau pelengseran
kekuasaan.
Hal ini terlihat jelas dalam percakapan Hiraql, Raja
Bizantium Roma, dengan Abu Sufyan. Pada saat itu Abu
Sufyan menyampaikan surat Nabi saw. kepada Hiraql, yang
berisikan ajakan untuk memeluk Islam. Percakapan tersebut
menggambarkan reaksi dan komentar yang bersumber
dari pembelajaran di dalam dirinya dan kecerdasannya. Dia
bertanya kepada Abu Sufyan, ”Apakah dari leluhurnya ada
yang menjadi Raja?” Saat itu Abu Sufyan menjawab ”Tidak.”
Kemudian Hiraql langsung menanggapinya, ”Aku bertanya
kepadamu, apakah ada dari leluhurnya yang menjadi raja, dan
kamu menjawab tidak. Dengan demikian, aku menyimpulkan
bahwa jika dari leluhurnya ada yang menjadi Raja maka dia
adalah seorang yang hendak merebut kembali kekuasaan
yang pernah dimiliki leluhurnya.”
Salah satu takdir yang ditentukan oleh Allah Yang Maha
Perkasa adalah tidak menjadikan khalifah Rasulullah saw.,
yang memimpin kaum muslim, seorang dari Ahli Baitnya
(Bani Hasyim) secara langsung setelah kepergian beliau.
Akan tetapi, khalifah beliau pertama adalah Abu Bakar, yang
berasal dari Bani Taim. Kemudian Abu Bakar digantikan
oleh Umar bin Khaththab dari Bani Adi. Setelah itu, Utsman
75
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
bin Affan dari Bani Umayyah. Selanjutnya adalah keluarga
beliau, Ali bin Abi Thalib, itu pun karena tidak ada dari para
sahabat yang lebih unggul dan lebih pantas daripadanya.
Dengan demikian, tidak ada pandangan bahwa tongkat
kepemimpinan diwariskan sesuai garis keturunan. Akan
tetapi, dalam permasalahan ini yang lebih dipertimbangkan
adalah kelayakan dan kemampuan. Dengan demikian, tidak
ada ruang untuk para penentang, karena urusan Allah SWT
adalah terukur dengan detail.
Tugas Pertama Abu Bakar
Dalam sebuah hadits, yang telah disepakati kesahihannya
oleh para ahli hadits dan ahli sirah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda, ”Kami, para Nabi, tidak mewariskan sesuatu dan
apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” (Musnad Ahmad
bin Hanbal)
Dengan sanadnya dari Abu Hurairah, Imam Ahmad
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ”Para ahli
warisku tidak akan mendapatkan bagian dinar dan tidak
juga dirham. Apa yang aku tinggalkan setelah menafkahi
istri-isriku dan bantuan untuk pekerjaku adalah sedekah.”
Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Malik
bin Anas dari Abu Hurairah dengan lafal demikian.
Bukhari meriwayatkan dari Urwah dari Aisyah bahwa istri-
istri Nabi saw. ketika beliau wafat hendak mengutus Utsman
kepada Abu Bakar guna menanyakan warisan mereka.
Kemudian Aisyah berkata, ”Bukankah Rasulullah saw. pernah
bersabda, ’Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan
adalah sedekah.” Muslim juga meriwayatkan demikian.
76
Ali bin Abi Thalib
Inilah tindakan yang tepat bagi Rasulullah saw., yang
selaras dengan seluruh sikapnya sepanjang hayatnya.
Dalam urusan yang terdapat bahaya dan risiko, beliau
selalu mengedepankan Ahli Bait. Akan tetapi, dalam urusan
pembagian harta rampasan perang, beliau mengakhirkan
bagian mereka. Hal ini bisa kita saksikan, terhadap Hamzah,
Ali, dan Ubaidah pada Perang Badar. Beliau mengedepankan
mereka untuk berduel dengan musuh yang pemberani dan
dianggap pahlawan. Mereka diharamkan untuk menerima
zakat dan sedekah yang merupakan pemasukan terbesar
bagi umat Islam.
Pada saat beliau hendak mengharamkan riba dan te-
busan darah masa jahiliah, Rasulullah saw. memulainya
kepada pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, dan se-
pupunya dari Bani Hasyim, Ibnu Rabiah bin Harits bin Abdul
Muthalib. Dalam khotbahnya pada haji wada’, Rasulullah saw.
mengatakan, ”Kuhapuskan riba jahiliah, dan yang pertama
kali aku hapuskan adalah riba yang ditetapkan oleh Abbas
bin Abdul Muthalib. Aku hapuskan juga penebusan darah
jahiliah, pertama kali yang aku hapuskan adalah tebusan
darah Ibnu Rabiah bin Haris.” (HR Muslim dalam kitab
tentang haji bab Hujjah Nabi saw.)
Datanglah permasalahan, yang menguji kehebatan Abu
Bakar dan kekuatanya dalam menetapkan hukum sesuai
syariat Islam pada urusan yang sangat rumit. Dalam hal ini
dihadapkan dengan unsur syariat, politik, dan perasaan
dalam satu waktu. Sungguh, dia mengedepankan unsur
syariat Islam yang lebih dikedepankan daripada perasaan
dan politik. Abu Bakar sangat detail dalam menerapkan yang
dia ketahui dari Rasulullah saw. dan wasiat darinya.
77
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Hal tersebut terlihat dalam sebuah riwayat yang
diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Aisyah,
dia berkata, ”Fatimah dan Abbas mendatangi Abu Bakar
untuk mengambil warisannya dari Rasulullah saw. Keduanya
meminta sebidang tanah milik Rasul di Fadzak dan bagian
Rasul dari Khaibar. Abu Bakar berkata kepada keduanya, ’Aku
mendengar Rasulullah saw. berkata, ’Kami tidak mewariskan,
apa yang kami tinggalkan adalah sedekah. Bahwasanya
keluarga Muhammad saw. makan dari harta tersebut.’”
Dalam riwayat lainnya Abu Bakar berkata, ’Aku mendengar
bahwa Rasulullah saw. tidak mewariskan, akan tetapi aku
akan merawat siapa saja yang dirawat oleh Rasulullah saw.
dan menafkahi siapa saja yang dinafkahi Rasulullah saw.’”
(Musnad Ahmad bin Hanbal)
Dalam sahih Bukhari dari Aisyah disebutkan bahwa
Fatimah, putri Rasulullah saw., mengutus seseorang me-
nemui Abu Bakar untuk menanyakan warisannya dari beliau
berupa fai’ dari Allah SWT yang dikaruniakan beliau di
Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima harta rampasan
Perang Khaibar. Abu Bakar lalu berkata, ”Bahwasanya
Rasulullah saw. bersabda, ’Kami tidak mewariskan dan
yang kami tinggalkan adalah sedekah. Sesungguhnya
keluarga Muhammad saw. makan dari harta ini.’ Demi Allah,
bahwasanya aku tidak mengubah suatu apa pun dari sedekah
Rasulullah saw. semasa beliau ada dan sungguh aku akan
melakukan apa yang dilakukan oleh beliau.”
Abu Bakar kukuh dalam pendiriannya dan bertekad
untuk melaksanakan wasiat Rasulullah saw., sedangkan
Fatimah juga kuat pendirian dalam permintaannya tersebut.
Mungkin Fatimah belum mengetahui wasiat Rasul atau dia
melihat khalifah Rasulullah tersebut memudahkan keinginan
78
Ali bin Abi Thalib
dan permintaannya. Adapun dalam Musnad Ahmad bin
Hanbal disebutkan bahwa Fatimah berkata, ”Kamu lebih
mengetahui apa yang disampaikan oleh Rasulullah saw.”
Fatimah meninggal setelah enam bulan dari wafatnya
Rasulullah saw., dan pada saat itu dia menjauhi Abu Bakar.
Keadaan seperti itu banyak ditemukan dalam kehidupan
berkeluarga dan masyarakat. Hal ini adalah tabiat manusia,
perasaan hati mereka, dan juga memegang teguh apa
yang dipercayainya. Akan tetapi, perbedaan pendapat
tersebut tidak membuatnya merasa marah kepada Abu
Bakar, sehingga melanggar batas syariah dan melanggar
kemuliaan seorang manusia. Diriwayatkan oleh Amir, dia
berkata, ”Pada saat Fatimah sedang sakit keras, Abu Bakar
datang menjenguknya. Dia pun meminta izin kepadanya dan
Ali berkata kepada Fatimah, ’Abu Bakar ada di depan pintu
minta izin kepadamu, berikanlah dia izin?’ Fatimah berkata,
’Apa itu yang kamu sukai?’ Ali menjawab, ’Ya.’ Maka Abu
Bakar masuk dan meminta maaf kepadanya serta berkata
kepadanya. Sungguh, Fatimah pun rela terhadapnya.”
Dalam pembahasan ini kami menutupnya dengan
perkataan Abbas Aqad dalam Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah,
”Bukan termasuk akal sehat, jika ada seorang yang memtnah
kecintaan Abu Bakar kepada Nabi saw. dengan tindakan
Abu Bakar yang tidak memberikan warisan kepada Fatimah
dari bapaknya. Jika Abu Bakar tidak memberikan warisan
Rasulullah saw. kepadanya, dia pun tidak memberikan
warisan Rasulullah saw. kepada Aisyah. Karena dalam syariat
disebutkan bahwa Nabi saw. tidak mewariskan kepada siapa
pun. Abu Bakar tidak ingin bersikap pelit kepada ahil waris
Nabi, salah satunya adalah putri tercintanya. Akan tetapi, Abu
79
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Bakar ingin menjaga agama dan wasiat Rasulullah saw., karena
itulah yang lebih utama untuk dilindungi dari yang lainnya.”
Abbas Aqad juga berkata, ”Permasalahan warisan ini
bukan seperti hukum waris yang sudah ditetapkan. Telah
diketahui bahwa Nabi saw. tidak mewariskan, sebagaimana
yang disabdakan beliau. Maka Aisyah juga mendapatkan
perlakuan seperti Fatimah. Menjelang Rasulullah saw. wafat,
beliau berwasiat kepada Aisyah supaya merelakan hartanya
untuk kaum muslimin dan juga untuk merelakan warisannya.”
Termaktub dalam sejarah bahwa selama pemerintahan
Abu Bakar, dia memberikan hak Ahli Bait berupa fai’ di
Madinah dan seperlima harta rampasan Perang Khaibar,
tetapi tidak menganut hukum waris. Dia melakukannya
sesuai dengan arahan dari Rasulullah saw. Diriwayatkan
dari Muhammad bin Ali bin Husain dan dari Zaid bin Ali,
bahwa mereka berdua berkata, ”Bahwasanya Abu Bakar
tidak berlaku zalim dan keluar dari batas dan juga dia tidak
berbuat salah.” Ungkapan ini selaras dengan ungkapan dari
kitab Nahj Al-Balâghah yang ditulis oleh Ibnu Abi Hadid.
Fatimah Az-Zahra’
Untuk melanjutkan pembahasan ini selayaknya kita menulis-
kan seorang perempuan mulia, pemuka ahli surga, dan
bagian dari Rasulullah saw. Dia adalah Fatimah Az-Zahra’,
putri kesayangan Rasulullah saw. Waqidi meriwayatkan dari
jalur Abu Ja‘far al-Baqir, dia berkata: Abbas berkata, ”Ketika
Fatimah lahir, Ka‘bah sedang dibangun dan pada saat itu
Rasulullah saw. berusia 35 tahun.” Ada juga yang mengatakan
bahwa dia dilahirkan setahun atau beberapa tahun sebelum
Rasulullah saw. diutus. Ali menikahinya pada awal-awal bulan
80
Ali bin Abi Thalib
Muharram tahun 2 H. Jalur keturunan Rasulullah saw. hanya
diteruskan oleh Fatimah. Pada saat dinikahi Ali, Fatimah
berumur 18 tahun. Aisyah berkata, ”Selain Rasulullah saw.,
tidaklah aku melihat seorang yang lebih utama kecuali
Fatimah.” (HR Thabrani)
Abdurrahman bin Abu Nu‘aim meriwayatkan dari Abu
Sa‘id al-Khudri secara marfu’, dia berkata, ”Pemuka para
perempuan ahli surga adalah Fatimah, kecuali apa yang telah
berlaku pada Maryam binti Imran.” Adapun dalam shahihaini
disebutkan sebuah riwayat dari Miswar bin Makhramah, dia
berkata: Aku mendengarkan Rasulullah saw. bersabda, pada
saat beliau berada di atas mimbar, ”Fatimah adalah bagian dari
diriku. Apa pun yang menyakitinya akan menyakitiku dan apa
pun yang membuatnya ragu juga akan menjadikanku ragu.”
Dari Aisyah, dia berkata, ”Fatimah berjalan, seakan gaya
dia berjalan seperti gaya berjalannya Rasulullah saw.” Waqidi
berkata, ”Fatimah meninggal pada malam Selasa, tiga hari
selepas bulan Ramadhan pada tahun 11 H. (Al-Ishâbah fî
Tamyîz ash-Shahâbah)
Abu Umar berkata, ”Fatimah melahirkan Hasan, Husain,
Ummi Kultsum, dan Zainab. Selama Ali bersamanya, dia tidak
menduakannya hingga Fatimah meninggal.” Dari Uqbah bin
Yarim dari Abu Tsa‘labah al-Khusyani berkata, ”Setiap kali
Rasulullah saw. pulang dari peperangan atau perjalanan,
beliau mendatangi masjid dan shalat dua rakaat di sana.
Setelah itu beliau menemui Fatimah, lalu para istrinya.”
Dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah Ummul Mukminin,
dia berkata, ”Aku tidak melihat satu orang pun yang
perkataannya dan ucapannya serupa dengan Rasulullah saw.
kecuali Fatimah.” (Al-Istî‘âb)
81
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Fatimah senantiasa dan selalu melakukan apa saja yang
diridhai oleh Rasulullah saw., senantiasa mendahulukan
kepentingan orang lain dengan menonjolkan sifat kasih
sayang dari seorang ibu dan juga mencintai anak-anaknya.
Berikut ini kami sampaikan secuil dari keutamaannya.
1. Dari Ibnu Umar bahwasanya ketika Nabi saw. hendak pergi,
orang yang paling terahir ditemui beliau adalah Fatimah,
sedangkan Ketika beliau kembali orang yang paling
pertama ditemui adalah Fatimah. Adapun ketika Nabi saw.
pulang dari Perang Tabuk, Fatimah membeli kerudung.
Kemudian dia memberi minyak za’faran dan memberi tirai
di pintunya serta memberi karpet di rumahnya.
Ketika Nabi saw. melihat hal itu, beliau pergi ke masjid
dan duduk di sana. Kemudian Fatimah mengutus Bilal dan
berkata, ”Pergilah dan cari tahu apa yang membuat beliau
tidak mau masuk ke rumahku.” Bilal pun mendatangi
Rasulullah saw. dan mengabarkannya. Kemudian Rasulullah
saw. berkata, ”Aku melihat dia melakukan ini dan ini.” Bilal
kembali kepadanya dan mengabarkan alasan Rasulullah
saw. Akhirnya, dia pun melepas tirai dan semua yang
dibuat nya. Dia pun membuangnya, lalu mengenakan
kainnya yang telah lusuh. Bilal mendatangi Nabi saw.
kembali dan mengabarkan apa yang diperbuatnya.
Kemudian Nabi saw. masuk ke dalam rumah Fatimah dan
berkata, ”Begitulah seharusnya kamu berlaku, menjadikan
ayah dan ibumu sebagai tebusannya.” (HR Bukhari dan
Abu Dawud)
2. Dari Ibnu Umar, bahwasanya Nabi saw. mengunjungi
rumah Fatimah. Beliau kembali pulang dan tidak masuk ke
dalam rumahnya. Ali pun datang dan Fatimah mencerita-
82
Ali bin Abi Thalib
kan kejadian tersebut kepadanya. Ali menyebutkan hal
tersebut kepada Rasulullah saw. dan beliau berkata,
”Aku melihat tirai di pintunya, dan apa urusanku ter-
hadap dunia ini?” Beliau juga berkata, ”Tirai tersebut
memiliki sulaman.” Ibnu Umar berkata, ”Kemudian Ali
menyebutkannya kepada Fatimah, dan Fatimah berkata,
”Beliau memerintahkanku dengan hal yang paling dicintai.”
Kemudian Ali menyebutkannya kepada Rasulullah saw.,
”Bawalah barang tersebut kepada keluarga Fulan, karena
mereka lebih membutuhkannya.” (HR Ahmad)
3. Dari Tsauban, budak Rasulullah saw., berkata, ”Bahwa-
sanya ketika Rasulullah saw. hendak bepergian, orang yang
paling terakhir dijumpai beliau adalah Fatimah dan dialah
orang yang pertama kali dikunjungi ketika Rasulullah saw.
datang. Rasulullah saw. pulang dari suatu pertempuran
dan Fatimah memasang tirai pada pintunya serta mem-
berikan gelang perak kepada Hasan dan Husain. Ketika
itu Rasulullah saw. hanya terdiam dan tidak masuk ke
dalam rumah Fatimah. Fatimah beranggapan bahwa
apa yang dilihat Rasulullah membuatnya tidak masuk
rumahnya. Fatimah lalu melepas tirainya dan berusaha
melepaskan dua gelang dari putranya, sehingga kedua
anak tersebut menangis. Dia berusaha menghentikan
tangis kedua anak itu. Maka kedua anak itu menemui
Rasulullah saw. dalam keadaan menangis. Rasulullah saw.
pun mengambil kedua gelang tersebut dari kedua anak
itu, beliau berkata, ”Wahai Tsauban, bawalah (gelang)
ini kepada Abu Fulan (Seorang Ahli Bait di Madinah).
Bahwasanya aku tidak suka jika para Ahli Baitku memakan
kebaikan di dunia. Wahai Tsauban, belilah untuk Fatimah
kalung dari ushb (jenis tumbuhan) dan dua gelang dari
gading.” (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah)
83
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Sangat jelas kecintaannya kepada ayahnya, yang
sekaligus Nabinya. Cintanya begitu mendalam sehingga
tidak ada satu pun ratsa` yang mengunggulinya. Ketika
Nabi saw. dikuburkan, Fatimah berkata, ”Wahai Anas,
apakah jiwamu merasa tenang ketika menaburkan tanah
ke atas tubuh Rasulullah saw.?” (HR Bukhari)
Fatimah meninggal setelah enam bulan dari wafatnya
Rasulullah saw. Nabi saw. pernah berpesan bahwa
dialah orang pertama yang akan menyusulnya. Beliau
bersabda, ”Tidakkah kamu ridha menjadi pemuka kaum
perempuan di surga?” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Fatimah dimakamkan pada malam selasa, tiga hari
selepas bulan Ramadhan tahun 11 H. Anaknya bersama
Ali adalah Hasan, Husain, Muhsin, dan Ummi Kultsum.
Baiat Ali
Beberapa kabar bertentangan tentang kapan waktu
baiatnya Ali terhadap Abu Bakar. Al-Hazh Abu Bakar al-
Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Sa‘id al-
Khudri, bahwasanya Abu Bakar naik mimbar melihat wajah
kaum muslim dan dia tidak melihat Ali. Dia lalu memanggil
Ali bin Abi Thalib, dia pun datang dan Abu Bakar berkata,
”Wahai anak pamannya Rasulullah saw. dan menantunya,
apakah kamu hendak mematahkan tongkat (kesatuan) kaum
muslim?” Dia berkata, ”Tidak, wahai khalifah Rasulullah saw.”
Maka Ali pun membaiatnya. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Katsir berkata, ”Sungguh, dalam riwayat tersebut
terdapat informasi yang sangat bermanfaat, yaitu baiatnya
Ali bin Abi Thalib, baik itu di hari pertama maupun di hari
kedua setelah wafatnya Rasulullah saw. Ini adalah kebenaran.
84
Ali bin Abi Thalib
Karena sesungguhnya Ali juga tidak pernah meninggalkan
Abu Bakar sedetik pun dan tidak pernah lepas shalat di
belakang beliau.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Kabar yang masyhur adalah bahwa Ali mengurus be-
berapa hal yang berkenaan dengan Fatimah, oleh karenanya
dia tidak segera membaiat Abu Bakar. Kemudian setelah
enam bulan, yaitu ketika Fatimah wafat, Ali kembali
membaiat Abu Bakar di hadapan orang banyak. Ibnu Katsir
dan beberapa ahli ilmu berpendapat bahwa baiat tersebut
sebagai pembaruan atas baiat yang pertama. Karena ada
beberapa riwayat sahih yang mengemukakan hal itu.
Keteguhan Ali dalam Menghadapi Ujian
Ujian datang kepada Ali, yaitu mengenai loyalitas Ali kepada
Islam dan kaum muslim, keikhlasan Ali untuk membaiat Abu
Bakar, serta lepasnya dia dari keegoisan dan fanatik go-
longan. Ibnu Asakir meriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah,
dia berkata, ”Pada suatu ketika Abu Sufyan mengunjungi Ali
dan Abbas, dia berkata,’Wahai Ali dan Abbas, bagaimana
urusan ini (Tongkat Kekhalifahan) jatuh pada kabilah
terendah dan paling sedikit dari Suku Quraisy? Demi Allah
jika kalian berkehendak aku akan mengumpulkan kaum laki-
laki dan kuda-kuda (Untuk menggulingkan kekuasaan).’ Ali
lalu berkata kepadanya, ’Demi Allah, aku tidak ingin kamu
mengumpulkan kaum laki-laki dan kuda-kuda. Karena kami
melihat Abu Bakar layak mendapatkan kedudukan tersebut.
Wahai Abu Sufyan, bahwasanya kaum Mukmin adalah kaum
yang saling menasihati, mereka saling mencintai satu sama
lain. Meskipun rumah dan jasad mereka berjauhan. Adapun,
kaum munak adalah kaum yang mengkhianati satu sama
lain’.” (Kanzul Ummal)
85
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dalam penjelasannya untuk kitab Nahjul Balaghah,
Ibnu Abu Hadid berkata, ”Ketika Abu Sufyan meminta izin
kepada Ali, supaya Abu Sufyan membaiatnya, maka Ali
berkata, ”Kamu menghendaki sebuah urusan yang bukan
merupakan watak kami, Rasulullah saw. pernah menjanjikan
kepadaku dan aku ada dalam perjanjian tersebut.” Kemu-
dian keluarlah Abu Sufyan dan dia pergi ke Rumah Abbas bin
Abdul Muthalib, dia berkata, ”Wahai Abu Fadl, kamu lebih
berhak atas warisan anak saudaramu (Nabi Muhammad).
Ulurkan tanganmu supaya aku dapat membaiatmu. Dengan
begitu setelah aku membaiatmu, orang-orang tidak akan
menentangnya. Abbas tertawa dan berkata, ”Wahai Abu
Sufyan, Ali telah menolaknya dan Aneh jika Abbas me-
mintanya?” Abu Sufyan pun pulang dengan sia-sia.”
Disebutkan juga bahwa Fadhl bin Abbas berkata, ”Wahai
Bani Taim, kalian telah merebut kekhalifahan, sedangkan
kami lebih berhak mendapatkannya daripada kalian.”
Satu dari anaknya Abu Lahab membacakan syair, Zubair
berkata, ”Ali mengutus kepadanya dan memerintahkannya
untuk tidak mengulanginya lagi. Ali berkata bahwa ’Kesela-
matan agama lebih kami cintai dari segalanya.’” (Ibnu Abu
Hadid)
Kerelaan Ali dan Dukungannya terhadap Abu Bakar
Berlandaskan kerelaannya, Ali senantiasa mendukung ke-
khalifahan Abu Bakar serta menyampaikan gagasannya
untuk kemaslahatan kaum mukmin. Bukti nyata atas kerelaan
Ali terhadap Abu bakar dan bahwa dia senantiasa menjaga
keberlangsungan kekhalifahan Abu Bakar adalah sikap
Ali yang langsung menemui Abu Bakar untuk memerangi
kaum murtad di Dzil Qishah. Ali sangat berambisi dalam
86
Ali bin Abi Thalib
memerangi kaum murtad, bahkan Ali memimpin pasukan
militer untuk menyerang mereka. Karena jika dibiarkan, hal
itu akan berbahaya untuk Islam.
Dalam riwayatnya, Ibnu Katsir berkata, telah diriwayatkan
oleh Daruquthni dari Sa‘id bin Musayyab dari Ibnu Umar
berkata, ”Ketika Abu Bakar hendak menyerang Dzil Qishah
dan dia sudah menunggangi kendaraannya, Ali segera
datang dengan memacu kudanya, dia berkata, ”Hendak
kemanakah, wahai Khalifah Rasulullah saw.? Aku akan katakan
apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw. pada Perang
Uhud, ’Kumpulkanlah pedangmu dan jangan menghadapi
bahaya seorang diri. Pulanglah ke Madinah, sungguh jika
kamu dalam keadaan bahaya maka Islam tidak akan memiliki
aturan selamanya.” Maka Abu Bakar pun pulang–juga
diriwayatkan oleh Zakaria as-Saji dan az-Zuhri dari Aisyah.
(Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Kita berandai-andai (na’udzubillah), andai kata Ali masih
belum rela terhadap kekhalifahan Abu Bakar, maka peristiwa
ini adalah kesempatan emas bagi Ali untuk meninggalkan
Abu Bakar dan segala urusannya tersebut. Jika terjadi hal
yang buruk, maka akan membuatnya merasa senang. Lebih
dari itu, jika Ali sangat membencinya, bisa jadi dia mengutus
orang untuk membunuhnya, sebagaimana sikap politikus
kotor terhadap lawannya.
Melihat dukungan Ali kepada Khalifah Rasulullah saw.
ini demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim seluruhnya.
Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa keduanya
saling mengasihi seperti halnya anggota keluarga, Allah SWT
berrman,
87
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
”Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang
kar, tetapi berkasih sayang sesama mereka ....” (QS al-Fath
[48]: 29)
Mereka berdua saling bekerjasama dalam suka dan
duka. Hal tersebut juga dikisahkan oleh seorang keluarga
Hasyimiah, Muhammad bin Ali bin Husain (terkenal dengan
nama Muhammad al-Baqir). Dia meriwayatkan, ”Suatu ketika
pinggang Abu Bakar sakit, kemudian Ali memanaskan kedua
telapak tangannya (dengan api). Setelah itu, Ali meng-
hangatkan pinggang Abu Bakar dengan tangannya tersebut.”
(Ar-Riyâdh an-Nadhrah)
Allah SWT berrman, ”Muhammad adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras
terhadap orang-orang kar, tetapi berkasih sayang sesama
mereka ....” (QS al-Fath [48]: 29)
Hubungan Abu Bakar dengan Para Ahli Bait
Hubungan Abu Bakar dengan para Ahli Bait dan dengan
kedua cucu tercinta Rasulullah saw., Hasan dan Husain,
merupakan hubungan yang penuh kasih sayang dan peng-
hormatan yang memang layak untuk mereka semua.
Bukhari meriwayatkan dari Uqbah bin Harits, dia berkata,
”Selepas shalat Ashar, Abu Bakar keluar dan dia melihat
Hasan bermain dengan anak-anak. Kemudian Abu Bakar
mengangkatnya ke pundaknya dan berkata, ’Demi ayahku,
(Hasan) mirip dengan Nabi dan tidak mirip dengan Ali.’ Pada
saat itu Ali tertawa.”
88
Ali bin Abi Thalib
Ali dan Abu Bakar saling menunjukkan rasa kasih sayang,
bahkan Ali memberi nama salah satu anaknya dengan Abu
Bakar. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ali juga mengasuh anaknya Abu Bakar yang bernama
Muhammad. Dia mengasuhnya dengan penuh perhatian
dan mengkadernya untuk menjadi pemimpin, sehingga dia
mendapatkan kritikan karenanya.
Kehidupan Abu Bakar sebagai Khalifah
Sebelum menutup bab ini dengan wafatnya Abu Bakar
dan perkataannya tentang Ali bin Abi Thalib, kami akan
membahas tentang kekhalifahan Abu Bakar serta bagaimana
beliau zuhud dan mengikuti Rasulullah saw.
Dr. Philip Hitti dalam bukunya, A Short History of The
Arabs berkata, ”Abu Bakar, sang penumpas orang-orang
murtad dan pemersatu bangsa Arab di bawah bendera
Islam, hidup dengan penuh kesederhanaan. Pada enam
bulan pertama dari masa kepemimpinannya, setiap hari
dia berangkat ke Ibu Kota Madinah dari rumah yang
sangat sederhana. Pada saat itu dia juga tidak menerima
gaji dari daulah, karena tidak ada pemasukan bagi daulah.
Dia mengatur seluruh permasalahan negara dari masjid
Nabawi.”
Sir William Muir, menjelaskan tentang permasalahan
yang dihadapi umat Islam dan Rasulullah dalam kitabnya,
Waqai’ Al-Khilafah Al-Ula, ”Kesederhanaan majelis Abu
Bakar serupa dengan kesederhanaan majelis Rasulullah
saw. Disitu tidak memiliki pelayan dan penjaga, juga tidak
memiliki tanda khusus kekhalifahan. Dalam menjadi khalifah,
dia terbiasa untuk mengeluarkan tenaga yang sangat besar.
89
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ada banyak fenomena yang menunjukkan bahwa Abu Bakar
sangat menguasai permasalahan hingga hal yang detail. Dia
melakukan pemeriksaan malam untuk mencari orang-orang
yang terzalimi dan fakir miskin. Dia menghindari nepotisme
dalam jajaran pejabat yang dipilihnya dan hal itu sangat jelas
dalam tindakan dan kebijakannya.”
Pengumpulan Al-Qur`an
Salah satu peninggalan Abu Bakar yang abadi hingga
bisa kita rasakan saat ini adalah pengumpulan Al-Qur`an
dengan segenap keteguhannya, dikarenakan banyak para
penghafal Al-Qur’an yang meninggal. Ditakutkan juga yang
tersisa dari mereka akan menghadapi peperangan Faris dan
Rum. Pengumpulan dan penulisan Al-Qur`an sudah selesai
sebelum masa berakhirnya kekhalifahan Abu Bakar.
Pujian Ali kepada Abu Bakar, setelah Kematiannya
Bab ini akan kami tutup dengan perkataan Ali bin Abi Thalib
tentang Abu Bakar, termasuk kekagetan saat mendengar
berita kematian Abu Bakar.
Diriwayatkan bahwa ketika Abu Bakar meninggal, Ali
mengucap ”Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn” dan dia segera
mendatanginya dengan menangis, seraya berkata, ”Semoga
Allah SWT melimpahkan rahmat kepadamu, wahai Abu Bakar.
Sungguh, kamu adalah orang yang pertama memeluk Islam,
yang paling sempurna keimanannya, yang paling mantap
keyakinannya, yang paling takut kepada Allah, yang paling
setia kepada Rasulullah saw., yang paling mirip Rasulullah
saw. dalam akhlak dan kemuliaan, dan yang paling dimuliakan
90
Ali bin Abi Thalib
oleh Rasulullah saw. Semoga Allah membalas kebaikanmu
terhadap Islam.
Ketika orang-orang mendustakan Rasulullah saw., kamu
membenarkannya, sehingga dalam kitab-Nya, Allah men-
juluki mu Ash-Shiddiq, ’Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan orang yang membenarkannya, mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.’ (QS az-Zumar [39]: 33).
Kamu senantiasa mengikutinya, pada saat orang-orang
memalingkan muka kepadanya. Kamu selalu mendam-
pinginya, pada saat orang-orang enggan bersama nya.
Kamu bersahabat dengannya ketika orang-orang sangat
menentangnya, hingga kamu dipilih menjadi orang yang
mendampinginya ketika hijrah, menemaninya di dalam gua.
Kamu menjadi khalifahnya dengan sebaik-baiknya. Ketika
para sahabatmu lemah, kamulah yang kuat. Ketika mereka
menyerah, kamulah yang berani maju. Ketika mereka gagal,
kamu mengatur. Ketika mereka terdiam, kamu menggiring
kekuatam. Di antara mereka, kamulah yang lebih banyak
diam, perkataanmulah yang lebih bijak, perbuatanmulah
yang paling baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Rasulullah saw., badanmu adalah lemah, tetapi dalam urusan
untuk tuhanmu ’Kamulah yang kuat, merendahkan hati, dan
kamu mulia di sisi Allah, langit dan bumi pun cinta kepadamu.
Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu terhadap Islam
dan juga kami.’” (Jauharah fî Nasabi An-Nabi wa Ashhâbihi
al-‘Asyrah)
ALI BIN ABI THALIB:
PADA MASA KEKHALIFAHAN
UMAR BIN KHATHTHAB
92
Ali bin Abi Thalib
Penunjukan Abu Bakar kepada Umar sebagai Khalifah.
Pengaruh dan Manfaatnya untuk Umat Islam dalam
Masa Transisi
Abu Bakar meninggal dan kursi kekhalifahan digantikan oleh
Umar bin Khaththab. Umar dikenal dengan kekuatan dan
keteguhannya dalam mengendalikan urusan kekhalifahan
di masa yang sangat rumit dan dianggap sebagai tonggak
untuk keberlangsungan agama baru ini dan untuk umat yang
baru.
Tanda-tanda ketundukan dua emperial besar (Bizantium
Roma dan Persia) terhadap Islam sudah mulai tampak.
Kekayaan, harta, dan kemewahan dari kedua emperial
besar tersebut mulai mengalir kepada masyarakat yang
telah hidup sederhana dan nomaden selama berabad-abad
di gurun pasir. Tidak ada bagi mereka jalan untuk menjadi
lebih modern dan sejahtera. Karena begitu sederhananya,
sampai-sampai mereka menyangka keringat yang menempel
di kapur adalah garam. Bahkan, ada sebagian dari mereka
yang menggunakannya untuk adonan. (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Bagi umat Islam, yang berhasil menundukkan negara
tersebut, akan menghadapi permasalahan, yaitu meng-
gabungkan kehidupan agama yang idealis, keganasan
bangsa arab berpegang teguh dengan etika yang telah
dibawa dan diterapkan oleh Rasulullah saw., mengatur negara
yang berhasil ditaklukkan, dan yang begitu luasnya, serta
memimpin kaum nomaden yang jauh dari kemoderenan.
Dalam kondisi seperti itu, maka dipilihnya Umar sebagai
khalifah adalah pilihan yang tepat dan pilihan tersebut
93
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
merupakan ilham dari Allah SWT. Itu tidak datang kecuali
dari tauk Allah dan kasih sayang-Nya untuk agama ini.
Ketentuan-Nya dengan menampakkan agama ini atas
semua agama. Perbaikan-Nya terhadap alam semesta,
masyarakat yang sakit serta hampir binasa, dan kerajaan
yang mengontrol penuh umat manusia serta mengatur arah
dan kecenderungan mereka.
Umar sangat mumpuni dan pantas. Dia kuat dan
tepercaya dalam mencapai tujuan Islam dan menjalankan
misi khalifah Rasulullah, serta tidak ada orang seperti dia.
Umar memiliki kemampuan untuk mengontrol hati
dan jiwa orang lain. Sebagai permisalannya adalah dia
melepaskan jabatannya Khalid bin Walid, yang dijuluki
sebagai saifullah, pada saat dia sedang tenar. Dalam setiap
peperangan Khalid pasti mendapatkan kemenangan, hingga
dikuasai perasaan takabbur. Dia dilepaskan dari jabatannya
pada saat orang-orang sangat membutuhkannya, hingga
peperangan dengan Bangsa Roma pada Perang Yarmuk.
Pemimpin pasukan pada saat itu adalah Abu Ubaidah, lalu
Khalid berkata, ”Aku menaati Amirul Mukminin.” (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
Ketika seorang tentara hendak mengingatkan bahwa
dengan digantikannya Khalid akan terjadi tnah, maka Khalid
berkata, ”Tidak akan ada tnah selama Umar memimpin.”
Khalid bin Walid adalah panglima perang yang kuat
dan dicintai oleh prajuritnya. Dia menyerahkan jabatannya
dengan sangat rendah hati dan tidak ada satu pun dalam
sejarah peristiwa seperti ini. Hal ini menunjukkan kekuatan
Umar untuk mengontrol segala urusan.
94
Ali bin Abi Thalib
Begitu halnya yang terjadi dengan Amru bin Ash, sang
penakluk Mesir dan pemimpin di sana. Pada suatu ketika
Amru menyerahkan kuda kepada seorang Mesir, maka kuda
tersebut mendatangi orang mesir tersebut. Muhammad
bin Amru bin Ash berkata, ”Demi Allah, ini adalah kudaku.”
Kemudian orang Mesir tersebut berkata, ”Demi Allah ini
adalah kudaku.” Kemudian putra Amru bin Ash tersebut
memukul orang Mesir dan berkata, ”Ambillah, aku adalah
anaknya orang yang mulia.” Orang Mesir tersebut mengadu
kepada Umar, maka Umar memanggil Amru dan anaknya,
Muhammad. Ketika keduanya datang, Umar berkata kepada
orang Mesir ini, ”Ambillah tongkat ini dan pukullah anak-
nya orang yang mulia.” Dia berkata, ”Wahai Amru, sejak
kapan kamu menjadikan orang-orang tersebut seperti
hamba sahaya, sedangkan mereka dilahirkan dalam keadaan
merdeka?”
Umar Menjaga Kezuhudan Bangsa Arab yang
Ditaklukkannya
Pada saat itu umat Islam Arab menghadapi masa transisi yang
sangat rumit sepanjang sejarah. Salah satunya tentang gaya
hidup, awalnya mereka hidup di gurun di bawah tenda mereka
dan menggembalakan unta. Kemudian mereka dihadapkan
dengan kehidupan dua negara maju yang telah mencapai
puncak kemakmuran. Mereka tidak memiliki pengalaman
dalam menghadapi kehidupan seperti itu. Secara alami,
orang-orang akan terseret arus dalam kehidupan yang penuh
gemerlap dunia.
Namun, Umar menjadi teladan mereka dalam kezuhudan
dan kesederhanaan. Umar memiliki harta yang sedikit dan
95
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mata yang selalu terjaga malam. Hal itulah yang dapat
mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya, sedangkan pada
saat itu mereka dibanjiri dengan kemenangan dan harta
ghanimah. Umar membagi kepada mereka dengan sangat
teliti.
Dalam kitab Al-Bidâyah wa an-Nihâyah disebutkan
kisah perjalanan Umar ke Baitul Muqaddas, dia berjumpa
dengan para sahabat dan mereka mengenakan jubah sutra.
Umar mendekati mereka dan melemparinya dengan batu
kerikil. Akhirnya mereka meminta maaf kepada Umar karena
mereka membawa senjata dan mereka membutuhkannya
dalam perang. Umar pun terdiam mendengarkan alasan
mereka.
Ketika mengunjungi Syam, Umar menjumpai penye-
berangan sungai. Dia lalu menanggalkan alas kakinya
dan memegangnya. Kemudian dia menyeberangi sungai
tersebut bersama hewan tunggangannya. Abu Ubaidah
berkata kepadanya, ”Hari ini kamu telah melakukan hal yang
sangat besar menurut penduduk bumi. Kamu melakukan
ini dan itu.” Umar memukul dadanya dan berkata, ”Adakah
orang selainmu yang mengatakan hal demikian, wahai Abu
Ubaidah. Dulu kalian adalah orang hina dan miskin, sehingga
Allah SWT memuliakan kalian dengan Islam. Bagaimana
pun kalian ingin mencari kemuliaan selain Islam, Allah akan
menghinakan kalian.”
Umar juga pernah menulis surat kepada pekerjanya yang
berbangsa Arab dan tinggal di negeri Asing, ”Janganlah
kalian bersenang-senang dan berpakaian dengan pakaian
orang Asing. Gunakanlah matahari untuk menghangatkan
tubuh kalian karena itulah cara orang Arab. Hiduplah dengan
96
Ali bin Abi Thalib
sederhana dalam berpakaian dan makanan, bersabarlah,
berikanlah hewan tungganganmu makanannya, berikan
kesempatan untuk kawin, dan tetapkanlah tujuanmu.” (Al-
Baghawi)
Dari beberapa hal yang sangat membekas adalah,
pernyatannya yang sangat keras dalam permasalahan
politik. Dia berkata, ”Islam telah menjadi sangat kuat. Ke-
tahuilah bahwa orang-orang Quraisy hanya menginginkan
harta dari Allah SWT, tetapi mereka tidak mau beribadah.
Ketahuilah, selama Umar bin Khaththab masih hidup hal itu
tidak akan terjadi. Aku tidak berdiri di atas jalan bukit yang
terjal, aku mampu mencekik leher orang-orang Quraisy, dan
juga mampu menahan mereka untuk tidak terlempar ke api
neraka.”
Salah satu manfaat dari kepiawaiannya dalam berpolitik
dan kemahirannya dalam mengetahui sifat-sifat manusia
adalah sebagai berikut. Pada suatu ketika beliau menahan
pembesar sahabat di Madinah dan dia berkata, ”Sungguh
yang paling aku takutkan adalah menyebarnya kalian di
negeri ini.” Umar berkeyakinan jika dia bersikap lemah dalam
hal ini maka akan terjadi tnah di negeri-negeri yang berhasil
ditaklukkan. Kemudian orang-orang mencari sosok yang
memiliki keunggulan, sehingga banyak pembesar sahabat
yang akan mengibarkan benderanya masing-masing.
Sungguh, ini merupakan salah satu penyebab kerusuhan.
Ada opini yang sangat bagus dari penulis, Sayyid Amir
Ali, mengenai sikap Umar ini, ”Kekhalifahan Abu Bakar
yang berusaha menciptakan perdamaian antar kabilah
telah berakhir dan dia tidak memiliki kesempatan untuk
memperbarui sistem wilayah Islam. Akan tetapi, ketika Umar
97
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
bin Khaththab, seorang sahabat mulia, menjabat khalifah, dia
mengeluarkan tenaga yang cukup besar untuk memberikan
kesejahteraan untuk kaum-kaum yang ditaklukkan. Hal
inilah yang menjadi ciri khas untuk negara Islam yang baru
terbentuk.” (The Spirit of Islam)
Dalam kesempatan lain penulis juga berkata tentang
Umar. Dia berkata, ”Kekhalifahan Umar memiliki nilai yang
sangat tinggi dan memberikan peranan besar terhadap Islam.
Dari segi sifat, Umar adalah orang yang memiliki tabiat yang
sangat kuat. Dari segi keadilan, dia memiliki prinsip yang
keras. Ciri khasnya adalah matang dalam setiap tindakannya
dan seorang pekerja keras.”
Dia juga berkata, ”Umar adalah orang yang sangat
keras, tetapi dia seorang yang adil, visioner, wawasannya
tentang adat bangsa Arab sangat luas, dan dia sangat
pantas menjadi pemimpin umat yang sering mengalami
kerusuhan. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Umar
mampu menghukum penjahat dan orang yang menyimpang.
Selain itu, Umar mampu melepaskan dari kecenderungan
kaum nomaden yang hidup seperti binatang buas. Umar
juga mampu melindungi mereka dari perubahan pola
hidup, karena masuknya kebudayaan maju dari bangsa yang
ditaklukkan. Tanpa didampingi pengawal, Umar mengontrol
masyarakatnya di kegelapan malam.” (A Short History of
The Saracens)
Sir William Muir berkata, ”Umar adalah seorang pe-
mimpin besar di daulah Islam setelah Rasulullah saw. Buah
dari kecerdasannya dan istiqamahnya, yaitu beberapa negeri
seperti Mesir, Syam, dan Persi tunduk terhadap Islam, dalam
sepuluh tahun. Meskipun dia seorang pemimpin besar, dia
98
Ali bin Abi Thalib
tidak membutuhkan tanda kebesaran. Dia tidak rela jika dia
dijuluki dengan gelar kebesaran. Bahkan, julukan sederhana
pun dia juga tidak menyetujuinya seperti ”Pemimpin kaum
Arab”. Banyak dari negara-negara jauh yang mengutus
delegasi kepada Umar dan mereka disambut oleh Umar, Sang
Pemimpin Adil, di halaman masjid. Mereka pun bertanya-
tanya tentang Amirul Mukminin yang duduk di depan masjid
dan mengenakan pakaian sederhana.” (Annals of The Early
Caliphate)
Ekspansi Daulah Islam pada Masa Umar
Penulis tidak mampu mengemukakan baik secara global
maupun ringkas tentang penaklukan kekhalifahan Umar
terhadap dua imperealisme besar yang memiliki kemajuan
dalam beberapa aspek dan juga tentang pencapaian daulah
Islam yang mampu menaklukkan beberapa ibu kota besar
dan kota-kota terkenal, yang tidak mampu ditaklukkan oleh
orang-orang terdahulu. Untuk melihat secara rinci mengenai
hal-hal tersebut kamu dapat melihatnya di beberapa buku
sejarah, terutama mengenai Umar dan para Khulafaur
Rasyidin.
Umar dan Ali Saling Mendukung
Hubungan antara Umar dan Ali serta rasa saling percaya
dan sikap saling mengormati antara keduanya dapat kami
rangkumkan di sini. Termasuk sikap tolong menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan, memudahkan tugas khalifah, saling
menasihati, dan bertukar pendapat. Berikut yang dapat kami
suguhkan.
99
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Na‘ al-‘Aitsi berkata, ”Aku masuk ke lapangan pe-
nyimpanan sedekah bersama dengan Umar dan Ali bin Abi
Thalib. Pada saat itu, Utsman duduk di bawah naungan
sedang menulis dan Ali berdiri di hadapan Utsman sedang
mendiktekan apa yang dikatakan Umar. Adapun Umar, dia
berdiri di bawah terik matahari dan pada saat itu udara
sangat panas. Umar membawa dua kain beludru warna
hitam, satunya dia kenakan dan satunya lagi dia gunakan
untuk menutup kepalanya. Dia sedang menghitung unta
hasil sedekah dan menuliskan warna serta umurnya. Ali lalu
membacakan rman Allah SWT kepada Utsman: ”Dan salah
seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, ”Wahai ayahku!
Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya
orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya.”
(QS al-Qashash [28]: 26) Kemudian Ali menunjuk dengan
tangannya kepada Umar dan dia berkata, ”Inilah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.”
Ali adalah penasihat yang jujur bagi Umar. Dia memutus-
kan urusan yang susah, menyelesaikan permasalahan, dan
menghilangkan syubhat. Tindakan Ali tersebut memberi-
kan pengaruh kepada Umar, sehingga Umar berkata, ”Jika
tidak karena Ali, niscaya Umar akan binasa.” (Istî’âb) Adapun
dalam sejarah dan sastra terkenal ungkapan, ”Tidak ada per-
masalahan yang tidak dapat diselesaikan Abu Hasan, Ali.”
Dari Nabi saw. diriwayatkan bahwa beliau
bersabda, ”Orang yang paling dapat
memutuskan (peradilan) adalah Ali.”
100
Ali bin Abi Thalib
Ketika mengadakan perjalanan ke Quds, Umar mewakil-
kan urusan kekhalifahan kepada Ali. Sebagai bukti bahwa
mereka saling berhubungan erat dan saling menghargai
adalah Ali menikahkan putrinya, Ummi Kultsum, dengan
Umar.
Bukti Nyata Keikhlasan Ali dalam Mendukung Umar
dan Kemaslahatan Islam serta Kaum Muslim
Bukti kuat yang menjelaskan keikhlasan Ali dalam mendukung
Umar bin Khaththab adalah sikap baik dia kepada Umar
dan nasihatnya kepada kaum muslim. Kejadian yang juga
menjadi bukti adalah keikutsertaan Ali dalam Perang Sengit
Nahawan. Kamu dapat membacanya sendiri di buku-buku
sejarah.
Hal yang menyebabkan meledakkan peperangan ini
adalah orang muslim membebaskan prajurit Ala` dari Negeri
Persi dan mereka berhasil menaklukkan kawasan Ahwaz.
Penduduk Persia melaporkan kepada Raja mereka, Yazdajraj,
yang sedang berada di Marwa, dan mereka juga memaksa
raja mereka. Akhirnya raja berkoresponden dengan Khurasan
dan Hulwan, sehingga mereka semua berkumpul di Nahawan
dengan jumlah tentara mencapai 51.000 pasukan. Pasukan
Persi membawa panji kebanggaan mereka dari kerajaan
Sasaniah Kianiah, yang disebut dengan Derafsh Kāviān.
Dengan panji tersebut para prajurit menjadi optimis dan
mereka berkeyakinan bahwa panji tersebut menjadi jimat
keberuntungan dan pertanda kemenangan. Mereka berada
di bawah pimpinan Mardan Syah bin Harmaz.
Sa‘ad bin Abi Waqash, panglima pasukan Muslim pada
saat itu, mengirimkan kabar dan apa yang dihadapinya
101
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kepada Umar. Dia juga berkata, ”Penduduk Kufah meminta
izin kepadamu untuk turut serta dan memperlihatkan ke-
tangguhan mereka sehingga membuat takut musuh.”
Umar lalu mengumpulkan semua orang dan memberikan
pengarahan kepada mereka, dia berkata, ”Hari ini adalah
hari yang menentukan masa depan. Aku ingin siapa pun
turut bergabung dalam peperangan ini. Aku ingin berada
di tengah-tengah antara kedua kota ini. Kemudian aku akan
melawan mereka, sehingga Allah SWT akan menaklukkan
mereka dan memberikan apa yang aku inginkan. Jika Allah
SWT memberikan kemenangan maka akan aku biarkan
mereka berada di negeri mereka.” Thalhah bin Abdullah
berkata, ”Urusan ini berada sepenuhnya di tanganmu.
Perintahlah, maka kami pasti menurutimu. Serulah, maka
kami pasti menjawab.”
Kemudian Umar pergi, maka berdirilah Utsman seraya
berkata, ”Usulan dariku, wahai Amirul Mukminin, yaitu
hendaknya kamu menuliskan kepada penduduk Syam dan
Yaman, sehingga mereka berada bersama dalam satu barisan
dengan penduduk Haramain ke Kufah dan Basrah. Dengan
demikian, seluruh kaum musyrik akan berhadapan dengan
kaum muslim.”
Umar hendak pergi kembali, maka Ali berdiri menentang
pendapat Utsman tersebut. Dia mengisyaratkan supaya
Umar tetap berada di sana dan tidak kembali ke Madinah
serta menunjuk wakil untuk urusan di Madinah. Selain itu,
supaya Umar menuliskan surat kepada penduduk Basrah
dan prajurit muslim untuk menuju Irak serta menentukan
ikrar pemimpin di tiap-tiap wilayah mereka. Disamping itu,
memperingatkan kepada mereka jika terjadi goncangan
102
Ali bin Abi Thalib
antar umat Islam, karena keputusan pemimpinnya, sehingga
jika sudah demikian, kekuatan Islam tidak akan pernah
bersatu kembali.”
Kemudian Umar berkata, ”Inilah pendapat yang bagus.”
Sungguh, dia melakukan pendapat tersebut. Dia pun bertanya
kepada mereka siapa yang tepat untuk memimpin pasukan
tersebut, hendaknya orang Irak. Mereka lalu berkata, ”Kamu
yang lebih mengetahui kemampuan prajuritmu.” Akhirnya,
dipilihlah Nu‘man bin al-Muqarrin al-Mazni. Mereka pun
berkata, ”Dia pantas untuk kedudukan itu.”
Dalam kitab Nahju al-Balâghah disebutkan contoh dari
cara penyampaian Ali yang sangat kuat. Pada saat itu, Ali
sedang memberikan pendapat tentang prajurit yang akan
memerangi Persi.
Permasalahan ini tidak dimenangkan dan dikalahkan
dengan sedikit atau banyaknya jumlah pasukan. Inilah
agama Allah SWT yang Dia tampakkan, tentara Allah SWT
yang juga telah disiapkan-Nya dan mendapat pertolongan-
Nya, sehingga mencapai apa yang telah diraih dan muncul
sebagaimana dia ada. Kita hanya berada di dalam janji Allah
SWT tersebut dan Dia pasti menepati janji-Nya tersebut.
Dia pasti akan menolong para prajurit-Nya. Tempat yang
urusannya teratur seperti manik-manik yang tersusun rapi,
terkumpul dan tersatukan. Jika aturan rusak maka seperti
manik-manik yang berantakan, tidak akan pernah bersatu
selamanya.
Bangsa Arab sekarang, meskipun jumlahnya sedikit,
mereka menjadi banyak karena agama Islam dan menjadi
kokoh karena jamaahnya. Jadilah poros dan putarlah roda
Arab ini, arahkan mereka untuk berperang. Jika kamu
103
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
tetap berada di dataran ini, Arab akan lepas dari porosnya,
sehingga mereka akan membuka aibmu dari belakang.
Sungguh pada hari esok, orang asing jika melihatmu
akan berkata, ”Inilah pusat Arab, jika kalian mampu me-
mutusnya, kalian bisa beristirahat.” Hal itu akan menjadi
sangat susah bagi prajurit mereka untuk mengalahkanmu
dan mereka akan senantiasa membidikmu. Adapun tentang
pembantaian mereka terhadap kaum muslim, sebagaimana
yang kamu sebutkan, maka kebencian Allah SWT kepada
mereka melebihi kebencianmu. Allah Mahakuasa untuk
mengubah segala yang Dia benci, sedangkan mengenai
jumlah mereka yang telah kamu sampaikan tersebut, tidak-
kah kamu ingat dulu kita tidak pernah berperang dengan
pasukan yang banyak. Kita berperang dengan pertolongan
dari Allah SWT.”
Ali juga pernah bermusyawarah dengan Umar dalam
permasalahan Perang Rum sebelum peperangan Yarmuk,
yaitu peperangan terbesar di Syam dan menjadi penentu
penaklukan kaum muslim di Syam. Pada saat itu Abu
Ubaidah mengirim utusan kepada Umar bahwa tentara Rum
berdatangan dari daratan maupun lautan. Pada saat itu
Umar lalu mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar serta
membacakan laporan Abu Ubaidah. Kaum muslim tidak
mampu menahan diri mereka, maka mereka menumpahkan
air mata mereka, mereka menyeru dengan penuh semangat,
”Kami meminta kepada Allah SWT supaya Amirul Mukminin
memperkenankan kami untuk pergi ke Syam membantu
saudara-saudara kami.” Semangat mereka terus memuncak
104
Ali bin Abi Thalib
sehingga Abdurrahman bin Auf mengusulkan supaya Umar
sendiri yang memimpin pasukan untuk melindungi para
Mujahidin di Syam dan sebagai bantuan untuk mereka.
Ali menentang usulan tersebut dan dia berkata, ”Allah
SWT telah menguatkan pemeluk agama ini dengan kekuatan
pemantauan dan menutup aurat. Meskipun jumlah mereka
sedikit, Allah SWT yang akan menolong mereka dan mereka
tidak akan dikalahkan. Allah SWT juga akan melindungi
mereka dan mereka tidak akan dihalangi. Dialah Allah Sang
Mahahidup, lagi tidak akan pernah mati.
Ketika kamu pergi dengan jumlah sedemikian banyak
dan mendapati bencana, maka kaum muslim tidak akan
memiliki pusat pemerintahan lagi. Setelah kamu tidak
ada lagi tempat bagi mereka untuk berkonsultasi. Oleh
karenanya, utuslah seorang yang layak untuk memimpin
mereka. Jika Allah SWT menunjukkannya maka itulah yang
kamu sukai. Namun, jika tidak demikian kamu adalah orang
yang dijadikan tempat bernaung kaum muslim.” (Nahju al-
Balâghah)
Andai kata Ali memendam keburukan terhadap Umar
dan mengincar kursi kekhalifahan, maka dia akan meng-
gunakan kesempatan ini untuk menyingkirkan Umar dan
menggulingkannya. Kesempatan itu sangatlah terbuka luas,
tanpa harus kudeta dan Umar akan ada dalam permasalahan.
Akan tetapi, Ali tidak memiliki sifat dan sikap yang buruk
seperti itu. Dia berusaha memberikan pendapatnya dan
nasihatnya kepada kaum mukmin dan Islam secara me-
nyeluruh. Arahan yang diberikan Ali penuh hikmah dan benar
serta menjadi jalan keluar atas permasalahan tersebut. Hal
itu hanya terjadi jika sang pemberi nasihat tersebut memiliki
105
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
hati yang bersih. Semoga Allah SWT memberikan balasan
atas seluruh kebaikannya kepada Islam dan muslimin.
Sebaliknya, ketika kaum Nasrani meminta supaya
Umar datang ke Quds, menuliskan poin-poin perjanjian
perdamaian, dan mereka akan menyerahkan kunci masjid al-
Aqsha kepadanya. Abu Ubaidah juga mengirim surat kepada
Umar bahwa penaklukan Baitul Muqaddas tergantung pada
kedatangan Umar. Dengan demikian, Umar mengumpulkan
pembesar sahabat dan memusyawarahkan hal tersebut.
Utsman berpendapat supaya Umar tidak berangkat ke sana,
karena dianggap melecehkan kedudukan khalifah. Akan
tetapi, Ali berpendapat supaya Umar pergi ke Quds, karena
akan menjadi kegembiraan tersendiri bagi kaum muslim
(Hal ini juga merupakan kemuliaan yang akan dicatat dalam
sejarah yang tidak pernah diraih oleh siapa pun). Umar
kagum dengan pendapat Ali tersebut dan dia bersiap untuk
berangkat. Umar menunjuk Ali untuk menggantikannya
mengurusi Madinah. Setelah itu, dia berangkat ke arah Syam
pada tahun 16 H.
Perjalanan Umar ke Baitul Muqaddas
Mungkin ada pembaca yang penasaran dengan perjalanan
Khalifah Umar yang ditakuti oleh Raja Roma dan Persia ini,
berikut perjalanannya.
Dengan mengendarai unta yang berwarna cokelat pasir,
Umar sampai ke Jabiah (Salah satu daerah di Negeri Syam,
sebelah selatan Damaskus). Pada saat itu matahari sangat
panas, menyengat kepala Umar yang tidak mengenakan
penutup. Dia duduk di atas unta yang tidak berpelana,
hanya menggunakan alas kain kasar. Kain tersebut yang dia
106
Ali bin Abi Thalib
gunakan sebagai pelana, jika dalam bepergian. Dia juga
menggunakannya untuk alas tidur jika singgah di suatu
tempat. Tas yang dia gunakan dari kain sorban yang dilipat-
lipat dan ketika singgah tidur kain sorban tersebut dia
gunakan sebagai bantal kepalanya. Baju yang dia kenakan
dari kain yang sangat kasar, warnanya luntur, dan sudah
berlubang di sisi-sisinya. (Multaqath min Sîrah Umar bin al-
Khaththâb)
Umar berkata, ”Panggillah pimpinan kaum ini.” Mereka
lalu memanggil Jalumus. Umar berkata, ”Tolong cucilah
pakaianku, jahitlah, dan pinjami aku baju.” Kemudian, di-
berikanlah kepadanya baju katun. Umar berkata, ”Baju
apa ini?” Mereka menjawab, ”Katun.” Umar berkata, ”Apa
itu katun?” Mereka lalu menjelaskannya. Kemudian, baju
Umar dicuci dan ditambal. Setelah itu, diberikan kembali
kepadanya. Dengan demikian, Umar menanggalkan kembali
baju katun tersebut dan mengenakan kembali bajunya.
Jalumus berkata, ”Kamu adalah raja Arab, negeri ini
tidak biasa menggunakan unta sebagai kendaraan. Di negeri
Rum, kamu akan dianggap terhormat, jika kamu mengenakan
baju selain yang kamu kenakan dan menunggangi kuda
yang bagus.” Umar berkata, ”Kami adalah satu kaum yang
dimuliakan oleh Allah SWT dengan agama Islam, kami tidak
menghendaki ganti dari-Nya.” Kemudian, didatangkanlah
kuda bagus dan barang-barangnya disimpan di atas kuda
tesebut dan dia menungganginya tanpa menggunakan
pelana. Umar pun berkata, ”Berhenti, berhenti, sebelumnya
aku tidak pernah melihat orang yang menunggangi seperti
ini.” Dia lalu kembali menunggangi untanya. (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
107
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Perjalanan kedua Umar ke Syam pada tahun 18 H, Thabari
meriwayatkannya: Umar pergi ke Syam dengan beberapa
sahabat dan mewakilkan Madinah kepada Ali. Mereka pergi
dengan cepat-cepat dan mengambil jalur Ailah. Pada saat
sudah dekat dengan jalur tersebut, dia menyimpang dari
jalurnya dan pelayannya mengikutinya. Dia turun untuk buang
air, dia kembali dengan menunggangi unta pelayannya
tersebut. Di atas unta tersebut ada jubah dari kulit yang
terbalik, sedangkan pelayannya disuruh menggunakan
untanya Umar. Ketika para sahabat mendapati unta
pelayannya, mereka berkata, ”Di mana Amirul Mukminin?”
Dia berkata, ”Di depan kalian.” (yaitu dirinya sendiri) maka
mereka pergi ke depan hingga mendahuluinya, sampai Umar
tiba di Ailah dan singgah di sana. Dikatakan kepada orang-
orang yang mendahului tadi bahwa Umar baru sampai ke
Ailah dan singgah di sana, maka mereka kembali.”
Sikap Umar kepada Ahli Bait Rasulullah saw.
Umar memiliki sifat adil kepada manusia dan dia senantiasa
tekun dalam menjalankan urusan kekhalifahan. Dia juga
sangat memuliakan Ahli Bait Rasulullah saw. dan menghormati
anak-anak serta keluarga Rasulullah saw. Akan kami sebutkan
beberapa dari sikap dia kepada Ahli Bait.
Hasan bin Ali meriwayatkan bahwa suatu ketika Umar
berkata kepadaku, ”Wahai anakku, bisakah kamu datang ke
rumahku dan berkumpul bersama kami?” Maka pada suatu
hari aku datang dan dia sedang bersama Muawiah. Ketika
itu Ibnu Umar sedang berada di pintu dan tidak diizinkan
masuk. Akhirnya, aku pun pulang dan menjumpainya di lain
waktu, maka dia berkata, ”Wahai anakku, kenapa kamu tidak
108
Ali bin Abi Thalib
mengunjungi kami?” Aku berkata, ”Sebenarnya aku sudah
datang dan kamu sedang bersama Muawiah. Aku melihat
Ibnu Umar pulang, maka aku pun ikut pulang.” Umar berkata,
”kamu lebih berhak mendapatkan izin daripada Ibnu Umar.
Tahukah kamu apa yang ada di kepala kami, yaitu Allah SWT
lalu kalian (Ahli Bait).” Maka dia meletakkan tangannya di
atas kepalanya. (HR Thabari)
Ibnu Sa‘ad meriwayatkan dari Ja‘far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir dari ayahnya Ali bin Husain berkata,
”Umar diberi pakaian-pakaian dari Yaman, lalu dia mem-
bagikannya kepada orang-orang dan mereka pergi dengan
pakaian tersebut. Umar duduk di antara kuburan Rasulullah
saw. dan mimbar. Orang-orang berdatangan menyalaminya
dan mendoakannya. Hasan dan Husain keluar dari rumah
ibunya, Fatimah, sedang melewati orang-orang tersebut
dan keduanya tidak memiliki pakaian tersebut, hal itu
menjadi pusat perhatian Umar. Umar berkata, ”Demi
Allah, aku merasa kurang bahagia meski telah memberikan
pakaian tersebut kepada kalian.” Mereka berkata, ”Wahai
Amirul Mukminin, kamu telah memberi kami pakaian dan
memimpin dengan sangat baik.” Umar berkata, ”Hal itu
dikarenakan kedua pemuda ini yang melewati orang-orang
dan keduanya tidak memiliki pakaian tersebut.” Kemudian,
dia menulis surat ke Yaman agar mengirimkan dua pakaian
kepadanya yang akan diberikan kepada Hasan dan
Husain. Setelah sampai dua pakaian tersebut maka Umar
memberikannya kepada keduanya. (Al-Ishâbah)
Dari Abu Ja’far bahwa setelah memenangkan pertem-
puran, dia hendak membagikan harta. Dengan demikian,
dia mengumpulkan para sahabat Nabi saw. Abdurrahman
109
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
bin Auf berkata, ”Mulailah dari dirimu sendiri.” Kemudian,
dia berkata, ”Demi Allah tidak, akan dimulai dengan orang-
orang terdekat Rasulullah saw., dari Bani Hasyim, keluarga
Rasulullah saw.” Kemudian dibagi kepada Abbas, Ali,
sampai kepada 5 kabilah. Setelah itu, dibagi kepada Bani
Hasyim yang turut Perang Badar, kepada Bani Umayah bin
Abdusy Syam yang turut Perang Badar. Kemudian yang
dekat dengan Rasulullah saw. serta Hasan dan Husain,
karena kedudukan mereka di mata Rasulullah saw. (Kitab
al-Kharâj, Abu Yusuf)
Dalam kitab at-Thabaqât, Ibnu Sa‘ad, disebutkan, ”Al-
Hazh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya meriwayatkan, bahwa
ketika Umar menetapkan pemberian, dia menuliskan pem-
berian kepada Hasan dan Husain dengan bagian dari ayahnya
bersama Ahli Badar, karena kedekatan keduanya kepada
Rasulullah saw. Masing-masing dari keduanya mendapatkan
bagian lima ribu Dirham.”
Syibli an-Nu‘mani dalam kitab Al-Fâruq berkata, ”Dalam
beberapa urusan, Umar belum puas dengan pendapatnya
sebelum mendapat usulan dari Ali. Usulan Ali tersebut
seperti nasihat dan bersumber dari keikhlasan. Ketika dia
pergi ke Baitul Muqaddas, Umar mewakilkan seluruh urusan
kekhalifahan di Madinah kepada Ali. Persahabatan antara
keduanya semakin erat ketika Ali menikahkannya dengan
Ummi Kultsum, putrinya dari Fatimah. Ali juga memberi
nama salah satu anaknya dengan nama Umar, serta Abu
Bakar, dan ada juga yang diberi nama Utsman. Orang-orang
biasanya memberi nama anak-anak mereka dengan nama
yang mereka sukai, dan juga melihat keteladanan dari orang
tersebut.”
110
Ali bin Abi Thalib
Awal Penanggalan Hijriah dalam Islam
Ada salah satu peninggalan Umar yang sangat feno menal
sepanjang sejarah umat Islam. Pada kekhalifahan Umar,
orang-orang berbeda pendapat tentang penanggalan
kejadian-kejadian penting. Sebagian dari mereka ada yang
mengusulkan untuk menggunakan penanggalan Persia
atau Rum. Ada juga yang mengusulkan untuk memulai
penanggalan dengan awal kelahiran Rasulullah saw. dan
ada yang mengusulkan dimulai dari diutusnya Rasulullah
saw. Kemudian Ali memberikan usulan untuk memulai
penanggalan dari pertama kali beliau Hijrah dari Makkah
ke Madinah. Umar dan para sahabat menyetujui usulan Ali
tersebut. Setelah itu, Umar memerintahkan untuk menuliskan
penangggalan dimulai dari hijrahnya Rasulullah saw.
Penentuan penanggalan tersebut dikaitkan dengan
peristiwa yang sangat penting dalam Islam. Sungguh, tidak
dikaitkan dengan kepribadian, bahkan kepribadian Nabi
Muhammad saw. sekali pun yang merupakan pribadi yang
sangat mulia dan dicintai oleh Allah SWT dan kaum muslim.
Tidak juga dikaitkan dengan penaklukan dan kemenangan
dalam sebuah peperangan. Penetapan yang dikaitkan
dengan peristiwa Hijrah memiliki makna yang dalam dan
hikmah yang luas. Karena Hijrah melambangkan dakwah
dan risalah yang memiliki sifat berkesinambungan, sehingga
kaum muslim akan mengetahui titik tolak keberhasilan dan
kemuliaan adalah keimanan yang lebih diutamakan dari
keluarga dan negara. Pada peristiwa tersebut juga terdapat
sikap optimis dan berita gembira, serta merupakan per-
mu laan baru dalam sejarah perjalanan manusia. Selain itu,
menjadi satu dorongan kuat untuk berpegangan akidah dan
prinsip serta mendahulukan akidah daripada tabiat.
111
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Syahidnya Umar
Umar memiliki kebijakan tidak mengizinkan anak dzimmi
(nonmuslim yang dalam lindungan Islam) yang sudah
beranjak dewasa untuk memasuki Madinah. Hingga pada
suatu ketika Mughirah bin Syu‘bah meminta izin kepadanya
untuk memasukkan seorang pemuda yang ahli dalam
pekerjaannya, dialah Abu Lukluk yang memiliki nama asli
Fairuz, kewarganegaraan Persia dan beragama Majusi, ada
juga yang mengatakan beragama Nasrani. Dia berasal dari
daerah Nahawand, menjadi tawanan Bangsa Rum kemudian
ditawan oleh kaum muslim. Tahun 21 H tawanan dari
Nahawand memasuki Madinah, pada saat itu Abu Lukluk
masih kecil.
Mughirah mempekerjakannya sebagai tukang besi,
pemahat, dan tukang kayu. Setiap harinya dia diberi upah
4 dirham. Dia juga membuat roda gerobak. Pada suatu
saat dia datang kepada Umar dan mengadu, ”Sungguh
Mughirah telah membebaniku, tolong bicaralah kepadanya
untuk meringankan beban pekerjaanku.” Umar berkata
kepadanya, ”Pekerjaan apa yang kamu kuasai?” maka dia
menyebutkannya. Umar berkata, ”Bukankah upahmu sudah
banyak, bertakwalah kepada Allah SWT dan berbuat baiklah
kepada tuanmu.”
Umar memang memiliki niat untuk bertemu dengan
Mughirah dan berbicara dengannya, sehingga meringankan
pekerjaan budaknya. Akan tetapi, Abu Lukluk pergi dalam
keadaan marah. Dia lalu membuat belati bermata dua dan
dia bubuhi racun. Selanjutnya, Abu Lukluk mendatangi
Harmazan, mantan pembesar Persi. Dia berkata, ”Apa
pendapatmu tentang belati ini?” Harmazan berkata, ”Orang
112
Ali bin Abi Thalib
yang terkena belati ini pasti akan mati.” Pemberontakan
tersebut berasal dari kemarahan pribadi dan ketegangan
antar golongan.
Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq berkata di
waktu pagi pada hari terbunuhnya Umar, ”Kemarin sore
aku melihat Harmazan, Abu Lukluk, dan Janah sedang
berbincang rahasia. Ketika mereka berdiri, jatuhkan belati
yang digunakan untuk membunuh Umar. Mayoritas peneliti
berpendapat bahwa pembunuhan Umar karena sebuah
perencanaan yang dibuat oleh orang ‘ajam dan Yahudi
karena permasalahan pribadi. Perlu digarisbawahi bahwa
perencanaan tersebut bukan karena terjadi ketegangan di
negeri-negeri yang berhasil ditaklukkan.
Pagi itu Umar pergi untuk shalat Shubuh, setelah dia
bertakbir orang-orang mendengarkan suaranya, ”Aku di-
bunuh.” Abu Lukluk menusuk Umar di bagian pundak dan
pinggangnya. Dikatakan bahwa Umar ditusuk sebanyak enam
tusukan. Alaj, seorang kar, menerjang dan menusuk orang
di sekelilingnya, hingga kaum muslim yang cidera berjumlah
13 orang. Ketika melihatnya, Abdurrahman melemparkan
sorbannya untuk menangkapnya, sehingga Alaj bunuh diri.
Umar tumbang dan membaca rman Allah, ”Dan ketetapan
Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzâb
[33]: 38)
Umar bertanya, ”Siapa yang menikamnya?” Dan dikata-
kan kepadanya bahwa yang menikamnya adalah budaknya
Mughirah bin Syu’bah. Dia lalu berkata, ”Alhamdulillah,
yang tidak menjadikan pembunuhku dari orang yang
pernah bersujud kepada-Nya. Tidaklah orang Arab akan
membunuhku.” (Usdul Ghâbah)
113
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Umar berkata kepada Abdullah, putranya, ”Pergilah ke-
pada Aisyah dan katakan kepadanya bahwa Umar menitipkan
salam kepadanya. Jangan katakan Amirul Mukminin, karena
mulai hari ini aku bukan pemimpin orang-orang mukmin.
Katakanlah bahwa Umar meminta izin untuk dimakamkan
bersama kedua sahabatnya.” Setelah itu, Ibnu Umar pergi
dan meminta izin. Ketika sampai di rumahnya, Aisyah sedang
duduk dan menangis. Abdullah berkata, ”Umar menitipkan
salam untukmu dan dia meminta izin untuk dimakamkan
bersama kedua sahabatnya.” Aisyah berkata, ”Tanpa harus
izin pun, aku sendiri menginginkan dia dimakamkan di sana,
hari ini aku mendahulukan kepentingannya daripada diriku
sendiri.”
Abdullah pun pulang dan ditanya Umar, ”Bagaimana?”
Abdullah menjawab, ”Sebagaimana yang kamu kehendaki,
wahai Amirul Mukminin. Dia mengizinkan.” Umar berkata,
”Alhamdulillah. Tidak ada yang lebih penting dariku dari
tempat tersebut. Lihatlah, jika aku sudah meninggal bawalah
aku dengan ranjangku ini. Kemudian (jika sudah sampai ke
rumah Aisyah) berhentilah di pintu dan katakan Umar me-
minta izin. Setelah itu, jika diizinkan maka masukkanlah aku.
Akan tetapi, jika dia tidak mengizinkannya maka kuburkanlah
aku di pemakaman orang muslim. Karena aku takut izinnya
kepadaku karena kedudukanku.” Dengan demikian, ketika
meninggal, Umar dibawa oleh kaum muslim, seakan-akan
pada hari itu mereka mendapat musibah yang sangat besar.
Aisyah mengizinkannya dan Umar dimakamkan bersama
kedua sahabatnya, Rasulullah dan Abu Bakar. (Ibnu Sa’ad)
Penulis ternama, Sayid Amir Ali, mengomentari mening-
galnya Umar dalam kitabnya Târîkh al-‘Arab, ”Meninggalnya
114
Ali bin Abi Thalib
Umar merupakan kerugian nyata dan kejadian besar untuk
Islam.” (A Short History of The Saracens)
Umar meninggal pada 26 Dzul Hijjah tahun 23 H pada
usia 63 tahun.
Kesedihan Ali dan Pujiannya kepada Umar
Dari Abu Jahifah, dia berkata, ”Aku sedang berada di dekat
jenazah Umar yang tertutup kain. Ali datang dan membuka
kain tersebut di bagian muka Umar dan berkata, ’Semoga
Allah SWT merahmatimu, wahai Abu Hafsh. Setelah
Rasululllah saw. wafat, kamulah yang paling aku sukai untuk
aku temui kelak di hadapan Allah SWT.’” (Musnad Imam
Ahmad bin Hanbal)
Ketika Umar meninggal, Ali menangis dan dia ditanya
tentang tangisannya tersebut, maka dia menjawab, ”Aku
menangis karena Umar telah meninggal. Meninggalnya Umar
membekaskan goresan bagi Islam yang tidak akan pernah
pulih hingga hari kiamat.” (Al-Futûhât al-Islâmiyyah)
ALI BIN ABI THALIB:
PADA MASA KEKHALIFAHAN
UTSMAN BIN AFFAN
116
Ali bin Abi Thalib
Pembaiatan Utsman bin Affan
Ketika mendekati ajal, Umar membentuk dewan syura
yang beranggotakan enam orang untuk memilih Khalifah.
Mereka adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‘ad bin Abi Waqash,
dan Abdurrahman bin Auf. Umar merasa ragu-ragu untuk
menunjuk langsung salah satu dari keenam sahabat tersebut.
Dia berkata, ”Aku tidak dapat menentukan urusan ini. Jika
Allah SWT menginginkan kebaikan kepada kalian, maka Dia
akan mengumpulkan kalian di bawah orang yang terbaik
di antara kalian. Sebagaimana Allah SWT mengumpulkan
kalian setelah wafatnya Nabi kalian.”
Ini merupakan sikap wara’ Umar. Dia tidak menyebutkan
nama Sa‘id bin Zaid bin Amru bin Nufail ke dalam dewan
syura. Karena Sa‘id adalah anak pamannya, ditakutkan dia
akan terpilih karena kedekatannya dengan Umar. Oleh
karenanya dia tidak menyebutkan nama Sa‘id, meskipun
dia termasuk sepuluh orang yang diberikan kabar gembira
dengan surga.
Umar berkata kepada dewan syura, ”Abdullah (Anak
Umar) akan menghadiri musyawarah kalian, tetapi dia tidak
memiliki hak berpendapat. Aku juga berwasiat supaya
Shuhaib bin Sinan ar-Rumi menjadi imam shalat selama
tiga hari, hingga selesai musyawarah tersebut. Majelis
musyawarah harus berkumpul dan menjadi perwakilan
orang-orang hingga urusan ini mengerucut.” Dia berkata,
”Menurutku, orang-orang melihat Utsman dan Ali sama-
sama kuat dibandingkan yang lain.”
Ketika Umar meninggal, Miqdad bin Aswad mengumpul-
kan mereka di sebuah rumah. Banyak pembicaraan di sana,
117
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
bahkan suara tinggi pun terdengar. Kemudian urusan
tersebut sedikit mengerucut menjadi 3 orang. Zubair
menguasakan haknya kepada Ali, Sa’ad menguasakan
haknya kepada Abdurrahman, dan Thalhah menguasakan
haknya kepada Utsman. Kemudian Abdurrahman berkata
kepada Ali dan Utsman, ”Manakah di antara kalian berdua
yang lebih berhak memimpin, maka akan aku kuasakan hakku
kepadanya.” Keduanya pun terdiam. Abdurrahman berkata,
”Aku meninggalkan hakku untuk Allah SWT dan Islam. Oleh
karenanya aku harus berijtihad. Dengan demikian, aku akan
memilih di antara kalian berdua dengan hak.” Keduanya
berkata, ”Baiklah.” Kemudian Abdurrahman berbicara kepada
masing-masing di antara keduanya tentang ke utamaannya
dan mengambil janji dari keduanya, ”Jika kamu terpilih
maka harus berlaku adil dan jika tidak dipilih harus taat dan
tunduk kepada yang terpilih.” Masing-masing dari keduanya
berkata, ”Ya.”
Kemudian Abdurrahman bangkit meminta pendapat dari
orang-orang dan juga pemimpin kaum, secara menyeluruh
dan semua lapisan. Pendapat itu baik dari pendapat per-
orangan maupun kelompok dan secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, hingga dia menanyakan kepada
wanita yang berada di balik hijabnya. Dia juga bertanya
kepada pegawai hingga orang yang mendorong gerobak di
Madinah. Dia melakukannya selama tiga hari tiga malam dan
yang didapatkannya keduanya tidak ada yang lebih unggul
dari satunya. Dalam tiga hari itu dia banyak shalat, berdoa,
istikharah, dan bertanya kepada orang-orang.
Kemudian memasuki hari yang keempat meninggalnya
Umar, dia berada di rumah tempat bermusyawarah dan
dia me manggil Ali serta Utsman. Ketika keduanya datang
118
Ali bin Abi Thalib
dia menghampiri mereka dan berkata, ”Aku telah bertanya
kepada semua orang tentang kalian berdua dan aku tidak
mendapatkan seorang pun yang mengunggulkan satu orang
di antara kalian bedua.” Kemudian dia mengambil janji lagi
dari keduanya dan dia bersama keduanya keluar ke masjid.
Abdurrahman mengenakan sorban yang dikenakan oleh
Rasulullah saw. dan menyelempangkan pedangnya. Dia
menyeru kepada seluruh kaum Muhajirin dan Anshar untuk
shalat berjamaah. Dengan demikian, masjid pun penuh
dan sempit, hingga tidak ada tempat duduk untuk Utsman,
dan dia duduk di paling akhir, karena dia seorang pemalu.
Selanjutnya Abdurrahman naik ke atas mimbar Rasulullah
saw. dan berdiri dalam waktu yang lama. Dia berdoa dengan
doa yang sangat panjang dan tidak dapat didengarkan oleh
orang-orang.
Kemudian dia berkata, ”Wahai sekalian manusia, aku
telah menanyakan keinginan kalian baik secara diam-diam
maupun terang-terangan. Aku tidak mendapatkan satu
jawaban yang condong kepada salah satu dari keduanya, Ali
atau Utsman. Berdirilah di dekatku wahai Ali.” Ali lalu berdiri
di bawah mimbar, Abdurrahman memegang tangannya dan
berkata, ”Apakah kamu siap aku baiat untuk senantiasa setia
kepada kitab Allah, sunnah Nabi Allah, dan melanjutkan
tugas Abu Bakar dan Umar?” Ali berkata, ”Aku tidak siap,
akan tetapi sesuai dengan kemampuanku.” Abdurrahman
lalu melepaskan tangannya.
Selanjutnya dia berkata, ”Berdirilah wahai Utsman.”
Kemudian Abdurrahman memegang tangannya dan berkata,
”Apakah kamu siap aku baiat untuk senantiasa setia kepada
kitab Allah, sunnah Nabi Allah, dan melanjutkan tugas Abu
Bakar dan Umar?” Utsman berkata, ”Ya.” Abdurrahman lalu
119
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mengangkat kepalanya ke atas dan dia masih memegang
tangan Utsman seraya berkata, ”Ya Allah, dengarkanlah
dan saksikanlah. Ya Allah, dengarkanlah dan saksikanlah. Ya
Allah, dengarkanlah dan saksikanlah. Ya Allah, sungguh aku
telah melepaskan beban yang ada di pundakku ke pundak
Utsman.” Setelah itu, orang-orang berdesakan untuk
membaiat Utsman di bawah mimbar. Abdurrahman duduk
di tempat duduk Nabi saw. dan menempatkan Utsman di
tingkatan kedua. Orang-orang pun datang membaiatnya
dan orang yang membaiatnya pertama kali adalah Ali, akan
tetapi ada yang mengatakan Ali yang membaiatnya terakhir
kali. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Kedudukan Utsman dalam Agama dan Masyarakat
Kemuliaan yang dimiliki oleh Utsman bin Affan serasi
dengan umurnya. Dalam kehidupan masyarakat Arab Islam,
dia juga memiliki kedudukan khusus. Lahir pada enam tahun
setelah tahun gajah, lebih muda 5 tahun dari Rasulullah
saw. Utsman telah menyatakan Islam sebelum Rasulullah
saw. memasuki rumah Arqam. Dia menikah dengan putri
Rasulullah, Ruqayyah, di Makkah sebelum hijrah.
Ketika perlakuan kaum Quraisy semakin kasar, Utsman
meminta izin kepada Rasululah saw. untuk berhijrah ke
Habasyah bersama istrinya. Oleh karenanya Rasulullah saw.
berkata tentang hijrah mereka, ”Mereka berdua adalah
orang pertama yang berhijrah kepada Allah. Keluarga dari
Ibrahim a.s. dan Luth a.s.” Setelah Rasulullah Hijrah ke
Madinah, mereka berdua turut berhijrah ke Madinah. Saat
Ruqayyah meninggal, Rasulullah saw. menikahkan putrinya
120
Ali bin Abi Thalib
yang bernama Ummi Kultsum dengan Utsman. Kekhususan
ini hanya terjadi pada Utsman dan karena hal ini Utsman
mendapat julukan Dzun Nuraini.
Kaum Quraisy sangat menghormatinya, sehingga ke-
tika Umar hendak diutus sebagai duta oleh Rasulullah saw.
kepada kaum Quraisy dia berkata, ”Aku akan menunjukkan
kepadamu seorang yang lebih mulia dari pada aku di
mata orang Quraisy, dialah Utsman.” Rasulullah saw. pun
memanggil Utsman dan mengutusnya kepada Abu Sufyan,
pembesar Quraisy. Utsman lalu pergi hingga sampai ke
Makkah, dia mendatangi Abu Sufyan dan para pembesar
Quraisy serta menyampaikan pesan Rasulullah saw. kepada
mereka. Setelah selesai menyampaikan pesan Rasulullah
saw., mereka berkata, ”Jika kamu hendak bertawaf, maka
tawaah.”Utsman berkata, ”Sungguh aku akan tawaf, setelah
Rasulullah tawaf.” Ketika pulang, kaum muslim bertanya
kepadanya, ”Apakah kamu sudah tawaf di Baitullah?” Utsman
menjawab, ”Betapa buruk perasangka kalian terhadapku.
Demi jiwaku yang berada di genggaman-Nya, jika aku tinggal
di Makkah selama 1 tahun dan Rasulullah saw. berada di
Hudaibiah, aku tidak akan tawaf sampai Rasulullah saw. tawaf
terlebih dahulu. Kaum Quraisy telah memperkenankanku
untuk tawaf, tetapi aku menolaknya.”
Pada saat sampai kepada Rasulullah saw. sebuah kabar
yang menyebutkan bahwa Utsman terbunuh, maka beliau
menyeru untuk baiat. Kaum muslim menuju Rasulullah saw.
yang berada di bawah pohon. Mereka lalu berbaiat kepada
Rasulullah saw., untuk tidak lari dari perang. Sungguh,
Rasulullah saw. memegang tangannya sendiri dan berkata,
”Ini dari Utsman.” Itulah baiat Ridwan. (Zâd al-Ma’âd)
121
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Utsman juga mendapatkan kedudukan di sisi Umar.
Kaum muslim jika bertanya sesuatu kepada Umar maka
Umar melemparkan pertanyaan tersebut kepada Utsman
dan Abdurrahman bin Auf, sehingga Utsman dijuluki
sebagai Radif yaitu orang yang diandalkan setelah pemimpin
mereka. Jika keduanya tidak dapat menjawab maka mereka
mencari Abbas. Utsman adalah seorang yang menyiapkan
perlengkapan dan kebutuhan prajurit Usrah, yaitu pada
peperangan Tabuk. Utsman juga membeli sumur Rumah
yang diwakafkan kepada kaum muslim.
Tirmidzi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Khabbab,
dia berkata, ”Aku melihat Nabi saw. sedang memotivasi
prajurit Usrah. Kemudian Utsman bin Affan berkata, ’Wahai
Rasulullah, aku menyumbang seratus unta dengan segala
muatannya dan pelananya di jalan Allah SWT.’ Kemudian
Rasulullah saw. memberikan motivasi lagi, maka Utsman
kembali berkata, ’Wahai Rasulullah, aku menyumbang tiga
ratus unta dengan segala muatannya dan pelananya di jalan
Allah SWT.’ Setelah itu, Rasulullah saw. turun dan berkata,
’Tidaklah bagi Utsman ada yang menimpanya setelah ini.’”
Tirmidzi meriwayatkan dari Anas dan dishahihkan oleh
Hakim dari Abdurrahman bin Samurah, berkata, ”Utsman
datang kepada Nabi saw. dengan membawa seribu
dinar ketika beliau sedang menyiapkan prajurit Usrah.
Beliau meletakkannya di kamarnya dan Rasulullah saw.
membalikkannya seraya berkata, ”Tidak ada yang membuat
Utsman bahaya setelah hari ini.” Beliau mengatakan dua
kali.
Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata,
”Utsman membeli surga dari Rasulullah saw. sebanyak dua
122
Ali bin Abi Thalib
kali, yaitu ketika membeli sumur rumah dan ketika mendanai
persiapan prajurit usrah.”
Utsman membeli sumur rumah dengan 20.000 dirham
dan mewakafkannya untuk kaum muslim. Sumur itu adalah
milik seorang Yahudi. Dia membelinya saat Rasulullah saw.
bersabda, ”Barang siapa membeli sumur rumah dan men-
jadikannya untuk kaum muslim, menimbakan air nya kepada
timba-timba kaum muslim, maka Allah akan mem berikan
minum di Surga.” Pada saat itu kaum muslim sangat mem-
butuhkan air bersih.
Pada saat menduduki kursi kekhalifahan usia Utsman 68
tahun Masehi dan 70 tahun Hijriah.
Ekspansi Negara Islam pada Masa Kekhalifahan Utsman
Puncak ekspansi negara Islam adalah pada masa Utsman.
Unsur terpenting dalam keberhasilan tersebut adalah agama
Islam yang menanamkan kecintaan jihad di jalan Allah
SWT kepada seluruh umat muslim. Mereka mengharapkan
syahid dan surga. Mereka menganggap dunia ini bukanlah
yang utama. Keberanian mereka yang sangat luar biasa,
tidak terlalu bergantung dengan jumlah yang banyak, dan
yakin terhadap pertolongan Allah SWT. Oleh karenanya,
ekspansi tersebut sangat cepat hingga ke Persia, Rum, dan
wilayah utara Afrika. Banyak negeri-negeri yang berhasil
ditaklukkan.
Mungkin salah satu hikmah dari Allah SWT yang Dia
kehendaki untuk kaum muslim adalah memilih Utsman
sebagai khalifah meneruskan ekspansi yang dilakukan oleh
Umar. Karena sebagian besar pejabat dan panglima yang
123
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
berada di wilayah baru memiliki hubungan dekat dengan
Utsman, seperti Muawiah bin Abu Sufyan, Amru bin Ash,
Abdullah bin Sa’ad, Marwan bin Hikam, dan Walid bin Uqbah.
Itulah yang mungkin menjadi penyebab dari masuknya
berjuta-juta orang kepada agama Islam.
Pada masa Utsman, ditaklukkanlah Azerbaijan, Tha-
bristan. Abdurrahman bin Rabi‘ah juga berhasil menaklukkan
Kharaz, sebuah negeri yang luas di tepi Laut Kaspia. Selain
itu, juga mencakup negara Dilem dan Jabal hingga mencapai
Kazakhstan, Nisabur, Thakharistan, Balakh, Khawarizm,
Armenia, Talikla, penaklukkan hingga mencapai Tais. Pada
zaman Utsman tersebut, Muawiah berhasil menaklukkan
Cyprus dan bagian utara Benua Afrika.
Pada masa pemerintahan Utsman negara Islam merupa-
kan negeri maritim, karena mengadopsi peninggalan perahu
Rum serta modikasi perahu yang dilakukan oleh Muawiah
dan Abdullah bin Sa’ad. Hal itu dilakukan untuk men jaga
kedaulatan Islam dari serangan musuh dari waktu ke waktu.
Pada masa Umar, prajurit Islam berhasil menaklukkan
seluruh wilayah Persia, Suria, dan Mesir. Akan tetapi,
beberapa yang berhasil ditaklukkan tersebut belum sepe-
nuhnya terkendali. Para provokator menghasut masyarakat
untuk tidak taat kepada pemerintahan Islam. Pada masa
Utsman inilah para prajurit mengondisikan mereka semua
untuk senantiasa taat serta memberlakukan hukum Islam
di negeri-negeri tersebut. Oleh karenanya, penaklukan
kembali untuk negeri-negeri tersebut dilakukan kembali.
Pada masa Utsman, juga ada beberapa daerah yang berhasil
ditaklukkan dan sebelumnya belum pernah terjamah oleh
kaum muslim.
124
Ali bin Abi Thalib
Pada masa Utsman juga ditaklukkanlah Balakh, Harat,
Kabul, dan Badakhstan. Ada kerusuhan yang terjadi di
wilayah selatan Iran dan itu sebagai sarana untuk melepaskan
Karman dan Sagastan. Negara-negara yang ditaklukkan
mendapatkan kemakmuran dari negara tersebut, sehingga
dibuat terusan dan sugai-sungai, jalan-jalan dibangun, dan
ditanam pepohonan berbuah. Perdagangan menjadi aman
karena dijaga oleh petugas keamanan. Kemajuan Rum
tersebut hingga terbawa ke Asia kecil, laut hitam. Ditaklukan
juga Tripoli bagian barat (Libya) dan Cyrenacia di Benua
Afrika. Daerah Cyprus juga dikuasai di wilayah laut putih.
Tentara Islam berhasil menghancurkan armada laut yang
dibuat oleh Rum untuk menyerang Alexandria, bagian tepi
Mesir.
Peninggalan Abadi Utsman
Peninggalan Utsman adalah menyeragamkan seluruh mushaf
dan bacaan Al-Qur’an untuk seluruh umat Islam di dunia.
Dia memerintahkan untuk menuliskan kembali Al-Qur’an
dengan satu bentuk bacaan dan membagikannya ke penjuru
daerah Islam. Imam Baruddin Muhammad bin Abdullah az-
Zarkasyi berkata, ”Pada awalnya orang-orang dibiarkan
untuk membaca Al-Qur’an sesuai dengan qira’ahnya masing-
masing yang berbeda-beda. Hingga ditakutkan akan ada
kerusakan maka ditetapkanlah bacaan Al-Qur’an menjadi
satu, sebagaimana yang kita baca pada saat ini. Hal yang
termasyhur adalah bahwa yang mengumpulkan Al-Qur’an
adalah Utsman. Akan tetapi, kenyataannya bukan demikian.
Utsman adalah orang yang menyeragamkan Al-Qur’an
menjadi satu qira’ah yang disepakati oleh kaum Muhajirin
125
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
dan Anshar. Karena ditakutkan terjadi tnah dalam memimpin
masyarakat Irak dan Syam dalam qira’ah. Sebelumnya Al-
Qur’an terdapat bermacam mushhaf yang menuliskan sesuai
dengan tujuh qira’ah yang berbeda, sebagaimana yang
diturunkan. Adapun yang mengumpulkan Al-Qur’an pertama
kali dalam satu mushhaf adalah Abu Bakar. Ali berkata,
”Semoga Allah SWT merahmati Abu Bakar, orang pertama
yang telah mengumpulkan Al-Qur’an antara lembaran-
lembaran.”
Pada masa Abu Bakar dan Umar, kaum muslim belum
membutuhkan mushhaf yang dikumpulkan oleh Utsman.
Karena pada zaman tersebut tidak terjadi perdebatan
sebagaimana yang terjadi pada zaman Utsman. Mereka telah
bersepakat dalam permasalahan besar dan melepaskan
berdebatan serta perbedaan, sehingga umat merasa tenang.
Ali berkata, ”Jika aku memimpin pada masa Utsman, tentu
aku akan mengumpulkan Mushhaf sebagaimana yang dia
lakukan.” (Al-Burhân)
Dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, disebutkan sebuah
riwayat dari Suwaid bin Ghafalah, bahwa Ali berkata,
”Wahai sekalian manusia, jangan kalian membesar-besarkan
(dalam hal buruk) tentang Utsman. Kalian berkata akan
membakar mushhaf. Demi Allah, jikapun harus dibakar,
sahabat Rasulullah saw. yang lebih berhak untuk itu. Jika aku
memimpin pada masanya, tentu aku akan melakukan apa
yang telah dia lakukan.”
Jejak yang juga dia tinggalkan adalah penambahan pada
Masjid Nabawi. Pada masa Rasulullah saw. masjid tersebut
dibangun dengan batu bata, atapnya dari pelepah kurma,
dan tiangnya dari pohon kurma. Abu Bakar tidak melakukan
126
Ali bin Abi Thalib
perubahan apa pun pada masa kekhalifahannya, sedangkan
Umar menambahkan bangunan pada bangungan tersebut
dengan batu bata, pelepah kurma, dan tiangnya dari kayu.
Adapun Utsman melakukan perubahan besar akan masjid
tersebut. Dindingnya dari batu yang dipahat, begitu pula
dengan tiangnya. Adapun atapnya dari potongan kayu. (Al-
Burhân)
Ujian Utsman saat Menjadi Khalifah
Meluasnya daerah kekuasaan beserta yang dibawanya
berupa kekayaan yang melimpah dan gaya hidup baru akan
membentuk sikap dan gaya hidup yang baru. Hal ini wajar
terjadi di beberapa negara dan sejarah bangsa-bangsa, akan
tetapi permasalahan seperti ini harus dapat dikendalikan.
Pada saat Utsman memimpin, perubahan masyarakat sudah
terasa, yaitu yang mulanya mereka berorientasi akhirat
(Sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw. kepada
para sahabatnya) berubah berorientasikan dunia.
Perubahan orientasi inilah yang menjadi ciri masyarakat
pada saat kekhalifahan Utsman. Dikarenakan perluasan
daerah kekuasaan dan melimpahnya harta benda. Secara
alami hal tersebut pasti terjadi, kecuali ada orang yang
bisa mengekangnya dan yang mengembalikan orientasi
masyarakat pada saat itu, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh Umar.
Masyarakat Islam pada masa pemerintahan Utsman
memiliki etos kerja yang tinggi, hal ini disebabkan oleh
pencapaian yang hendak mereka raih. Dalam perjalanannya
dan dalam memimpin kekhalifahan, Utsman masih dalam
koridor kebenaran. Dalam berpolitik dia masih tetap berlaku
127
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Adil. Akan tetapi jika jiwa masyarakat sudah dikuasai oleh
kenikmatan dunia dan tidak dibersihkan kembali, mereka
akan mudah disulut untuk melakukan pemberontakan. Jiwa
mereka tidak lagi bisa melihat dan akal mereka menjadi
sesat. (Utsman bin Affan, Shadiq Ibrahim Argoun)
Abbas Aqqad dalam bukunya al-‘Abqariyyah al-Islâmiyyah
berkata, ”Permasalahan terbesar yang akan kita lihat adalah,
Utsman menjalani kekhalifahannya seperti pendahulunya,
tetapi kondisi masyarakat pada saat itu sudah berubah.
Kondisi masyarakat itulah bagian terpenting yang harus
dipersiapkan untuk menghadapinya dengan keteladanan
dari pendahulu. Pendidikan perpolitikan pada dasarnya
adalah alat untuk mengurai permasalahan tersebut.
Meskipun demikian itulah permasalahan terbesar, untuk
mempersiapkan dan menyikapinya sesuai dengan keadaan
yang telah berubah.”
Dia juga berkata, ”Semenjak Utsman mulai masuk Islam
hingga dia menjabat sebagai khalifah, masyarakat Arab
mengalami banyak perubahan. Islam telah menjadi ajaran
tersendiri yang ada di dunia. Hampir berdekatan dengan
gaya hidup di seluruh peradaban timur dan barat.”
Dari sini Utsman mulai berpikir terhadap orang-orang
yang iri kepadanya, Abbas Aqqad berkata, ”Masyarakat
menjalankan kehidupannya dan menuntut hak-hak mereka.
Sebagaimana masyarakat yang berada di dalam kekuasaan
kerajaan. Masyarakat Muslim ini, menginginkan pemimpin
mereka menjalankan perpolitikan kekhalifahan. Mereka
berharap kepada khalifah ketiga ini supaya tidak menyimpang
sedikit pun dari ketentuan yang telah diberlakukan oleh
kedua khalifah sebelumnya. Akan tetapi, mereka sendiri yang
128
Ali bin Abi Thalib
telah menyimpang jauh dari ketentuan yang ditetapkan oleh
kedua khalifah sebelumnya.”
Tidak dapat disangkal bahwa Utsman tidak sekuat Abu
Bakar dan Umar. Akan tetapi, Umar yang memiliki kekuatan
yang hebat dan kewibawaan tinggi, pada akhir masa
kepemimpinannya dia merasakan adanya perubahan pada
masyarakat. Dalam doanya dia bermunajat, ”Ya Allah, usiaku
telah lanjut, kekuatanku mulai melemah, dan masyarakatku
mulai bercerai berai. Wafatkanlah aku dalam keadaan yang
tidak menghilangkan hak dan tidak berlebihan.”
Utsman sendiri juga merasakan perbedaan yang besar
tersebut antara dua zaman. Dia takut jika penyakit masyarakat
tersebut akan terus bertambah. Dalam khotbahnya dia
sempat berkata, ”Umat ini telah diuji dengan sesuatu yang
sangat besar dan tidak dapat dihindari lagi. Fitnah dunia
telah merasuki setiap jiwa sehingga tidak dapat dihilangkan
kembali.”
Abbas Aqqad juga berkata, ”Ujian tesebut terjadi karena
pada suatu ketika yang dikehendaki adalah kepercayaan ke-
khalifahan dan tidak didapatkan. Pada waktu yang bersamaan,
dibutuhkan model kesultanan dan itu juga tidak didapatkan.
Hukum tidak mendapatkan sandaran dari kekhalifahan dan
juga tidak mendapatkan tempat dari kesultanan. Dengan
demikian, kesemuanya tidak didapatkan.”
Aqqad berkata, ”Cara Utsman dalam menghadapi per-
masalahan daerah luar, yang mengagetkannya setelah dia
diangkat sebagai khalifah sangat bagus pada masa itu. Dia
menghadapinya dengan tekad yang kuat dan ketepatan,
dengan cepat dan kesabaran. Dalam berpolitik dia bersikap
lembut baik dengan kawan atau pun lawan.”
129
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Kritikan pertama yang tertuju kepada Utsman adalah
pada saat dia memilih pegawai untuk bagian yang se-
belumnya tidak ada di dalam negara Islam atau tidak ada
dalam tatanan masyarakat. Dia juga menerbitkan aturan yang
mendapatkan kritikan dari orang yang menjadikan Rasulullah
saw., Abu Bakar dan Umar sebagai standar. Banyak perkataan
yang beredar dari mereka, dan juga kritikan untuk Khalifah,
para Amir, dan pegawai-pegawai. Salah satunya dalam
pemilihan Amir, yang tidak dapat memuaskan berbagai
pihak. Dalam pemilihannya tersebut Utsman tidak terlalu
memperhatikan sisi agama dan akhlak.
Kurd Ali berkata dalam Al-Idârah al-Islâmiyyah, ”Tiga
perempat pegawai Nabi saw. dari Bani Umayyah. Nabi saw.
mencari orang-orang yang berkompeten dari kalangan
muslim, beliau tidak mencari orang yang bodoh karena
akan membuat lemah. Buktinya orang yang dipilih sebagai
panglima, pemimpin, dan pejabat hukum sesuai dengan
keputusan imam besar, tidak melihat kekayaan, kemuliaan
dalam suku, lamanya masuk Islam, dan usia. Akan tetapi,
landasan pemilihan tersebut adalah ilmu, kecakapan, dan
kemampuan mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya
serta menjalankan perpolitikan yang bijak.”
Ibnu Abu Hadid berkata, menceritakan dari Abdul
Jabbar dan dia membela Utsman dalam memilih pekerja
kekhalifahannya, ”Tidak mungkin ketika dia menggunakan
mereka dan dia mengetahui keadaan mereka, disebut
menyalahi kemaslahatan. Karena yang terjadi, keburukan
orang-orang tersebut baru tampak setelahnya. Bisa jadi
sebelumnya keburukan itu tertutup darinya.”
Kurd Ali berkata, ”Tidakkah lebih baik, andaikata
Utsman mengangkat pegawai kekhalifahan dari keluarga
130
Ali bin Abi Thalib
dan kaum nya sendiri. Karena mereka lebih tepercaya.
Mereka lebih loyal untuk menyukseskan dan mencapai
tujuannya.”
Apa pun alasan yang mungkin saja disampaikan untuk
Utsman dalam memilih Amir dan keputusan-keputusannya,
kita dapat melihat bahwa dia tidak bisa luput dari kesalahan.
Karena orang yang berijtihad bisa saja berbuat salah. Kita
tidak bisa menghukumi siapa pun atas Allah. Kita tidak
bisa membenarkan Marwan bin Hikam, Walid bin Aqabah,
dan Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Sarh dalam bersikap dan
kecakapan mereka dalam menjalankan tugasnya. Akan
tetapi, kebanyakan orang-orang melakukan pemberontakan
kepada Utsman adalah orang-orang yang tidak ikhlas dan
memiliki kepentingan pribadi.
Dalam komentarnya Abbas Aqqad berkata, ”Hal
itu sangat berlebih-lebihan dalam membuat perhitungan
dengan seorang Khalifah. Mereka menyalahgunakan prinsip
kebebasan berpikir yang diberikan Islam untuk umatnya.
Orang-orang yang melakukan perhitungan dengan Utsman
adalah orang yang menyimpang, perkataan dan per-
buatannya bertolak belakang. Di antara mereka ada yang
sudah terkena hukuman, ada yang memenjarakan bapaknya
karena kejahatan, menikah tidak sesuai tuntunan syariah, dan
mengabaikan tugas. Khalifah tidak pernah melakukan hal-hal
tersebut. Akan tetapi, niat mereka adalah rusak dan merusak.
Karena semua itu, pergerakan tersebut men cuat.”
Puncak Fitnah
Di sini kami akan menyampaikan secara ringkas berlandas-
kan dari kitab Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, tentang puncak
131
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
tnah dan berujung pada syahidnya Utsman bin Affan yang
dikepung di rumahnya.
Di Mesir ada sekelompok orang yang marah terhadap
Utsman dan berkata tentangnya dengan perkataan buruk
serta ada beberapa sahabat hendak memakzulkannya.
Masyarakat Mesir merasa benci dengan Abdullah bin Sa‘ad
bin Abu Sarh yang menjabat menggantikan posisi Amru bin
Ash, karena dia telah memerangi penduduk Magrib dan
memperluas kekuasaan ke Barbar, Andalusia, dan sebagian
Afrika. Di Mesir muncul sebuah kelompok yang terdiri dari
anak-anak para sahabat yang mengumpulkan masa untuk
menentangnya, pembesar mereka adalah Muhammad bin
Abu Bakar dan Muhammad bin Abu Hudzaifah. Keduanya
mampu mengumpulkan masa sebanyak enam ratus orang.
Mereka semua bertujuan untuk berumrah dan pergi ke
Madinah, pada bulan Rajab, untuk melakukan pengingkaran
terhadap Utsman. Dari Mesir Abdullah bin Sa‘ad mengirim
surat kepada Utsman, memberitahukan bahwa ada se-
kumpulan orang yang sedang berumrah akan melakukan
pengingkaran kepadanya.
Ketika mereka sudah dekat Madinah, Utsman meme-
rintahkan Ali untuk menemui mereka dan memulangkan
mereka sebelum memasuki Madinah. Ali meminta delegasi
dari mereka, maka diutuslah pembesar mereka. Ali pun
menemui mereka di Juhfah dan mereka menghormati Ali,
tetapi Ali mencela mereka dan berkata kepada mereka,
”Inilah yang akan memerangi Amir?” Ali bertanya, ”Apa yang
membuat kalian memusuhinya?” Mereka pun menjelaskan
dan Ali menjawab serta memberi alasan terhadap apa yang
dilakukan Utsman. Akhirnya, Ali berhasil memulangkan
132
Ali bin Abi Thalib
mereka dan mereka tidak berhasil mendapatkan tujuan
mereka. Ali mengabarkan kepada Utsman bahwa mereka
telah pulang dan Ali memberi pendapat kepada utsman.
Utsman mendengarkan dan melaksanakan pendapat Ali
tersebut.
Penduduk Mesir, Kufah, dan Basrah saling berkirim surat
dan memalsukan perkataan sahabat di Madinah.
2
Pada
bulan Syawal tahun 35 H, penduduk Mesir pergi ke Madinah
dengan kedok berhaji. Mereka mengepung Madinah dan
para sahabat menemui mereka, Ali pun berkata kepada
mereka, ”Apa yang mengacaukan pikiran kalian sehingga
kalian kembali lagi?” Mereka berkata, ”Kami mendapat surat
bahwa kami akan dibunuh, begitu juga dengan penduduk
Basrah dan Kufah.” Mereka serempak berkata, ”Kami datang
untuk menolong kawan-kawan kami.” Sahabat berkata
kepada mereka, ”Bagaimana kalian semua mengetahui hal
tersebut, sedangkan kalian berada di daerah yang berjauhan.
Sungguh hal ini sudah kalian rencanakan.”
Pada waktu kembali dari Madinah untuk pertama
kalinya, orang-orang Mesir mendapatkan surat di jalan.
Mereka mengamatinya dan mereka menyimpulkan itu
adalah perintah dari Utsman, dalam surat itu disebutkan
perintah untuk membunuh pemberontak Mesir, menyalib
sebagian mereka, dan memotong tangan serta kaki mereka.
Di surat tersebut terdapat cap dari Utsman dan pengantar
surat tersebut adalah pelayannya Utsman. Setelah mereka
sampai Mesir mereka mengedarkan surat tersebut kepada
orang-orang, sehingga tercipta opini buruk di masyarakat.
2 Para peneliti berpendapat bahwa Abdullah bin Saba` Ash-Shan’ani, seorang
Yahudi yang masuk Islam, memiliki peranan besar dalam kerusuhan tersebut.
Pada bab selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai hal ini.
133
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Ali menjelaskan bahwa surat itu tidak pernah ditulis dan
dikirimkan, cap surat tersebut telah dipalsukan. Orang yang
benar akan membenarkan dan orang yang mendustakannya
akan mendustakan.
Ibnu Katsir berkata, ”Surat itu dipalsukan atas nama
Utsman. Padahal, dia tidak pernah memerintahkan demikian
dan tidak mengetahui apa-apa.”
Ibnu Jarir menyebutkan bahwa surat palsu tersebut
sebenarnya ditulis oleh Marwan bin Hakam, menafsirkan
rman Allah SWT, ”Hukuman bagi orang-orang yang me-
merangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
bumi hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan
dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat
kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi mereka di
dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”
(QS al-Mâ’idah [5]: 33)
Itulah yang dilakukannya, mengatas-namakan Utsman,
memalsukan tulisan dan capnya serta mengutus pelayan
Utsman di atas untanya. (Al-Bidâyah wa an-Nihaâyah)
Beberapa peneliti mencermati bahwa permasalahan
surat palsu tersebut merupakan hal yang sudah direncanakan.
Berikut nas dari Kitab Mawaârid azh-Zham`ân ilâ Zawâ`id
Ibnu Hibbân, yang hampir sama dengan nas dari Târikh
ath-Thabari: Kemudian orang-orang Mesir pulang. Di per-
tengahan jalan mereka bertemu dengan pengendara, ketika
dia merasa kelihatan pengendara tersebut menghindar
dari mereka. kemudian dia kembali kepada mereka dan
menghindar kembali. Orang-orang Mesir berkata, ”Ada apa
denganmu? Kamu akan aman, ada apa denganmu?” maka dia
berkata, ”Aku adalah utusan Utsman untuk pegawainya yang
134
Ali bin Abi Thalib
ada di Mesir.” Mereka menggeledahnya dan mendapatkan
surat yang ditulis Utsman dan terdapat cap Ustman, untuk
pegawainya di Mesir. Dalam surat disebutkan bahwa Utsman
memerintahkannya untuk menyalib mereka, memotong
tangan dan kaki mereka.
Setelah itu, mereka kembali ke Madinah dan menemui
Ali, seraya berkata, ”Tidakkah kamu melihat, musuh Allah
telah menuliskan ini dan itu? Sungguh, Allah SWT telah
menghalalkan darahnya, pergilah bersama kami.” Ali ber-
kata, ”Demi Allah, aku tidak akan pergi bersama kalian.”
Mereka berkata, ”Kemudian mengapa kamu menulis surat
untuk kami.” Ali lalu berkata, ”Sungguh aku tidak pernah
menuliskan surat kepada kalian.” Mereka saling berpan-
dangan dan saling berkata, ”Apakah karena ini kalian saling
berperang dan saling marah?” (Mawârid azh-Zham`ân ilâ
Zawâ`id Ibnu Hibbaân)
Diriwayatkan juga bahwa Ali berkata, ”Wahai penduduk
Basrah bagaimana kalian mengetahui apa yang dialami oleh
penduduk Mesir? Sedangkan tempat kalian berjauhan dan
kalian semua menginginkan kami. Demi Allah urusan ini ber-
asal di Madinah.”
Pengepungan Utsman, Syahidnya, dan Peranan Ali
dalam Melindunginya
Pembahasan selanjutnya adalah pemberontakan yang dituju-
kan kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan. Sebenarnya
tindakan seperti ini sangatlah tidak pantas terjadi, karena
masa tersebut masih sangat berdekatan dengan masa
kenabian. Akan tetapi, Abbas Aqqad berkata, ”Kerusuhan
yang dilakukan pemberontak tidak ada permisalanannya.”
135
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Para pemberontak menuju rumahnya, mereka menekan
dan mengepungnya. Banyak dari para sahabat yang berada
di rumahnya (untuk mengendalikan keadaan). Anak-anak
dari para sahabat juga dikerahkan untuk ke sana. Di antara
mereka adalah Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, dan
Abdullah bin Umar. Mereka berusaha menemui Utsman akan
tetapi tidak berhasil. Utsman sudah tidak bisa lagi ke masjid.
Pengepungan tersebut berlangsung dari akhir bulan Dzul
Qa’dah sampai 18 Dzul Hijjah. Satu hari sebelumnya Utsman
berkata kepada pada sahabat yang berada di rumahnya,
terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, yang berjumlah
sekitar 700 orang, di antara mereka ada Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Zubair, Hasan, Husain, Marwan, Abu Hurairah
dan beberapa budak, dia berkata, ”Aku berjanji kepada siapa
saja yang memiliki hak atasku, dia akan menahan tangannya
dan pergi ke rumahnya, karena dia memiliki sahabat dan
anak-anaknya yang jumlahnya banyak.” Dia berkata kepada
budak-budaknya, ”Siapa saja yang menyimpan pedangnya
dia akan merdeka.”
Diriwayatkan bahwa orang yang awalnya bertekad meng-
habisi pemberontak, lalu keluar dari rumah Utsman adalah
Hasan bin Ali. (Ibnu Katsir)
Pada saat Ali meminta izin untuk memerangi mereka dan
membelanya, Utsman berkata, ”Dengan menyebut nama
Allah, semoga orang-orang itu melihat bahwa Allah SWT
memiliki hak dan menegaskan bahwa aku juga memiliki hak
atasnya untuk mengalirkan darah karenaku.” Ali berkata lagi
dan dia menjawab seperti itu. Kemudian Ali masuk masjid
dan waktu shalat telah datang, mereka berkata, ”Wahai
Abu Hasan, maju dan shalatlah!” (menjadi imam shalat). Dia
136
Ali bin Abi Thalib
berkata, ”Aku tidak akan shalat bersama kalian, Imam masih
dikepung. Namun, aku akan shalat sendiri.” Kemudian dia
shalat sendiri dan kembali ke rumahnya.
Keadaan yang dialami Utsman semakin sulit. Persediaan
airnya habis dan dia meminta tolong kepada kaum muslim.
Akhirnya Ali sendiri yang membawa bejana berisi air untuk-
nya, setelah berdebat mengadakan dialog sengit dengan
orang-orang yang mengepungnya. (Ibnu Katsir)
Diriwayatkan, Muawiah pernah berkata kepadanya,
”Pergilah bersamaku ke Syam sebelum orang-orang ter sebut
menyerangmu.” Utsman menjawab, ”Aku tidak akan pernah
mengganti dengan apa pun tempatku ini yang berde katan
dengan Rasulullah, meskipun kepalaku akan putus.” Muawiah
berkata, ”Maka akan aku kirimkan pasukan untukmu.”
Utsman berkata, ”Aku tidak sempat mem berikan harta
kepada tetangga-tetangga Rasulullah saw. termasuk pasukan
tersebut. Bisa jadi akan membuat keadaan pendukung
menjadi semakin sempit.” Muawiah berkata, ”Wahai Amirul
Mukminin, jika demikian maka kamu akan diserang.” Utsman
berkata, ”Cukup bagiku Allah SWT sebaik-baik pelindung.”
(Târikh al-Umam wa al-Mulûk)
Orang-orang yang berada di rumah Utsman dibunuh
oleh orang-orang keji tersebut. Abdullah bin Zubair menda-
pat kan banyak luka begitu pula Hasan bin Ali.
Mereka meminta dari Utsman untuk melepaskan urusan
mereka. Dia berkata, ”Ini adalah urusan kalian, pilihlah sesuka
kalian.” Adapun Utsman berkata, ”Jika aku melepaskan
urusan mereka maka aku dapat mengabulkannya. Akan tetapi,
jika aku diminta melepaskan amanah yang telah diberikan
Allah SWT kepadaku maka aku tidak akan melepaskannya.”
137
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Karena Utsman hendak melakukan wasiat Rasulullah saw.,
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari
Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,
”Wahai Utsman, bisa jadi Allah akan mengenakan kepadamu
pakaian. Jika mereka menginginkanmu untuk melepaskannya
maka janganlah kamu lepas.” (HR Tirmidzi)
Nailah, istri Utsman, berkata, ”Pada hari ketika Utsman
dikepung dan dibunuh, dia dalam keadaan puasa.” (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Dari Na‘ dari Ibnu Umar, bahwasanya Utsman pada
waktu pagi berkata kepada orang-orang, ”Aku bermimpi
melihat Nabi saw., beliau berkata, ’Wahai Utsman, bukalah
bersama kami.’ Pada hari itu dia berpuasa dan dia dibunuh.
Ketika dibunuh dia sedang membaca mushhaf yang ada di
hadapannya.”
Ustman dibunuh pada hari Jum’at 18 Dzul Hijjah tahun
35 H.
Pengaruh Akidah pada Utsman dan Kedudukannya
yang Mulia dalam Islam
Bab yang berat bagi kaum muslim ini akan kami tutup dengan
komentar Abbas Aqqad terhadap perjalanan Utsman dan
kedudukannya dalam tnah ini, dia berkata: Pengaruh Akidah
pada Khalifah Utsman terlihat ketika para pemberontak
138
Ali bin Abi Thalib
mengepungnya. Padahal, Utsman adalah orang yang sangat
penting. Akal sehat tidak dapat membayangkan bagaimana
mereka yang dulunya jahiliah dan dituntun oleh Islam bisa
melakukan hal tersebut.
Tingkat muhasabah jiwa yang sangat tinggi dalam
melihat kehidupan manusia, dan dia masih mempertahankan
kehidupannya, karena kehidupan adalah sesuatu yang
berharga. Ketika yakin dibunuh, dia tidak memperkenankan
untuk membunuh para pemberontak tersebut. Ketika diminta
untuk melepaskan kekuasaan, dia tidak memedulikan-
nya. Penolakannya tersebut bukan karena sifat bakhil,
ketika orang sudah lemah yang paling berharga adalah
kehidupan. Tidak ada seorang pun yang mengakui bahwa
dia mendapatkan harta dari kedudukan khalifahnya. Bahkan,
para ahli sejarah bersepakat ketika dia meninggal hartanya
lebih sedikit dibanding sebelum menjadi khalifah. Dia
enggan melepaskan kekhalifahan karena waspada akibat
dari pemakzulan tersebut bisa menyebabkan kerusuhan lebih
besar dan peperangan. Dia menegaskannya tidak hanya
sekali. Dia berkata, ”Sungguh orang-orang yang menunggu
lama itu takut jika masa penantiannya lebih panjang. Dengan
demikian, yang dipilih adalah waspada dari akibat buruk.”
Kita tinggalkan sejenak peristiwa tersebut dan kita lihat
sejarah pada awal Islam, maka kita mendapati bahwa pada
saat itulah sumber dari kemuliaan dan prinsip. Kita dapat
mengatakan bahwa kita berada di depan tubrukan yang
sengaja dilakukan oleh orang yang menanyakan pengaruh
akidah dan perkembangannya. Sebenarnya tidak ada
tubrukan, jika kita melihat kejadian tersebut dari kacamata
kemuliaan, jika kita mengetahui, dan jika setiap sejarah
tidak luput dari kekacauan. Sesungguhnya kekacauan yang
139
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
terjadi bukanlah kejahatan terbesar yang ada di dalam jiwa
manusia.”
Dalam akhir kitabnya, Abbas Aqqad berkata, ”Meskipun
pemberontakan kepada Utsman adalah kejahatan, tetapi
setelah peristiwa yang sangat mengguncang tersebut
meninggalkan kebaikan bagi kehidupan pribadi atau
masyarakat. Kebaikan yang dapat diambil adalah pengakuan
pemberontak bahwa mereka mendapat hak untuk meminta
pertanggungjawaban dari pemimpinnya yang memiliki
kekuasaan yang sangat luas.
Selain itu, keimanan kuat yang dimiliki oleh seorang
yang berumur sembilan puluh tahun untuk menghadapi
permasalahan yang sangat rumit. Dia sedang kehausan
dan dikepung orang-orang di dalam rumahnya tanpa
membutuhkan penolong. Jika dia menginginkan maka
seribu penolong pun akan datang dari segala arah yang akan
mengalirkan lautan darah.” (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
”Wahai sekalian manusia, jangan kalian
membesar-besarkan (dalam hal buruk)
tentang Utsman. Kalian berkata akan
membakar mushaf. Demi Allah, jika pun
harus dibakar, sahabat Rasulullah saw.
yang lebih berhak untuk itu. Jika aku
memimpin pada masanya, tentu aku akan
melakukan apa yang telah dia lakukan.”
(Ali bin Abi Thalib)
ALI BIN ABI THALIB:
PADA MASA KEKHALIFAHANNYA
142
Ali bin Abi Thalib
Pembaiatan Ali
Selama lima hari setelah terbunuhnya Utsman, Madinah
dipimpin oleh al-Ghaqi bin Harb, dia menarik pendukung
untuk menjadi khalifah. Akan tetapi, masyarakat Mesir
menghendaki Ali sebagai pemimpin, Ali menghindar dan
pergi ke kebun kurma. Masyarakat kebingungan dan mereka
bersikeras mencari Ali dan berkali-kali meminta kepadanya
untuk menjadi khalifah. Akhirnya orang-orang membaiatnya,
itu pun setelah berkali-kali meminta. Masing-masing mereka
berkata, ”Tidak ada yang pantas untuk menjabat sebagai
Khalifah, kecuali Ali.” Kenyataannya memang seperti itu,
setelah Abu Bakar, Umar, dan Utsman, tidak ada yang berhak
memimpin kaum muslim selain Ali.
Diriwayatkan, ”Ali pergi ke masjid dan naik mimbar.
Dia mengenakan kain dan sorban, sandalnya dia bawa di
tangannya, dan dia sedang bersandar pada busurnya. Hari itu
adalah hari Sabtu 19 Dzul Hijjah tahun 35 H.” (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
Khotbah Pertama Ali setelah Menjadi Khalifah
Pada hari Jum‘at Ali naik ke atas mimbar dan orang-orang
yang belum membaiatnya membaiatnya pada waktu itu.
Hari Jum‘at adalah lima hari terakhir di bulan Dzul Hijjah.
Pada hari itulah dia menyampaikan khotbahnya untuk
pertama kalinya. Dia berkhotbah, ”Sungguh, Allah SWT
telah menurunkan sebuah kitab, sebagai petunjuk untuk
membedakan baik dan buruk. Lakukanlah perkara-perkara
yang baik dan tinggalkanlah yang buruk. Allah SWT telah
memuliakan beberapa yang tidak diketahui dan meng-
angkat kemuliaan seorang muslim di atas semua kemuliaan.
143
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Allah SWT menekankan dengan ikhlas dan tauhid sebagai
hak seorang Muslim.
Seorang muslim adalah yang membuat sesama muslim
selamat dari lisan dan tangannya, kecuali dengan hak.
Seorang muslim tidak halal menyakiti muslim lainnya, kecuali
hal yang mengharuskannya. Bersegeralah dalam urusan
umum dan khusus. Di depan kalian adalah orang-orang
dan di belakang kalian adalah waktu yang terus menggiring
kalian. Ringankanlah jalan kalian niscaya kalian akan bertemu
dan orang-orang akan senantiasa menunggu orang lainnya.
Bertakwalah kepada Allah pada hamba-hamba-Nya dan
negara-negaranya. Karena kalian bertanggung jawab atas
setiap tempatnya dan hewan-hewannya. Kemudian taatlah
kalian kepada Allah dan jangan berbuat maksiat kepada-
Nya. Jika kalian melihat kebaikan, ambillah dan jika melihat
keburukan, tinggalkanlah. Sesungguhnya Allah berrman,
”Dan ingatlah ketika kamu (para Muhajirin) masih (berjumlah)
sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), dan kamu takut orang-
orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Dia memberi
kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu
kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki
yang baik agar kamu bersyukur.” (QS al-Anfâl [8]: 26)” (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Inilah khotbah pertama yang disampaikan Ali, sesuai
dengan kondisi pada waktu itu. Ali berusaha memetik
perasaan dan meletakkan tangannya di luka yang dialami
kaum muslim. Luka tersebut adalah merendahkan ke-
hormatan seorang mukmin dan berani menumpahkan
darahnya. Sebelumnya, Utsman bin Affan yang menjabat
sebagai khalifah telah menjadi sasaran dari tnah buta ini,
144
Ali bin Abi Thalib
hal ini terjadi di Madinah, dekat dengan Masjid Rasulullah
dan persemayamannya. Oleh karena itu, kewajiban khalifah
setelah Utsman adalah mengembalikan masyarakat untuk
menjunjung kembali kehormatan seorang muslim. Selain itu,
menggungah kembali rasa takut mereka kepada Allah SWT
terhadap hal tersebut, menasihati mereka untuk bertakwa
kepada Allah SWT pada hamba-hamba-Nya dan negaranya,
termasuk tanah-tanahnya dan hewan-hewannya.
Dalam khotbah tersebut Ali menunjukkan mereka pada
masa kekhalifahan yang baru, yaitu ketika dia berkata,
”Jika kalian melihat kebaikan, ambillah dan jika melihat
keburukan, tinggalkanlah.” Kemudian dia menutup dengan
ayat yang menjadi jawaban atas mereka supaya mereka
membandingkan keadaan mereka sebelum Islam dan
setelah Islam. Sebelumnya mereka dalam keadaan lemah,
seperti daging yang siap disantap, lalu berubah menjadi
kuat dan dalam keadaan sejahtera. Kemudian supaya
mereka mengingat apa yang diberikan Allah SWT, sehingga
mereka menjadi mulia dan memiliki kekuasaan yang luas.
Disamping itu, supaya kenikmatan yang dialirkan Allah
tertuju kepada mereka, sehingga negara-negara sekitar
tunduk kepada mereka dan panji-panji mereka berkibar di
berbagai negara.
Masa Kekhalifahan Ali dan Tantangannya
Ali memimpin pada masa paling sulit dan paling rumit se-
panjang sejarah. Pada waktu itu telah terjadi pemberontakan
yang keji dan berujung pada syahidnya Utsman. Terdapat
banyak unsur yang digunakan untuk mengecam dan
membekas di dalam jiwa. Banyak beredar rumor, analogi,
145
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
pertanyaan, dan keraguan. Aspirasi dan tuntutan dari masya-
rakat semakin menguat. Kabar syahidnya Utsman menjadi
perbincangan di tempat berkumpulnya orang, baik warga
yang menetap maupun warga nomaden. Mereka yang
tidak melakukan pemberontakan, dari warga Mesir dan Irak,
mengangkat suara supaya dilakukan qishash.
Itulah keadaan masyarakat yang berbeda zaman
dan berbeda tempat, setelah terjadinya peristiwa yang
luar biasa tersebut. Mereka tidak bisa merasa tenang,
kemampuannya tidak digunakan, serta perhatiannya tidak
diarahkan dengan benar. Keadaannya seperti perang atau
lebih besar daripada itu, seperti meningkatkan masyarakat
dan mengatur kerajaan. Khalifah Utsman telah syahid dan
ketika diganti dengan khalifah baru keadaan belum stabil.
Masyarakat Islam pada saat itu hidup dalam kekosongan.
Sungguh, tidak ada yang lebih bahaya daripada kekosongan
pada masyarakat atau kerajaan baru yang dikepung dengan
musuh-musuh besar.
Abbas Aqqad menggambarkan permasalahan yang
dihadapi oleh Ali dengan sangat bagus. Perlu digarisbawahi
bahwa Ali terbebas dari mereka yang melakukan
pemberontakan. Karena pembelaan Ali kepada Utsman
sangat luar biasa, melebihi sahabat-sahabat yang ada pada
saat itu. Begitu halnya dengan putranya Hasan, yang berbuat
banyak pada saat membela Ustman. Abbas Aqqad berkata,
”Ali dibaiat menjadi khalifah, setelah peristiwa berdarah yang
menyakitkan dalam sejarah Islam. Peristiwa tersebut adalah
pembunuhan Utsman bin Affan, seorang yang sudah tua dan
lemah. Utsman dibunuh setelah dikepung dan meskipun
tidak dibunuh dia hampir mati kehausan.
146
Ali bin Abi Thalib
Peristiwa ini tidak bisa dihindari dan tidak ada seorang
pun yang mampu mencegahnya. Karena dalang dari peristiwa
ini sangat banyak dan berada di setiap tempat, baik yang
memusuhinya maupun yang menolongnya. Jika musuh dapat
ditahan, maka sering kali seorang teman tidak dapat ditahan.
Ada keburukan yang dapat dicegah dan ada juga yang tidak
dapat dicegah. Pada saat itu mungkin niat baik dan niat buruk
sangat sulit dibedakan. Ada beberapa sebab yang membuat
peristiwa itu terjadi dan kebanyakannya berasal dari Utsman
sendiri. Atau bisa jadi karena Utsman terlalu berani dan
mengambil risiko dan menimbulkan reaksi dari musuhnya.”
Abbas Aqqad juga berkata, ”Dalam kondisi seperti itu,
Ali harus segera mengendalikan keadaan. Dia juga harus
bisa membuat kondisi masyarakat stabil.”
Permasalahan selanjutnya adalah orang-orang yang
melakukan pembunuhan terhadap Utsman tidak dapat dijerat
dengan hukuman qishash, karena tidak ada saksi secara syar‘i.
Bahkan, istri Utsman sendiri pun tidak dapat menentukan
dengan pasti siapa yang membunuh Utsman. Masih banyak
lagi permasalahan yang dihadapi Ali pada masa itu, Abbas
berkata, ”Ali pernah menyinggung permasalahan qishash
untuk pembunuh Utsman, ternyata jumlah pemberontak
tersebut mencapai 10.000 orang dan semuanya mengakui
telah membunuh Utsman. Jika memang demikian, jika dia
berkehendak, harus mengqishash semuanya.”
Ali berkata kepada orang yang menuntut had kepada
pembunuh Utsman, ’Aku mengetahui apa yang kalian
ketahui. Akan tetapi, bagaimana aku harus berlaku kepada
kaum yang sudah tidak dapat diatur? Budak-budak kalian
turut memberontak bersama mereka, saudara-saudara
147
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kalian bangsa Arab mendukung mereka. Mereka berlaku
sesuka mereka. Apakah kalian melihat, ada kekuatan yang
bisa mewujudkan kehendak kalian?’
Jalan pintas yang seharusnya ditempuh orang-orang
yang menuntut qishash kepada pemberontak tersebut adalah
membela pemerintahan Ali hingga kuat untuk menegakkan
qishash. Setelah itu, mereka (penuntut) bisa mengadili
mereka (pelaku) dengan seadil-adilnya.” (Al-‘Abqariyyât al-
Islâmiyyah)
Dalam kitab Ishâbah, Hazh Ibnu Hajar berkata, ”Ali ber-
pendapat bahwa mereka termasuk orang-orang yang taat.
Kemudian penuntut pembunuhan Utsman menuntut kepada
Ali. Kemudian Ali bersama mereka (penuntut) menegakkan
hukuman syariat kepada mereka (pelaku). Ada orang yang
menentangnya dan berkata, ”Kamu harus mengawasi dan
membunuh mereka (pelaku).” Ali berpendapat bahwa
qishash tersebut tanpa ada bukti yang jelas untuk men-
jeratnya. Setiap dari keduanya dalam berijtihad.”
3
Awal Perselisihan Pendapat dan Perang Jamal
Ibnu Katsir berkata, ”Ketika Ali telah ditetapkan sebagai
Khalifah, Thalhah dan Zubari serta sebagian besar sahabat
mendatanginya dan meminta untuk ditegakkannya hukuman
bagi pembunuh Utsman. Ali menjelaskan kepada mereka
bahwa mereka memiliki pendukung dan dia tidak bisa
menyelesaikan permasalahan tersebut sesegera mungkin.”
(Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
3 Dalam kitab Fashl al-Khithâb fî Mawâqif al-Ashhâb, Muhammad Shalih Ahmad
al-Gharsi berkata, ”Muawiah sendiri ketika dihadapkan dengan permasalahan
ini dia tidak dapat melakukan apa-apa kecuali berpendapat seperti pendapat
Ali. Tidak mungkin membunuh orang tanpa ada landasan hukum yang jelas.”
148
Ali bin Abi Thalib
Ibnu Sa‘ad dalam Ath-Thabaqât al-Kubrâ setelah menye-
butkan beberapa nama-nama sahabat yang membaiat Ali
dan menyebutkan seluruh nama-nama sahabat yang ada
di Madinah, dia berkata, ”Thalhah dan Zubari pergi ke
Makkah bersama Aisyah. Kemudian dari Makkah mereka
pergi ke Basrah untuk menuntut pembunuh Utsman. Ali
mendengar kabar mereka dan Ali dari Madinah langsung
menuju Irak serta mewakilkan urusan Madinah kepada Sahal
bin Hunaif.
4
Kemudian Ali menulis surat kepadanya supaya
dia menjumpainya dan menyerahkan urusan Madinah
kepada Abu Hasan al-Mazni. Dia singgah di tempat Dza
Qar dan mengutus Ammar bin Yasir serta Hasan bin Ali
ke Kufah untuk menggiring massa bersamanya. Mereka
semua menjumpai Ali dan mereka menuju Basrah. Bersama
pasukannya Ali bertemu dengan Thalhah, Zubair, dan Aisyah
dalam pertempuran Jamal
5
, pada bulan Jumadil Akhir tahun
36 H. Ali memenangkan pertempuran tersebut, korban yang
meninggal berjumlah 13.000 orang.
6
Ali tinggal di Basrah
selama 15 hari dan setelah itu barulah dia pergi ke Kufah.
(Ath-Thabaqât al-Kubrâ)
Kawan-kawannya Ali meminta kepadanya supaya harta
dari pasukan Thalhah dan Zubair dibagikan kepada mereka. Ali
menolaknya dan mencelanya. Mereka berkata, ”Bagaimana ini,
4 Sahal bin Hunaif al-Anshari al-Ausi, Abu Sa‘ad, seorang sahabat yang ter-
dahulu mengikuti Perang Badar, Uhud, dan semua peperangan. Setelah
hijrah, Nabi saw. mempersaudarakannya dengan Ali bin Abi Thalib. Setelah
pertempuran Jamal, Ali menugaskannya untuk memimpin Basrah. Kemudian
Ali mengangkatnya sebagai Gubernur Syam, untuk menggantikan Muawiah.
Bersama Ali, Sahal mengikuti peperangan Shifn. Sahal meninggal di Kufah
dan Ali menyalatkannya. Dalam kitab Hadits dia menyumbangkan 40 hadits.
(Al-A‘lâm, Zarkasyi)
5 Disebut Perang Jamal (Unta) karena pada saat itu Aisyah memimpin pasukan di
dalam sekedup di atas unta.
6 Dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah disebutkan jumlah korban lebih sedikit, yaitu
10.000 orang.
149
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
darah mereka saja halal bagi kami, sedang kan harta mereka
tidak halal?” Perkataan tersebut sampai kepada Ali dan dia
berkata, ”Siapa di antara kalian yang ingin mendapatkan
Ummul Mukminin (Karena dia menjadi tawanan)?” Maka
semuanya terdiam. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Penghormatan Ali kepada Aisyah
Ali sangat menghormati Aisyah dalam segala keadaan.
Para ahli sejarah berkata, ”Ali melepaskan Aisyah dan kaum
laki-laki yang ditawan. Ali menunjuk 40 perempuan dari
penduduk Basrah yang baik untuk membantu Aisyah.
Ali juga memberikan 12.000 dinar kepadanya. Abdullah
bin Ja‘far bin Abi Thalib masih menganggap sedikit dan
dia menyiapkan harta yang sangat banyak untuknya. Dia
berkata, ”Jika Ali tidak memperkenankannya, maka tidak
masalah.” Pada hari kepergian Aisyah, Ali mendatanginya
dan berdiri di sampingnya, orang-orang juga hadir. Aisyah
mengucapkan selamat tinggal dan berkata, ”Wahai anak-
anakku, janganlah kita saling mencela. Demi Allah, antara
aku dan Ali dulunya seperti perempuan dan pamannya.
Jika hendak mencela, celalah aku.” Ali berkata, ”Dia benar,
antara aku dan dia seperti itu. Aisyah adalah istri Nabi kalian
di dunia dan di akhirat.” Beberapa mil Ali mengantarkannya
dan Ali menyuruh anaknya untuk mendampinginya. Itu pada
hari Sabtu awal bulan Rajab tahun 36 H. (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Beberapa riwayat yang mutawatir menyebutkan penye-
salan Aisyah, dia berkata, ”Andaikata aku meninggal sebelum
Perang Jamal.” Dan, ketika Aisyah sedang meng ingat peris-
tiwa itu, dia menangis hingga membasahi kerudungnya.
150
Ali bin Abi Thalib
Setelah pertempuran Jamal, Ali berjalan di antara
korban. Setiap kali dia melihat korban yang diletakkan dan
dia mengenalnya, Ali berkata, ”Mereka mendakwakan bahwa
dia keluar bersama orang-orang yang lalai. Si ini dan itu juga
demikian.” Kemudian dia menyalatkan para korban dan
memerintahkan untuk menguburkan mereka. (Muhâdharât
Târîkh al-Umam al-Islâmiyyah)
Adapun Zubair, setelah pertempuran dia pulang dan
singgah di Wadi Siba‘. Dia diikuti oleh seorang yang bernama
Amru bin Jarmuz. Ketika Zubair tidur, Amru bin Jarmuz
mendatanginya dan membunuhnya. Adapun Thalhah,
dia terluka karena terkena panah, (dikatakan bahwa yang
memanahnya adalah Marwan bin Hakam). Thalhah banyak
mengeluarkan darah dan dia berada di sebuah rumah di
Basrah. Maka dia meninggal di sana. (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Dikatakan bahwa Thalhah meninggal di pertempuran.
Pada saat Ali berjalan di antara korban dan melihatnya,
Ali mengusap wajahnya, membersihkannya dari debu, dan
dia berkata, ”Semoga Allah SWT merahmatimu, wahai
Abu Muhammad. Aku senang karena dapat melihatmu
bersinar di langit.” Ali juga berkata, ”Kepada Allah SWT aku
mengadukan kerumitan masalah ini. Demi Allah, sungguh
aku lebih suka jika aku meninggal 20 tahun yang lalu sebelum
kejadian ini.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Amru bin Jarmuz membawa kepala Zubair dan
mempersembahkannya kepada Ali. Dia meminta izin untuk
menemuinya, maka Ali berkata, ”Jangan izinkan dia, berilah
kabar gembira kepadanya dia mendapatkan neraka.” Dalam
riwayat lain Ali berkata, ”Aku mendengar Rasulullah saw.
151
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
bersabda, ’Berilah kabar gembira kepada pembunuh Ibnu
Shaah, bahwasanya dia mendapatkan neraka.’” (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
Pertempuran Jamal layaknya air mendidih yang bergejolak,
lalu menjadi tenang. Adapun pertempuran Ali dengan
Muawiah seperti mempertemukan dua pasukan yang sama-
sama kuat. Permasalahan ini akan dibahas setelah ini.
Antara Ali dan Muawiah
Pada tahun 36 H, Ali bin Abi Thalib memilih wali untuk setiap
daerah kekuasaan. Ali memerintahkan Sahal bin Hunaif agar
menggantikan posisi Muawiah di Syam, sebagai pemimpin
di sana. Sahal pun pergi ke Syam, ketika sampai tabuk dia
berjumpa dengan pasukannya Muawiah. Mereka berkata,
”Siapa Anda?” Sahal berkata, ”Aku pemimpin wilayah?”
Mereka bertanya, ”Wilayah mana yang kamu pimpin?”
Sahal berkata, ”Syam.” Mereka berkata, ”Jika Utsman yang
mengutusmu maka dengan lapang hati kami menerimamu,
tetapi jika bukan Utsman yang mengutusmu maka pergilah.”
Dia berkata, ”Tidakkah kalian mendengarkan yang aku
bicarakan?” Mereka menjawab, ”Ya.” maka Sahal kembali
kepada Ali.
Muawiah mengirimkan gulungan bersama beberapa
orang. Mereka sampai kepada Ali dan Ali berkata, ”Apa
yang membawamu ke sini?” Dia berkata, ”Aku datang
mewakili kaum yang hanya menginginkan qishash (terhadap
pemberontak). Mereka semua dalangnya, aku meninggalkan
70.000 kaum renta yang menangis di bawah jubah Utsman
152
Ali bin Abi Thalib
yang terletak di mimbar Damaskus. Ali berkata, ”Aku ter-
bebas dari darah Utsman.”
Ali memiliki keinginan untuk memerangi kaum Syam.
Dia berkhotbah dan menyeru kaumnya untuk turut
berperang. Mereka bersiap-siap dan keluar dari Madinah.
Ali menyerahkan urusan Madinah kepada Qutsam bin
Abbas. Ali bersikeras untuk memerangi siapa saja yang
membangkang dan yang tidak membaiatnya. Hasan datang
kepadanya dan berkata, ”Wahai bapakku, tinggalkanlah
ini. Karena ini akan menumpahkan darah kaum muslim dan
akan terjadi perselisihan pemikiran antara mereka.” Ali
tidak menerima pendapat Hasan dan dia bersikeras untuk
memerangi mereka serta dia mengatur pasukan. Semua
sudah siap, tinggal keluar dari Madinah dan menuju Syam,
hingga datang urusan yang membuatnya sibuk. (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
Pada saat itu, setelah Perang Jamal, Ali berada di Basrah
dan mengabarkan bahwa dia akan memulangkan Ummul
Mukminin, Aisyah ke Makkah. Selanjutnya dari Basrah dia
ke Kufah. Ali sampai ke Kufah pada hari Senin 12 Rajab 36
H. Dikatakan kepadanya, ”Singgahlah di Qashr Abyadh.”
Dia lalu menjawab, ”Tidak, Umar dulu tidak suka singgah di
situ, dan aku juga tidak suka.” Dia disambut dan shalat dua
rakaat di Masjid besar. Setelah itu dia berkhotbah, mengajak
masyarakat untuk berbuat baik dan melarang mereka berbuat
buruk. Ali mengutus Jarir bin Abdullah kepada Muawiah agar
membawakan suratnya.
Dalam surat tersebut Ali menyampaikan, ”Kaum yang
telah membaiat Abu Bakar, Umar, dan Utsman telah mem-
baiatku. Bagi orang yang hadir itulah pilihannya, begitu
153
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
juga bagi orang yang tidak hadir tidak bisa membantah
keputusan itu. Permusyawaratan adalah dari kalangan
Muhajirin dan Anshar. Jika mereka telah bersepakat kepada
salah seorang untuk menjadi pimpinan maka itulah yang
diridhai karena Allah. Jika ada seorang yang keluar dari
urusan mereka dengan celaan atau hal baru maka mereka
meluruskan kembali orang yang keluar tersebut. Jika dia
menolak untuk kembali maka mereka akan memeranginya
karena dia telah keluar dari jalur orang-orang yang
beriman. Semoga Allah SWT melindungi orang yang diberi
kekuasaan.” (Nahj al-Balâghah)
Perang Shiffin
Ali bin Abi Thalib berangkat dari Kufah menuju Syam.
Muawiah mendapat kabar bahwa Ali juga turut dalam pasukan
tersebut, maka dia menuliskan surat kepada prajuritnya yang
ada di Syam dan mereka datang semua. Panji-panji sudah
dikibarkan, masyarakat Syam sudah bersiap dan juga keluar
dari menjemput mereka melewati jalur ke arah Shifn. Ali dan
prajuritnya terus maju menuju Syam, mengutus Asytar an-
Nakh‘i menjadi pimpinan, dan berpesan kepadanya untuk
tidak memerangi sebelum mereka memulai. Akan tetapi,
menyeru mereka untuk berbaiat kepada Ali, dan jika mereka
menolak jangan diperangi sebelum mereka memulai. Jangan
mendekati mereka seperti orang yang hendak berperang
dan jangan menjauh dari mereka seperti orang yang takut.
Bertahanlah hingga mereka mendatangimu. Insya Allah aku
akan berada di belakangmu.
Ketika Asytar sampai pada tempat pertemuan (Shifn),
dia melakukan semua pesan Ali. Kedua pasukan terdiam
154
Ali bin Abi Thalib
dan penduduk Syam pergi pada waktu sore. Keesokan
harinya mereka masih menunggu. Menjelang malam di hari
kedua, mulai ada pertikaian. Pada hari ketiga Ali datang
dan Muawiah datang. Kedua pasukan saling berhadapan,
lalu saling menyerang dan peperangan saat itu sangat
sengit. Penduduk Irak menghalangi penduduk Syam untuk
mengambil air. Pada awalnya sumber tersebut dikuasai
penduduk Syam dan mereka melarang penduduk Irak
untuk mengambilnya. Kemudian Ali memerintahkan
supaya diperbolehkan semuanya untuk minum dari sumur
tersebut.
Ali berkata kepada para sahabatnya, ”Datangkan orang
ini dan suruhlah dia untuk taat dan berada dalam jamaah!
Dengarkanlah apa yang dikatakan kepada kalian!”
Muawiah bersikeras menuntut balas terhadap darah
Utsman yang dibunuh secara keji. Karena itulah terjadi
peperangan ini. Dalam sehari mungkin terjadi peperangan
dua kali. Ketika memasuki bulan Muharram mereka berhenti
dari peperangan dan semoga Allah mendamaikan urusan
mereka.
Hingga bulan Muharram telah lewat keduanya belum
melakukan perdamaian. Muawiah dan Amru bin Ash mem-
persiapkan pasukan. Ali juga mempersiapkan pasukan
dan berkata, ”Jangan memerangi sebelum mereka me-
mulai berperang, jangan mengikuti orang yang sudah
mundur, jangan membuka tempat perempuan, dan jangan
menghina.”
Peperangan kembali berkobar dalam dua hari dan pada
hari terakhir mereka saling berhenti. Di hari ketiga mereka
kembali berperang dan berakhir pada waktu malam. Begitu
155
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
juga di hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh belum
ada kubu yang kalah dan menang. Pasukan Syam sumpah
setia kepada Muawiah untuk berperang hingga mati. Ali
memotivasi pasukannya untuk terus sabar dan teguh. Asytar
an-Nakh‘i menyerang hingga berhasil menembus barisan
kelima yang bersumpah tidak akan pergi hingga mati, mereka
berada di sekitar Muawiah. Pasukan Irak berkumpul dan
menyatukan kekuatan hingga bisa mengendalikan keadaan.
Pada akhirnya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir, Ali
berhak memenangkannya.
Mereka masih berperang hingga pada hari Jum`at.
Mereka melakukan shalat shubuh dengan isyarat, karena
mereka dalam peperangan, hingga siang hari. Kemenangan
mengarah kepada pihak penduduk Irak atas Syam. Pada saat
mereka hampir terkalahkan, penduduk Syam mengangkat
mushhaf dengan tombak. Mereka berkata, ”Inilah yang
ada antara kami dan kalian. Semua telah binasa, siapa yang
berjihad, siapa yang musyrik, dan siapa yang kar?”
Ketika mushhaf diangkat, tentara Irak berkata, ”Kami
menjawab kitab Allah dan menyerahkannya kepadanya.”
Mus‘ir bin Fadzki at-Tamimi, Zaid bin Hushain ath-Tha`i,
dan para Qurra` yang bersama mereka berdua (setelah
ini menjadi Khawarij) berkata, ”Wahai Ali, jawablah kitab
Allah, ketika kamu diseru untuknya. Jika tidak begitu, kami
akan memusuhimu dengan segenap daya atau kami akan
melekukanmu seperti yang kami lakukan kepada Ibnu
Affan.” Ali berkata, ”Jagalah laranganku kepada kalian,
jagalah perkataan kalian kepadaku. Jika kalian masih taat
kepadaku maka berperanglah bersamaku. Akan tetapi, jika
kalian mendurhakaiku, lakukanlah sesuka kalian.” Asytar
156
Ali bin Abi Thalib
menasihati mereka, tetapi mereka mendebatnya, dan tidak
selesai.
Pada saat itu, semua kaum Irak dan Syam menghendaki
gencatan senjata dan perjanjian perdamaian. Setelah berko-
responden kedua kubu bersepakat berdamai dan ujungnya
adalah melakukan Tahkim, yaitu mengutus hakim dari masing-
masing kubu (Ali dan Muawiah) untuk menyelesaikan perse-
lisihan. Selanjutnya adalah kedua hakim tersebut bersepakat
dalam sebuah hal untuk kemaslahatan kaum muslim. Muawiah
menunjuk Amru bin Ash sebagai wakilnya. Sebenarnya Ali
menghendaki Abdullah bin Abbas untuk menjadi wakilnya,
tetapi para Qurra’ tidak menyetujuinya, mereka berkata, ”Kami
hanya mau Abu Musa al-Asy‘ari yang menjadi wakilmu.”
Tahkim
Pada saat itu, Abu Musa al-Asy‘ari sudah beri’tizal atau
mengasingkan diri, tidak ikut campur dalam permasalahan
pemerintahan. Datanglah beberapa utusan Ali kepadanya
dan berkata kepada Abu Musa bahwa orang-orang yang
bertikai telah melakukan gencatan senjata. Abu Musa lalu
berkata, ”Alhamdulillâh.” Dikatakan lagi kepadanya, ”Kamu
dijadikan hakim (dari kubu Ali).” Mendengar perkataan itu,
sontak dia mengucap, ”Innâ lillâhi wa Innâ ilaihi râji‘ûn.”
Kemudian mereka menemaninya hingga datang menghadap
Ali. Mereka berkoresponden dengan Muawiah. Kedua hakim
tersebut mengambil sumpah dari Ali dan Muawiah bahwa
keduanya dapat dipercaya atas diri mereka berdua dan
keluarganya serta kepada umat yang sedang mereka berikan
keputusan.
157
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Keluarnya Khawarij dari Barisan Ali
Asy‘ats bin Qais melewati di kerumunan orang-orang dari
Bani Tamim, dia membacakan kepada mereka sebuah surat.
Kemudian berdirilah Urwah bin Udzainah kepadanya dan
berkata, ”Apakah kalian menghukumi orang-orang dalam
agama Allah?” Kalimat ini dipegang oleh orang-orang
pendukung Ali dari para Qurra`. Mereka berkata, ”Tidak
ada hukum kecuali hukum Allah.” Pada saat itulah kelompok
tersebut keluar dari pemerintahan Ali, itulah slogan mereka
dan aqidah mereka.
Ali kembali ke Kufah. Ketika dia hampir sampai, ada
sekitar 12.000 prajuritnya meninggalkannya dan mereka
adalah khawarij. Mereka singgah di daerah yang bernama
Haraura’. Ali mengutus Abdullah bin Abbas kepadanya, untuk
berdebat dengan mereka, maka ada sebagian yang kembali
kepada Ali dan ada sebagian yang tetap tinggal di sana.
Mereka berjanji kepada sesama mereka untuk senantiasa
menjalankan amar makruf dan nahi munkar. Mereka juga
akan murka kepada Ali karena telah menetapkan hukum di
dalam agama Allah, padahal tidak ada hukum kecuali hukum
Allah.
Ibnu Jarir menyebutkan bahwa pada saat Ali berkhotbah,
berdirilah seorang khawarij dan bertanya, ”Wahai Ali, kamu
telah berserikat dengan seseorang dalam agama Allah,
padahal tidak ada hukum kecuali hukum Allah.” Dari segala
penjuru diserukan, ”Tidak ada hukum kecuali hukum Allah.”
(berkali-kali). Ali segera berkata, ”Ini adalah kalimat hak,
tetapi ditujukan untuk kebatilan.” Kemudian mereka semua
keluar dari Kufah dan mengarah ke Nahrawan.
158
Ali bin Abi Thalib
Dua hakim yang telah ditunjuk, Abu Musa dan Amru
bin Ash, berkumpul di Dumatul Jandal, tepatnya pada
bulan Ramadhan. Keduanya saling membuat kesepakatan
yang bisa diterima untuk kemaslahatan kaum muslim.
Mereka mendalami kadar perkara yang sedang terjadi dan
keduanya bersepakat untuk tidak meninggalkan Ali dan
Muawiah. Kemudian mereka menjadikan urusan itu dalam
permusyawaratan antara orang-orang, sehingga mereka
bersepakat dalam kemaslahatan. Amru bin Ash berusaha
meyakinkan Abu Musa untuk mencalonkan Muawiah
kepada orang-orang. Akan tetapi, Abu Musa menolaknya.
Keduanya bersepakat untuk menyerahkan urusan Ali
dan Muawiah kepada musyawarah di antara masyarakat,
sehingga mereka sendiri yang akan menentukan pimpinan
mereka.
Keduanya mendatangi tempat berkumpulnya orang-
orang. Amru bin Ash berkata kepada Abu Musa, ”Wahai
Abu Musa, mari kita umumkan kepada masyarakat apa yang
telah kita sepakati.” Abu Musa lalu berkhotbah, setelah
memuji Allah SWT dan bershalawat kepada Rasulullah
saw., dia berkata, ”Wahai sekalian masyarakat, kita telah
berdebat dalam permasalahan umat ini. Selama ini kita tidak
mendapatkan kemaslahatan, ada satu pendapat yang telah
aku setujui bersama Amru bin Ash, yaitu, kami menyerahkan
Ali dan Muawiah kepada permusyawaratan. Hendaknya
umat ini menerima urusan ini, maka hendaknya memilik
orang yang paling mereka sukai. Aku telah melepaskan
urusan Ali dan Muawiah.” Kemudian dia meninggalkan
tempat itu.
Setelah itu, Amru berdiri menggantikan posisi Abu
Musa, setelah memuji Allah SWT dia berkata, ”Kalian telah
159
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mendengarkan apa yang dikatakan tadi. Dia telah mele-
paskan urusan Ali dan aku juga telah melepaskan urusan
Muawiah. Aku mendukung Muawiah karena dia yang
akan menegakkan keadilan untuk Utsman dan yang akan
menuntut pembunuhnya, dia-lah orang yang tepat untuk
posisi ini.” Disebutkan bahwa Abu Musa berkata dengannya
dengan perkataan yang keras, Amru pun membalas
perkataannya dengan keras pula, sehingga Abu Musa malu
dengan Ali dan dia kembali lagi ke Makkah. (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
Perkara Khawarij ini semakin menjadi dan benar-
benar mengingkari Ali, bahkan mereka terang-terangan
mengarkan Ali. Salah satu pimpinan mereka berkata,
”Demi Allah wahai Ali, jika kamu tidak menghentikan
tahkim dalam agama Allah maka aku akan membunuhmu.
Aku melakukannya karena mencari ridha Allah.”
Kaum Khawarij berkumpul di rumah Abdullah bin
Wahab ar-Rasibi dan dia berkhotbah. Dalam Khotbahnya,
dia menyerukan untuk zuhud di dunia ini dan membuat
mereka menginginkan akhirat dan surga, serta menyeru
mereka untuk amar makruf dan nahi munkar. Kemudian
dia berkata, ”Keluarlah kalian bersama kami dari negeri
ini, yang masyarakatnya telah berbuat zalim hingga berada
dalam kubang, menuju suatu negeri yang berada di sebelah
gunung atau di kota-kota tersebut. Kita rebut kota tersebut
dan kota melindungi masyarakatnya.” Mereka lalu keluar
meninggalkan bapak, ibu, paman, dan seluruh keluarga
mereka. Mereka berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal
ini, mereka akan mendapatkan ridha dari Penguasa Langit
dan Bumi.
160
Ali bin Abi Thalib
Ali Menerima Usulan Tahkim dan Khawarij Keluar dari
Keputusan
Sebelum kita membicarakan Khawarij dan mengungkapkan
kepribadian mereka, aqidah mereka yang ekstrim, dan
mengkritiki mereka dalam ranah sejarah, kami akan menyu-
guhkan perkataan Abbas Aqqad mengenai sikap Ali
dan permasalahan yang dihadapinya dalam kitabnya Al-
‘Abqariyyâh al-Islâmiyyah. Dia berkata, ”Adapun orang-
orang mencela Ali, karena dia menerima tahkim. Kita dapat
menilai bahwa mereka terburu-buru dalam bereaksi. Mereka
adalah orang-orang pertama yang mencelanya dan mereka
berlebihan dalam mencela Ali. Pada dasarnya Ali bebas
memilih, antara menerima tahkim atau menolaknya. Akan
tetapi, Ali menerima tahkim tersebut setelah prajuritnya
menghentikan peperangan. Sungguh, hampir terjadi pepe-
rangan dalam pasukannya tersebut, antara yang menerimanya
dan yang menolaknya.
Sebagian ahli sejarah membenarkan pendapat Ali dalam
tahkim dan menyalahkannya ketika menerima Abu Musa al-
Asy‘ari. Adapun dia mengetahui bahwa Abu Musa adalah
orang yang lemah dan ragu-ragu. Ahli sejarah tersebut
barangkali melupakan bahwa Abu Musa al-Asy‘ari telah
ditentukan dari awal dia menerima tahkim. Mereka juga
lupa hal yang lebih penting dari kesemuanya itu, bahwa
hasil keputusan para wakil tahkim tersebut sama, baik yang
mewakili Ali adalah Abu Musa, Asytar atau Abdullah bin
Abbas. Karena, Amru bin Ash tidak melepaskan Muawiah
dan tidak mendukung Ali dalam kursi kekhalifahan. Singkat
kata, bahwa kedua wakil tersebut tidak dapat menemukan
titik temu, karena masing-masing dari keduanya mendukung
161
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
jagoannya, sehingga permasalahan tersebut akan berakhir
sama.
Para ahli sejarah yang mengkritik hal tersebut juga
tidak memiliki solusi yang lebih tepat daripada yang telah
dilakukan oleh Ali. Intinya akhir dari permasalahan ini tetap-
lah sama.”
Khawarij dan Saba’iyah
Dalam bab ini dan dalam menyebutkan permasalahan yang
dihadapi Ali, haruslah ditunjukkan adanya dua kelompok
yang muncul pada kekhalifahan Ali, yaitu Khawarij dan
Saba’iyah.
Khawarij
Khawarij menjadi sebuah lembaga yang memiliki cirikhas
tertentu, berlebih-lebihan, negatif, dan ekstrem. Dalam
agama-agama terdahulu atau sepanjang sejarah Islam
tidak ada kelompok yang berbentuk kelembagaan seperti
Khawarij ini. Beberapa ahli dalam bidang aliran kepercayaan
membahasnya.
Pada dasarnya mereka adalah prajurit Ali, mayoritas
mereka yang berasal dari Kabilah Tamim. Mereka menghidari
dari seseorang yang membuat hukum selain hukum Allah.
Mereka berpendapat bahwa tahkim adalah salah, karena
hukum Allah sudah sangat jelas. Dalam tahkim membuat
ragu dua kelompok yang saling berselisih, manakah di antara
keduanya yang lebih berhak. Hal itulah yang bergejolak
dalam jiwa mereka, sehingga salah seorang dari mereka
merangkumnya dalam sebuah kalimat, ”Tidak ada hukum
kecuali hukum Allah.” Secepat kilat banyak orang yang
162
Ali bin Abi Thalib
mengikuti pendapat ini dari segala penjuru. Kalimat tersebut
menjadi slogan dari kelompok ini. Mereka juga disebut
”Syurat” atau yang membaiat diri mereka sendiri karena
Allah, terambil dari rman Allah Surah al-Baqarah ayat 207.
Mereka bertempur melawan Ali pada pertempuran
Nahrawan. Mereka berhasil dikalahkan dan banyak yang
meninggal dari kelompok mereka. Hal itu tidak membuat
mereka berhenti bertindak. Akan tetapi, malah menambah
kebenciannya kepada Ali. Hingga mereka merencanakan
pembunuhan terhadap Ali. Pada akhirnya, Ali berhasil di-
bunuh oleh Abdurrahman bin Muljam.
Budak-budak yang telah dibebaskan banyak yang
masuk kelompok ini, oleh karenanya Khawarij memiliki
budaya seperti Badui, baik dan buruknya. Mereka sering
menentang pemimpin, berpisah dari jamaah muslimin,
sempit dalam berpikir, dan yang ada dalam pikiran mereka
adalah mengalahkan penentang mereka. Dengan demikian,
mereka menjadi sangat berani, ganas dalam berbicara,
dan bertindak. Mereka mudah membaiat untuk keyakinan
mereka, tidak makan dari kurma yang jatuh dari pohonnya,
karena belum diizinkan oleh pemiliknya. Mereka mudah
membunuh orang-orang muslim, termasuk orang yang
tidak sependapat dengannya. Abdurrahman bin Muljam
berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib, lalu dia terus
membaca Al-Qur`an. Dia ingin memotong lidahnya karena
dia sedih. Dikakatakan kepadanya,”Kenapa kamu sedih?”
Dia menjawab, ”Aku tidak suka tinggal di daerah yang tidak
beradab.” Sebagaimana seorang dari mereka (Abu Hamzah)
berkata, ”Masa muda, demi Allah mereka menikah pada usia
muda mereka, menahan dari keburukan matanya, kakinya
163
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
tidak melangkah pada kebatilan, menghabiskan waktunya
untuk beribadah, dan menegakkan malam mereka.” (Al-
Kâmil)
Kedua kelompok yang menyimpang tersebut merupakan
pembenaran atas sabda Rasulullah saw., yang diriwayat-
kan oleh banyak rawi dari Haris bin Hushair dari Abu
Shadiq dari Rabi‘ah bin Najid dari Ali, berkata, ”Rasulullah
saw. memanggilku dan beliau berkata, ’Isa bin Maryam
adalah permisalan untukmu, yaitu kaum Yahudi marah
kepadanya hingga menuduh ibunya. Adapun Umat Nasrani
mendudukkannya pada posisi yang tidak sewajarnya.’” Ali
berkata, ”Ketahuilah bahwa ada dua golongan yang rusak
dalam menilaiku. Pertama, orang yang berlebihan dalam
mencintaiku, memujiku dengan pujian yang tidak selayaknya
untukku. Kedua, orang yang membenciku hingga membuat
kebohongan atasku. Ketahuilah aku bukanlah seorang Nabi
dan aku tidak menerima wahyu. Akan tetapi, aku beramal
sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya semampuku.
Jika aku memerintahkan kalian untuk taat kepada Allah SWT,
maka kalian harus menaatiku, baik kalian suka maupun tidak
suka.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Saba`iyah
Abbas Aqqad berkata, ”Adapun Saba`iyah adalah pengikut
Abdullah bin Saba`, yang terkenal dengan nama As-Sauda`.
Dia adalah seorang Yahudi, putra dari Zinjiyyah, lahir di
Yaman. Pemahaman yang dianutnya adalah mazhab raj‘ah,
yaitu pendapat yang terkumpul kepadanya, antara pendapat
Yahudi yang menyatakan akan muncul penyelamat dari
keturunan Nabi Daud, pendapat Hindu yang menyatakan
bahwa tuhan mewujudkan diri dalam tubuh manusia, dan
164
Ali bin Abi Thalib
juga pendapat Nasrani yang menyatakan munculnya Al-
Masih, serta perkataan Persi yang menyatakan kesucian
orang-orang dekatnya raja.”
Abbas Aqqad juga berkata, ”Kelompok Saba`iyah ini
muncul di Yaman dan memiliki keyakinan kecintaan terhadap
Ali dengan sangat berlebihan hingga menjadikannya dalam
posisi kudus. Penyebarannya sampai ke Mesir dan Persia,
merupakan cikal bakal Syiah Fatimiyah dan Syiah Imamiyah
setelah beberapa generasi.” (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiah)
Bukunya Rijal Kasyi, yaitu salah satu buku terpercaya
bagi Syiah yang memuat biogra beberapa tokoh. Pada
bagian Abdullah bin Saba` disebutkan di sana, ”Dialah orang
pertama yang terkenal dengan wajibnya Ali sebagai Imam.
Dia menunjukkan sikap yang lepas dari musuh Ali, dia mem-
buka semua orang yang menentang Ali, dan mengarkan
mereka. Dari sinilah orang yang menentang Syiah berkata,
bahwa Syiah ini berasal dari Yahudi.”
Abdullah bin Saba` dan para pengikutnya sangat
berlebihan dalam memuliakan Ali. Pada suatu ketika mereka
mendakwakan bahwa Ali adalah Nabi, kemudian setelah
itu mereka mendakwakan bahwa Ali adalah tuhan. Mereka
menyerukan keyakinan mereka tersebut kepada masyarakat
Kufah, hingga Ali mendengarkan kabar mengenai mereka,
maka Ali memerintahkan untuk membakar mereka dalam
dua kubangan. Kemudian sisanya tidak dibakar karena
dikhawatirkan akan ada perlawanan dari suatu kaum.
Ibnu Saba` mengasingkan diri di sebuah kota. Ketika
Ali terbunuh dia berseru bahwa yang terbunuh bukanlah
Ali, tetapi Ali naik ke langit seperti Isa bin Maryam naik ke
langit. Beberapa orang Saba`iyah berkata bahwa Ali berada
165
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
di awan dan petir adalah suaranya. Dengan demikian, jika
mendengar petir, mereka berkata, ”‘Alaikas salâm Amîril
Mu‘minîn (Keselamatan atasmu, wahai Amirul Mukminin,
Ali).” Ketika dikatakan kepada Ibnu Saba` bahwa Ali telah
meninggal dia berkata, ”Jika kalian membawa otaknya di
dalam sebuah keranjang kepada kami maka kami tidak akan
memercayai kematiannya. Dia tidak akan meninggal hingga
dia turun dari langit dan menguasai seluruh dunia.” (Dâirah
Ma‘ârif al-Qarn al-‘Isyrîn)
Adapun yang telah kami ketahui dan kami pelajari dalam
sejarah, tidak ada satu kelompok persekongkolan yang
tingkat keberhasilannya melebihi yang sudah dicapai oleh
Abdullah bin Saba`. Ada beberapa unsur yang membentuk
pemikirannya tersebut, yaitu keturunan (gen), pribadi,
dan agama. Di antaranya juga adalah menyukai yang
susah dibanding yang mudah, lebih menyukai yang rumit
daripada yang jelas. Hal itu disebutkan di dalam Al-Qur`an,
dalam perkataan mereka, ”Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak
perjalanan kami.” (QS Saba` [34]: 19), itulah sikap turunan
dari para leluhurnya. Disamping itu, ada unsur pribadi, yaitu
dia adalah orang yang kekurangan anak dari Zanjiah yang
terkenal dengan Ibnu Sauda`. Selanjutnya, unsur agama
yang memberikan sumbangan terhadap pemikirannya
tersebut adalah akal Yahudi yang sudah terkenal peranan-
nya sepanjang sejarah, seperti perencanaan pemusnahan
sebuah masyarakat, etika, dan kebudayaan serta bisa
menggiring kecenderungan masyarakat untuk melakukan
pemberontakan.
Unsur-unsur tersebut menyatu dalam sebuah pemi-
kiran ekstrem sehingga terciptalah keyakinan pengkudusan
166
Ali bin Abi Thalib
dan penuhanan pada seseorang. Ali adalah seorang yang
dirasa tepat untuk menjalankan pergerakan pemberontakan
rahasia ini. Karena Ali memiliki hubungan dekat dengan
Nabi Muhammad saw. dan termasuk kerabatnya. Selain itu,
Ali memiliki kemuliaan dan kecerdasan maka seruan tersebut
mengundang masa yang banyak.
ALI BIN ABI THALIB:
KHAWARIJ DAN AHLI SYAM
MENGHARAPKAN KEMATIAN ALI
168
Ali bin Abi Thalib
Antara Khawarij dan Ahli Syam
Ali diuji dengan ujian yang sangat berat. Pertama, dia harus
memerangi ahli Syam, sedangkan pendukungnya tidak
memiliki semangat dan keyakinan sebagaimana yang dimiliki
ahli Syam. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tabiat dan
persiapan tentara.
Setiap dari dua wilayah tersebut memiliki sejarahnya
yang membentuk tabiat dengan kuat. Syam berada dalam
wilayah Yazid bin Abu Sufyan, lalu berada dalam genggaman
saudaranya, Muawiah bin Abu Sufyan dalam jangka waktu
lama. Sebelum Islam, wilayah tersebut berada sepenuhnya
di bawah kekuasaan Bizantium. Urusan tata negara dan
perpolitikan berjalan dengan lancar. Dibandingkan orang-
orang semasanya, Muawiah memiliki kelebihan dalam
kecerdasan, kelembutan, supel, membuat senang orang
dengan hukum, pemberian, dan sebuah urusan. Dia juga
memperhatikan urusan yang sedang berlangsung serta
memberikan hak kepada pemiliknya.
Adapun Irak selama berabad-abad berada dalam
kekuasaan kerajaan Sasanian, Kiyanian dan Iranian. Ketika
dalam kekuasaan Iran, rajanya berganti-ganti dalam waktu
yang berdekatan. Pengganti kaisar Anursyirwan (531-579
M) adalah kaisar Apris (590-628 M), dia dikalahkan oleh
Imperealisme Hiraql dan diturunkan serta dibunuh oleh
Sairus dan Syiruwiah pada tahun 628 M. Peninggalan Iran
hanya bertahan dari tahun 628 hingga tahun 632 M, sampai
berkuasanya Yazdajraj Tiga al-Hakim. Pada saat itu, terjadi
kerusuhan dan keadaan tidak stabil. Setelah itu yang
menguasai kerajaan Apris adalah Qabadz yang bergelar
Syiruwiah. Kaisar sebelumnya dibunuh dengan hina atas
169
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
perintah dari Syiruwiah tahun 628. Kerajaan Apris hancur
lebur setelah kematiannya, sehingga djadikan mainan oleh
keluarga al-Hakim.
Syiruwiah hanya bertahan hidup selama enam bulan.
Dalam rentang empat tahun, kerajaan tersebut sudah di-
gantikan oleh 10 raja. Dengan demikian, kekuatan kerajaan
tersebut goncang dan masyarakat mengadakan pem-
berontakan serta itulah akhir dari kerajaan Bani Sasan.
Pengaruh dari kelemahan dan situasi pada saat itu, Buran
putri Apris menjadi Raja setelah Syahriraz, kekuasaannya
hanya satu tahun empat bulan.
Kemudian perbedaan antara dua wilayah tersebut juga
dilandaskan kepada tabiat setiap wilayah tersebut. Syam
sebagian besar berada di sebelah Barat dan Utara, mereka
memiliki tabiat untuk taat dan menghormati. Kemudian
Irak berada di wilayah bagian Timur, tabiat mereka sulit
menerima orang lain dan pemikiran mereka rumit, sehingga
pada saat Abu Bakar mereka adalah orang yang tidak mau
membayar zakat. Selain itu, mereka memiliki keberanian
yang tangguh.
Dr. Ahmad Amin berkata, ”Pada zaman dahulu, Irak
tidak menerima agama dan aliran yang aneh. Telah beredar
di antara mereka ajaran Manu, Mazdak, dan Ibnu Dishan,
seperti yang kamu lihat. Di antara mereka ada Nasrani dan
Yahudi yang mendengarkan berbagai macam aliran yang
memiliki pemahaman bahwa Allah SWT berinkarnasi pada
manusia.” (Fajru al-Islâm)
Arab datang ke Irak dengan fanatis Yaman dan Nazari.
Masyarakat dataran lembah sungai Eufrat memeluk Nasrani
170
Ali bin Abi Thalib
dan Ashma‘i pernah berkata bahwa merekalah otak dari
tnah yang beredar. (Târîkh al-Adab al-Arabi)
Aqqad menunjukkan pokok terjadinya pertentangan antara
prajuritnya Ali dan prajuritnya Muawiah dengan sangat
detail. Dia berkata, ”Bahwasanya yang sangat mengheran-
kan adalah pada keadaan tenteram atau kacau kedua
kelompok ini sangat bertolak belakang. Satu kelompok
memiliki unsur mendukung terhadap aturan masyarakat dan
ingin mempertahankan kelompoknya serta membelanya.
Pada kelompok satunya, memiliki unsur menentang aturan
masyarakat dan ingin menghancurkannya. Kelompok
yang mendukung peraturan masyarakat, adalah kelompok
Muawiah bin Abu Sufyan di Syam dan sekitarnya. Adapun
kelompok yang menentang aturan masyarakat adalah
kelompok Ali bin Abi Thalib di seluruh Jazirah Arab.” (Al-
‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Pada saat itu, Ali bertekad untuk pergi ke Syam, tetapi
kaum Khawarij menentangnya. Ali pergi bersama pasukan
dalam jumlah besar dari Kufah ke Nukhailah. Di sana
Amirul Mukminin berkhotbah dan mengajak mereka untuk
berjihad serta bersabar ketika menghadapi musuh, dan
tekadnya untuk menuju Syam sangat kuat. Saat seperti itu,
dia mendapatkan kabar bahwa Khawarij telah membuat
kerusuhan, membunuh, membegal, dan menghalalkan yang
haram. Oleh karena itu, Ali mengirim utusan kepada kaum
171
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Khawarij dan pada saat utusan itu datang, mereka langsung
membunuhnya. Ali mendapatkan kabar tersebut, maka dia
pergi kepada mereka sebelum pergi ke Ahli Syam.
Ali pun pergi menemui mereka, memperingatkan mereka,
memberikan ancaman kepada mereka, dan saling berjanji.
Dia berkata, ”Kalian mengingkari urusanku, karena kalian
menyeru kepadaku pada satu hal dan aku menolaknya.”
Khawarij berkumpul di sekeliling Ali dan berkata, ”Tidak ada
hukum kecuali hukum Allah. Mari menuju surga.” Kemudian
orang-orang bangkit membawa senjatanya masing-masing
dan pada saat itulah terjadi perang, yaitu pada tahun 37 H.
(Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Menuju ke Syam dan Ahli Irak Beralasan dalam
Berperang
Setelah Ali pergi dari Nahrawan, dia berdiri di hadapan
orang-orang dan berkhotbah. Setelah memuji Allah dan
bershalawat kepada Rasulullah saw., dia berkata, ”Ammâ
ba‘du. Sesungguhnya Allah SWT telah menguatkan keme-
nangan kalian. Oleh karena itu, secepatnya kalian menuju
kepada musuh kalian, yaitu Ahli Syam.” Kemudian mereka
menghadapnya dan berkata, ”Wahai Amirul Mukminin, anak
panah kami sudah habis dan pedang kami sudah tumpul.
Maka pergilah bersama kami ke tempat hingga kami memiliki
persiapan yang lebih baik.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Mereka terus berlaku demikian. Ibnu Jarir menyebutkan
bahwa ketika Ahli Irak tidak mau berangkat ke Syam, Ali
berkhotbah dan mencela sekaligus mengancam mereka.
Ali membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan Jihad,
menyeru mereka untuk pergi ke Syam. Namun, mereka
172
Ali bin Abi Thalib
enggan dan tidak menyetujui pendapatnya, sehingga mereka
pergi berpencar ke sana dan ke sini. Maka, Ali mengunjungi
Kufah.
Memasuki tahun 39 H, Muawiah sudah menyiapkan prajurit
yang banyak dan dia membaginya beberapa kelompok
untuk masing-masing pasukan Ali. Karena Muawiah sudah
mengetahui, bahwa prajurit Ali dari Ahli Irak tidak patuh
kepadanya, maka prajurit Muawiah menyerang ‘Ainut Tamr,
Anbar, Taima`, Tadmur, Zhahrul Wahan, Taqa‘us, dan Irak.
Disana terlihat bahwa kedudukan Ahli Irak sangat lemah,
karena mereka beralasan, tidak ada kesungguhan dan tekad
dalam diri mereka. Keadaan tersebut membuat Ali merasa
tersakiti. Ketika pasukan Muawiah sudah melewati Anbar
dan berhasil membunuh stafnya yang bernama Hassan bin
Hassan, dia keluar dalam keadaan marah dan menyeret
bajunya hingga dia sampai di Nukhailah dan orang-orang
mengikutinya. Kemudian dia berkhotbah dengan khotbah
yang sangat membekas di jiwa para prajuritnya, dengan
sastra yang sangat tinggi dan tidak banyak orang yang bisa
berkata demikian. Setelah memuji Allah dan bershalawat,
dia berkata:
Ammâ Ba‘du. Sungguh, jihad adalah salah satu pintu-
pintu surga. Siapa saja yang meninggalkannya lantaran benci
maka Allah akan menghinakannya dan merendahkannya.
Siang dan malam, secara sembunyi dan terang-terangan, aku
menyeru kalian untuk memerangi mereka. Aku berkata kepada
kalian, ’Perangilah mereka sebelum mereka memerangi
173
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kalian.’ Demi jiwaku yang ada di dalam genggamannya,
tidaklah suatu kaum yang menginginkan berada di bagian
tengah rumahnya, kecuali kehinaan yang didapat. Kalian
lemah, malas, enggan menjalankan perintahku dan menga-
baikannya, hingga kalian diserang.
Inilah saudara Ghamid, kudanya sudah sampai ke Anbar.
Mereka membunuh Hassan bin Hassan, kaum laki-laki, dan
perempuan. Demi jiwaku yang ada di dalam genggamannya,
aku telah mendapatkan kabar bahwa mereka merampas
perhiasan perempuan muslim dan perempuan yang dilin-
dungi, lalu mereka pergi, tanpa ada seorang yang berkata
kepada mereka. Jika ada seorang muslim yang meninggal
tanpa berbelas kasihan dengan hal tersebut maka aku
tidak ada salah terhadap orang tersebut tetapi sudah ke-
harusanku.
Sungguh, betapa mengherankan, berbangga diri dapat
mematikan hati dan menyibukkan pikiran, membuat selalu
bersedih. Itulah yang terjadi pada mereka yang telah berbuat
batil. Kegagalanmu adalah hakmu hingga kalian memiliki
tujuan yang jelas. Kalian dilempari dan tidak melempari.
Kalian cemburu, tetapi kalian tidak mau berubah. Mereka
bermaksiat kepada Allah SWT karena kalian, tetapi kalian
meridhai mereka.
Jika pada musim dingin, aku berkata kepada kalian,
”Perangilah mereka.” Kalian berkata, ”Ini adalah musim
dingin dan sulit.” Jika pada musim panas, kalian berkata, ”Ini
udara yang sangat panas. Sungguh, udara panas inilah yang
menghalangi kami.” Jika dengan panas dan dingin kalian
menghindar, maka demi Allah, kalian akan lebih menghindari
pedang.
174
Ali bin Abi Thalib
Wahai kalian yang menyerupai laki-laki dan bukan laki-
laki, yang mengganggu angan-angan dan yang senantiasa di
rumah. Demi Allah, kalian telah merusak siasat peperanganku,
dengan kalian tidak menuruti perintahku. Kalian membuat
mulutku harus marah, hingga orang-orang Quraisy berkata,
”Sungguh, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang pemberani,
tetapi dia tidak memiliki siasat peperangan.” Betapa hebat
mereka dan yang lebih mengetahuinya daripada aku. Demi
Allah, aku telah menyeru kepada para prajurit dan yang
berkumpul tidak lebih dari 20 orang. Adapun hari ini yang
berkumpul 60 orang. Akan tetapi, aku tidak ada urusan
dengan orang yang tidak menaati. Dia mengatakannya tiga
kali. (Al-Kâmil)
Syahidnya Ali
Ibnu Katsir berkata, ”Ali seakan dihadang oleh beberapa
permasalahan; pasukannya terus memojokkannya, Ahli
Irak menyelisihinya, dan tidak mau berjuang bersamanya.
Permasalahan Ahli Syam juga semakin memburuk dan
melebar ke kanan dan ke kiri. Pada saat itu Amir di Irak adalah
Ali bin Abi Thalib, seorang yang terbaik di dunia pada zaman
itu, paling rajin beribadah, paling zuhud, paling mengetahui,
dan paling takut kepada Allah. Meskipun demikian, mereka
meremehkannya hingga dia menginginkan kematian. Dia
berkata, ’Demi Allah, ini akan disemir.’ Dia menunjukkan
kepada jenggotnya. Hal itu menunjukkan kesedihannya.”
(Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Katsir juga berkata: Ada sebuah kabar bahwa ada
tiga orang Khawarij berkumpul, mereka adalah Abdurrahman
(yang dikenal dengan Ibnu Muljam al-Himyari, lalu al-Kindi),
Al-Burak bin Abdullah at-Tamimi, dan Amru bin Bakar at-
175
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Tamimi. Saat berkumpul mereka menyebutkan bahwa mereka
dari Nahrawan merencanakan pembunuhan Ali. Dengan
demikian, mereka memuji mereka (dari Nahrawan), dan
berkata, ”Jika kita mengorbankan diri kita dan membunuh
imam-imam sesat tersebut maka kita bisa membuat negara
itu tenang. Selain itu, kita telah membalaskan dendam
saudara-saudara kita.” Ibnu Muljam berkata, ”Aku akan
membunuh Ali bin Abi Thalib.” Al-Burak berkata, ”Aku akan
membunuh Muawiah.” Amru bin Bakar berkata, ”Aku akan
membunuh Amru bin Ash.” Mereka mengikat janji dan tidak
akan meninggalkan saudaranya hingga membunuh targetnya
atau terbunuh. Mereka mengambil pedang mereka dan
memberi racun padanya. Mereka bersiap-siap untuk tanggal
17 Ramadhan, masing-masing orang sudah berada di daerah
sasaran.
Ibnu Muljam pergi ke Kufah dan menutupi urusannya,
bahkan kepada sesama orang Khawarij. Pada saat itu, malam
Jum‘at tanggal 17, dia duduk menghadap gang tempat
keluarnya Ali. Ketika Ali keluar, dia membangunkan orang-
orang untuk shalat, Ali berkata, ”Shalat, shalat.” Kemudian
Ibnu Muljam memukulkan pedangnya di bagian kepalanya
dan darahnya pun mengalir. Ketika memukulkan pedang,
Ibnu Muljam berkata, ”Tidak ada hukum kecuali hukum
Allah. Bukan kamu yang menetapkan hukum bukan pula
sahabat-sahabatmu.”Ali berkata, ”Laknat Allah atasmu.”
Ibnu Muljam berhasil ditangkap dan dibawa ke Ja‘dah
bin Hubairah bin Abu Wahab. Ali shalat Shubuh bersama
orang-orang, lalu dibawa ke rumahnya. Dia berkata, ”Jika
aku meninggal, bunuhlah dia. Jika aku masih hidup, aku
lebih tahu apa yang harus aku perbuat.” (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
176
Ali bin Abi Thalib
Ketika dia dibawa ke hadapan Ali, maka Ali berkata,
”Penjarakan dia dan berbuat baiklah kepadanya. Jika aku
masih hidup, akan aku pertimbangkan untuk memaafkannya
atau mengqishashnya. Jika aku meninggal maka qishashlah
dia. Jangan kalian mencontohnya.” (Al-Jauharah fî Nasab
an-Nabiyyi wa Ashhâbihi al-‘Asyrah)
Ali memberi wasiat panjang kepada Hasan dan Husain,
dan di akhir wasiatnya dia berkata, ”Wahai keturunan Abdul
Muthalib, jangan pernah menumpahkan darah seorang
mukmin. Kalian berkata bahwa Amirul Mukminin telah ter-
bunuh, tetapi jangan kalian membunuh kecuali orang yang
membunuhku. Ketahuilah jika aku mati karena pukulan
pedang orang itu, maka pukullah dia dengan pedang satu
pukulan dan jangan meniru orang itu. Karena aku mendengar
Rasulullah saw. bersabda, ‘Janganlah kalian meniru-niru,
meskipun meniru anjing yang sedang menggigit’.” (Ar-Riyâdh
An-Nadhrah fî Manâqib al-‘Asyrah)
Jundab bin Abdullah berkata, ”Wahai Amirul Mukminin,
jika kamu meninggal, kami akan membaiat Hasan?” Ali berkata,
”Aku tidak memerintahkan kalian dan tidak juga melarang
kalian, karena kalian yang lebih mengetahuinya.” Ketika
Ali sudah mendekati ajalnya, Ali memperbanyak membaca
kalimah tauhid dan tidak mengucap selain itu. Dikatakan
bahwa kata-kata terakhir yang diucapkannya adalah,
”Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa
177
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya.” (QS az-Zalzalah [99]: 7)
Ali berwasiat kepada Hasan dan Husain untuk bertakwa
kepada Allah SWT dan mengerjakan amalan-amalan mulia.
Dia juga menulis surat untuk wasiatnya. (Ibnu Katsir)
Ibnu Muljam berkata, ”Aku telah memukulnya (dengan
pedang) dengan satu pukulan, jika aku memukulkan pukulan
tersebut kepada penduduk kota maka mereka akan mati
semua. Demi Allah, aku telah memberikan racun pada
pedang tersebut selama satu bulan. Aku membeli seribu
racun dan semuanya aku gunakan.”
Ali Syahid pada hari Jum‘at 17 Ramadhan 40 H, pada usia
63 tahun. Dia memimpin sebagai khalifah selama 4 tahun
9 bulan. Dia dishalatkan putranya, Hasan, dan dimakamkan
di Dar Imarah, Kufah, karena dikhawatirkan Khawarij akan
mencuri jasadnya. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Sepeninggal Ali
Dari pernikahannya dengan Fatimah, Allah SWT memberikan
keturunan, yaitu Hasan, Husain, dikatakan ada yang bernama
Muhsin (meninggal ketika masih kecil), lalu Zainab al-Kubra,
Ummi Kultsum yang menikah dengan Umar bin Khaththab.
Selain dari Fatimah, dia memiliki anak yang bernama Abbas,
Ja‘far, Abdullah, dan Utsman, kesemuanya meninggal di
Karbala` bersama Husain.
Ada juga anaknya yang bernama Abdullah dan Abu Bakar.
Hisyam bin Kalbi berkata, ”Keduanya juga telah terbunuh di
Karbala`.” Kemudian Yahya, Muhammad al-Ashghar, Umar,
Ruqayyah, dan Muhammad al-Ausath.
178
Ali bin Abi Thalib
Adapun putranya yang bernama Muhammad al-Akbar
yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Hanaah merupakan
pemuka kaum muslim, pemberani, suka menolong, fasih,
dan mengetahui Al-Qur`an dan sunnah. Dia memuliakan
Abu Bakar, Umar, dan juga Utsman. Dia meninggal di Thaif
tahun 81 H, pada saat itu usianya 65 tahun.
Ibnu Jarir berkata, ”Anak laki-laki Ali ada 14 orang
dan anak perempuannya ada 17 orang.” Waqidi berkata,
”Keturunannya berasal dari lima orang, yaitu Hasan, Husain,
Muhammad bin al-Hanaah, Abbas, dan Umar.”
Hikmah dan Kefasihannya
Sebelum kami memberikan contoh hikmah dari Ali bin
Abi Thalib dan sastranya yang sangat tinggi, kami akan
menyebutkan beberapa kata mutiara darinya, yang tidak
mungkin di dapat dari sastra bahasa mana pun. Kami menukil
perkataan dari Târîkh al-Adab al-‘Arabiyyi oleh Ustadz
Ahmad Hasan az-Ziyat, ”Setelah Rasulullah saw., tidak ada
seorang pun (dari khalaf maupun salaf) yang kami ketahui
memiliki kefasihan melebihi Ali. Dia adalah seorang bijak
yang menyinarkan hikmah-hikmah, seorang orator yang seni
sastranya menderu dari lisannya, dan seorang penasihat
yang memberikan petuah yang masuk ke telinga, lalu ke hati.
Selain itu, dia adalah seorang yang suka menulis surat dan
kata-katanya dalam serta mengena juga seorang pembicara
yang bisa menempatkan diri di mana saja. Sungguh, semua
sepakat bahwa dia seorang orator paling ulung di antara
kaum muslim dan seorang organisator.”
Kami menambahkan dengan perkataan Abbas Aqqad,
”Perkataan yang diriwayatkan dari Imam Ali me miliki gaya
179
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
dalam hikmahnya, ungkapan yang bagus, dan memiliki
kelebihan. Makna yang disampaikan juga benar, peng-
ungkapannya dengan sastra tinggi dan sangat bagus.”(Al-
‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Ciri khas dari hikmah dan wasiatnya menunjukkan pada
kejelasan dan pemikiran jernih, kejelian dalam menelaah, dan
dalam mempelajari kehidupan manusia. Seakan hikmahnya
tersebut adalah saripati dari pembelajaran, pemikiran, dan
eksperimen ilmu yang lama. Disamping itu, bersumber dari
dalam jiwa yang paling dalam.
Kami akan memberikan 20 poin contoh hikmah dari Ali bin
Abi Thalib sebagai berikut ini.
1. Harga diri setiap orang adalah yang membuatnya baik.
2. Berbicaralah kepada orang-orang sesuai kecerdasan
mereka. Apakah kalian ingin mendustakan Allah dan
Rasul-Nya.
3. Berhati-hatilah serangan orang yang terhormat jika
dia sedang lapar dan serangan orang hina jika mereka
kenyang.
4. Hiburlah hati dan carilah hiburan yang berhikmah.
Karena hati itu bisa bosan seperti badan yang merasakan
bosan.
5. Jiwa terpengaruh oleh nafsu, membawa pada kehinaan,
menggiring kepada birahi, menyeru kepada keburukan,
berkumpul dengan orang-orang zalim, mengingin-
kan terus beristirahat, dan menghindari pekerjaan. Jika
180
Ali bin Abi Thalib
memaksanya, kamu telah memusnahkannya. Namun jika
membiarkannya, kamu telah membinasakannya.
6. Ketahuilah, janganlah seseorang mengharapkan selain
mengharap Tuhannya; Jangan pula takut kecuali pada
dosanya; Jangan malu untuk belajar, jika tidak menge-
tahui dan jika ditanya tentang hal yang tidak diketahui,
jangan malu juga untuk berkata ”aku belum tahu”.
7. Kefakiran bisa membungkam hujjah orang cerdas
dan kaum minoritas akan merasa asing di daerahnya
sendiri.
8. Kelemahan adalah bencana, kesabaran adalah kebe-
ranian, kezuhudan adalah keuntungan, dan sikap wara’
adalah perisai.
9. Adab adalah pakaian yang senantiasa berganti baru dan
pemikiran adalah cermin yang bening.
10. Jika dunia sedang mendekap seseorang maka orang
tersebut akan meminjamkan keindahan orang lain. Ke-
mudian jika dunia meninggalkan seseorang, dia akan
mengambil keindahan orang yang ditinggalkan.
11. Sesuatu yang dirahasiakan seseorang akan muncul pada
lisannya dan raut wajahya.
12. Jangan kalian menjadi bukan orang lain, karena Allah
menjadikanmu merdeka.
13. Jangan kalian bersandar pada angan-angan, karena
angan-angan adalah barang bawaannya orang bodoh.
14. Maukah kalian aku beritahu seorang yang sangat ber-
ilmu? Orang yang tidak menghiasi hamba-hamba
Allah dengan kemaksiatan pada-Nya, orang yang bisa
181
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
membuat semua orang dalam rencana makarnya, dan
orang yang tidak pernah terputus cita-citanya dengan
kasih sayangnya.
15. Manusia (hidup) itu seperti orang yang tidur, ketika
mereka meninggal maka saat itulah mereka terbangun.
16. Manusia adalah musuh terhadap apa yang tidak dia
ketahui.
17. Manusia pada zamannya serupa dengan bapak-bapak
mereka.
18. Manusia itu bersembunyi di balik lisannya.
19. Hancurlah orang yang tidak mengetahui kadar dirinya.
20. Berapa banyak kata yang telah melenyapkan ke nik matan.
Syairnya
Ali bin Abi Thalib juga memiliki kumpulan syair yang terkenal,
bait-baitnya banyak menggambarkan tentang manusia. Akan
tetapi, banyak para pengkritik yang meragukan kebenaran
dari syair tersebut.
Dalam Mu‘jam Udabâ` disebutkan, ”Aku membaca tulisan
tangan Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Azhari al-
Lughawi dalam kitab Tahdzîb, Abu Utsman al-Mazini berkata,
’Menurut kami tidak benar bahwa Ali bersyair, kecuali hanya
dua bait.’”
Merekalah suku Quraisy, berangan-angan untuk
membunuhku.
Demi leluhurmu, tidak, mereka tidak akan melakukannya
dan mereka tidak akan berhasil.
182
Ali bin Abi Thalib
Jikapun aku mati, tanggunganku kepada mereka masih
kekal.
Karena peristiwa besar yang tidak akan pernah termaafkan.
Dalam sirahnya, Ibnu Hisyam menukil sya‘ir Ali di be-
berapa tempat dan dia ragu akan kebenaran bahwa syair itu
dari Ali.
Etika Mengkritik yang Unik
Sebelum menutup bab yang penuh dengan kesedihan ini,
kami akan memberikan contoh dari etika mengkritik yang
unik dari Ali. Sungguh, ini layak untuk diletakkan di tingkat
paling atas dalam etika mengkritik, mencela, dan mengadu.
Perkataan tersebut tercipta karena kondisi masyarakat Irak
pada saat itu. Keindahan sastra serta kedalaman makna
menjadi ciri khas dari Ali. Tidak hanya pada masanya, tetapi
di sepanjang sejarah Sastra Arab.
Di antara yang menunjukkan kemarahan Ali kepada para
sahabatnya dan tentaranya adalah:
Berapa kali aku mengelilingi kalian seperti unta muda
yang punuknya rusak, karena banyak penumpang berkeliling.
Pakaian ini sampai koyak, setiap kali satu sisinya dijahit sisi
lainnya terkoyak. Setiap kali ada sekelompok kecil pasukan
Syam dari pasukan inti, masing-masing kalian menutup pintu
kalian. Kalian bersembunyi ke dalam seperti kadal yang
bersembunyi di dalam lubangnya, sedangkan binatang buas
menunggu di lubangnya.
183
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Demi Allah, orang yang hina adalah orang yang kalian
tolong. Orang yang melemparkan panah kepada kalian
adalah yang sia-sia. Demi Allah, dalam penelitian jumlah
kalian banyak, ketika di bawah bendera jumlah kalian sedikit.
Sungguh, aku sangat mengetahui apa yang lebih maslahat
untuk kalian dan apa yang bisa menjaga kalian. Akan tetapi,
demi Allah, aku tidak mau rusak sendiri untuk kemaslahatan
kalian. semoga Allah SWT menundukkan kemuliaan kalian,
menghancurkan keberuntungan kalian. Kalian mengetahui
kebatilan, tetapi tidak mengetahui kebenaran. Kalian tidak
membatilkan yang batil, seperti kalian membatilkan yang
hak.
Ammâ ba‘du. Wahai Ahli Irak, sungguh kalian seperti
perempuan yang sedang hamil. Kemudian saat sudah hamil
tua, kalian keguguran. Hilanglah hartanya yang paling utama,
ratapannya akan sangat lama, orang-orang sekelilingnya
akan menjauhinya.
Demi jiwaku yang ada di dalam genggaman-Nya, mereka
akan muncul menghadapi kalian. Bukan karena mereka lebih
benar daripada kalian, tetapi mereka lebih cepat daripada
kalian dalam kebatilan mereka dan kalian lebih lambat
dalam kebenaran. Banyak kaum-kaum yang takut pada
kezaliman penguasanya, tetapi aku takut kepada kezaliman
masyarakatku.
Aku mengajak kalian untuk berjihad, akan tetapi kalian
diam saja. Aku berteriak kepada kalian, akan tetapi kalian
menutup telinga. Aku menyeru kalian, akan tetapi kalian
184
Ali bin Abi Thalib
tidak menjawab. Aku berikan nasihat pada kalian, akan tetapi
kalian tidak menerimanya.
Orang-orang yang ada seperti orang-orang yang tidak
ada, masyarakat berlaku seperti pemimpin. Aku bacakan
hikmah kepada kalian, tetapi kalian pergi. Aku berikan
wejangan kepada kalian, tetapi kalian kabur. Aku seru kalian
untuk berjihad kepada orang-orang zalim, tetapi tidak ada
satu pun yang datang hingga seruanku selesai dan aku
melihat kalian berpencar. Kalian kembali ke tempat kalian
berkumpul dan menghina wejangan untuk kalian. Di waktu
pagi aku meluruskan kalian dan di waktu malam kalian sudah
melengkung. Hal ini dikarenakan orang yang meluruskan
lemah dan yang diluruskan sangat rumit.
Wahai sekalian kaum, jasad kalian hadir, pikiran kalian
melayang, keinginan kalian berbeda-beda, dan kalian
menjadi ujian untuk pemimpin kalian. Pemimpin kalian
menaati Allah SWT, tetapi kalian tidak menaati pimpinan
kalian. Adapun pimpinan Ahli Syam mendurhakai Allah SWT,
tetapi masyarakatnya menaatinya. Demi Allah, aku ingin
jika aku menukar tentara muawiah dengan kalian, seperti
ditukarkannya dinar dengan dirham. Aku memberikan se-
puluh orang dari kalian dan dia menggantinya dengan satu
orang dari tentaranya untukku. Tentara Muawiah berpencar-
pencar, mundur dari peperangan. Raga mereka berkumpul,
tetapi jiwanya terpecah belah. Mereka melihat janji Allah
185
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
SWT sudah batal dan mereka tidak marah. Mereka adalah
manusia terbaik dan mulia. Tidak ada manfaat dengan
jumlah mereka yang banyak, tetapi hati mereka yang bersatu
hanya sedikit. Kalian adalah penyakit bagiku, maka aku akan
berobat. Seperti orang yang melepaskan duri dengan duri,
dia mengetahui bahwa dahannya bersamanya.
Seakan aku melihat kalian berkumpul hingga kulit kalian
saling bergesekan seperti binatang yang berkumpul dan
kulitnya bergesekan. Kalian tidak mengambil hak kalian dan
tidak menolak kezaliman. Tidak ada kemerdekaan yang jelas
ketika ada pertikaian, tidak ada saudara yang bisa dipercaya
ketika sedang duduk. Aku hanya sedikit bersahabat dengan
kalian dan tidak banyak bersama kalian.
Wahai sekalian manusia yang raganya sedang berkumpul,
tetapi jiwanya berpencar. Perkataan kalian melemahkan
seorang tuli yang keras. Tindakan kalian membuat musuh
kalian senang. Seruan orang yang menyeru kalian tidaklah
kalian anggap. Hati orang yang membangkitkan semangat
kalian tidak tenang, banyak alasan disertai kepalsuan. Kalian
memintaku untuk memperpanjang urusan, sedangkan
membela agama ini disingkirkan. Wilayah mana yang akan
kalian bela setelah wilayah kalian? Bersama pemimpin yang
mana kalian akan berperang setelah aku? Demi Allah, orang
yang tertipu adalah orang yang kalian tipu. Barang siapa
yang menang dengan kalian dia telah menang walaupun
dengan anak panah yang terpotong.
”Kelemahan adalah bencana, kesabaran
adalah keberanian, kezuhudan adalah
keuntungan, dan sikap wara’ adalah
perisai.”
ALI BIN ABI THALIB:
SANG KHULAFAUR RASYIDIN
YANG KEEMPAT
188
Ali bin Abi Thalib
Perjalanan Hidup Ali pada Masa Kekhalifahannya
secara Global
Tidak banyak sejarah Islam mencatat sifat dari orang-orang
terkemuka setelah Nabi saw., yaitu sifat yang menggugah
perasaan, kecenderungan, akhlak yang mulia, dan kemam-
puan seperti yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat
Ali, Dhirar bin Dhamrah. Pada saat itu dia ditanya oleh
Muawiah tentang sifat Ali. Dhirar pun menjelaskan bahwa
sifatnya lembut, mengasihi, tulus keimanan, memiliki rasa
tanggung jawab, dan detail dalam segala urusan. Berikut
riwayat tersebut.
Dari Abu Shalih, dia berkata: Muawiah bin Abu Sufyan
berkata kepada Dhirar bin Dhamrah, ”Sebutkan kepadaku
sifat Ali?” Kemudian Dhirar berkata, ”Apakah kamu akan
memaafkanku?” Muawiah berkata, ”Sebutkan saja sifatnya!”
Dhirar berkata lagi, ”Apakah kamu akan memaafkanku?”
Kemudian Muawiah berkata, ”Aku tidak memaafkanmu.”
Dhirar lanjut berkata, ”Baiklah jika demikian. Demi Allah,
dia memiliki derajat yang tinggi, kekuatan yang besar, per-
kataan yang jelas, dan keputusan yang adil. Selain itu, ilmu
memancar dari segala arahnya, tidak pernah putus asa
dengan dunia dan kemegahannya, serta senantiasa terjaga
malam dengan kegelapannya. Disamping itu, demi Allah,
dia selalu menangis, berpikiran panjang, dan berceramah
kepada dirinya sendiri. Dia juga suka mengenakan pakaian
kasar dan memakan makanan yang keras.
Gaya dia dalam menjawab seperti kami (orang biasa).
Ketika kami mendatanginya, dia menyambut kami. Jika kami
berjanji, dia yang akan mendatangi kami. Demi Allah, karena
189
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kedekatannya dengan kami dan kedekatan kami dengannya,
kami tidak merasa segan berbicara dengannya dan kami
bisa memulai pembicaraan. Jika tersenyum, terlihat giginya
seperti mutiara yang tersusun rapi. Ahli agama dan kaum
miskin mencintainya, orang yang memiliki kekuatan tidak
mendapat kebatilannya, dan seorang miskin tidak putus asa
dari keadilannya.
Aku bersaksi kepada Allah, aku melihat keadaannya pada
waktu malam yang mulai gelap dan bintangnya berkelip. Pada
saat itu dia sedang berada di mihrabnya sedang memegang
jenggotnya, meratap seperti seorang yang akan meninggal,
dan menangis seperti orang yang sangat sedih, lalu seakan
aku mendengarnya berkata, ’Wahai dunia, apakah kamu
menginginkanku atau mencariku. Kamu telah menipu orang-
orang. Aku telah menalakmu dengan talak tiga dan tidak
akan ada rujuk lagi bagimu. Umurmu pendek, kehidupanmu
hina, dan bahayamu sangat besar. Duhai, bekal ini sedikit,
perjalanan panjang, dan bahaya menghadang sepanjang
jalan.’”
Pada saat itu, air mata Muawiah tidak bisa terbendung
lagi hingga membasahi jenggotnya. Dia tidak mampu
menahan dirinya dan mengusap air matanya dengan lengan
bajunya orang-orang disekelilingnya juga tak kuasa me-
nahan tangisnya. Muawiah berkata, ”Semoga Allah SWT
merahmatimu wahai Abu Hasan, Ali. Adapun kamu, wahai
Dhirar, bagaimana kesedihanmu kepadanya?” Dhirar men-
jawab, ”Kesedihanku seperti sedihnya seorang ibu yang
anaknya dibunuh di kamarnya, yang sakitnya tidak akan
pernah hilang dari ingatannya dan kesedihannya tidak akan
pernah reda.”
190
Ali bin Abi Thalib
Zuhud dan Wara‘nya Ali
Salah satu sifat yang menonjol dan menjadi ciri khas Ali
adalah kezuhudannya yang tinggi. Padahal, pada saat itu
dia memiliki kesempatan hidup mewah, memiliki kekuasaan.
Diriwayatkan dari Yahya bin Mu‘in dari Ali bin Ja‘ad dari
Hasan bin Shalih, dia berkata, ”Orang-orang zuhud sedang
berbincang bersama Umar bin Abdul Aziz, maka dia berkata,
”Orang yang paling zuhud di dunia ini adalah Ali bin Abi
Thalib.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Berikut ini beberapa contoh dari kezuhudan Ali. Abu
Ubaid meriwayatkan dari Antarah, dia berkata, ”Aku
mengunjungi Ali bin Abi Thalib di Khauranaq. Saat itu Ali
bin Abi Thalib berselimutkan sehelai kain dan dia menggigil
karena kedinginan. Aku berkata, ’Wahai Amirul Mukminin,
sungguh Allah SWT telah memberikan kadar dari harta
ini kepadamu dan kepada keluargamu. Namun, kamu
menggigil kedinginan?’ Dia berkata, ’Demi Allah, aku tidak
menggunakan harta kalian sedikit pun, sedangkan kain yang
aku pakai ini adalah dari rumahku, (atau dikatakan) dari
Madinah.’”
Dalam Al-Hilyah, Abu Na‘im meriwayatkan sebuah
riwayat dari seorang laki-laki dari Tsaqif bahwa Ali mempe-
kerjakannya. Dia berkata, ”Tidak ada tempat yang ditempati
orang ketika mereka shalat.” Dia berkata kepadaku, ”Ketika
datang waktu Zhuhur aku sangat senang, karena aku dapat
melihatnya (Ali) tanpa penghalang. Aku mendapatinya
sedang duduk, di sampingnya ada gelas dan teko yang
berisikan air. Kemudian dia menyeru untuk dibawakan
wadah dari tanah. Aku sudah berangan-angan bahwa dia
akan mengeluarkan barang berharga untukku, tetapi aku
191
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya. Ternyata,
wadah tersebut ditutup, maka tutupnya pun dipecahkan
dan di dalamnya ada tepung. Dia mengeluarkan tepung dan
menuangkannya ke gelas tersebut, lalu menuangkan air ke
dalamnya. Dia pun meminumnya dan aku diberikannya. Aku
tidak tahan lagi dan aku berkata, ”Wahai Amirul Mukminin,
apakah kamu berbuat demikian di Irak. Padahal, di sini
makanan sangat melimpah?” Dia berkata, ”Demi Allah, aku
melakukannya bukan karena pelit, tetapi aku membelinya
sesuai kebutuhanku. Aku takut jika makanan itu rusak maka
tidak akan bermanfaat. Aku berjaga-jaga dari hal tersebut.
Sungguh, aku hanya akan memasukkan yang baik-baik ke
dalam perutku.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Pada saat itu, Ali diberi manisan di hadapannya. Ke-
mudian dia berkata, ”Sungguh, kamu memiliki aroma yang
memikat, warna yang bagus, dan rasa yang lezat. Namun,
aku tidak suka membiasakan diriku terhadap apa yang tidak
biasa dimakan.” (Al-Hilyah)
Dari Zaid bin Wahab, dia berkata, ”Suatu ketika kami
keluar bersama Ali, dia mengenakan selendang dan kain
yang ditambal. Dia ditanya mengenai hal itu, maka Ali
menjawab, ”Aku mengenakannya supaya aku terhindar dari
sikap takabur dan kualitas shalatku lebih baik, serta sunnah
bagi seorang Mukmin.” (Al-Muntakhab)
Dari Mujamma‘ bin Sam‘an at-Taimi, dia berkata, ”Ali
bin Abi Thalib pergi ke pasar dengan membawa pedangnya.
Kemudian dia berkata, ‘’Siapa yang mau membeli pedangku
ini? Jika saja aku memiliki empat dirham untuk membeli
kain, maka aku tidak akan menjualnya.” (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
192
Ali bin Abi Thalib
Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Razin, dia
berkata, ”Aku mengunjungi Ali bin Abi Thalib, lalu dia
menghidangkan khazirah (Makanan terbuat dari tepung dan
daging dipotong kecil). Kami berkata, ’Semoga Allah SWT
memberimu kebaikan. Jika kamu menghidangkan bebek ini
maka akan lebih baik lagi.’ Ali berkata, ’Wahai Ibnu Razin,
aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ’Tidak halal harta
Allah bagi seorang khalifah kecuali dua bagian. Pertama,
bagian yang dia gunakan untuk memberi makan keluarganya.
Kedua, bagian yang dia berikan untuk kebutuhan orang
banyak.’” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ali, bahwa dalam satu
tahun Ali diberi 3 kali pemberian. Kemudian datanglah ke-
padanya harta dari Ashbahan, maka dia berkata, ”Berangkatlah
kalian pada pemberian keempat, karena aku bukan penjaga
harta kalian.” Dengan demikian, diambillah oleh suatu kaum
dan dikembalikan kepada sebuah kaum. (Kanzul Ummâl)
Ali berkhotbah kepada orang-orang, ”Wahai sekalian
manusia, demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, aku
tidak mengambil harta kalian baik sedikit maupun banyak
kecuali ini.” Kemudian dia mengeluarkan botol kecil yang
berisi minyak wangi dari lengannya. Dia lanjut berkata
”Berikanlah ini sebagai hadiah kepada Dahqan.” Kemudian
dia pergi ke Baitul Mal dan berkata, ”Ambillah ini.” Setelah
itu dia berkata, ”Sungguh beruntung orang yang memiliki
tempat menyimpan kurma dari bambu, dia makan kurma
setiap hari dari tempat itu.”
Hubairah bin Yarim berkata: Aku mendengar Hasan
bin Ali berkhotbah, ”Wahai sekalian manusia, kemarin
telah meninggalkan kalian seorang laki-laki yang tidak
193
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
meninggalkan harta kecuali 700 dirham dari pemberiannya.
Dari uang itu dia ingin membeli seorang pelayan. (Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah)
Hal yang lebih berat daripada kezuhudan pada harta
dan makanan adalah tunduk kepada hukum syariat dan
ketetapan hakim di hadapan kelompok non-Islam serta tidak
menampakkan kekuasaan. Namun, Ali mampu melakukannya,
berikut ini kisahnya.
Hakim meriwayatkan dari asy-Sya‘bi, dia berkata, ”Baju
zirah Ali hilang pada Perang Jamal. Baju itu ditemukan oleh
seorang laki-laki dan dia menjualnya. Kemudian diketahui
bahwa baju zirahnya ada pada seorang Yahudi, maka Ali
mengadukan Yahudi tersebut kepada Syuraih. Ali pun
membawa Hasan sebagai saksi dan Qanbar. Syuraih berkata,
”Datangkan saksi pengganti Hasan.” Ali berkata, ”Apakah
kamu menolak kesaksian Hasan?” Dia berkata, ”Tidak, akan
tetapi aku berjaga-jaga darimu, karena seorang anak tidak
boleh menjadi saksi bapaknya.” Kemudian Ali berkata kepada
Yahudi tersebut, ”Ambillah baju zirah ini.” Yahudi tersebut
berkata, ”Seorang Amirul Mukminin datang bersamaku
kepada hakim muslim. Kemudian dia memutuskan untuknya
dan dia ridha. Demi Allah, sungguh kamu benar wahai Amirul
Mukminin, baju zirah itu adalah milikmu. Pada waktu itu, baju
zirah tersebut jatuh dari untamu dan aku memungutnya. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi
bahwa Muhammad utusan Allah.”
Ali memberikan baju zirah tersebut kepada Yahudi
tersebut. Selain itu, Ali memberinya 700, baju itu masih
194
Ali bin Abi Thalib
bersamanya hingga dia terbunuh di Perang Shifn. (Kanzul
Ummâl)
Meskipun Ali bersikap zuhud, wara‘, dan keras dalam
beragama, tetapi dia tidak kasar, bermuka masam, dan
bersikap kaku. Dia adalah orang yang penyayang, periang,
dan suka bercanda. Beberapa sifatnya terdapat dalam
riwayat berikut, ”Dia berwajah tampan, sering tertawa, dan
lembut dalam berjalan.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ali Bersama Para Pimpinan Wilayah, Pekerja, dan
Kaum Muslim
Berikut adalah sikap Ali kepada para pimpinan wilayah
dan pekerja. Hal ini mungkin sangat susah diterapkan bagi
seorang khalifah yang menjaga kezuhudannya dan di satu
sisi dia harus memiliki tekad yang keras. Dari wasiat yang
sering diulang kepada para pimpinan wilayah adalah,
”Bersikaplah adil kepada sekalian manusia dan bersabarlah
terhadap kebutuhan mereka. Mereka adalah harta karun
kepemimpinan. Janganlah kalian membuat seseorang terlalu
semangat dalam urusannya. Janganlah kalian mengengkang
haknya. Janganlah mengambil pajak dari pakaian musim
dingin, pakaian musim panas, hewan untuk mengangkut,
dan hamba. Janganlah mencambukan satu cambukan untuk
mendapatkan satu dirham.”
Adapun salah satu wasiatnya dalam pajak dan sedekah,
yaitu sebagai berikut ini.
Pergilah kepada mereka dengan tenang, sehingga kalian
bisa berdiri di tengah mereka dan ucapkan salam kepada
mereka serta jangan kurangi dalam memberi ucapan kepada
195
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mereka. Kemudian berkatalah, ”Sekalian hamba-hamba
Allah, wali Allah, dan Khalifah-Nya mengutusku kepada kalian
untuk mengambil hak Allah yang ada pada harta-harta kalian.
Apakah Allah SWT memiliki hak pada harta kalian yang harus
dibayarkan kepada wali-Nya?” Jika ada orang yang berkata
”tidak” maka jangan mengulanginya lagi. Kemudian jika
Sang Maha Pemberi memberikan kenikmatan kepadamu,
pergilah bersamanya tanpa kalian membuatnya takut dan
terancam, atau kalian menzaliminya atau membebaninya.
Ambillah emas dan perak yang telah mereka berikan.
Barang siapa yang memiliki hewan ternak atau unta,
jangan kalian masukkan kecuali dengan seizin yang punya,
karena kebanyakan dari itu adalah miliknya. Jika pun kalian
masuk, jangan masuk seperti orang yang berkuasa dan
congkak, jangan mengejutkan binatang-binatang, dan
jangan berbuat buruk kepada yang punya. Bagilah harta
mereka dua bagian, lalu mintalah orang tersebut untuk
memilih. Jika sudah memilih jangan perlihatkan yang sudah
dipilih. Selanjutnya, sisanya kalian bagi menjadi dua bagian,
lalu mintalah orang tersebut untuk memilih. Jika sudah
memilih jangan perlihatkan yang sudah dipilih. Begitu secara
terus-menerus hingga tersisa bagian hak untuk Allah pada
harta tersebut. Dengan demikian, tunaikanlah hak Allah dari
harta tersebut. Jika dia meminta keringanan maka berikanlah
keringanan.
Imam Murabbi dan Pembaharu
Ali tidak hanya sebagai seorang petugas administrasi dan
khalifah dalam makna umum, sebagaimana yang berlaku
pada Khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas. Akan tetapi,
196
Ali bin Abi Thalib
dia berjalan menggunakan sistem kedua khalifah pertama.
Dengan demikian, selain dia sebagai seorang Amirul
Mukminin, dia adalah seorang pengajar, murabbi, teladan,
selalu bertindak dengan memperhitungkan agama dan etika.
Meneliti kecenderungannya dan tujuannya agar selaras
dengan ajaran Islam dan teladan dari Rasulullah saw. serta
berseberangan dengan umat-umat yang terpengaruh
dengan negeri yang ditaklukkan. Dia mengingatkan orang-
orang untuk shalat, menasihati mereka, dan mengajarkan
mereka agama. Dia memberi penjelasan kepada mereka
tentang apa yang disukai dan dibenci Allah dari kaum muslim.
Dia duduk bersama mereka di Masjid, bertanya kepada
mereka tentang urusan mereka. Ali pun menjawab segala
permasalahan agama dan dunia dari mereka. Dia berjalan
di pasar-pasar mengawasi praktik jual beli mereka, dia
menasihati mereka, ”Bertakwalah kepada Allah, penuhilah
takaran dan timbangan, jangan rugikan mereka.”
Dia memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tidak meman-
faatkan kedudukannya untuk sesuatu. Jika menginginkan
sesuatu, dia menyamar sehingga tidak dikenali dan mem-
beli barang dari penjual. Jika ada seorang penjual yang
mengenalnya, dia tidak suka diberi potongan harga. Ali sangat
berhasrat untuk mewujudkan kesetaraan kepada semua orang
dalam perkataan, tindakan, wajahnya, dan pembagiannya.
Itulah yang juga dia inginkan untuk para pekerjanya di daerah-
daerah dan dia mengawasi mereka dengan ketat.
Dia mengirimkan mata-mata untuk melihat kinerja
pekerjanya dan melihat pendapat masyarakat tentang orang
tersebut. Kemudian dia membeberkan hasilnya kepada
orang tersebut. Gubernur-gubernurnya takut kepadanya.
197
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Jika diperlukan, terkadang Ali menegurnya dan mencelanya.
Dalam surat-suratnya kepada pegawainya, menunjukkan hal
tersebut.
Amirul Mukminin tidak hanya mengukur kinerja
pegawainya dari batas syariat dan hukum qih, tetapi dia juga
mengawasi sikap mereka, mengukur sikap mereka dengan
perjalanan para pemimpin yang tunduk kepada Allah,
mengikuti Rasulullah, dan meneladani Khulafaur Rasyidin.
Salah satu yang menunjukkan hal tersebut adalah,
pada suatu ketika dia mendapat kabar bahwa Utsman
bin Hunaif al-Anshari–Pegawainya yang ada di Bashrah–
diundang walimah pada suatu kaum. Pada saat itu dia tidak
menerapkan kesetaraan yang telah diajarkan oleh Islam.
Maka Ali menuliskan surat kepadanya, ”Ammâ ba‘du. Wahai
Ibnu Hunaif, telah sampai kepadaku sebuah kabar bahwa
pemuda dari warga Basrah mengundangmu untuk jamuan,
maka bersegeralah kamu menujunya dan merasakan ber-
aneka ragam makanan, sehingga mangkuk-mangkuk dipin-
dahkan untukmu.
Selanjutnya, apa yang ada dalam benakmu, bahwa kamu
sedang menghadiri sebuah jamuan ternyata kaum miskin
tidak diundang dan kaum kayanya diundang. Lihatlah apa
yang telah kamu gigit dari makanan tesebut. Kamu telah
mengetahui bahwa itu tidak sopan. Kamu juga tidak yakin
dengan wajah yang baik mereka, maka kamu merugi.” (Nahj
al-Balâghah)
Strategi Politiknya dan Perkataan Adil padanya
Politik Ali bin Abi Thalib dan peraturan dalam administrasi
kekhalifahannya mengacu pada etika dan keteladanan dalam
198
Ali bin Abi Thalib
Islam atas kemaslahatan perpolitikan dan administrasi serta
menjaga ruh penerus ajaran nabi dan metode para Khulafaur
Rasyidin. Ali menganggap bahwa Khalifah adalah penyeru
kepada agama serta sebagai teladan bagi kaum muslim,
sebelum dia menjadi hakim dan wali bagi kaum muslim.
Dia sudah mempersiapkan segalanya untuk mendorong
metode ini serta mengutamakannya daripada segi politik
dan mengawasi permasalahan administrasi. Dia berani
membayar mahal untuk mendorong metode tersebut dan
rela sepenuhnya.
Ungkapan Abbas Aqqad sangat bagus ketika me-
nyebutkan perbedaan antara Ali dan Muawiah. Dia meng-
isyaratkan perbedaan tersebut tidak hanya perbedaan
dua orang, akan tetapi perbedaan dua pemahaman, dia
mengatakan, ”Permasalahan pertikaian antara kekhalifahan
dengan latar belakang agama yang dipegang oleh Ali dan
pemerintahan berlandaskan keduniaan yang dipimpin oleh
Muawiah bin Abu Sufyan.”
Dia juga berkata, ”Keputusan dari pertikaian tersebut
bukanlah disebabkan Ali telah menang, lalu dia berkuasa
di wilayah Muawiah, atau Muawiah telah menang, lalu dia
berkuasa di wilayah Ali. Namun, keputusan tersebut adalah
prinsip hukum, bagaimana jika salah satu dari keduanya
memenangkan pertikaian tersebut? Apakah menggunakan
prinsip kekhalifahan berlandaskan agama atau pemerintahan
berlandas keduniaan? Apakah memegang prinsip zuhud
atau mengejar keuntungan? Pertikaian yang sebenarnya
terjadi adalah pertikaian antara prinsip kerajaan dan prinsip
kekhalifahan. Jadi, solusi sebenarnya adalah permasalahan
tersebut.” (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
199
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dari perselisihan dan sistem yang dipakai oleh setiap
kelompok, maka muncullah tabiat masyarakat akibat per-
kembangan zaman; meluasnya daerah kekuasaan, me-
limpahnya kekayaan, pengaruh budaya lain, semakin jauhnya
dari masa kenabian, dan mulai menghilangnya generasi
pertama yang dididik oleh Rasulullah dalam kezuhudan.
Abbas Aqqad menyebutkannya, ”Masa Ali adalah masa
yang menakjubkan antara yang akan datang dan sebelumnya.
Bagaimana tidak menakjubkan, karena berjalan sebagaimana
maunya dan tidak stabil. Dan juga merupakan bangunan
baru yang menuju kesempurnaan, bukan bangunan yang
roboh dan bukan bangunan yang sudah sempurna.”
Inilah perbedaan antara dua sistem yang dipengaruhi oleh
perkembangan zaman dan masyarakat yang memang sudah
wajar terjadi di alam ini. Di pihak Muawiah, yaitu tentaranya
teratur, tenang, bersemangat, dan patuh kepada pemimpinnya.
Adapun di pihak Ali, yaitu hukum masih bergejolak, mengumbar
keinginan pribadi yang bersifat meteri, (Sebagaimana yang
telah disampaikan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh watak
dan perkembangan zaman setiap wilayah).
Disamping itu, Abbas Aqqad juga berkata, ”Kelompok
Muawiah di Syam dan sekitarnya bersifat menuruti aturan
masyarakat. Adapun kelompok Ali di sebagian besar
wilayah Arab tidak patuh terhadap aturan masyarakat.” (Al-
‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Abbas Aqqad menambahkan, ”Pertikaian yang terjadi
antara Ali dan Muawiah tidak hanya terjadi karena satu
permasalahan, sehingga yang menang adalah ini atau itu.
Namun, permasalahan yang bertikai adalah dua peraturan
yang saling berseberangan dan dua dunia yang berbeda
200
Ali bin Abi Thalib
yang saling bertikai. Satunya pembangkang dan kacau,
sedangkan yang satunya lagi menerima hukum dan peraturan
dengan tenang. (Al-‘Abqariyyât al-Islâmiyyah)
Politik Ali yang Sesuai dengannya dan Tidak Ada
Duanya
Meskipun adanya pertikaian antara dua prinsip ini baik dalam
ketenangan dan kekacauan maupun pembangkangan dan
ketaatan untuk menjalankan perintah. Meskipun adanya
kesusahan yang dihadapi oleh Ali dan kemudahan yang
dihadapi oleh Muawiah. Dari semuanya itu, politik Ali tetap
sesuai untuknya dan tidak ada tandingannya. Abbas Aqqad
menjelaskannya dengan rinci, ”Pada hari pertama menjabat
khalifah, Ali menerapkan politik yang paling bagus. Para ahli
sejarah dan kritikus sejarah menyebutkan dalil bahwa itulah
politik terbagus dalam kebenaran berpikir dan mewujudkan
keamanan di kemudian hari. Dengan kata lain, Ali menjaga
terjadinya perpecahan yang lebih besar dan dalam jangka
panjang.”
Para ahli sejarah yang masih mengukur masyarakat,
zaman, pengaruh tarbiah, akidah, dan kemuliaan yang
menjadi target pemimpin, dengan satu ukuran yaitu yang
diambil dari politik Imam Ali. Mereka berkata, ”Jika Ali tidak
terburu-buru mengganti Muawiah di Syam dan Qais bin Sa‘ad
di Mesir, menyelesaikan pembunuh Utsman, menolak tahkim,
menghindari pertempuran yang dia ikuti dengan penuh
keberanian dan keimanan, juga menghindari permasalahan
dalam kekhalifahannya, maka akan lebih baik lagi. Namun,
Abbas Aqqad tidak setuju dengan keputusan tersebut dan
menyelisihi pendapat tersebut dengan sangat jelas, dia
201
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
berkata, ”Hal yang dapat kami lihat akhir dari setiap hal
yang berbeda-beda adalah bahwa tindakan tanpa pemikiran
sebelumnya tidak bisa menjamin kesuksesan dan aman dari
bahaya. Bisa jadi kesuksesan akan susah diraih dan bahaya
yang mengikutinya sangat besar, yaitu jika dia langsung
bertindak dan keluar dari nasihat dan musyawarah.”
Dia juga berkata, ”Adakah keberanian bagi orang yang
mengkritiknya baik yang semasa dengannya maupun yang
datang setelah masanya untuk menanyakan dirinya? Adakah
kelonggaran bagi Ali untuk berbuat selain apa yang telah
dibuat? Kemudian adakah orang yang datang setelahnya
berani berkata, berikanlah kesempatan padanya untuk
berbuat selain yang dibuat Ali, maka apa yang terjadi?
Adakah jaminan akhir dari usahanya lebih baik daripada
usaha yang dilakukan Ali?”
Dia lanjut berkata, ”Setelah itu semua, kita katakan
bahwa Ali tidak terlalu rugi dalam tindakannya yang cerdas
dan dia tidak terlalu beruntung. Jika ditimbang maka hasilnya
akan setara, karena dalam kerajaan dan kekhalifahan harus
demikian.”
Dia menambahkan, ”Terkumpul padanya beban yang
bermacam-macam yang timbul dari kekhalifahan sebelum-
nya. Hampir-hampir setiap khalifah Rasulullah tidak ada yang
bisa menghindarinya.”
Dari dua sistem yang dipilih oleh Ali dan Muawiah
berbeda dalam mewariskan kekuasaan. Ali menyerahkan
permasalahan ini pada permusyawaratan, dia tidak menunjuk
anak pertamanya yang juga merupakan cucu tercinta
Rasulullah, sehingga Rasul pernah bersabda, ”Sungguh,
anakku ini adalah pemuka.” Maksud Rasulullah saw. adalah
202
Ali bin Abi Thalib
Hasan bin Ali. Hal ini ditegaskan oleh Ali ketika orang-orang
bertanya kepadanya, ”Wahai Amirul Muminin, tidakkah
kamu menunjuk penggantimu?” Dia berkata, ”Tidak, akan
tetapi urusan ini aku serahkan kepada kalian sebagai mana
Rasulullah saw. melakukannya.” Mereka berkata lagi, ”Apa
yang akan kamu katakan kepada Tuhanmu ketika kamu
menghadap-Nya. Sungguh, kamu telah meninggalkan kami
dalam keadaan terlantar?” Ali berkata, ”Aku katakan, ’Ya
Allah Engkau menunjukku sesuai keinginan-Mu. Kemudian
Engkau menggenggam nyawaku dan aku meninggalkan-
Mu pada mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah
mereka atau hancurkanlah mereka.’” Adapun Muawiah telah
mengambil baiat untuk putranya, Yazid, sebagai khalifah,
maka dia yang berhak menjadi berkuasa setelah bapaknya
meninggal. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Sekilas tentang Muawiah
Setelah menjelaskan peristiwa sejarah pada fase yang sangat
rumit, diikuti dengan Syahidnya Utsman, lalu perkembangan
yang terjadi di masyarakat dan reaksi mereka dari dalam diri
ataupun luar diri mereka. Selanjutnya, kami akan menjelaskan
sekilas tentang Muawiah.
Pengetahuan Muawiah terhadap tabiat masyarakat,
lamanya dia berkecimpung dalam urusan negara, dan pene-
litiannya terhadap wilayah yang dipimpinnya dalam masa yang
cukup panjang, membuatnya berkir bahwa sangat susah
untuk memimpin masyarakat Islam Arab yang ada tersebut,
dengan politik Islam yang begitu luas. Oleh karenanya,
banyak unsur dan permasalahan dengan mengikuti aturan
kekhalifahan secara detail yang telah dipegang oleh ketiga
khalifah sebelumnya.
203
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dia berpendapat, ”Tidak masalah dengan memegang
sistem dan aturan tersebut, selama keamaan dan ketenangan
negara masih terwujud. Kemudian dengan banyaknya
penaklukan hukum haruslah eksibel dengan menjadikan
akidah Islam dan syariat sebagai landasannya, lalu dengan
tetap menjaga syiar Islam secara umum dan meluas kepada
aturan yang bersifat administratif, jika diperlukan. Dengan
demikian, keadaan negara tersebut masih belum keluar dari
Islam.”
Dia juga berpendapat, ”Tidak apa-apa kerajaan Islam
yang luas menjadi imperealisme dengan aturan yang umum
berlaku guna memberikan solusi secara eksibel. Disamping
itu, guna menghadapi permasalahan yang membutuhkan
kemaslahatan, perbedaan zaman, dan wilayah.” Dengan
demikian, dia menjadi seorang pemimpin muslim, militer,
dan administrasi.
Rasulullah saw. telah mengabarkan dengan hal tersebut,
beliau bersabda, ”Kekhalifahan yang berlatar belakang
seperti zaman nabi hanya tiga puluh tahun. Kemudian
Allah SWT memberikan kerajaan kepada siapa yang Dia ke-
hendaki.”
Tanpa diragukan lagi, hal tesebut adalah hasil ijtihadnya,
yang bertujuan untuk menegakkan khalifah atas dasar sistem
nabawi. Setiap muslim dituntut untuk itu sepanjang waktu.
Sebagaimana pemahaman orang-orang terdahulu dalam
Islam, keteguhan ilmu mereka, kedekatan mereka dengan
Rasulullah saw., kesegeraan mereka dalam mengikuti
Rasulullah saw. dan menunaikan apa yang beliau inginkan.
Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, serta
sepuluh yang diberikan kabar gembira dengan surga, dan
204
Ali bin Abi Thalib
para pemuka sahabat. Tidak pernah terdetik oleh mereka
untuk memisahkan antara agama dan politik. Dengan
demikian, tujuan tersebut akan terus ada dan menjadi
teladan terbaik yang harus diwujudkan oleh setiap muslim.
Atau, yang mereka perjuangkan meskipun jarak dengan
masa kenabian semakin jauh dan juga berbeda keadaan.
Dari kedua orang tersebut, kebenaran berpihak kepada Ali,
sebagaimana yang disepakati oleh ahlus sunnah wal jamaah.
(Izâlah al-Khafâ` ‘an Khilâfah al-Khulafâ`)
Islam dan kaum muslim mendapatkan manfaat dalam
penaklukan, sehingga Islam menyebar dan kekuasaan
Islam bertambah luas. Pada masa pemerintahan Muawiah,
dia berhasil berekspansi ke negeri yang belum pernah
diinjak oleh kaum muslim terdahulu. Ekspansinya mencapai
Samudera Atlantik. Pegawainya yang berada di Mesir ber-
hasil menaklukkan Sudan. Pada zamannya terdapat banyak
armada kapal, hingga mencapai 1.700 kapal lengkap
dengan persenjataannya. Dia memerintahkan kapal-kapal
tersebut dan mereka pulang membawa kemenangan.
Banyak negeri yang ditaklukkannya, di antaranya Yunani,
Dardanelles, dan kepulauan Rodos. Adapun untuk pasukan
darat, dia menyiapkan pasukan musim dingin dan pasukan
musim panas. Pasukan yang disiapkan sesuai dengan kondisi
musuh.
Pada tahun 48 H Muawiah mempersiapkan pasukan
dalam jumlah besar untuk menaklukkan wilayah laut dan
darat Konstantinopel. Tentara tersebut belum mampu untuk
menaklukkan Konstantinopel, karena temboknya yang begitu
kokoh. Namun, mereka berhasil memadamkan kekuatan
Yunani dengan kapal-kapal mereka. Di antara tentara yang
205
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
turut bertempur tersebut ada Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu
Zubair, Abu Ayyub al-Anshari, dan Yazid bin Muawiah bin Abu
Sufyan. Ketika mereka sedang mengepung Konstantinopel,
Abu Ayyub al-Anshari, penjamu Rasulullah, meninggal dunia
dan dimakamkan di tembok Konstantinopel. Pada masanya
tersebut, masuklah seorang panglima yang bernama
Uqbah bin Na’. Kemudian kaum Barbar yang telah masuk
Islam bergabung kepadanya. Mereka menjadikan Kairouan
sebagai markas tentara mereka dan banyak warga Barbar
yang masuk Islam, sehingga rencana kaum muslim menjadi
lebih luas.
Dalam beberapa kesempatan, Muawiah menunjukkan
kecintaannya kepada Islam dan kaum muslim serta men-
dukung agama sebagai pengontrol terkuat, di samping
dia mengurusi pemerintahan dan administrasi. Dia juga
mendukung untuk menjaga agama, mendahulukan ke-
maslahatan Islam dan kaum muslim daripada semua
keperluan, jika diperlukan. Dari semua sikap tersebut terdapat
pembuktiannya, yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh
para ahli sejarah. Di antara mereka adalah Ibnu Katsir yang
menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Kaisar Romawi.
Ibnu Katsir berkata, ”Kaisar Romawi berhasrat untuk
menundukkan Muawiah, setelah dia menghinakannya dan
memukul mundur tentaranya. Ketika Kaisar Romawi melihat
Muawiah sibuk memerangi Ali, dia mendekat di suatu
wilayah kekuasaan Muawiah dan dia menginginkan untuk
menguasai wilayah tersebut. Kemudian Muawiah menuliskan
surat kepadanya, ’Demi Allah, jika kamu tidak menghentikan
tindakanmu dan pulang ke negaramu, wahai orang yang
terlaknat, niscaya aku dan anak pamanku akan bersepakat
206
Ali bin Abi Thalib
untuk menyerangmu dan aku bisa mengeluarkanmu dari
seluruh wilayah kekuasaanmu,—aku akan membuatmu
sempit yang mana kamu telah merasakan kelapangan. ”Pada
saat itu, Kaisar Romawi merasa takut dan menghentikan
rencananya.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Menilik Masyarakat Islam
Hal yang layak mendapatkan pujian bahwasanya per-
bedaan-perbedaan yang telah kami sampaikan dan yang
mencekamkan, adalah hanya berada di tingkat pimpinan,
panglima, gubernur, beserta prajurit. Adapun masyarakat
Islam, mulai dari tempat diturunkannya wahyu di sana
hingga batas terakhir tanah yang berhasil ditaklukkan,
mereka senantiasa berpegang teguh pada agama, menjaga
kewajiban-kewajiban agama, serta senang dengan ibadah-
ibadah sunnah dan apa yang telah ditetapkan oleh Al-
Qur`an dan Hadits. Mereka menghormati pemuka agama
dan orang yang berilmu, baik dari kalangan ahli hadits, ahli
qih, maupun para Mufti. Syiar Islam masih tetap dijunjung
tinggi. Shalat Jum‘at dan kesatuan umat masih tetap
ditegakkan. Manasik haji masih seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah saw., tidak ada perubahan sedikit pun. Jihad juga
masih diserukan. Begitu juga Al-Qur`an terus dihafalkan dan
dibaca, hati kaum muslim masih tetap lunak untuk Al-Qur`an,
dan mata mereka juga masih mengucurkan air mata untuk
Al-Qur`an. Secara umum, tidak ada perubahan dalam agama
dan dalam hukum syariah.
Masyarakat pada masa tersebut, jelas lebih baik daripada
masyarakat Nasrani, Majusi, dan Brahma yang sezaman
dengan mereka, yaitu dalam kekhusukan kepada tuhan dan
dalam menghisab diri mereka untuk menghadapi setelah
207
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kematian. Begitu juga dalam menahan diri dari kekejian dan
kejahatan. Mereka tidak menghambakan diri kepada materi.
Mereka tidak mengukur segala sesuatu dari manfaat dan
enaknya saja. Kesemuanya itu, disebabkan oleh adanya kitab
suci yang tidak ada perubahan padanya dan tidak ada yang
kurang sedikitpun darinya.
Disamping itu, dengan diriwayatkannya dan diulang se-
cara terus-menerus kisah tentang Nabi beserta keluarganya,
perjalanan hidup para sahabat dan Khulafaur Rasyidin, para
syuhada` dan mujahidin. Selain itu, adanya penyeru kepada
Allah SWT untuk amar makruf nahi munkar, para zahid dan
wara’, serta pada masa itu, agama masih menempati posisi
pertama dalam hati manusia. Kesemuanya itu, disebabkan
Allah masih menjaga agama ini dan keberadaan umat ini
hingga hari kaimat.
Allah SWT berrman,
”Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan
pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS al-Hijr [15]: 9)
Allah SWT juga berrman,
”Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS al-Baqarah [2]: 143)
208
Ali bin Abi Thalib
Hal itu juga disebabkan kaum muslim masih bersedia
untuk mengisi kekosongan dalam berdakwah kepada Allah
SWT dan jihad di jalan-Nya. Karena mereka adalah umat
yang lebih mulia daripada umat yang lainnya dalam akidah
dan amal saleh.
Ada musuh Islam yang mengintai umat Islam, mereka
adalah kekaisaran Nasrani yang berpusat di Konstantinopel
dan wilayah Benua Eropa. Allah SWT tidak memberikan
kekuasaan kepada mereka untuk memanfaatkan keadaan
umat muslim yang sedang memiliki permasalahan perpo-
litikan antar sesama kaum muslim. Allah SWT mengembalikan
keadaan negeri-negeri tersebut dalam keadaan tenang
hingga berabad-abad, seperti Syam, Mesir, dan beberapa
negara di bagian Utara Afrika.
Sejarawan, Ibnu Jarir ath-Thabari, berkata tentang
peristiwa yang terjadi pada tahun 35 H, dia berkata, ”Pada
tahun ini, Konstantinus, putra Heroklius, menuju negara
kaum muslim dengan membawa 1.000 kapal. Kemudian Allah
SWT mengirim angin kencang hingga menenggelamkan
mereka, semuanya dengan kekuatan Allah SWT. Mereka
semua binasa, kecuali raja dengan beberapa pengikutnya.
Kemudian ketika mereka memasuki Sisilia, pengikutnya
membuat kamar mandi untuknya. Kemudian mereka mema-
sukkan ke dalamnya dan membunuhnya. Mereka berkata,
’Kamu telah membunuh orang-orang kami.’” (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
DUA PEMUKA PARA PEMUDA
AHLI SURGA:
HASAN DAN HUSAIN
210
Ali bin Abi Thalib
Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Hasan bin Ali bin Abi Thalib adalah anak dari putri Rasulullah,
Fatimah az-Zahra. Dialah yang wajahnya paling mirip dengan
Rasulullah saw. Dia dilahirkan pada pertengahan Bulan
Sya‘ban tahun 3 H, menurut pendapat yang benar. Namun,
ada yang berpendapat bahwa dia dilahirkan pada bulan
Ramadhan.
Rasulullah saw. sangat mencintainya, hingga beliau
mencium bibirnya waktu dia masih kecil. Bahkan, dalam
riwayat lainnya beliau mengisap lidahnya, memeluknya, dan
bercanda dengannya. Kemudian pada saat Rasulullah saw.
sedang sujud dalam shalat, Hasan menaiki punggungnya,
dan beliau membiarkannya hingga sujud beliau panjang.
Bahkan, beliau juga menaikkannya ke mimbarnya. (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Az-Zuhri meriwayatkan dari Anas, dia berkata, ”Hasan
bin Ali adalah orang yang wajahnya paling mirip dengan
Rasulullah saw.” (Mushannaf ‘Abdurrazzâq)
Dari Hani` dari Ali, dia berkata, ”Antara dada hingga
kepala, Hasan sangat mirip dengan Rasulullah saw. Adapun
Husain mirip dengan Rasulullah saw. dari dada ke bawah.”
(HR Ahmad)
Ali sangat menghormati Hasan dan memuliakannya.
Pada suatu ketika Ali berkata kepadanya, ”Wahai anakku,
tidakkah kamu berkhotbah, sehingga aku mendengarkan-
mu?” Hasan berkata, ”Aku malu jika berkhotbah, aku
melihatmu.” Dengan demikian, pergilah Ali dan duduk di
tempat yang tidak dapat dilihat oleh Hasan. Kemudian Hasan
berdiri untuk berkhotbah di tengah orang-orang, sedangkan
Ali mendengarkannya. Hasan berkhotbah dengan bagus dan
211
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
jelas. Setelah itu, ketika dia pergi Ali berkata, ”(sebagai) satu
keturunan, sebagiannya adalah (keturunan) dari sebagian
yang lain. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS
Âli ‘Imrân [3]: 34) (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Sikapnya pendiam, tetapi jika berkata dia mampu
membuat orang-orang yang berbicara terdiam. Dia tidak
mengikuti pertikaian, tidak akan mengutarakan hujjahnya
selama dia melihat ada seorang hakim. Dia mendapatkan
bagian harta dari Allah tiga kali, keluar dari hartanya dua kali,
berhaji sebanyak 25 kali dengan berjalan kaki, dan hewan-
hewan pernah dikendalikan dari kedua tangannya.” (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Abbas dulu sering mengambilkan kendaraan
Hasan dan Husain ketika keduanya hendak pergi, dia melihat
kenikmatan untuknya. Jika keduanya bertawaf di Ka‘bah,
hampir orang-orang tumpah kepada mereka berdua untuk
mengucapkan salam kepada keduanya.”
Dari hadits Hudzaifah, disebutkan, ”Hasan dan Husain
adalah pemuka pemuda ahli surga.” Hadits ini memiliki jalur,
dari Ali, Jabir, Buraidah, dan Abu Sa’id.
Dalam Kitab Sahih Bukhari dari Abu Bakrah, aku melihat
Nabi saw. di atas mimbar dan pada saat itu Hasan bin Ali
bersamanya. Terkadang Rasul menghadap kepada manusia
dan terkadang kepada cucunya tersebut. Kemudian beliau
berkata, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang pemuka,
semoga dengannya Allah SWT mendamaikan dua golongan
dari kaum muslim.”
Ahmad berkata: Hasyim bin Qasim men ceritakan kepada
kami, dia berkata, ”Al-Mubarak bin Fadhalah menceritakan
212
Ali bin Abi Thalib
kepada kami, dia berkata, ’Hasan bin Abu Hasan menceritakan
kepada kami, dia berkata, ’Abu Bakrah menceritakan
kepada kami, ’Rasulullah saw. shalat bersama orang-orang.
Kemudian Hasan bin Ali naik ke punggungnya pada saat
beliau sujud. Dia melakukannya lebih dari satu kali. Mereka
berkata, ’Engkau melakukan hal yang tidak pernah kami
lihat dilakukan oleh orang lain.’ Kemudian Rasulullah saw.
bersabda, ”Sungguh, anakku ini adalah pemuka. Allah SWT
akan mendamaikan kedua kelompok muslim dengannya.”
(Al-Ishâbah)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah
saw. berkata tentang Hasan, ”Sungguh, anakku ini adalah
pemuka. Melalui tangannya, Allah SWT akan mendamaikan
antara dua kelompok besar dari kaum muslim.” Dalam
hadits lain disebutkan, ”Sungguh, anakku ini adalah pemuka,
semoga Allah SWT memanjangkan usianya hingga Allah
SWT mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslim
dengannya.” Diriwayatkan oleh jamaah shahabah.
Dari Ibnu Abbas, dia berkata, ”Rasulullah saw. membawa
Hasan di atas pundaknya, maka berkatalah seorang laki-laki,
’Betapa bagus tunggangan yang kamu naiki wahai anak.’
Kemudian Nabi saw. bersabda, ’Dialah sebaik-baik yang
mengendarai.’” Hasan dan Husain termasuk orang-orang
pilihan dalam Islam.
Nuaim berkata: Abu Hurairah berkata kepadaku, ”Setiap
kali melihat Hasan, air mataku bercucuran. Karena pada
suatu hari yang susah, dia datang kepada Rasulullah saw.
maka dia memberikan isyarat dengan tangannya seperti
itu di jenggotnya, Rasulullah saw. membuka mulutnya dan
menjadikan mulutnya di mulut Hasan seraya berkata, ’Ya
213
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Allah, sungguh aku mencintainya maka cintailah dia.’” Beliau
mengatakannya tiga kali. (Hilyah al-Auliyâ`)
Ibnu Asakir meriwayatkan: Diriwayatkan bahwa hasan
sedang melewati kebun kurma Madinah. Dia melihat
seorang hitam yang membawa roti. Secuil dia makan, lalu
secuil dia berikan kepada anjing, hingga setengah roti
itu habis (dia memakannya seperti itu). Kemudian Hasan
berkata kepadanya, ”Apa yang membuatmu membagi roti
tersebut dan tetap memedulikan anjing tersebut?” Dia
menjawab, ”Aku malu dengan pandangannya jika tidak
memedulikannya.” Hasan berkata, ”Budak siapakah kamu?”
Dia menjawab, ”Aku budaknya Aban bin Utsman.” Hasan
bertanya lagi, ”Adapun kebun kurma ini punya siapa?”
Dia menjawab, ”Punya Aban.” Hasan berkata kepadanya,
”Aku bersumpah kepadamu, kamu tetap di sini dan aku
akan mendatangimu kembali.” Maka dia membeli budak
tersebut dan membeli kebun kurma itu. Dia datang kepada
budak tersebut dan berkata, ”Aku telah membelimu.” Maka
ada yang berdiri dan berkata, ”Ketaatan kepada Allah SWT
dan Rasul-Nya kepadamu wahai tuanku.” Kemudian Hasan
berkata, ”Aku telah membeli kebun itu dan kamu sudah
merdeka, semuanya lillâh. Aku berikan kebun tersebut
kepadamu.” (Tahdzîb Târîkh Dimasyqa)
Pentingnya Nabi Mengabarkan tentang Hasan serta
Pengaruh Kejiwaannya
Pemberitahuan dari Rasulullah saw. tentang Hasan, bahwa
dengannya Allah SWT akan mendamaikan dua ke-
lompok kaum muslim, bukanlah sekadar pemberitahuan
yang dipercayai oleh Hasan dan kaum muslim. Namun,
214
Ali bin Abi Thalib
pemberitahuan tersebut juga merupakan arahan Rasulullah
saw. kepada Hasan tentang tindakan yang harus dia lakukan
dalam hidupnya. Tentunya hal tersebut sangat membekas di
dalam jiwanya, menguasai perasaannya, mendarah daging
dalam tubuhnya, dan dia menganggapnya sebagai wasiat dari
Rasulullah saw. Tentu saja ketika mendengarkan hal tersebut
dari Rasulullah saw., terlihat kegembiraan dalam wajahnya
dan sinar matanya. Dengan demikian, dia menjadikannya
sebagai salah satu tujuan hidupnya dan menjadi panutannya
di masa depannya.
Pemberitahuan dari Nabi saw. tersebut telah meme-
ngaruhi seluruh gerak geriknya, hingga dalam percakapan
bersama bapaknya yang lebih tua. Dia mencintainya, dengan
kecintaan anak yang taat kepada orang tua yang mulia dan
diberikan kelebihan. Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa setelah meninggalnya Utsman, Hasan menyarankan
bapaknya untuk mengucilkan diri hingga orang-orang Arab
putus asa. Dia berkata, ”Meskipun kamu berada di dalam
lubang kadal, mereka akan mengeluarkanmu. Mereka akan
membaiatmu tanpa kamu menampakkan dirimu di hadapan
mereka.”
Kemudian pada saat Ali berkeinginan untuk memerangi
penduduk Syam dan ketika memersiapkan pasukannya serta
keluar dari Madinah, Hasan datang kepadanya, ”Wahai
bapakku, tinggalkanlah ini. Karena dalam peperangan ini akan
ada pertumpahdarahan kaum muslim dan mengakibatkan
perselisihan antar mereka.” Namun, Ali tidak menerima
arahan Hasan tersebut. Dia tidak meninggalkan orang-orang
dalam tnah dan menjalankan amar makruf nahi munkar.
Dengan demikian, permasalahan seperti kembali kepada
215
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
orang-orangnya dan kebenaran kembali kepada yang benar.
Sungguh, bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang dia
menghadap kepadanya.
Kekhalifahan Hasan dan Perdamaiannya dengan
Muawiah
Ketika Ibnu Muljam membunuh Ali, para sahabat Ali berkata,
”Tunjuklah penggantimu, wahai Amirul Mukminin.” Dia
berkata, ”Tidak, tetapi aku meninggalkan urusan ini kepada
kalian, sebagaimana Rasulullah saw. meninggalkannya
(Kepada para sahabatnya). Jika Allah SWT menginginkan
kebaikan kalian, niscaya akan mengumpulkan kalian kepada
yang paling baik di antara kalian. Hal itu sebagaimana kalian
dikumpulkan kepada orang yang terbaik di antara kalian
setelah Rasulullah saw.” Namun, orang-orang membaiat
Hasan bin Ali di hari Ali dibunuh, yaitu pada hari Jum‘at 17
Ramadhan 40 H. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Katsir berkata, ”Ketika Ali meninggal (dan Hasan
telah dibaiat), Qais bin Sa‘ad bin Ubadah mendesak Hasan
untuk memerangi prajurit Syam. Hasan tidak ada niat
untuk memerangi seorang pun, tetapi pendapat mereka
mendominasi pendapatnya, maka mereka berkumpul dalam
jumlah besar, yang tidak pernah ada sebelumnya. Hasan
bin Ali menunjuk Qais bin Sa‘ad sebagai pemimpin untuk
12.000 pasukan yang ada di hadapannya. Semua tentara
berjalan di belakangnya menuju Syam untuk memerangi
Muawiah dan prajuritnya di Syam. Ketika sampai Madain dia
singgah di sana dan didahului oleh barisan depan yang ada
di hadapannya.
216
Ali bin Abi Thalib
Ketika dia di Madain, tentara ada di belakangnya, dan
ada seorang yang berteriak, ”Sungguh Qais bin Sa‘ad
telah terbunuh.” Saat itu orang-orang mengambil barang
bawaan mereka, sampai mereka mengemasi tenda Hasan
dan mengambil karpet di bawahnya yang digunakan untuk
duduk. Beberapa dari mereka menombaknya sehingga
terkelupas dagingnya, maka Hasan sangat tidak menyukai
mereka, dia pun pergi ke Qashr Abyadh (Istana Putih) di
Madain. Dia singgah dalam keadaan terluka. Ketika prajurit
sampai di Istana tersebut, Mukhtar bin Abu Abid (semoga
Allah memburukannya) berkata kepada Sa’‘ad bin Mas‘ud,
seorang petugas di Madain, ”Kamu bisa mendapatkan
penghormatan dan kekayaan.” Sa’ad menjawab, ”Apa?”
Mukhtar berkata, ”Kau tangkap Hasan bin Ali dan kamu
ikat dia, lalu berikanlah kepada Muawiah.” Sa‘ad berkata
kepadanya, ”Semoga Allah SWT memburukkanmu dan
yang kamu bawa. Aku tidak akan membawa putra dari putri
kesayangan Rasulullah saw.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Katsir berkata, ”Hasan bin Ali didaulat oleh
penduduk Irak untuk memerangi Ahli Syam, tetapi apa yang
mereka inginkan tidak tercapai. Kekalahan yang mereka
alami, karena perencanaan mereka sendiri dan pendapat
mereka yang berbeda-beda. Jika mereka mengetahui dengan
sebenar-benarnya, bahwa Allah SWT telah memberi mereka
dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan membaiat putra dari
putri Rasulullah saw., pemuka kaum muslim, ulama’ mereka,
penyayang mereka, dan yang memiliki ide cemerlang.
Ketika Hasan melihat prajuritnya terpecah belah, dia
menjadi benci kepada mereka dan menulis surat kepada
Muawiah. Pada saat itu Hasan sedang menuju ke Syam dan
217
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
singgah di suatu tempat. Dia bernegosiasi untuk mengadakan
perdamaian antara keduanya dengan beberapa syarat. Jika
dia mau berdamai, kepemimpinan akan jatuh kepadanya, dia
harus melindungi pertumpahan darah. Akhirnya, semuanya
berdamai dan bersepakat untuk mendaulat Muawiah. (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Katsir berkata, Rasulullah saw. berkata, ”Kekhali-
fahan setelahku adalah tiga puluh tahun, lalu setelah itu akan
menjadi kerajaan.” Genaplah 30 tahun masa kekhalifahan
dengan berakhirnya masa Hasan bin Ali. Dia menurunkan
kekhalifahannya kepada Muawiah pada kwartal pertama di
tahun 41 H. Jika dihitung akan menunjukkan angka 30 tahun
setelah wafatnya Rasulullah saw.
Hasan berkhotbah atas permintaan Muawiah setelah dia
turun dari kekhalifahan, setelah bertahmid dan bershalawat
kepada Rasulullah saw. dia berkata, ”Ammâ ba‘du, wahai
sekalian manusia. Allah SWT memberi hidayah kepada kalian
dengan orang-orang yang awal dari kami dan melindungi
kalian dengan orang yang paling terakhir dari kami. Sungguh,
urusan ini ada masanya dan dunia adalah daulah, Allah SWT
telah berrman kepada Nabi saw., ”Dan aku tiada menge-
tahui boleh jadi hal itu cobaan bagi kamu dan kesenangan
sampai kepada suatu waktu.” Muawiah tidak senang dengan
ini dan masih ada di dalam jiwanya.
Ada seorang yang disebut Abu Amir berkata kepadanya,
”Assalâmu ‘alaika, wahai orang yang menghinakan kaum
mukmin.” Hasan berkata, ”Jangan katakan ini wahai Abu
Amir, aku bukanlah orang yang menghinakan kaum mukmin.
Akan tetapi, aku tidak suka membunuh mereka untuk
kedudukan.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
218
Ali bin Abi Thalib
Ibnu Katsir berkata, ”Pada saat Muawiah dibaiat pada
saat itu juga, Hasan bin Ali bersama Husain, beberapa
saudara nya, dan paman mereka, Abdullah bin Ja‘far,
pergi dari Irak menuju Madinah. Setiap kali dia singgah
di tempat pendukungnya, mereka menjelekkannya karena
menurunkan kepemimpinan kepada Muawiah. Namun, di
dalam hatinya tidak ada sesal dan sedih, dia sangat rela
dengan keputusannya. Meskipun banyak yang dari keluarga
dan pendukungnya, hingga pada saat ini, ada beberapa
yang memburukkannya. Akan tetapi, hakikatnya dia terpuji
karena telah meredam pertumpahan darah antar umat
muslim, sebagaimana Rasulullah saw. telah memujinya.
Sahabat-sahabat Hasan berkata, ”Wahai kehinaan kaum
muslim.” Maka dia membalas, ”Kehinaan lebih baik daripada
api neraka.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Abu Dawud ath-Thayalisi meriwayatkan dari Zuhair bin
Nar al-Hadhrami, menceritakan tentang bapaknya, dia
berkata: Aku berkata kepada Hasan bin Ali, ”Orang-orang
mendakwakan bahwa kamu ingin kekhalifahan?” Hasan
menjawab, ”Ada banyak orang Arab di tanganku; mereka
menyelamatkan orang-orang yang aku selamatkan dan
memerangi orang-orang yang aku perangi. Sungguh, aku
tinggalkan untuk mendapatkan kerelaan Allah SWT. Tidak
mungkin aku bangkit kembali untuk kedua kalinya dari
dataran Hijaz.”
Pada suatu ketika dia berkata, ”Aku takut pada hari kiamat
nanti, jika ada 70.000, 80.000, lebih atau kurang orang yang
urat lehernya mengucurkan darah mendatangiku. Kemudian
mereka semua meminta dan menuntut kepada Allah orang
yang telah menumpahkan darah mereka.”
219
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Syahidnya Hasan
Hasan meninggal karena diracun. Umair bin Ishaq berkata:
Aku dan seorang dari Quraisy mengunjungi Hasan. Dia
berkata, ”Aku sering diberi minuman beracun, tetapi kali
ini racunnya sangat kuat.” Dia mendapatkannya dari pasar.
Kemudian Husain datang dan duduk di dekat kepalanya.
Husain berkata, ”Wahai saudaraku, siapakah kawanmu itu?”
Hasan berkata, ”Apakah kamu ingin membunuhnya?”
Husain menjawab, ”Ya.” Hasan berkata, ”Jika memang dia
yang aku curigai, sungguh Allah SWT Maha Membalas.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Allah amat besar
kekuatan dan amat keras siksaan-Nya. Jika memang bukan
orang ini yang aku curigai yang meracuniku, aku tidak suka
jika kamu membunuh orang yang bebas.” (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
Orang-orang berkumpul untuk mengantarkan jenazah-
nya hingga Baqi’ (pemakaman di Madinah) tidak cukup lagi
untuk memuat orang. Al-Waqidi meriwayatkan dari Tsa‘labah
bin Abu Malik, dia berkata, ”Pada hari Hasan meninggal dan
dikuburkan di Baqi`, aku menyaksikannya. Karena sesaknya
Baqi‘, jika dijatuhkan jarum pasti akan mengenai kepala
orang. (Al-Ishâbah)
Hasan meninggal pada usianya yang ke-47 tahun,
menurut sementara pendapat yang benar. (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
Dia meninggal pada hari ke-5 pada bulan Rabiul Awwal
tahun 50 H. Diriwayatkan dari Abu Ja‘far, dia berkata, ”Orang-
orang menangisi kepergian Hasan selama 7 hari dan tidak
ada kegiatan jual beli di Pasar.” (Ath-Thabaqât al-Kubrâ)
220
Ali bin Abi Thalib
Hasan menggantikan Ali pada 7 hari terakhir bulan
Ramadhan tahun 40 H. Kemudian dia berdamai dengan
Muawiah pada bulan Rabiul Awal tahun 41 H. Tahun itu
disebut tahun perdamaian dengan Muawiah, atau ‘Âm al-
Jamâ‘ah (Tahun Berjamaah). Kekhalifahannya hanya 6 bulan.
Dengan demikian, masa kekhalifahan sudah genap 30 tahun.
(Al-Jauharah)
Ketepatan Sikap Hasan
Keputusan Hasan untuk berdamai dengan Muawiah dan
menurunkan kepemimpinan kepada Muawiah adalah tepat
pada waktu dan tempatnya. Sebagaimana keputusan Husain
terhadap urusan Yazid bin Muawiah—yang sebentar lagi
akan kami bahas-—yang tepat pada waktu dan tempatnya.
Atmosfer, zaman, tempat, dan kondisi yang menyelimuti
sebuah peristiwa membutuhkan sikap khusus serta reaksi
yang tepat sesuai dengan hal-hal tersebut. Sikap menghadapi
Muawiah dan Yazid tentu berbeda, karena perjalanan hidup
dan akhlak mereka berdua berbeda. Di samping itu, hubungan
mereka berdua dengan Rasulullah saw. juga berbeda. Ter-
masuk juga peranan mereka berdua dalam Islam.
Jika meneruskan perselisihan dengan Muawiah, tentu akan
lebih banyak darah kaum muslim yang ditumpahkan. Kondisi
perang yang berkepanjangan akan mengurangi kepercayaan
di masyarakat dan mengacaukan keadaan masyarakat. Kondisi
seperti itu dengan prajurit yang masih bergejolak, masyarakat
akan sangat mudah untuk memberontak dengan alasan yang
sepele. Hasan adalah orang yang lebih mengetahui dengan
watak prajurit Irak yang mengaku sebagai pendukungnya dan
pendukung bapaknya. Dia orang yang paling mengetahui apa
221
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
yang telah diderita bapaknya dari prajurit tersebut, mereka
tidak patuh di bawah kepemimpinannya. Hal itu terlihat dalam
beberapa khotbahnya.
Husain bin Ali bin Abi Thalib
Husain bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan pada 5 Sya‘ban 4 H.
Nabi saw. men-tahnik-nya, mendoakannya, dan memberinya
nama Husain. Wajah Hasan mirip dengan Rasulullah saw.,
sedangkan tubuh Husain mirip dengan Rasulullah saw.
Husain masih bertemu dengan Rasulullah saw. saat beliau
hidup sekitar 5 tahun dan Husain meriwayatkan beberapa
hadits. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Dari Abu Ayyub al-Anshari, dia berkata, ”Ketika aku
mengunjungi Rasulullah saw., Hasan dan Husain bermain di
atas dada beliau. Kemudian aku bertanya, ’Wahai Rasulullah,
apakah engkau mencintai mereka berdua?’ Rasulullah saw.
menjawab, ’Bagaimana tidak, aku mencintai keduanya dan
mereka berdua adalah kesayanganku di dunia ini.’” (HR
Thabrani)
Dari Harits, dari Ali diriwayatkan secara marfu’, ”Hasan dan
Husain adalah pemuka pemuda ahli surga.” (HR Thabrani)
Dalam hadits mursal milik Yazid bin Abu Ziyad disebut-
kan, pada suatu ketika Rasulullah saw. mendengarkan Husain
menangis, maka beliau berkata kepada ibunya, ”Tidakkah
kamu mengetahui bahwa tangisannya menyakitiku.” (HR
Thabrani)
Dia juga seorang prajurit yang menyerang Konstanti-
nopel bersama dengan Yazid bin Muawiah pada tahun 51 H.
(Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
222
Ali bin Abi Thalib
Dia banyak melakukan shalat, puasa, dan haji. Dia berhaji
sebanyak 20 kali dengan berjalan kaki. (Al-Jauharah)
Husain bin Ali adalah orang yang rendah hati. Ketika
sedang menunggangi tunggangannya dan melewati kaum
miskin, dia yang terlebih dahulu mengucapkan salam.
Mereka menyisihkan tempat untuknya, dan berkata, ”Wahai
putra (cucu) Rasulullah, kemarilah.” Kemudian dia turun
dari tunggangannya dan berkata, ”Sungguh, Allah tidak
suka orang yang sombong.” Kemudian dia turut duduk dan
makan bersama mereka. Ketika mereka telah selesai, Husain
berkata, ”Kalian memanggilku dan aku memenuhi ajakan
kalian. Sekarang, aku mengundang kalian ke rumahku.
Dengan demikian, mereka semua datang ke rumah Husain.
Mereka pun masuk dan duduk. Hasan berkata, ”Wahai
pelayan, berikanlah semua yang kalian miliki.” (Al-Jauharah)
Ibnu Uyainah berkata dari Abdullah bin Abu Zaid, dia
berkata, ”Aku melihat Husain bin Ali; rambutnya hitam,
jenggotnya juga hitam kecuali di bagian depan jenggotnya.”
Dari Umar bin Atha`, dia berkata, ”Aku melihat Husain
memakai pewarna, sehingga kepala dan jenggotnya sangat
hitam.” (Siar A‘lâm)
Kepemimpinan Yazid bin Muawiah
Muawiah telah menjanjikan kepada Hasan bin Ali untuk
berkuasa, tetapi beberapa aparatnya menunjukkan bahwa
Yazid yang akan menggantikan Muawiah. Urusan ini menjadi
tidak tentu, tetapi setelah Hasan meninggal, Muawiah
menguatkan pilihannya kepada Yazid. Dia melihat bahwa dia
pantas untuk mendudukinya. Hal itu juga karena kecintaan
orang tua yang sangat kepada sang anak. Dia berkata kepada
223
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Abdullah bin Umar, ”Aku takut meninggalkan masyarakat
setelahku seperti sekawanan domba yang kehujanan dan
tidak ada yang menggembalakan.” Pada saat dibaiat Yazid
berumur 34 tahun.
Muawiah menyerukan orang-orang untuk membaiat
Yazid pada tahun 54 H. Orang-orang tidak suka dengan hal
tersebut, karena mereka telah mengetahui bahwa Yazid suka
bermain-main dan berburu. Beberapa orang berkata kepada
Yazid, karena dia tidak ingin Yazid menjadi pimpinan. Karena
dia meninggalkannya jauh lebih baik daripada berusaha untuk
mendapatkannya. Yazid terhalau dengan apa yang mereka
inginkan dan berkumpul dengan bapaknya,. Kemudian dia
menyepakati untuk meninggalkannya. (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Pada tahun 56 H, Muawiah mengeluarkan keputusan
dan menyerukan untuk melaksanakan pembaiatan Yazid,
putranya. Dia menuliskan ke segala penjuru untuk membaiat,
maka seluruh daerah membaiat Yazid, kecuali Abdurrahman
bin Abu Bakar, Abdullah bin Umar, Husain bin Ali, Abdullah
bin Zubair dan Ibnu Abbas. Muawiah pergi ke Makkah untuk
Umrah. Ketika kembali dia singgah di Madinah dan dia
berkhotbah. Orang-orang membaiat Yazid dan mereka semua
duduk. Mereka tidak setuju dan tidak bisa menunjukkan
ketidaksetujuan terhadap apa yang dijanjikannya. Dengan
demikian, semua wilayah membaiat Yazid dan utusan-utusan
dari setiap wilayah datang ke Yazid.
Riwayat Hidup Yazid dan Akhlaknya
Thabrani berkata, ”Pada masa muda, Yazid suka minum-
minuman. Itulah masa mudanya.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
224
Ali bin Abi Thalib
Ibnu Katsir berkata, ”Ada sisi baik dari Yazid, yaitu dia
dermawan, penyayang, fasih, pandai bersyair, pemberani,
dan ide tentang kerajaannya baik. Selain itu, dia juga tampan
dan pandai bergaul. Namun, dia mengumbar syahwat,
meninggalkan sebagian shalat, dan menghabiskan waktu
dengan sia-sia. Selanjutnya, banyak yang membencinya
karena dia meminum arak, melakukan kekejian, dan tindakan
kotor. Mereka tidak menuduhnya murtad, tetapi dia fasik.
Diriwayatkan bahwa Yazid sudah terkenal dengan memainkan
alat musik, minum arak, nyanyi, dan berburu. Selain itu, dia
suka mengambil budak dan anjing, mengadukan antara
domba, hewan-hewan, dan monyet.” (Al-Bidâyah wa an-
Nihâyah)
Dia lahir pada pada tahun 25, 26, atau 27 H. Dibaiat
pada saat bapaknya masih hidup untuk menjadi penguasa
setelahnya. Kemudian setelah kematian bapaknya pe-
ngukuhan tersebut dikuatkan pada pertengahan Rajab tahun
60 H.
Umar bin Khaththab berkata, ”Demi Dzat Pemelihara
Ka‘bah, aku telah mengetahui kapan Arab akan hancur, yaitu,
ketika Arab dipimpin oleh orang yang tidak mengetahui
masa jahiliyah dan dia tidak kuat dalam Islam-nya.” (Al-
Bidâyah wa an-Nihâyah)
Kepemimpinan Yazid, dengan segala apa yang telah kami
sebutkan, merupakan sesuatu yang tidak bisa disamakan
dengan masa Khalifah Rasyidah. Para sahabat dan tabiin
dalam jumlah yang besar masih hidup. Di antara mereka
225
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
ada yang lebih pantas untuk menjadi khalifah dan pemimpin
kaum muslim serta menggapai tujuan yang dibawa oleh
Islam dan yang diturunkan Al-Qur`an. Oleh karenanya, wajar
jika ada yang memperkirakan bahwa ini akan terjadi di zaman
terakhir.
Bencana Karbala’
Peristiwa ini juga diingat-ingat akan membuat kepala setiap
muslim menunduk karena malu. Jika ada kesempatan luas
untuk membahasnya, pasti akan ada berlembar-lembar
yang akan tertuangkan dalam tulisan. Namun, sejarah
membawa peritiwa ini dengan bermacam rasa di dalam jiwa
setiap orang. Meskipun demikian, dengan sangat terpaksa
peristiwa ini disebutkan, untuk mengabadikannya dan untuk
melengkapi pembahasan ini. Beribu maaf kami sampaikan
kepada setiap hati, kepada para pembaca yang cemburu
kepada Islam, dan kepada mereka yang mengetahui
keutamaan ahli bait Rasulullah dan keturunannya yang
mulia.
Husain bin Ali menolak Yazid dan dia berpegang teguh
dengan itu. Saat itu, dia tinggal di Madinah. Yazid beserta
pegawainya mengetahui penolakan Husain tersebut.
Adapun mereka tidak mengetahui penolakan Abdullah bin
Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar, dan Abdullah bin Zubair.
Mereka mengetahui gerak-gerik Husain karena kedekatan
Husain dengan Rasul, memiliki sejarah dari orang tuanya,
dan sikapnya terhadap pemerintahan Muawiah. Namun, dia
tidak bisa bersikap lembut dan tenang, serta orang yang
menghormatinya, lantaran kepuasan dan pengetahuannya,
tidak menyimpang dari sikap Husain.
226
Ali bin Abi Thalib
Ajakan Ahli Irak kepada Husain dan Husain Mengutus
Muslim bin Aqil kepada Mereka
Ketika Yazid dan petugasnya menjadi sangat mendesak untuk
dibaiat, Husain pergi ke Makkah. Banyak surat yang datang
kepadanya dari Irak, untuk mengajaknya kepada mereka.
Penduduk Irak mengirim satu utusan untuk membawa 150
surat untuk Husain. Mereka juga menulis surat supaya dia
cepat-cepat ke Irak, sehingga penduduk Irak bisa lebih
dahulu membaiatnya sebelum Yazid bin Muawiah. Ketika
itu, Husain mengutus anak pamannya, Muslim bin Aqil bin
Abi Thalib, kepada ahli Irak untuk meneliti kebenaran urusan
tersebut. Dia menuliskan surat kepada ahli Irak tentang hal
tersebut.
Maka, Muslim bin Aqil masuk Kota Kufah, orang-orang
Kufah saling membicarakan kedatangannya. Kemudian ahli
Irak datang kepadanya membaiatnya atas nama Husain.
Mereka berjanji untuk menolongnya dengan jiwa dan harta
mereka. Orang-orang yang berkumpul untuk membaiat
atas namanya berjumlah 12.000, lalu semakin bertambah
hingga berjumlah 18.000. Setelah itu, Husain bersiap-siap
dari Makkah ke Kufah dan menurunkan pemimpin Kufah,
Nu’man bin Basyir, karena dia bersikap lemah kepada
Husain. Begitu juga menurunkan Ubaidillah bin Ziyad bin
Sumayyah dan Bashrah.
Ahli Kufah Menelantarkan Muslim bin Aqil
Muslim bin Aqil menyeru dengan syiarnya (Ya Manshur Amit)
maka berkumpullah 4.000 orang Kufah kepadanya. Abdullah
bin Ziyad bersegera ke Istana bersama orang-orangnya dan
mereka mengunci pintu. Ketika Muslim sudah sampai pintu
227
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
istana, dia berhenti dengan tentaranya. Para pemimpin
kabilah yang ada di istana bersama Abdullah melihat dan
memberi isyarat kepada kaum mereka yang bersama Muslim
bin Aqil untuk pergi. Mereka mengancam dan menjanjikan
kepada kaum tersebut. Ubaidillah mengutus beberapa
pimpinan dan menyuruh mereka untuk menelantarkan
Muslim bin Aqil. Mereka pun melakukannya, sehingga ada
seorang perempuan yang datang kepada anaknya dan
saudaranya berkata, ”Pulanglah ke rumah.” Kemudian ada
seorang bapak bertanya kepada anaknya dan saudaranya,
”Besok tentara Syam akan datang. Kemudian apa yang akan
kamu lakukan terhadap mereka?”
Dengan demikian, orang-orang menelantarkannya,
menolaknya, berpaling dari Muslim bin Aqil, dan yang
tertinggal hanya 500 orang. Setelah itu jumlah mereka
berkurang, menjadi 300 orang. Kemudian berkurang lagi
hingga tersisa 30 orang. Muslim shalat Maghrib bersama
mereka, lalu dia menuju pintu Kindah bersama 10 orang.
Selanjutnya, mereka semua pergi darinya hanya tinggal dia
seorang diri. Tidak ada yang menunjukkan jalan, tidak ada
yang menemaninya, dan tidak ada yang mengantarkannya
ke rumah. Dia pergi seorang diri hingga hari gelap, bolak-
balik di jalan, dan tidak tahu mau ke mana. (Al-Bidâyah wa
an-Nihâyah)
Kisah penelantaran Ahli Kufah terhadap Muslim sangat
panjang. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa mereka
tunduk kepada kekuatan, materi, dan kedudukan, meskipun
harus menentang etika. Pada akhirnya, Muslim masuk ke
sebuah rumah dan dikelilingi oleh rumah-rumah lainnya.
Mereka masuk kepada Muslim, dan Muslim berdiri dengan
pedangnya. Muslim mengusir mereka dari rumahnya tiga
228
Ali bin Abi Thalib
kali. Kemudian mereka melempari Muslim dengan batu
dan menakutinya dengan api yang disimpan di tongkat. Dia
menjadi terdesak dan membunuh mereka dengan pedangnya.
Abdurrahman memberikan keamanan kepada orang-orang
yang ada di rumahnya dan mereka mendatangkan bighal serta
menaikkan Muslim ke atasnya. Mereka merampas pedangnya.
Dia tidak dapat menguasai dirinya dan menangis, pada saat
itu dia mengetahui bahwa dia akan dibunuh.
Surat Muslim kepada Husain dan Saran Orang-Orang
kepadanya
Husain keluar dari Makkah. Kemudian Muslim mencari
Muhammad bin Asy‘ats, dia berkata, ”Jika bisa kamu
meng utus seseorang atas namaku kepada Husain untuk
menyuruh nya pulang. Lakukanlah!” Maka Muslim meng-
utus Muhammad bin Asy‘ats kepada Husain untuk pulang.
Husain tidak percaya dengan utusan tersebut dan dia
berkata, ”Setiap keputusan tuhan pasti berlaku.”
Muslim dimasukkan kepada Ibnu Ziyad dan di antara
keduanya ada perkataan yang keras. Ibnu Ziyad menyuruh
membawa Muslim ke bagian atas istana. Dia bertakbir,
bertahlil, bertasbih, beristighfar, dan bershalawat. Kemudian
berdirilah seorang laki-laki, Bakir bin Imran, dan memenggal
kepalanya. Kemudian kepalanya dilemparkan ke bawah,
berikutnya badannya.
Muslim telah meminta kepada Muhammad bin Asy‘ats untuk
mengirim kepada Husain orang untuk berkata, ”Pulanglah
229
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
dengan keluargamu. Jangan kamu terpedaya dengan Ahli
Kufah. Sungguh, mereka adalah kawan bapakmu yang
berangan-angan untuk mati atau berperang. Penduduk
Kufah telah membohongimu dan membohongiku. Orang
pembohong tidak akan punya ide.”
Husain bertemu dengan utusan tersebut di suatu
tempat yang berjarak 4 malam perjalanan ke Kufah. Dia
menyampaikan surat tersebut dan Husain berkata, ”Setiap
keputusan itu turun dari Allah SWT, kami menghisab diri
kami dan kerusakan pemimpin kami.”
Ketika orang-orang merasakan bahwa Husain pergi ke
Kufah, mereka meminta kepadanya supaya berhati-hati.
Bahkan, para ahli strategi dan orang yang mencintainya
melarangnya supaya tidak pergi ke Irak. Abdullah bin Abbas
berkata kepadanya, ”Penduduk Irak itu kaum yang suka
ingkar janji, jangan kamu terpedaya oleh mereka. Tinggallah
di negeri ini hingga Ahli Irak menumpas musuh mereka,
lalu baru kamu pergi kepada mereka.” Husain berkata,
”Wahai anak pamanku, demi Allah, sungguh kamu adalah
seorang penasihat yang penyayang. Namun, aku telah
berkeinginan kuat untuk pergi.” Dia berkata, ”Jika kamu
memang harus pergi, jangan bawa anak-anakmu dan kaum
perempuan. Sungguh, aku takut kamu terbunuh seperti
Utsman, sedangkan anak-anak dan kaum wanitanya melihat
kepadanya.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Ibnu Umar pun juga menahannya, tetapi dia meng-
abaikannya. Kemudian Ibnu Umar memeluknya dan menangis,
seraya berkata, ”Semoga Allah SWT menjagamu dari
pembunuhan.” Abdullah bin Zubair juga menahannya, maka
Husain berkata, ”Ada 40.000 orang berbaiat mendatangiku.
Mereka bersumpah setia bersamaku.”
230
Ali bin Abi Thalib
Abu Sa‘id al-Khudri melarangnya, begitu halnya Jabir
bin Abdullah dan Sa‘id bin Musayyib. Namun, dia masih
bersikeras untuk pergi. Di jalan dia bertemu dengan Farazdaq
dan Farazdaq berkata, ”Wahai cucu Rasulullah, seluruh hati
bersamamu, pedang di atasmu, sedangkan kemenangan dari
langit.”
Husain bin Ali bin Abi Thalib di Kufah
Husain menuju Irak dengan membawa keluarganya dan 60
orang dari ahli Kufah. Dia pergi ke Kufah tanpa mengetahui
kabar yang terjadi di sana. Di tengah perjalanan dia
mendengar kabar bahwa Muslim dan Hani’ bin Urwah
terbunuh. Dia segera berkata, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi
râji‘ûn.” (Berkali-kali). Kemudian mereka berkata kepadanya,
”Allah, Allah di dalam jiwamu.” Dia berkata, ”Tidak ada
kebaikan dalam hidup setelah keduanya.” Ketika sampai
ke Hajir, dia berkata, ”Pendukung kami telah mengucilkan
kami. Barang siapa di antara kalian yang hendak pergi,
maka pergilah tanpa ada rasa dengki.” Maka ada beberapa
yang pergi, yaitu orang Badui yang mengikuti mereka saat
bertemu di jalan hingga tersisa mereka yang datang dari
Makkah.”
Di Karbala`
Ketika sampai di Karbala` Husain bertanya, ”Apa nama
tempat ini?” Mereka berkata, ”Karbala`”—maka dia berkata,
”Karbun wa balâ`un, kesusahan dan bencana.”
Ubaidillah bin Ziyad mengutus Umar bin Sa‘ad untuk
memeranginya. Kemudian Husain berkata, ”Wahai Umar,
pilihlah salah satu dari tiga hal: Kamu meninggalkanku,
231
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
lalu aku pulang seperti aku datang. Jika kamu menolaknya,
temukanlah aku dengan Yazid, aku akan meletakkan tanganku
kepada Yazid, lalu dia akan menghukumiku sebagaimana
dia lihat. Jika kamu menolaknya, bawalah hingga aku
berperang sampai mati.” Maka dia membawa hal tersebut
kepada Ibnu Ziyad. Dia ingin membawanya kepada Yazid,
tetapi Syamir bin Dzi Jusyan berkata, ”Jangan, kecuali dia
menurunkan kekuasaan.” Maka hal tersebut disampaikan
kepada Husain dan Husain berkata, ”Demi Allah, aku tidak
akan melakukannya.”
Umar lambat dalam memeranginya, lalu Ibnu Ziyad
mengutus Syamir bin Dzi Jusyan dan berkata, ”Jika Umar
datang maka berperanglah, jika tidak bunuhlah dia dan
gantikan posisinya. Aku telah memberikanmu urusan ini.”
Prajurit yang bersama Umar sekitar 30 orang dari Ahli Kufah,
mereka berkata, ”Cucu Rasulullah saw. menawarkan 3 hal,
tetapi kalian tidak menerimanya sama sekali.” Dengan
demikian, mereka berbalik mendukung Husain dan ber-
perang bersamanya.
Ibnu Ziyad memerintahkan Umar bin Sa‘ad untuk
menghalangi mereka dari air. Husain dan para prajuritnya
menghunuskan pedang mereka. Husain memerintahkan para
prajuritnya untuk minum dan memberi minum kuda-kuda
mereka serta memberi minum kuda musuh mereka. Husain
telah selesai shalat Zhuhur, lalu didatangkan dua wadah yang
berisi penuh dengan surat. Dia menyebarkannya dan salah
seorang membacanya, Alhur berkata, ”Kami tidak termasuk
orang yang menulis surat tersebut.” Alhur kemudian
menyingkir dari Husain dan berjalan bersama sahabatnya
menjauh dari Husain, serta warga Kufah mendatanginya.
232
Ali bin Abi Thalib
Husain bertanya kepada mereka, ”Kabarkan kepadaku, siapa
orang di belakang kalian?” Mujamma’ bin Abdullah al-Amiri
berkata, ”Adapun kebanyakan orang yang mulia berhasrat
kepadamu. Begitu juga orang-orang lain hatinya condong
kepadamu, dan pedang mereka akan ada padamu.”
Umar bin Sa‘id mendaulat Syamir bin Dzi Jusyan untuk
memimpin pasukan dan mengalahkan Husain beserta
kawanannya pada hari Kamis 9 Muharram. Mereka menuju
Husain dan Husain pada malam hari berkhotbah kepada
para sahabatnya, menganjurkan mereka untuk pergi
sekehendak mereka. Dia berkata, ”Sungguh, mereka
menginginkanku.”Sahabat-sahabatnya berkata kepadanya,
”Kami tidak akan selamat setelahmu. Allah tidak akan
memperlihatkan kepada kami yang kami benci.” Keluarga
Aqil berkata, ”Kami akan mendukungmu dengan jiwa
kami, harta kami, dan seluruh keluarga kami. Kami akan
berperang bersamamu hingga kami mengembalikan
kedudukanmu. Buruk sekali hidup setelahmu.” (Al-Bidâyah
wa an-Nihâyah)
Pada hari Jum‘at (dikatakan hari Sabtu), Husain shalat
Subuh. Hari itu bertepatan dengan hari Asyura. Prajuritnya
hanya berjumlah 32 prajurit berkuda dan 40 orang.
Husain menaiki kudanya dan dia mengambil mushaf, lalu
meletakkannya di depannya. Dia juga mengajak anaknya, Ali
bin Husain, yang sedang lemah dan sakit. Dia menyebutkan
keutamaannya dan tingginya kedudukannya, dia berkata,
”Lihatlah diri kalian. Apakah kalian layak untuk memerangiku?
Aku adalah anak dari putri nabi kalian.” (hingga akhir
khotbahnya). Dia berhadapan dengan Hur bin Yazid ar-
Rayahi dan terus berperang hingga meninggal.
233
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Syamir berdiri dan menyerang sahabat Ali, dia mem-
bunuh mereka satu per satu, menyeru mereka dan ber kata,
”Semoga Allah SWT memberikan balasan kepada kalian
dengan sebaik-baik balasan untuk orang yang ber takwa.”
Mereka berperang hingga binasa. Banyak yang terbunuh dari
keluarga Ali bin Abi Thalib dan saudara-saudara Husain.
Syamir menyeru, ”Apa yang kalian tunggu untuk
membunuhnya?” Maka Zar‘ah bin Syarik at-Tamimi me-
mukulkan pedangnya ke pundak Husain. Sinan bin Anas
bin Amru an-Nakh‘i menombaknya, lalu dia tersungkur dan
membawa kepalanya kepada Khauli. Abu Mukhnaf dari
Ja‘far bin Muhammad berkata, ”Kami mendapati di tubuh
Husain ketika dia dibunuh ada 30 tombakan dan 34 pukulan
pedang.” (Al-Ishâbah)
Sahabat Husain yang terbunuh sebanyak 72 jiwa.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Hanif, dia berkata, ”Jumlah
yang terbunuh bersama Husain 17 orang, semuanya anak
keturunan Fatimah.”
Husain dibunuh pada hari Jum’at hari Asyura (10)
Muharam 61 H, pada saat itu usianya 54 tahun 6,5 bulan.
Dihadapkan ke Yazid
Hisyam berkata, ”Ketika kepala Husain datang, Yazid ber-
linang air mata. Dia berkata, ’Tanpa kalian membunuh Husain,
aku rela dengan ketaatan kalian. Semoga Allah melaknat
Ibnu Sumayyah, demi Allah jika aku sahabatnya aku akan
memaafkannya.’” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Seorang budak berkata kepada Muawiah bin Abu
Sufyan, ”Ketika kepala Husain datang dan diletakkan di
234
Ali bin Abi Thalib
hadapannya, aku melihatnya menangis dan berkata, ’Kalau
antara Ibnu Ziyad dan antara dia ada kasih sayang, tentu dia
tidak melakukannya.’”
Para tawanan dihadirkan kepada Yazid. Kemudian dia
marah pada awalnya, beberapa saat dia mengasihi mereka.
Selanjutnya, mereka dimasukkan ke keluarganya dan
setelahnya mereka dipulangkan dengan terhormat. Tidak
diriwayatkan bahwa dia mencela Ibnu Ziyad. Namun, ada
diriwayatkan bahwa dia gembira dan mencela yang tidak
selayaknya bagi seorang mukmin.
Peperangan Harrah dan Kematian Yazid
Pada tahun 63 H terjadi peperangan Harrah yang merupa-
kan peperangan yang hina dalam sejarah Islam pertama.
Yazid mengizinkan Muslim bin Uqbah untuk membolehkan
Madinah selama tiga hari, Ibnu Katsir berkata, ”Dalam masa
tiga hari ini ada kerusakan yang sangat besar di Madinah yang
tidak dapat diungkapkan seperti apa. Yazid menginginkan
kerajaannya terus ada tanpa ada yang mengganggu. Maka
Allah menghukumnya dengan sesuatu yang berlawanan
dengan tujuannya. Dengan demikian, terhalanglah apa yang
menjadi keinginannya.”
Yazid hanya berkuasa dalam 4 tahun,. Dia meninggal
pada 14 Rabiulawal tahun 64 H. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Kekuasaan keluarga Abu Sufyan terputus dengan ke-
matian Yazid, lalu berpindah ke Bani Marwan bin Hakam,
hingga masa kekuasaan Bani Abbas. Allah-lah yang mem-
punyai kerajaan, yang memberikan kerajaan kepada orang
yang Dia kehendaki dan Dia yang cabut kerajaan dari orang
235
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
yang Dia kehendaki. Dia muliakan orang yang Dia kehendaki
dan Dia menghinakan orang yang Dia kehendaki.
Pendapat Ulama Ahli Sunnah dan Komentar Mereka
tentang Syahidnya Husain di Karbala`
Imam-imam dari kalangan Ahli Sunnah masih tetap
tidak mengetahui latar belakang dari tindakan Yazid dan
prajuritnya, seperti Abdullah bin Ziyad, Umar bin Sa‘ad, dan
Syamir bin Dzi Jusyan. Para imam tersebut tidak ada sangkut
pautnya dengan mereka. Mereka juga melihat bahwa
pembunuhan Husain tersebut dan Ahli Bait yang bersama
mereka merupakan hal yang sangat-sangat mengerikan,
berikut beberapa contohnya.
Shalih bin Imam Ahmad bin Hanbal berkata, aku bertanya
kepada bapakku, ”Bahwasanya suatu kaum berkata bahwa
mereka mencintai Yazid.” Dia berkata, ”Wahai anakku,
apakah seorang yang beriman kepada Allah SWT dan hari
akhir akan mencintai Yazid?” Aku bertanya, ”Wahai bapakku,
kenapa engkau tidak melaknatnya?” Ahmad berkata, ”Wahai
anakku, kapankah kamu melihat bapakmu ini melaknat
seseorang?” (fatwa Ibnu Taimiah)
Imam Ibnu Taimiah berkata dalam percakapannya dengan
panglima Mugul, ketika mereka datang ke Damaskus dalam
tnah besar, ”Adapun orang yang membunuh Husain, yang
membantu membunuhnya, atau yang rela dengan tindakan
tersebut, maka bagi mereka laknat dari Allah, malaikat-
Nya, dan seluruh umat manusia. Allah SWT tidak menerima
peradilan dari mereka.”
236
Ali bin Abi Thalib
Imam Ibnu Taimiah lanjut berkata, ”Husain mendapat
kemuliaan Allah dengan meninggal pada hari ini. Allah
SWT menghinakan orang-orang yang membunuhnya, yang
membantu membunuhnya, atau yang rela dengan tin-
dakan tersebut. Dia merupakan salah satu teladan dalam
kesyahidan. Sungguh, dia dan saudaranya adalah dua
pemuka pemuda ahli surga. Keduanya mendapatkan
pendidikan dalam kemuliaan Islam. Keduanya berhijrah,
berjihad, dan sabar terhadap kezaliman karena Allah.
Allah SWT memuliakan mereka dengan syahid, sebagai
penyempurna kemuliaan mereka dan tingginya derajat
mereka. Pembunuhannya adalah musibah yang besar. Allah
SWT mensyariatkan kita untuk membaca ”Innâ lillâhi wa
innâ ilaihi râji‘ûn” ketika mendapatkan musibah.
Allah SWT berrman,
”... Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang
yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka berkata ”Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn”
(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan
rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 155-157)
237
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Syekh Ahmad bin Abdul Ahad as-Sarhindi (dikenal se-
bagai pembaharu milenium ke-2) meninggal pada 1034 H,
dalam salah satu tulisannya dia berkata, ”Sungguh Yazid
yang diharamkan baginya kebahagiaan dan tauk adalah
bagian dari golongan fasik. Adapun menghentikan untuk
melaknatnya karena ada dasar dari Ahli Sunnah. Karena
orang tertentu meskipun kar, tidak boleh segera dilaknat,
kecuali sudah mengetahui dengan pasti bahwa dia sudah
dicap sebagai seorang kar, seperti Abu Lahab dan istrinya.
Maksudnya bukan diharuskan untuk dilaknat. Allah SWT
berrman,
”Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan
di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi
mereka.” (QS al-Ahzâb [33]: 57)
Syekh Abdulhaq al-Bukhari ad-Dahlawi, seorang ahli hadits
terkemuka (meninggal pada 1052 H), dalam kitabnya Takmîl
al-Îmân berkata, ”Secara umum, Yazid adalah seorang dari
golongan yang paling dibenci oleh kami. Kekejian yang
dilakukannya, merupakan penghianatan atas umat ini, yang
belum dilakukan oleh umat.” (Takmîl al-Îmân)
238
Ali bin Abi Thalib
Imam Ahmad bin Abdurrahim yang terkenal dengan
julukan Wali Allah ad-Dahlawi (meninggal pada 1176 H)
dalam kitabnya yang terkenal Hujjatullâh al-Bâlighah dalam
pembahasan tnah-tnah dalam penjelasan perkataan,
”Kemudian menjadikan penyeru kepada kesesatan,” dia
berkata, ”Penyeru kepada kesesatan adalah Yazid di Syam
dan Mukhtar di Irak.” (Hujjatullâh al-Bâlighah)
Abdul Ali bin Nizhamuddin al-Anshari al-Lakahnui (mening-
gal pada 1225 H) dan juga dikenal dengan Bahhrul
‘Ulûm (Lautan Ilmu) dalam kitabnya Fawâtih ar-Rahmût
Syarhu Musallim ats-Tsubût, dia berkata, ”Yazid adalah
orang fasik yang paling keji. Dia jauh dari masa imam-
imam (kekhalifahan) bahkan keimanannya diragukan. Allah
meng hinakannya. Tindakan yang dilakukannya jelas-jelas
merupakan kekejian.”
Usaha untuk Menegakkan Hukum yang Baik dan
Mengubah Kehinaan
Setelah kekhalifahan para Khulafaur Rasyidin—sangat
disayangkan—berdiri sebuah negara atau kekuasaan yang
diwariskan turun-temurun. Arab dan Islam pun tunduk
kepadanya. Tidak ada seorang pun yang berani menghadapi
khalifah dari Dinasti Umawi atau Dinasti Abasi, kecuali orang
yang memiliki kemuliaan nasab dan dari strata tertinggi.
Kemudian dia bisa mengambil manfaat dari semangat
kesukuan yang kuat dan luas, sehingga jika diibaratkan,
besi melawan besi dan angin kencang melawan topan.
Oleh karenanya, setiap yang keluar dari Dinasti Umawi atau
239
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Abasi dan mengangkat bendera jihad adalah dari ahli bait
Rasulullah dari keluarga Ali. Karena kemungkinan mereka
berhasil sangat besar, kaum muslim masih condong kepada
mereka dan orang-orang yang menginginkan kebaikan rela
menolong mereka. Mereka sangat merasa sakit melihat
kehinaan yang merajalela dan hilangnya kekhalifahan, harta-
harta kaum muslim dihabiskan untuk memenuhi syahwat
hingga pada batas adat Arab Jahiliah.
Generasi setelah Husain yang berjuang melawan
kezaliman tersebut adalah cucunya, Zaid bin Ali bin Husain.
Dia keluar untuk melawan Hisyam bin Abdul Malik al-Umawi.
Namun, dia terbunuh dan disalib pada 122 H. Imam Abu
Hanifah diminta untuk menghadiri acara tersebut dengan
diberikan 10.000 dirham, tetapi dia menolaknya. (Manakib
Abu Hanifah)
Dari keturunan Hasan bin Ali ada Muhammad bin Abdullah
bin Hasan bin Hasan bin Ali, Dzu Nafsi Zakiah (pemilik
jiwa suci) di Madinah, dan saudaranya, Ibrahim, di Kufah.
Keduanya telah bersepakat untuk melakukan perlawanan.
Abu Hanifah adalah pendukung Muhammad bin Abdullah
baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Abu
Hanifah diberi sejumlah harta dan panglima Al-Mansur,
Hasan bin Qahthabah, memintanya untuk menghentikan
tindakannya. Abu Hanifah tidak bisa menerimanya dan
meminta maaf kepada Al-Mansur. Inilah sebab sebenarnya
Al-Mansur menghabisi nyawa Abu Hanifah.
Dalam Târikh al-Kâmil, milik Ibnu Atsir, disebutkan bahwa
Ahli Madinah meminta fatwa dari Malik bin Anas untuk
240
Ali bin Abi Thalib
keluar bersama Muhammad. Mereka berkata, ”Kami telah
membaiat Abi Ja‘far.” Maka dia berkata, ”Sungguh, kalian
membaiatnya karena terpaksa dan orang yang terpaksa tidak
memiliki tanggungan.” Kemudian orang-orang berduyun
mendatangi Muhammad dan menduduki rumah Malik.
Muhammad dibunuh pada bulan Ramadhan tahun 145 H di
Madinah. Adapun Ibrahim, saudaranya, dibunuh pada bulan
Dzul Qa‘dah di tahun yang sama.
Usaha-usaha tersebut telah dilakukan dan tidak mendapat-
kan hasil yang diharapkan. Karena pemerintahan tersebut
telah kuat dan terorganisir dengan baik. Mereka memiliki
fasilitas dan simpanan. Kita bisa melihat sejarah masa
lalu dan sekarang, usaha-usaha yang dilakukan atas dasar
keikhlasan, keimanan, dan keberanian. Bahkan, prajurit
dan panglimanya mengorbankan harta dan jiwa mereka.
Kemudian mereka gagal menghadapi pemerintahan yang
sudah besar dan terorganisir, serta prajurit yang banyak dan
memiliki kekuatan besar. Hal ini tidaklah aneh, meskipun
mereka kalah, mereka telah berkhidmat untuk Islam karena
mereka menjaga kemuliaan sejarah Islam. Jika tidak karena
usaha yang mereka lakukan dari waktu ke waktu, niscaya
sejarah Islam hanya berisikan kisah-kisah yang mengumbar
egoisme, kisah para raja yang sedang berkuasa dan kisah
orang-orang tamak yang memuaskan diri. Namun, mereka
yang kalah itu, adalah para mujahidin dan orang-orang
mukmin yang taat. Mereka memberikan penerangan
kepada generasi yang akan datang tentang sejarah yang
241
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kelam, menyinari jalan mereka, mengilhami kepahlawanan
Islam masa lalu, memberontak keadaan yang sudah rusak,
dan marah terhadap aturan Islam yang dizalimi.
Itulah turats yang sangat berharga yang meninggikan
kalimat Islam. Kekayaan yang sangat mahal yang menghiasai
generasi demi generai. Rangkaian mujahidin yang saling
berhubungan yang berangkat dari keyakinan dan keimanan.
Allah SWT berrman,
”Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang
menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan
di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada
(pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak
mengubah (janjinya).” (QS al-Ahzâb [33]: 23)
”Hasan dan Husain adalah pemuka
pemuda ahli surga.”
(HR Thabrani)
PEMUKA AHLI BAIT DAN
ANAK KETURUNAN ALI
244
Ali bin Abi Thalib
Kehidupan Keturunan Ali setelah Peristiwa Karbala`
Selepas peristiwa Karbala` dengan segenap kehinaan yang
ditanggung oleh pemerintahan yang ada pada saat itu dan
para pendukungnya, kehidupan menjadi kembali seperti
biasanya. Kehidupan anak keturunan Ali, Hasan dan Husain,
kembali seperti semula; menjaga kesuciannya, menyibukkan
diri dengan ibadah, mencontohkan kehidupan zuhud,
mempersiapkan diri untuk menerima akhirat, menyibukkan
diri untuk menjaga jiwa mereka, dan menjalani kehidupan
rabbani. Bahkan, menjadi penasihat untuk kaum Islam.
Itulah perjalanan hidup yang layak bagi para keturunan
Rasulullah saw.
Kami meriwayatkan beberapa dari sekian banyak contoh
kehidupan mereka.
Sa‘id bin Musayib berkata, ”Tidak ada yang aku lihat
seorang yang lebih wara’ daripada Ali bin Husain.” (Hilyah
al-Auliyâ`)
Az-Zuhri berkata, ”Tidaklah aku lihat seorang Quraisy
yang lebih baik daripada dia. Ketika Ali bin Husain disebut
dia menangis, dia adalah Zainul Abidin.” (Hilyah al-Auliyâ`)
Pada suatu malam Ali bin Husain membawa sekantung
roti di atas punggungnya. Kemudian dia bersedekah
dengannya. Jarir berkata, bahwa ketika Ali bin Husain
meninggal, orang-orang mendapati bekas dia mengangkut
sekantung roti untuk kaum miskin di punggungnya. (Hilyah
al-Auliyâ`)
Dari Syaibah, dia berkata, ”Ketika Ali bin Husain me-
ninggal, mereka mendapati bahwa dia memberi makan
seratus rumah tangga di Madinah.
245
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dari Muhammad bin Ishaq, dia berkata, ”Orang-orang
Madinah dapat hidup tanpa mengetahui darimana mereka
hidup. Ketika Ali bin Husain meninggal, mereka kehilangan
pemberian yang mereka dapatkan setiap malamnya.”
Ali bin Husain setiap hari dan malam shalat sebanyak
seribu rakaat, ketika angin kencang dia pingsan. (Shifah ash-
Shafwah)
Dari Abdul Ghaffar bin Qasim, dia berkata, ”Ali bin
Husain keluar dari masjid. Dia bertemu dengan seorang
laki-laki, lalu laki-laki tersebut mencelanya. Dengan begitu,
para budak langsung menyerangnya. Ali bin Husain berkata,
’Perlahanlah dari orang tersebut.’
Ali menemuinya dan berkata, ’Urusan kami yang tidak
kamu ketahui lebih banyak lagi. Apakah kamu ingin aku
ceritakan?’ maka malulah orang itu. Ali bin Husain mem-
berikannya surban yang dia kenakan dan diberikan 100
dirham. Setelah itu laki-laki tersebut berkata, ’Aku bersaksi
bahwa kamu adalah keturunan Rasulullah saw.’” (Shifah ash-
Shafwah)
Ada satu kaum sedang berada pada Ali bin Husain.
Pelayannya cepat-cepat membakar makanan di perapian.
Pelayan tersebut kembali dengan cepat, sehingga jatuh-
lah besi penusuk daging dari tangannya dan mengenai
kepala anak Ali yang berada tepat di bawahnya, se-
hingga meninggallah anak tersebut. Ali berkata kepada
palayannya tersebut, ”Kamu sekarang merdeka. Kamu tidak
sengaja.” Kemudian dia mempersiapkan anaknya (Untuk
dimakamkan).
Ali bin Husain dilahirkan pada tahun 38 H. Ibunya adalah
Salafah binti Yazdajraj, raja Persia terakhir. Dia meninggal
246
Ali bin Abi Thalib
pada tahun 94 H di Madinah. Dia dimakamkan di Baqi’ di
tempat pamannya Hasan bin Ali. Keturunan Husain yang
berlanjut adalah dari jalur Zainul Abidin.
Seperti itu juga nasabnya Muhammad al-Baqir, putranya
Ja‘far Shadiq Musa bin Ja‘far (Musa al-Kazhim), dan Ali
Ridha, mewarisi kemuliaan, kelembutan, jiwa tinggi, dan
kesucian dari leluhur mereka. Amru bin Abu Miqdam berkata,
”Jika melihat kepada Abu Ja‘far, aku mengetahui bahwa dia
adalah keturunan Nabi.” (Hilyah al-Auliyâ`)
Adapun putranya Ja‘far Shadiq, senantiasa beribadah
dan tunduk kepada Allah, mengutama kan uzlah, dan juga
menahan diri dari kepemimpinan dan perkumpulan. (Hilyah
al-Auliyâ`)
Imam Malik menceritakan tentang Ja‘far Shadiq, dia
berkata, ”Aku mendatangi Ja‘far Shadiq, dia orang yang
sering tersenyum. Jika disebut nama Nabi, dia pucat,
meskipun masanya telah berjauhan. Jika aku melihatnya,
pasti dia ada dalam salah satu dari tiga keadaan; jika tidak
shalat, puasa, atau membaca Al-Qur`an. Setiap kali berkata
tentang Rasulullah saw., dia pasti dalam keadaan suci. Dia
tidak berkata tentang hal yang tidak berguna. Dia seorang
ahli ibadah dan zuhud yang takut kepada Allah.” (Al-Imâm
ash-Shâdiq li al-‘Allâmah Abû Zahrah)
Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali (Musa al-Kazhim)
adalah seorang yang mulia lagi penyayang. Jika sampai kabar
kepadanya bahwa orang telah merasa tersakiti olehnya, dia
langsung memberikan harta kepada orang yang merasa
disakiti tersebut. (Shifah ash-Shafwah)
247
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dia pernah dikirimi kantung yang berisi seribu dinar.
Kemudian dia membagi menjadi 300 dinar, 400 dinar dan
200 dinar, lalu dia membaginya di Madinah.
Abu Hasan Ali bin Musa Al-Kazhim bin Ja‘far Shadiq diberi
kekuasaan oleh al-Makmun. Dia dilahirkan pada tahun 153 H
dan meninggal pada bulan Shafar tahun 202 H. Al-Makmun
turut menyalatkannya dan dimakamkan dekat makam ar-
Rasyid.
Seperti itu juga, Keluarga Hasan bin Ali, Ibnu Asakir
telah membuat biodata tentang Hasan bin Hasan bin Ali
(Dikenal dengan Hasan Al-Mutsanna) dan dia menyebutkan
peninggalan-peninggalannya yang baik yang menunjukkan
kemuliaannya.
Abdullah bin Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib
(Dikenal dengan Abdullah Al-Mahdh) adalah seorang tabiin
dan ahli hadits di Madinah. Waqidi berkata, ”Abdullah
termasuk ahli ibadah, dia memiliki kemuliaan, wibawa, dan
perkataan yang keras.” Mush‘ab bin Abdullah berkata,
”Tidaklah aku melihat seorang ulama (di masa ini) yang lebih
dihormati daripada Abdullah bin Hasan.” Ketika Rabi‘ah
mendengarkan perkataannya, dia berkata, ”Sungguh, ini
adalah perkataan keturunan Nabi.” Pada sebuah jamaah
ada Ayyub di sana, dia sedang duduk di Makkah. Seorang
laki-laki memberi salam kepadanya dari belakang, maka
dia memalingkan seluruh badannya dan mengucap salam
dengan pelan. Kemudian menengok dan matanya berlinang
248
Ali bin Abi Thalib
air mata, dikatakan, ”Siapa ini?” Dia menjawab, ”Cucu Nabi,
Abdullah bin Hasan.” (Tarikh Ibnu Asakir)
Ibnu Katsir berkata, ”Abdullah bin Hasan bin Hasan bin
Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang terhormat di kalangan
ulama. Dia seorang ahli ibadah dan memiliki kehormatan
besar.” Yahya bin Mu‘in berkata, ”Dia adalah orang jujur
dan tepercaya, beberapa jamaah meriwayatkan darinya,
di antaranya Sufyan ats-tsauri, Ad-Darurdi, dan Malik. Dia
meninggal sekitar tahun 145 H. (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Anaknya Muhammad yang keluar dari Madinah, adalah
seorang yang memiliki keinginan tinggi dan keberanian
besar. Dia banyak berpuasa, memiliki kekuatan hebat, dan
dijuluki ”Al-Mahdi” dan ”Nafs Zakiah.”
Terlihat pada dirinya sifat-sifat Ahli Bait dan Bani Hasyim,
yaitu kasih sayang, melindungi masyarakat dari bahaya.
Ketika peperangannya dengan al-Manshur sedang memanas
di Madinah, dan dia mengira bahwa dia akan terbunuh,
maka dia membakar buku yang berisikan nama-nama orang
yang membaiatnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengasihi
mereka dan supaya melawan di kemudian.
Bersemangat pada Nasab Nabi
Orang-orang yang bersemangat terhadap mereka yang
memiliki garis keturunan dari Nabi memanfaatkannya untuk
kepentingan duniawi. Sebagaimana halnya keturunan
pemuka agama pada agama-agama lain dan umat yang
lain, yaitu mereka mengkuduskannya dalam setiap keadaan,
249
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
menganggap mereka lebih daripada manusia biasa.
Mereka tidak bekerja atas nama anak keturunan tersebut,
membangun istana megah untuk menghormati mereka.
Buku-buku sejarah yang mencatat tindakan mereka, berbeda
dengan sejarah atau tindakan yang ada pada agama-agama
lain seperti Brahma. Karena agama tersebut menganggap
kesucian didapat dari keturunan. Dengan demikian, dia
berusaha untuk mewujudkan seluruh keinginannya.
Hasan bin Ali pada suatu ketika pergi ke pasar untuk
membeli keperluannya. Penjual tersebut memberi harga
seperti harga umumnya. Kemudian dia mengetahui bahwa
dia adalah Hasan, cucu Rasulullah, sehingga penjual tadi
memberikan potongan harga, sebagai bentuk penghormatan
kepadanya. Namun, Hasan bin Ali tidak menerimanya dan
dia meninggalkannya. Dia berkata, ”Aku tidak rela jika aku
memanfaatkan kedudukanku dari Rasulullah saw. untuk
sesuatu yang remeh.”
Juwairiah bin Asma`, pembantu khusus Ali bin Husain
yang dikenal dengan Zainul Abidin, berkata, ”Tidaklah Ali
bin Husain makan satu dirham pun, lantaran dia adalah
keturunan Rasulullah saw.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Jika dia bepergian, dia menyembunyikan dirinya. Dia
pernah ditanya tentang hal tersebut, maka dia menjawab,
”Aku tidak menyukai jika aku mengambil dengan nama
besar Rasulullah saw., apa yang tidak pernah diberikan
kepadanya.” (Wafayât al-A‘yân)
Diriwayatkan dari Abu Hasan Ali Ridha bin Musa al-
Kazhim, disebutkan bahwa ketika dia bepergian dia juga
menyembunyikan dirinya. Dia ditanya tentang hal tersebut,
maka dia menjawab, ”Aku tidak menyukai jika aku mengambil
250
Ali bin Abi Thalib
dengan nama besar Rasulullah saw., apa yang tidak pernah
diberikan kepadanya.”
Berlebihan dalam Memuji dan Mencintai Adalah
Dibenci
Mereka adalah orang yang wara’ dalam nasab mereka
kepada Rasulullah saw. Mereka tidak menyukai ada orang
yang berlebihan dalam hal tersebut sebagaimana pengikut
agama lain, seperti Yahudi, Nasrani, dan Brahma. Dari
Yahya bin Said disebutkan: Saat itu Ali bin Husain ada di
perkumpulan jamaah, mereka mengatakan sesuatu dan Ali
bin Hasan berkata, ”Cintailah kami karena kecintaan kepada
Allah SWT. Bagaimana pun kalian mencintai, kami masih
memiliki kehinaan.” (Hilyah al-Auliyâ‘)
Diriwayatkan oleh Khalaf bin Hausyib dari Ali bin Husain,
dia berkata, ”Wahai penduduk Irak. Wahai penduduk Kufah.
Cintailah kami karena Islam. Jangan kalian mengangkat kami
di atas hak kami.” Dia juga berkata, ”Kami Ahli Bait, taat
kepada Allah dalam apa yang kami cintai dan kami bertahmid
dari apa yang kami benci.”
Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib berkata kepada
orang yang berlebihan kepadanya, ”Celakalah kamu,
cintailah kami karena Allah SWT. Jika kami taat kepada Allah
maka cintailah kami. Jika kami bermaksiat kepada Allah SWT
maka bencilah kami. Jika Allah SWT memberikan manfaat
kepada seseorang karena kekerabatannya dengannya,
niscaya bapak dan ibunya mendapatkan manfaat tersebut.
Berkatalah tentang kami yang benar. Karena itu lebih sampai
terhadap yang kalian inginkan dan kami pun ridha kepada
kalian.” (Ibnu Asakir)
251
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Dia juga berkata kepada orang yang memujinya,
”Celakalah kalian, cintailah kami, jika kami menaati Allah
SWT. Bencilah kami, jika kami berbuat maksiat kepada Allah
SWT.” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah)
Mereka selalu menghendaki kesatuan kalimat umat
Islam dan kesepakatan mereka. Diriwayatkan dari Abdullah
bin Muslim bin Babak, dikenal dengan Al-Babaki, salah
satu teman Zaid bin Ali, dia berkata, ”Kami pergi bersama
Zaid bin Ali ke Makkah, ketika pertengahan malam dan
pasir menjadi datar, dia berkata, ’Wahai, Babaki, tidakkah
kamu melihat pasir ini? Apakah kamu melihat seorang yang
menginginkannya.’ Dia berkata, ’Tidak.’ Dia berkata, ’Aku
suka jika tanganku langsung mengenai pasir tersebut dan
aku berada di atasnya. Semoga Allah SWT membaikkan
antara umat Muhammad saw.’”
Mengakui Ketiga Khalifah dan Membela Mereka
Anak keturunan Ali senantiasa mengakui tiga Khalifah
Rasyidah serta hak mereka kepada setiap muslim. Mereka
memberitahukan hal tersebut kepada orang-orang banyak,
dari Yahya bin Sa‘id, dia berkata, ”Ali bin Husain didatangi
beberapa orang dari Irak, mereka berkata buruk tentang
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Ketika mereka selesai
berbicara, dia berkata, ’Aku bersaksi, kalian bukanlah orang
yang ada di dalam rman Allah SWT,
252
Ali bin Abi Thalib
’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Ansar), mereka berdoa, ”Ya Tuhan kami, ampunilah kami
dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya
Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha
Penyayang.’” (QS al-Hasyr [59]: 10)
Dari Urwah bin Abdullah, dia berkata: Aku bertanya
kepada Abu Ja‘far Muhammad bin Ali tentang menghias
pedang. Dia berkata, ”Tidak apa-apa, karena Abu Bakar ash-
Shiddiq pernah menghias pedangnya.” Dia berkata, ”Kamu
telah berkata tentang Abu Bakar ash-Shiddiq?” Kemudian
dia melompat dan menghadap kiblat seraya berkata, ”Iya.
Sebaik-baik orang adalah ash-Shiddiq, barang siapa yang
tidak berkata tentang Shiddiq, maka Allah SWT tidak akan
membenarkan ucapannya di dunia dan di akhirat.” (Shifah
ash-Shafwah)
Dari Budak Jabir Al-Ju‘, dia berkata, ”Abu Ja‘far
Muhammad bin Ali berkata ketika aku berpamitan padanya,
’Beritahukan kepada penduduk Kufah, aku terbebas dari
orang-orang yang tidak mengakui Abu Bakar dan Umar.’”
Dari Muhammad bin Ishaq dari Abu Ja’far Muhammad
bin Ali, dia berkata, ”Barang siapa yang tidak mengakui
keutamaan Abu Bakar dan Umar, dia tidak mengetahui
sunnah.”
Abu Khalid al-Ahmar berkata, ”Aku bertanya kepada
Abdullah bin Hasan tentang Abu Bakar dan Umar. Kemudian
dia menjawab, ’Semoga Allah SWT melimpahkan shalawatnya
kepada keduanya dan Allah SWT tidak akan bershalawat
253
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
kepada seorang yang tidak bershalawat kepada keduanya.’
Dia juga berkata, ’Tidaklah aku melihat seorang yang
menghina Abu Bakar dan Umar mendapatkan kemudahan
dalam bertaubat.’ Kemudian disebutkan pada hari ketika
Utsman dibunuh maka basahlah jenggot dan bajunya dari
air mata.”
Orang-Orang yang Bertekad Kuat dan Berjihad
Mereka adalah Ahli Bait Rasulullah saw. dan keturunan
Asadullah al-Ghâlib (Singa Allah yang Menang), Ali bin Abi
Thalib; Cucu-cucu orang-orang yang memiliki keberanian
yang merupakan slogan kenabian, pewaris Ali Murtadha,
dan Husain bin Ali, syahid Karbala`. Mereka bertindak
dengan tekad kuad dan tidak menghiraukan musibah yang
dihadapinya untuk menempuh jalan kebenaran—Berani
menghadapi segala rintangan untuk mengarahkan kaum
Muslim.
Kami telah menyebutkan sikap Zaid bin Ali bin Husain
terhadap Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan, Khalifah
Umawiah dan sikap Muhammad bin Abdullah al-Mahdhi
dan saudaranya, Ibrahim, terhadap Khalifah al-Mansur. Itulah
syiar mereka sepanjang sejarah Islam. Dari keturunan ini
muncullah pemimpin-pemimpin yang menggiring pasukan
mujahid di jalan Allah, menyerang kekuatan asing di benua
Asia dan Afrika. Mereka memiliki sejarah yang mulia, penuh
dengan kepahlawanan dan kemuliaan. Kita menanti seorang
ahli sejarah yang tepercaya dan memiliki pengetahuan luas,
untuk mengumpulkannya dalam sebuah kitab.
Keadaan tersebut berbeda jauh dengan orang yang
berlebihan dalam mencintainya. Mereka tidak memiliki
254
Ali bin Abi Thalib
keberanian untuk menunjukkan kebenaran. Mereka hidup
dalam ketakutan akan bahaya yang mencekam. Mereka
mengikuti perpolitikan untuk kepentingan dan menyem-
bunyikan kebenaran. Mereka membawa senjata yang
bernama takiah bukan untuk sesaat dan sebagai untuk mem-
persenjatai diri, tetapi mereka menganggapnya sebagai
ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka
menggunakan takiah ini dalam kesempatan yang tepat dan
yang tidak tepat; menjauhkan umat Muhammad dari inti
ajaran kenabian.
Mereka menggambarkan imam-imam tersebut di dalam
buku, yang tidak ada bedanya dengan freemasonri dan
antek-anteknya, serta organisasi rahasia yang terdapat di
berbagai negara. Tidak ada gairah untuk mempelajarinya
dan berbahaya sehingga bisa menundukkan Islam. Itulah
jiwa yang mulia yang mengubah sejarah dan peristiwa dalam
masa yang gelap dan rumit, sekitar 14 abad dari sejarah Islam
dan sejarah akan mengarah kepada arah yang baru.
Peranan Mereka dalam Dakwah Islam dan Penyucian
Jiwa serta Beberapa Contoh
Keturunan Ali—baik dari Hasan maupun Husain—dan mereka
yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah saw. memiliki
peranan dalam berdakwah di daerah yang belum terjamah
oleh Islam sebelumnya. Banyak orang yang memeluk Islam
atau sebuah negara menjadi Islam karena mereka. Hal itu terus
menerus, hingga tumbuhan Islam ini memberikan buahnya dari
masa ke masa dengan seizin tuhannya. Dari mereka muncullah
ulama besar dan pendidik mulia sebagaimana terjadi pada
masyarakat Barbar di Maghrib. Kemudian wilayah Kashmir di
255
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
India, mayoritas memeluk Islam (Alhamdulillah hingga saat ini)
karena dakwah dari seorang dai besar yang bernama Ali bin
Syihab al-Hamdzani (meninggal pada 786 H).
Begitu juga penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara
serta di wilayah Indonesia, kembali kepada mereka (Ahli
Bait). Pengarang LWC Vanden Berg berkata dalam bukunya,
”Pengaruh dalam Islam ada pada pemuka-pemuka yang
mulia. Dari merekalah Islam menyebar di kerajaan-kerajaan
Hindu di Jawa dan sekitarnya. Meskipun ada selain mereka
dari Hadhramaut, tetapi pengaruh tersebut tidak ada pada
orang-orang dari Hadhramaut.” Dia memberikan alasan
bahwa hal sesungguhnya yang membuat pengaruh adalah
mereka dari keturunan Nabi yang membawa Islam.
Dalam sejarah Serawak bahwa Sultan Barakat merupakan
keturunan Husain bin Ali. Pemuka-pemuka dari keluarga Ali,
dari Hadramaut, berdagang dan menyebarkan Islam dengan
bantuannya.
Dalam keputusan Majlis Permusyawaratan yang diadakan
pada 8 Dzul Hijjah 1382 H/ 30 April 1962 M, disebutkan bahwa
pemuka-pemuka keturunan Ali dari Hadhramaut, penganut
mazhab Sya’i, yang menyebarkan Islam di Indonesia. Begitu
juga masuknya Islam di Filipina pada pertengahan kedua abad
14 H, berada di bawah tangan pemuka-pemuka keturunan Ali
yang berhasil mencapai negeri tersebut. Mereka membawa
panji dakwah Islam di sana. Selain itu, mereka membantu
dalam pertumbuhan negara, pengembangan keorganisasian
masyarakatnya, dan kebudayaannya. Disamping itu, hal itu
juga sampai ke Jazair al-Qamar dan sekitar Madagaskar,
Mozambik, dan Melayu.
256
Ali bin Abi Thalib
Di antara mereka adalah pendidik besar yang sibuk dalam
menyucikan jiwa dan mengikatnya kepada tuhannya untuk
menggapai akhirat, ketakwaan, dan mengikuti sunnah dengan
melepaskan diri dari syahwat dan egoisme. Kepada merekalah
dikembalikan kekuasaan ilmu, pendidikan, perbaikan, pence-
rahan, dan dakwah. Orang-orang dari berbagai arah menuju
mereka, Allah memberikan rezeki kepada mereka untuk
berhadapan dan mengarahkan raja-raja.
Kami akan menyebutkan sebagian dari mereka. Imam
Abdul Qadir al-Kailani (470 H–561 H)—Keturunan dari Hasan
bin Ali—gemilang dalam berdakwah kepada Allah, me-
n yucikan jiwa dengan menghidupkan jiwa dan hati yang
mati serta menyalakan sumbunya yang baru saja mati. Dari
nasihat-nasihatnya berhembuslah angin kuat yang menebar
keimanan, yang menghidupkan hati yang mati, memberikan
semangat jiwa yang lesu. Dari alam Islam mendebur ombak
keimanan, jiwa yang kuat, akhlak mulia, berserah diri, dan
tauhid yang tulus.
Syekh Umar al-Kaisani berkata, ”Majelis Syekh Abdul
Qadir tidak pernah lepas dari masuknya Islam dari golongan
Yahudi dan Nasrani, taubatnya perampok, pembunuh, dan
orang-orang fasik lainnya serta tidak lepas dari ada seorang
yang kembali dari ajaran sesat. Di bawah tangannya telah
ada lebih dari 5.000 orang dari Yahudi dan Nasrani yang
memeluk Islam. Di bawah tangannya juga ada yang bertaubat
dari golongan pengembara dan bersenjata, yang jumlahnya
lebih dari 100.000 orang. (Qalâid al-Jawâhir)
Selanjutnya, para pendidik yang berada di bimbingannya
menyebar di kawasan pedalaman Afrika, sehingga menye-
barlah Islam di sana. (Ad-Da‘’wah ila al-Islâm)
257
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Itulah peranannya dalam menebar ilmu, membantu
sunnah, serta akidah yang benar dan seorang pemerang
bid‘ah.
Di Benua Asia ada banyak pendidik besar dan penyelamat
mulia dari golongan Ahli Bait. Mereka melakukan penyucian
hati dari segala nodanya, mengobati penyakit batin, dan
meluruskan akhlak tercela. Mereka mengaitkan hati tersebut
kepada Allah SWT dan sunnah Rasulullah saw. dengan ikatan
yang kuat. Kita tidak bisa menyebutkan nama mereka satu
per satu, terlebih keutamaan mereka yang begitu banyak.
Cukup kita sebutkan beberapa, yaitu Syekh Nizhamuddin
Muhammad bin Ahmad al-Badayuni ad-Dahlawi, peng-
gantinya Syekh Mahmud bin Yahya yang dikenal dengan
Nashiruddin al-Awadi ad-Dahlawi, penggantinya Sayyid
Muhammad bin Yusuf al-Husaini al-Kulbarkawi. Mereka
semua adalah keluarga Rasulullah saw. dan pemuka yang
dikenal dengan nasabnya.
Syekh Nizhamuddin Muhammad bin Ahmad Al-Badayuni
(636 H-715 H), disebutkan oleh Ali bin Sulthan al-Qari al-Makki
dalam kitabnya Al-Atsmâr al-Janiyyah fî Asmâi al-Hanayyah,
dia berkata, ”Kepadanya orang-orang meminta didoakan
kepada Allah dan melangkah meniti jalan ibadah, terputus
dengan urusan dunia. Kesemuanya itu disertai ilmu yang
nyata dan menyelami kemuliaan yang besar.” Majduddin
al-Fairuz Abadi juga menyebutkannya dalam kitabnya, Al-
Althâf al-Khufyah î Asyraâf Al-Hanayyah.
Adapun Syekh Mahmud bin Yahya yang dikenal dengan
Nashiruddin Mahmud al-Husaini al-Yazdi al-Awadi, yang
258
Ali bin Abi Thalib
dimakamkan di Kota Delhi adalah pembesar wali Allah yang
salik. Dia merelakan dirinya dengan memegang teguh sunnah,
berdoa kepada Allah, memberi manfaat dan berbuat baik
kepada sesama, serta bertawakal dan zuhud. Dia meninggal
pada tahun 757 H di Delhi. (Nuzhah al-Khawâthir)
Selanjutnya, Syekh Muhammad bin Yusuf adalah
seorang Imam dan ulama besar, seorang ahli dalam bidang
kih lagi zuhud. Dia memiliki maqam (kedudukan) tinggi
dan karamah yang jelas. Dia bernama lengkap Muhammad
bin Yusuf bin Ali bin Muhammad bin Yusuf Imam Abu Fath
Shadruddin Muhammad ad-Dahlawi al-Kalbarkawi. Nasabnya
menyambung kepada Yahya bin Husain bin Zaid (721 H-825
H). Dia menjadi rujukan dalam ilmu riwayat dan dirayat
serta penyucian jiwa. Hal itu menunjukkan kematangannya
dan kebenarannya. Terkumpul padanya syariat dan tarekat,
zuhud, serta menguasai hakikat dan makrifat. (Nuzhah al-
Khawâthir)
Di antara mereka ada juga Asyraf bin Ibrahim al-Hasani al-
Husaini yang terkenal dengan Jahankir. Dia dilahirkan di
Kota Samnan dan mendapat kenikmatan dari bapaknya.
Dia dibesarkan dalam lingkungan kerajaan, sibuk dengan
menuntut ilmu dari para gurunya di masanya. Dia menjadi
raja menggantikan bapaknya. Selain sibuk dengan urusan
negara, dia bersahabat dengan Syekh Ruknuddin, seorang
petinggi negara dan seorang ulama. Dia mengundurkan diri
dari kedudukannya dan memberikannya kepada saudaranya,
Muhammad. Dia menuju India di kawasan Kajha. Dia menetap
di sana, mendidik, mengarahkan, dan berdakwah kepada
259
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Allah. Allah menjadikannya manfaat untuk banyak makhluk.
Dia seorang ulama besar lagi arif, dia memiliki banyak karya
dalam bidang kih dan ushul kih, penyucian jiwa, ilmu
kalam, nasab, sirah, tafsir, dan syair. Dia meninggal pada 28
Muharram 808 H.
Pengaruh para Syekh dan pendakwah kepada Allah
tersebut tidak sebatas kepada para murid-muridnya, tetapi
pengaruhnya luas ke seluruh masyarakat Islam, yaitu hingga
ke pasar, rumah, desa, dan kerajaan. Seorang ahli sejarah
besar, Dhiyauddin al-Barani, yang memiliki hubungan
dengan Syekh Nizhamuddin, menceritakan tentang peng-
aruh Syekh tersebut dalam masyarakat dan suku, dia
berkata, ”Pengaruh dari bergaul dengan Syekh tersebut
adalah wara’, zuhud, kemudian jujur dan istiqamah dalam
tindakan, perbaikan akhlak, mengangkat syiar Islam, hukum
syariat diterapkan, serta maksiat ditinggalkan pelakunya.
Kemudian, dalam masyarakat tumbuh keinginan kuat untuk
beribadah dan melakukan ibadah sunnah, serta melakukan
kegiatan yang bermanfaat untuk manusia. Banyak orang-
orang yang taubat dari minuman keras, berjudi, dan dari
tindakan amoral. Mereka juga bertaubat dari dosa riba,
menimbun, curang dalam jual beli, dan lain sebagainya
yang menunjukkan perubahan sikap dan perkembangan
dalam kehidupan masyarakat.
Mereka tidak hanya sebatas memberikan pencerahan
untuk menyucikan jiwa dan berdakwah kepada Allah yang
terkumpul dalam jiwa mereka. Mereka peduli dengan apa
yang mengancam kaum muslim dan masa depan mereka
260
Ali bin Abi Thalib
di suatu negara. Mereka tidak meninggalkan kejadian dan
perkembangan yang ada pada peraturan suatu pemerintahan
yang memengaruhi keberadaan Islam di sebuah negara
yang luas yang menjadi rangkaian emas dalam negara Islam.
Mereka memiliki peran penting dalam sejarah Islam guna
perbaikan di masyarakat dan pembaharuan. Kami berikan
dua contoh untuk hal tersebut.
Pertama, kisah yang diabadikan dalam sejarah Islam,
yaitu kekuatan seorang raja yang saleh, adil, yang dikenal
rajin, dan semangat dalam menyebarkan Islam di seperempat
dataran India. Dia-lah Sultan Fairuz Syah Taghluk.
Pada saat itu, Sultan Muhammad Taghluk meninggal,
saat berperang melawan Mongol. Setelah berperang tentara
muslim mendapatkan harta yang melimpah, tetapi mereka
tidak memiliki panglima. Dengan demikian, kerajaan Islam
di sana pada waktu itu berada di bawah kendali orang-orang
yang tamak akan dunia.
Fairuz Syah Taghluk adalah keponakan sultan yang
meninggal. Dia tidak mau mengurusi permasalahan negara,
sehingga dia menjauhinya. Namun, Syekh Mahmud bin Yahya
al-Awadi, yang dikenal dengan Nashruddin Siraj Ad-Dihli,
membujuknya untuk mau mengurusi negara dan menggantikan
posisi pamannya tersebut serta juga untuk memimpin dengan
adil dan berjihad. Syekh Mahmud berjanji akan membelanya
dan mendoakannya untuk menang dan keberkahan. Akhirnya,
Fairuz mengiyakan permintaan dari Syekh tersebut. Dia pun
diangkat menjadi sultan dan memerintah selama 40 tahun.
Dalam sejarah sultan-sultan di sana, pada masanyalah
yang paling bagus, dalam segi kesejahtraan, keamaan, dan
keberkahan yang turun dari langit. (Târîkh Fairuz Syah)
261
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Kedua, ketika Hinduki berkuasa atas Bangal, dia me-
nolak hukum Islam di wilayah tersebut yang telah luntur dari
perhatian Syekh Nur dan Sayyid Asyraf Jahangir as-Samnani.
Sultan Ibrahim asy-Syarqi menguasai wilayah timur yang
beribukota Janpur, sehingga menghadapi bahaya tersebut.
Akhirnya, dia mengirimkan surat untuk menghadapi bahaya
tersebut. Dengan demikian, dia bersama tentaranya meng-
hadapinya dan hilanglah bahaya yang ada di sana.
Merekalah pemuka-pemuka dai yang menyeru kepada
Allah, salah satunya adalah Syekh Arif Adam bin Isma‘il al-
Husaini al-Kazhimi al-Binnuri. Banyak orang yang disadarkan
olehnya, sehingga dikatakan bahwa ada 1.400 orang yang
membaiatnya untuk mengikuti syariat Muhammad dan
sunnahnya. Ada sekitar seribu orang yang mendapatkan ilmu
dan makrifat yang banyak darinya. Setiap hari tidak kurang
dari 1.000 orang hadir di halaqahnya dan mereka semua
makan dari dapurnya serta mengambil manfaat darinya. Dia
pergi ke Lahore pada tahun 1052 H bersama dengan 10.000
pemuka dari setiap kabilah, sehingga membuat takut Syah
Jehan, Raja India pada masa itu yang tinggal di Lahore.
Kemudian dia pergi ke Haramain, menapakkan kedua kakinya
di Madinah, dan meninggal pada tahun 1053 H.
Selanjutnya, sampailah kita kepada seorang dai besar dan
pendidik agung, Sayyid Umam Ahmad bin Irfan asy-Syahid
7
7 Jalur nasabya kembali kepada Muhammad Dzu Nafs Zakiah, Ibnu Abbdullah
Al-Mahdh, Ibnu Hasan (Al-Mutsanna) ibnu Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Datang
ke India karena kakeknya, seorang pemimpin besar Syekh Islam Quthbuddin,
262
Ali bin Abi Thalib
(1201 H-1246 H). Banyak para ahli makrifat menganggapnya
sebagai pembaharu abad ke-13 H. Dengan dakwahnya,
berhembuslah angin keimanan, ketauhidan yang murni,
keterikatan dengan sunnah, kerinduan kepada jihad dan
syahid, ketegaran dalam bertindak, keterlepasan dari
keegoisan dan hawa nafsu, menjadikan hukum syariah dalam
kehidupan masyarakat dan pribadi, dan mengeluarkan
kekuatan besar untuk menegakkan pemerintahan syariat
berlandaskan manhaj khalifah rasyidah. Kemudian, dengan
dakwahnya pula, terlontarlah semangat untuk mengusir
penjajah Inggris dari tanah India yang terjajah, serta
mengorbankan jiwa yang berharga untuk itu, hingga seorang
sejarawan Inggris mengibaratkan bahwa orang ini adalah
ancaman terbesar bagi masa depan dan cita-cita Inggris.
Kemampuannya tersebut menggelegar hebat dan penuh
keberkahan, belum tampak dalam sejarah dakwah di abad
terakhir ini yang seperti dia. (Idzâ Habbat Rîh al-Îmân)
Seorang penulis besar, Al-‘Allamah Sayyid Shiddiq
Hasan al-Qinauji Amir Bufal (meninggal pada 1307 H)—
dia menjumpai khalifahnya dan melihat pengaruh kerja
kerasnya—berkata, ”Sungguh, hal tersebut merupakan
sebagian dari tanda kekuasaan Allah SWT dalam memberikan
hidayah kepada hamba-Nya, memperbaiki keadaannya,
dan kembali kepada-Nya dengan perantaranya. Banyak
orang yang mencapai derajat rabbani dan ihsan dengan
pengajaran, pendidikan, dan pensucian jiwa darinya. India
Muhammad bin Sayyid Rasyiduddin Ahmad. Pada abad ke-7 H kakeknya
berjihad di jalan Allah, di bawah tangannya berhasil ditaklukkan kota-kota dan
benteng-benteng. Meninggal pada tahun 677 H. Allah memberkahi masa-
masa sepeninggalnya, tumbuhlah pendidik-pendidik dan para pengubah, para
mujahid di jalan Allah dan yang paling terkenal adalah Sayyid Ahmad bin Irfan
Asy-Syahid.
263
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
mampu lepas dari noda kesyirikan, bid’ah, dan khurafat,
hingga mendapatkan hidayah dari Al-Qur`an dan Sunnah
dengan perantara pencerahan dari para sahabatnya dan
khalifahnya. Pencerahannya dan ajarannya masih tetap hidup
seperti pohon yang memberikan buah pada setiap saat.”
Dia menambahkan seraya berkata, ”Singkat kata, kami
tidak mengetahui ada seorang pun di era modern ini yang
merendahkan keluhurannya dan kemuliaannya. Tidak ada
juga yang mengingkari manfaat keimanan dan kerohanian
dari jamaahnya. Ulama sekarang belum bisa melampauinya
meskipun hanya seper sepuluh.” (Tiqshâr Juyûd al-Ahrâr)
Seorang ulama pada awal abad ini yang memiliki
pengalaman luas tentang India, Syekh Abdul Ahad, berkata,
”Lebih dari 40.000 umat Hindu ataupun nonHindu memeluk
Islam di bawah tangan Sayyid Ahmad. Tiga juta umat
Muslim berbaiat kepadanya. Jika kita teruskan rangkaian
orang yang berbaiat ini dari para pengikutnya hingga saat
ini maka lebih dari milyaran orang yang berbaiat.” (Sawânih
Ahmadî)
Dia bergerak dalam pergerakan perbaikan dan jihad.
Di India tidak ada pergerakan yang lebih luas darinya dan
tidak ada yang lebih berpengaruh darinya. Cukuplah satu
keterangan salah satu orang yang menyerang pergerakan ini,
yaitu WW. Hunter, dia mengatakan dalam kitabnya, Muslimû
al-Hindi, ”Kepala kepolisian di Benghal menjelaskan bahwa
semua penyeru dan yang bertanggungjawab dalam jamaah
tersebut (Pengikut Ahmad Syahid) pengikutnya tidak kurang
dari 80.000 orang. Kesetaraan Islam menjadi pedoman
mereka semua, sehingga setiap mereka saling membantu
kawannya dalam urusannya. Mereka berbuat sebaik mungkin
264
Ali bin Abi Thalib
dalam membantu saudaranya dalam keadaan apa pun.” (Our
Musalman in India)
Banyak penyeru kepada Allah, para pendidik, dan pemimpin
jihad Islam, telah menyebar di seluruh penjuru Arab Islam.
Mereka menghadapi kekuatan besar Eropa dengan segenap
keberanian yang luar biasa. Kepada merekalah kembalinya
kemuliaan dalam pembebasan negara-negara dari geng-
gaman asing, serta mendirikan pemerintahan Islam yang
merdeka.
Kami akan menyebutkan sebagian dari mereka, yaitu
Abdul Qadir al-Jazairi dan Ahmad Syarif as-Sanusi. Kami
nukilkan keterangan dari Amir al-Bayan Syakib Arslan
tentang keduanya, keterangannya pada kitab Hâdhir al-
‘Âlam al-Islâmî, yang dikarang oleh Lothrop Stoddard, warga
Amerika yang dialih bahasakan dalam bahasa Arab oleh
Ajjaj Nuwaihidh: Amir Syakib berkata tentang Abdul Qadir
al-Jazairi, ”Dia adalah Abdul Qadir bin Muhyiddin al-Hasani.
Leluhurnya berasal dari Maghrib al-Aqsha, dia termasuk
Ahli Bait. Dia dilahirkan pada tahun 1223 H yang bertepatan
dengan tahun 1808 H. Dia tumbuh dalam lingkungan
keilmuan dan ketakwaan. Dia bersungguh-sungguh dalam
menuntut ilmu, hingga unggul dalam sastra, kih, tauhid,
dan hikmah. Meskipun demikian, dia tidak mengabaikan
untuk belajar menggunakan senjata dan menunggang kuda.
Jadi, dia unggul dalam keilmuan dan juga unggul dalam
menunggang kuda. Begitu juga terkumpul padanya antara
pedang dan pena.
265
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Kedudukannya bertambah mulia setelah ayahnya me-
ninggal, sehingga dia menjadi pemimpin syariat untuk se-
luruh wilayah barat, Maghrib Ausath. Kemudian ke kuasaan-
nya meluas hingga di luar batas wilayah negerinya. Dia
menaklukkan Perancis dalam peperangan pada tanggal 26
Juli 1835 M. Dia dikalahkan oleh Jendral Perancis (Boujou).
Meskipun demikian, dia masih teguh pendirian dan memiliki
banyak kekuatan. Kemudian Perancis mengadakan perjanjian
Tafana dengan Abdul Qadir. Dengan memberikan sebagian
besar wilayah Aljazair kepadanya dan tunduklah kepadanya
kaum yang suka menghancurkan dan berlebihan.
Tidak pernah terlupa ketika dia mendirikan pemerin-
tahan syariah, dan dia menyerukan jihad pada tanggal
20 November 1839 M melawan Perancis. Peperangan
berlangsung tanpa henti dari tanggal tersebut hingga
tahun 1843 M. Akhirnya, Syekh Abdul Qadir hengkang dari
tempatnya yang mulia, karena ketidaksepadanan senjata
antara dua kubu. Dengan demikian, pihak musuh berhasil
menduduki banyak kota dan menundukkan pendukungnya.
Kemudian dia berlindung di Maghrib dan menyerang
Jazair untuk kedua kalinya. Dia terus melancarkan serangan
hingga negeri Barbar. Namun, cakar Perancis sudah
mencengkeram kuat di negeri-negeri tersebut. Akhirnya, dia
berhijrah ke Syam, menghabiskan sisa waktunya di Damaskus,
berbaur dengan para ulama, dan menebarkan kebaikan.
Dia terus menjadi teladan dalam ketaatan, ketakwaan, dan
kemuliaan akhlak. Dia meninggal pada tahun 1883 M dan
dimakamkan di Shalihiah. (Hâdhir al-‘Âlam al-Islâmî)
Amir Syakib juga berkata tentang Ahmad Syarif as-Sanusi,
”Aku melihat Ahmad Syarif as-Sanusi adalah seorang pemuka
266
Ali bin Abi Thalib
agama yang mulia, pengajar agung, dan seorang yang paling
luhur dalam pandanganku selama hidupku. Dia memiliki
kemuliaan tinggi, kecerdasan, akhlak terpuji, cepat dalam
memahami, kebenaran pendapat, dan kekuatan hafalan.
Kesemuanya itu disempurnakan dengan kesederhanaan dan
wara’ tanpa disertai ria dan sum‘ah.
Aku memperhatikannya bahwa dia orang yang pe-
nyabar, jarang didapati seorang seperti itu. Seorang yang
berkeinginan kuat, hal itu tampak pada air mukanya. Dia
seorang pemberani, aku mendapatkan kabar bahwa dia
pernah mengikuti peperangan di Tripoli dan beberapa
peperangan. Dia pernah menunggangi kudanya beberapa
belas jam tanpa henti. Dia sering mengambil risiko sendiri,
tidak mengikuti panglima atau pemimpin yang menjauh dari
medan pertempuran, yaitu tempat yang aman yang tidak
bisa dijangkau musuh.” (Hâdhir al-‘Âlam al-Islâmî)
Akidah Imamah Menurut Syiah
Sangat jelas sekali dari tulisan-tulisan sebelumnya bahwa
para pemuka dari Ahli Bait berpegang teguh dengan akidah
Islam yang suci lagi murni, yang mereka dapatkan dari Nabi
mereka dan kakek mereka. Akidah mereka tersebut adalah
keimanan, bahwa Nabi mereka adalah Nabi akhir zaman yang
menjadi penutup kenabian dan kerasulan, dengannya wahyu
langit terputus, sempurnalah agama ini, dan juga dengan
agama ini terikatlah kesejahteraan di dunia dan keselamatan
di akhirat. Itulah agama sempurna yang dirmankan oleh
Allah SWT, ”Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu
267
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan
telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.” (QS al-Mâidah [5]:
3) Setelah Nabi Muhammad saw., tidak ada lagi kenabian,
syariat, pengurangan atau penambahan, penghapusan dan
pembatalan. Akidah tersebut terus menurun kepada mereka
dari Ali hingga akhir dari mereka.
Sufyan meriwayatkan dari Mutharrif dari Asy-Sya’bi dari
Abu Juhaifah, dia berkata: Kami bertanya kepada Ali, ”Ada-
kah dari kalian memiliki selain Al-Qur`an dari Rasulullah
saw.?” Ali berkata, ”Tidak, demi Dzat yang menumbuhkan
biji dan meniupkan angin, yang ada hanyalah pemahaman
yang diberikan oleh Allah SWT kepada seseorang tentang
Al-Qur`an atau apa yang ada di shahifah.” Aku berkata, ”Apa
yang ada pada shahifah?” Dia berkata, ”Akal, membebaskan
tawanan, dan tidak membunuh seorang muslim dengan
seorang kar.” (HR Ahmad bin Hanbal)
Dorongan Jiwa yang Sakit untuk Mengadopsi
Pandangan Sesat
Dengan akidah yang benar itulah anak cucunya dan para
khalifahnya berpegang teguh. Sepanjang hidup, mereka
senantiasa menyerukannya dan memberikan nasihat dengan-
nya, serta berjuang untuknya. Namun, pada akhirnya mun-
cullah sebuah kondisi sebagaimana masa jahiliyah kuno,
agama-agama kelam, kebudayaan, pemahaman lsafat yang
memanfaatkan kenabian tetapi mereka tidak menegakkan
ajaran-ajarannya. Sebagaimana terjadi di Yunani, Iran, India,
dan Cina, yaitu budaya mengkuduskan seseorang dari
keluarga raja, atau pemuka rohaniawan pada masa dulu.
Mereka dikenal dengan melakukan pelatihan yang sangat
berat dan pengorbanan yang besar. Mereka diagungkan
268
Ali bin Abi Thalib
melebihi manusia pada umumnya, mereka diberikan
kekuasaan untuk menghapus dan menentukan hukum se-
kehendak mereka. (Encyclopedia Britannica)
Unsur kejiwaan dan godaan dari sekitar, memberikan
andil untuk membentuk seseorang seperti itu, berikut di
antaranya,
1. Meninggalkan ketundukan dan tanggungjawab. Keter-
gantungan kepada strata tertentu atau keluarga tertentu
dalam masyarakat atau orang-orang yang diperhitungkan
atau seorang yang serupa dengan strata atau keluarga
tersebut.
2. Memusatkan kepercayaan, kemuliaan, dan ketundukan
kepada satu keluarga atau satu orang tertentu. Hal itu
lebih mudah daripada harus tunduk kepada syariat yang
mengandung banyak hukum, banyak ulamanya dan
pandangan mereka yang berbeda-beda.
3. Memungkinkan untuk memanfaatkan keluarga, seorang
khusus, atau orang yang mengaku pemuka agama,
untuk memuaskan hasrat pribadi, sosial, atau politik.
Dengan demikian, dalam banyak kasus bisa dijadikan
andalan, ibarat menempuh jarak jauh dengan waktu
sesingkat mungkin dengan tenaga sekecil mungkin.
Karena pengkudusan seseorang masih bisa diterima di
masyarakat di mana pun dan kapan pun, sehingga politikus
sering menggunakan mereka pada masa dahulu.
Akidah Syiah Imamah merupakan sarana untuk me-
wujudkan tujuan-tujuan tersebut dengan mudah, yaitu
dengan berkedok agama dan pengkudusan seseorang.
Mereka mendakwakan bahwa para khalifah Rasulullah saw.
269
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
sebenarnya sudah ditentukan oleh Allah SWT. Mereka seperti
para Nabi yang maksum dan senantiasa taat. Kedudukan
mereka pun setara dengan Rasulullah saw. dan lebih tinggi
dari para Nabi yang lainnya.
Mereka mengatakan bahwa hujjah Allah tidak akan
tegak pada makhluknya tanpa adanya imam dan dunia tidak
akan ada tanpa adanya imam. Seseorang mengetahui para
imam adalah syarat keimanan. Taat kepada imam wajib
sebagaimana ketaatan kepada Rasulullah. Para imam bebas
dalam menghalalkan dan mengharamkan segala sesuatu.
Mereka maksum sebagaimana para Nabi. Orang yang ber-
iman kepada imam yang maksum akan masuk surga meskipun
dia zalim, fasik, dan jahat.
Derajat para imam itu seperti derajat Rasulullah saw.,
lebih tinggi daripada seluruh makhluk dan seluruh Nabi.
Para imam memiliki ilmu yang terdahulu atau yang akan
terjadi. Amalan para hamba akan ditampakkan di hadapan
para imam setiap malam dan siang. Karena malaikat selalu
bolak-balik kepada para imam siang dan malam. Pada malam
jum‘at mereka mendapatkan kenikmatan dengan bermi‘raj.
Setiap malam Lailatul Qadar, diturunkan kitab dari sisi Allah
kepada para imam. Kematian ada di dalam kekuasaannya,
mereka memiliki dunia dan akhirat, dan memberikan kepada
siapa yang mereka kehendaki. (Usûlu al-Kâfî)
Dalam kitab Al-Kâfî juga disebutkan: Hasan bin Abbas
al-Ma‘ru menulis surat kepada ar-Ridha, ”Aku jadikan
diriku tebusanmu, katakanlah kepadaku apa perbedaan
Rasul, Imam, dan Nabi?” Dia pun membalas surat tersebut,
270
Ali bin Abi Thalib
”Perbedaan antara Rasul, Nabi, dan Imam. Rasul adalah
orang yang didatangi oleh Jibril, melihatnya dan mendengar
perkataannya, serta diturunkan kepadanya wahyu. Bisa jadi
apa yang dia mimpikan seperti mimpi Ibrahim, sedangkan
Nabi, adalah kemungkinan dia mendengarkan ucapannya,
bisa juga melihat sosok dan tidak mendengar. Adapun Imam
adalah mereka mendengarkan perkataan yang tidak bisa
dilihat orang lain.
Dikisahkan oleh Ibnu Khaldun dalam amanah sejarah dan
analisa ilmiahnya, dia berkata, ”Bahwasanya Imamah itu
menurut Syiah, bukanlah sebuah kemaslahatan umum yang
dikuasakan kepada pendapat umat dan ditentukan oleh
mereka. Namun, imamah adalah rukun agama dan pokok
Islam. Seorang Nabi tidak boleh melalaikan permasalahan
imamah ini dan menguasakannya kepada Umat, tetapi
seorang Nabi harus menentukan imam bagi mereka. Imam
tersebut adalah yang maksum dari dosa besar atau kecil.
Bahwasanya Ali telah ditunjuk oleh Rasulullah dengan nash
yang mereka nukil dan takwilkan sesuai dengan mazhab
mereka.” (Fajru al-Islâm oleh Dr. Ahmad Amin yang dinukil
dari Mukadimah Ibnu Khaldun)
Akidah tersebut telah sambung menyambung hingga sampai
kepada ulama Syiah dan pemimpin mereka pada zaman ini.
Akidah tersebut sangatlah pokok hingga sampai kepada
al-Khumaini pada zaman ini. Dalam kitabnya Al-Hukûmah
271
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
al-Islâmiyyah pada bab Al-Wilâyah at-Takwîniyyah, dia ber-
kata, ”Bahwasanya para imam memiliki kedudukan yang
terpuji, derajat luhur, kerajaan bentukan berada di bawah
kekuasaannya. Sesungguhnya di antara yang terpenting
pada mazhab kita adalah bahwasanya kedudukan para imam
berada di atas Raja dan Nabi yang diutus. Hal itu sesuai
dengan riwayat dan hadits yang kita miliki. Karena sebelum
ada alam raya ini, sesungguhnya Rasulullah saw. dan para
imam adalah cahaya. Allah menjadikannya mengelilingi Arsy
dan Allah meletakkannya pada kedudukan sangat tinggi
yang hanya diketahui oleh Allah.”
Cendekiawan nonmuslim pun memahami hasil dari akidah
sesat dan segala yang berkaitan dengannya. Patrick Hugec
berkata, ”Sesungguhnya Syiah meletakkan sifat-sifat Allah
kepada para Imam.” (Dictionary of Islam)
Wivanow berkata, ”Dengan memberlangsungkan imamah
secara terus menerus, akan membuka posisi untuk ke-
nabian.”(Shorter Encyclopaedia of Islam)
Iran Kuno dan Penyimpangan Akidah
Bahwasanya akidah imamah yang berlebihan dengan segala
batasannya hingga mengkuduskan keturunan ahli bait dan
menuhankan mereka bisa dikembalikan kepada akidah
atau kepercayaan Iran kuno. Karena pada masa dahulu
pemimpin agama dan negara di kabilah Meidya. Selanjutnya,
kepemimpinan berpindah kepada kabilah Maghan, yaitu
semenjak agama Zoroaster menyebar di Iran. Mereka percaya
bahwa kasta pendeta adalah bayangan tuhan di bumi ini.
272
Ali bin Abi Thalib
Mereka terciptakan hanya untuk melayani tuhan-tuhan. dan
pemimpin tersebut haruslah dari kabilah tersebut, karena
dzat tuhan berinkarnasi kepadanya. Kedudukan mulia untuk
rumah api dan yang mengelolanya haruslah dari kabilah
tersebut.
Prof. Dozy berkata, ”Orang-orang Persia (Iran) telah
terbiasa melihat raja dengan anggapan bahwa mereka
adalah tuhan. Mereka pun beranggapan seperti itu ketika
melihat anak keturunan Ali. Mereka berkata bahwa ketaatan
kepada imam adalah kewajiban pertama dan menaatinya
harus sama seperti menaati Allah.” (Fajru al-Islâm)
Pemusatan pada keluarga tertentu dan memonipolinya
untuk dijadikan pemimpin agama rohani yang bersifat
perpolitikan ini telah ada pada golongan dan masyarakat
yang memeluk agama-agama kuno—baik agama langit atau
pergerakan revolusi—dan menimbulkan kesengsaraan yang
besar.
Terkadang, telah terjadi eksploitasi terhadap pemasukan
pendapatan sebuah negeri, dengan kedok menjual kartu
ampunan dan kunci surga. Kadang kala juga telah terjadi
peperangan antara gereja dan ilmu, yang mengakibatkan
kemunduran ilmu selama berabad-abad di Eropa. Pada
akhirnya Eropa memisahkan agama dari perpolitikan.
Kemudian terjadi permasalahan di alam Islam, yaitu per-
selisihan antara pemerintahan Islam dan kelompok yang
menyeru untuk kembali kepada Islam mengambil hukum
dengan syariat Islam, lalu peperangan sesama yang tidak
penting.
273
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
Pengaruh dari pemerintahan yang didirikan atas dasar
imamah yang menyamai derajatnya dengan Nabi dalam
mensyariatkan hukum dan menghapus hukum Allah yang
sudah tetap serta pengaruh dari masyarakat yang begitu
tunduk kepada mereka adalah keleluasaan pemerintahan
tersebut (Imamah) untuk menghapus rukun dan kewajiban-
kewajiban agama, termasuk hukum syariat, sekehendak
mereka. Jika ada kemaslahatan masyarakat dan politik yang
dibutuhkan, hal tersebut mutlak dikembalikan kepada para
Imam.
Hal itu memang benar terjadi. Harian resmi Iran Kayhan
menuliskan pada edisi 182 yang terbit pada 23 Jumadilawal
1408 H, sebuah surat Khumaini yang ditujukan kepada
Presiden Sayyid Ali Khamemei, dengan judul, ”Pemerintahan
bisa menonaktifkan masjid atau menghancurkannya.
Pemerintahan lebih didahulukan daripada shalat dan
puasa.” Dalam surat tersebut dia berkata, ”Pemerintahan
adalah cabang dari kekuasaan Rasulullah yang terus
ada dan dari cabang hukum Islam yang pokok. Dengan
demikian, pemerintahan lebih utama dari semua hukum far‘i,
bahkan lebih utama daripada shalat, puasa, dan haji. Jika
diperlukan, pemerintahan bisa menonaktifkan masjid atau
menghancurkannya. Pemerintahan juga bisa menghapus
hukum-hukum Islam—baik yang termasuk ibadah atau
tidak—meskipun bertentangan dengan kemaslahatan Islam.
Dia bisa juga meniadakan haji, yang merupakan kewajiban
Islam terpenting, jika dipikir penting untuk kemaslahatan
kerajaan Islam. Karena pemerintahan tersebut, memiliki
kekuasaan tuhan yang mutlak.”
Sudah jelas bahwa tindakan seperti ini—mengubah
hukum syariat dengan ijtihad perorangan atau demi kepen-
274
Ali bin Abi Thalib
tingan politik—merupakan ancaman sepanjang waktu bagi
agama dan syariat yang sudah tetap. Penerapan sebuah
hukum tersebut (mengubah atau mengganti syariat) dalam
sebuah masyarakat dan dibarengi dengan ketaatan yang
buta dari masyarakatnya akan mengakibatkan pembunuhan
terhadap agama dan penghancuran masyarakat yang tidak
akan bisa ditolong lagi. Hal ini terjadi pada perang antara
Iran, Irak dan negara Timur Tengah. Kedua negara tersebut
mengalami kerugian besar tanpa ada hasil yang jelas.
Imamah ditaati secara buta seperti halnya seorang
diktator yang membuat kehancuran di muka bumi ini. Hal
itu sudah dibuktikan oleh sejarah manusia. Bagaimana jika
sikap tersebut digabung dengan pengkudusan berkedok
agama, pemaksuman, mengaku diutus langsung oleh Allah
dan menduduki posisi nabi?
Lebih dari itu, hal tersebut akan melahirkan sebuah
kelompok yang tidak mau bekerja dan hidup dari pemberian
umat. Mereka sama sekali tidak membanting tulang, tidak
memeras keringat, dan hanya mengandalkan kedudukannya
dalam agama dan keilmuan. Hal itulah yang dihasilkan dari
kedudukan pendeta, paus, imamah yang ada pada keluarga
atau keturunan tertentu. Dengan demikian, tertindaslah
hak-hak dari strata petani, pekerja, pedagang, dan prajurit.
Adapun strata satunya terdiam dan duduk tidak mengeluarkan
tenaga. Maha Benar Allah Yang berrman,
275
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
”Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak
dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar
memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka)
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah ….” (QS at-
Taubah [9]: 34)
Keturunan Ali dan mereka yang
memiliki garis keturunan dari
Rasulullah saw. memiliki peranan dalam
berdakwah di daerah yang belum
terjamah oleh Islam sebelumnya.
Banyak orang yang memeluk Islam
atau sebuah negara menjadi Islam
karena mereka.
DAFTAR PUSTA
Ad-Dahlawi, Hakim al-Islam Waliyullah. 1976. Izâlat al-Khafâ
‘an Khilâfat al-Khulfâ. Lahore: Majmu‘ Suhail.
Ad-Dahlawi, Syekh Ahmad bin Abdurrahim al-Ma‘ruf.
Hujjatullâh al-Bâlighah. Lahore, Pakistan: al-Maktabah
as-Salayah.
Adz-Dzahabi. Sair A‘lâm an-Nubalâ’. Beirut: Mu’assasah ar-
Risalah.
Al-Anshari, Syaikh Khalid. 1951. Hayâtu Abî Thâlib. Penerbit:
‘Ulwa.
Al-Ashbahani, Abi Nu‘aim. Hilyah al-Auliyâ’. Penerbit: Dar al-
Kutub.
Al-Asqalani, Syihabuddin Abi al-Fudhail Ahmad bin Ali bin
Hajar. Al-Ishâbah fî Tamyîzi ash-Shahâbah. Beirut: Dar
Shadir.
___. Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî.
Al-Baghdadi, al-‘Allamah as-Sayyid Muhammad Syukri al-
Alusi. Bulûgh al-Arab fî Ma‘rifati Ahwâli al-‘Arab. Kairo.
278
Ali bin Abi Thalib
Al-Baladuri. 1959. Ansâb al-Asyrâf. Mesir: Dar al-Ma‘arif.
Al-Bukhari. 1953. Al-Jâmi’ ash-Shahîh. Mesir: Mushthafa al-
Babiy al-Halabiy.
Al-Hadad, al-‘Allamah as-Sayyid ‘Alwi ibn Thahir. 1405 H.
Al-Madkhal ilâ Târîkh al-Islâm fî asy-Syuruq al-Aqshâ.
Jeddah: ‘Alam al-Ma‘rifah.
Al-Hadid, Ibnu Abi. 1979. Sîrah Ibnu Hisyâm. Mesir: Mushthafa
al-Babiy.
Al-Hasani, as-Sayyid Muhammad. 1399 H. Al-Islâm al-
Mumtahan.
Ali, Dr. Jawad. 1968. Al-Mufashshal fî Târîkh al-‘Arab qabla
al-Islâm. Beirut: Dar al-‘Ilm lil-Malayin.
Al-Jazari, Ibnu Atsir. Asadd al-Ghâbah.
l-Kaisani, Umar. 1303 H. Qalâ’id al-Jawâhir. Mesir: Al-
Utsmaniyyah.
Al-Malik, Amir Muhsin. 1870. Âyât Bayyinât. Mir Zabur.
Al-Mas’udi. 1303 H. Murûj adz-Dzahab wa Ma‘âdin al-Jauhar.
Mesir: Al-Azhariyyah.
Al-Mundziri. 1954. At-Targhîb wa at-Tarhîb. Mesir: Mushthafa
al-Babiy al-Halabiy.
Al-Qurthubi, Ibnu Abdil Barr. Al-Istî’âb fî Ma‘rifat al-Ashhâb.
Beirut: Dar Shadir.
An-Najar, Syekh Abdul Wahhab. Al-Khulafâ’ Ar-Râsyidûn.
Arjun, Ustadz Muhammad ash-Shadiq. 1981. Riyadh: Dar as-
Sa’udiyyah.
___. Khâlid bin al-Walîd. Penerbit: Dar as-Su’udiyyah.
As-Samhudi. 1981. Wafâ’ al-Wafâ bi Akhbâr dâr al-Mushthafâ.
Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi.
279
Perjalanan Hidup dan Ahli Baitnya
As-Suyuthi. 1305 H. Târîkh al-Khulafâ’. Penerbit: Al-Maimunah.
Ath-Thabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Târîkh al-Umam
wa al-Mulûk. Al-Ma‘arif.
Ath-Thabari, al-Muhibb. 1984. Ar-Riyâdh an-Nadhrah fî
Manâqib al-‘Asyrah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Az-Zarkasyi, al-Imam Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah.
794 H. Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân.
Beik, Syaikh Muhammad Khudhari. 1969. Târîkh al-Umam al-
Islâmiyyah. Maktabah at-Tijariyah al-Kubra.
Dahlan, as-Sayyid Ahmad Zaini. 1311 H. Al-Futûhât al-
Islâmiyyah. Makkah al-Mukarramah: Al-Mairiyyah.
Ibnu al-Manzhur. Lisân al-‘Arab.
Ibnu al-Qayyim. Zâd al-Ma‘âd fî Hadi Khair al-‘Ibâd. Mesir:
al-Maimunah.
Ibnu Atsir. 1399 H. Al-Kâmil. Beirut: Dar Shadir.
Ibnu Budran. 1979. Tahdzîb Târîkh Dimasyq al-Kabîr. Penerbit:
Dar al-Maisarah.
Ibnu Katsir. 1966. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah. Riyadh:
Maktabah an-Nashr.
Ibnu Sa‘d. Ath-Thabaqât al-Kubrâ. Beirut: Dar Shadir.
Ibnul Jauzi. 1331 H. Sîrah Umar ibn Khaththâb. Mesir: Al-
Azhar.
___. 1355 H. Shifah ash-Shafwah. Da’irah al-Ma’arif al-
‘Utsmaniyyah.
___. Sîrah Umar ibn ‘Abdul ‘Azîz.
Nizhami, Khaliq Ahmad. 1980. Akhbâr al-Akhyâr. Delhi:
Adabiyat.
280
Ali bin Abi Thalib
Syakir, Ahmad Muhammad. Musnad al-Imâm Ahmad. Mesir:
Dar al-Ma’arif.
Ustadz al-‘Aqqad. Al-‘Abqarriyyât al-Islâmiyyah. Kairo: Dar
al-Futuh.
Wajdi, Muhammad Farid. 1971. Dâ’irah Ma‘ârif al-Qarn al-
‘Isyrîn. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Yusuf, Abi. 1302 H. Al-Kharâj. Mesir: Al-Mairiyah.
Zahrah, al-‘Allamah Muhammad Abu. Al-Imâm ash-Shâdiq.
Beirut: Dar an-Nadwah al-Jadidah.
Rujukan Barat:
___, Sayed Amir. The Spirit of Islam.
___. A Short History of the Saracens.
Ali, Sayed Amir. Right Honourable Justice.
Encyclo-Pedia Britannica.
H.A.R. Gibb and J.H. Kraoner Shorter. 1953. Encyclo-Pedia
of Islam.
History of Mediaeval Hinon India C.V. Vaidya.
Hugec, Thomas Patrick. 1885. Dictionary of Islam. London.
Jewish Encyclo-Pedia.
Muir, Sir William. Annals of the Early Caliphate.
Popular Hinduism.
Religions of the World.
Syekh Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi merupakan pemikir
Islam yang unggul, sejajar dengan tokoh reformis abad ini,
seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Rashid
Ridha, Hassan al-Banna, Shakib Arsalan, dan Muhammad
al-Ghazali. Dilahirkan pada Muharram 1332 H (1914 M) di Rai
Breily, Uttar Pradesh, India, dan meninggal pada 23 Ramadhan
1420 H bersamaan 31 Desember 1999 M.
Sepanjang hayatnya dia telah menghasilkan 60 buah
buku dalam berbagai ilmu Islam, terutama dalam bidang
pemikiran. Di antara aspek yang selalu disuarakan adalah
proses pembaratan di dunia Islam atau westernisation,
paham materialisme yang merupakan ’agama’ di Barat,
pendidikan dan kependidikan Islam, orientalisme, serta
pembaruan pemikiran atau tajdid al-kr.
Dia mendapat pendidikan di Nadwatul Ulama’, Lucknow
dan Darul Ulum, Deoband. Setelah tamat pendidikannya,
dia berkarier di Nadwatul Ulama’ hingga akhir hayat. Buku
pertama yang diterbitkan dalam bahasa Arab adalah Sîrah
as-Sayyid Ahmad asy-Syahid.
TENTANG PENULIS
282
Ali bin Abi Thalib
Melalui buku karyanya yang berjudul Mâdzâ Khasîra
al-‘Âlam bi inhiththat al-Muslimîn (Apakah Kerugian Dunia
apabila Umat Islam Mundur), dia menjelaskan bahwa
kemunduran umat Islam bukan saja merugikan umat Islam
itu sendiri, melainkan juga memberikan dampak negatif bagi
peradaban dunia.